top of page

Garda Depan Perbentengan Kampus Kerakyatan: Gerbang Utama UGM, Governmentality, & 'InnerCity Campus'

Updated: May 8, 2019

Agista Ayu Tansyahnia, Bettina Otto, Gusti Nur Asla Shabia.

zoom in & zoom out pos pemeriksaan di Gerbang Utama UGM

Melambatkan pacuan, ikut berbaris dalam lajur manusia yang berpancang pada kendaraan masing-masing, lantas memilih dua pilihan: menerabas jalur cepat namun tidak mendapatkan izin masuk dari penjaga, atau bersabar di jalur lambat hingga mendapatkan izin masuk yang kelak akan menjamin akses keluar?


Adegan di atas bukanlah proses memasuki benteng atas suatu kerajaan, seperti yang sering digambarkan film-film populer berlatar Abad Pertengahan. Ilustrasi di atas adalah depiksi atas rutinitas yang pasti pernah dialami sebagian besar dari kita, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan lima tahun terakhir tatkala memasuki wilayah kampus, terutama pada peak hour jam masuk kuliah, 07.00-09.00 WIB, atau ketika ingin keluar pada peak hour rampung kuliah, 15.00-17.00.


Bagi sebagian orang, proses ini mungkin terlihat biasa-biasa saja, sebuah keharusan dan bagian dari regularitas demi menjamin keamanan. Namun, banyak yang belum terlalu merekognisi pos pemeriksaan kendaraan ini adalah bagian dari infrastruktur kampus, yang turut dimodifikasi oleh kebijakan-kebijakan tertentu dan juga memodifikasi fenomena-fenomena sosial yang merespon perubahannya. Sebagai sebuah infrastruktur, suatu ruang atau entitas kebendaan bukan hanya menjadi “benda fisik semata”, melainkan juga “bentuk fisik yang membentuk alam atas jaringan, kelauan dan arahan gerakannya, temporalitasnya, dan kerapuhannya untuk mengalami kerusakan” (Larkin, 2013).

Selain itu, riuh rendah protes atas kebijakan mengenai infrastruktur yang dibangun UGM terkait keamanan dan keselamatan di dalam kampus, yang mencakup portal, pos checkpoint, dan regulasi pemeriksaan kendaraan (karcis berbayar, KIK, karcis kuning, dst) juga pernah terjadi. Sebut saja, penolakan BEM terhadap portal yang dianggap melunturkan kedekatan UGM dengan masyarakat (Kompas 4, 2009), kritik BEM terhadap kebijakan pemberlakuan tarif parkir bagi kendaraan yang lewat jalan UGM karena dianggap menambah beban sivitas akademika (Kompas 5, 2009), dan sistem pemberian karcis kuning yang menimbulkan kemacetan--pun berujung pada keterlambatan masuk kuliah bagi mahasiswa (Firdaus dan Ihsan, 2017). Hal ini mengilustrasikan bahwa kebijakan “sesederhana” pembangunan infrastruktur pengamanan kampus berukuran 2x3 meter dapat memberikan pengaruh yang lebih besar untuk pihak-pihak yang berkelindan dengan UGM.


Dari sekian banyak pos pemeriksaan kendaraan, ketiga anggota dari kelompok kami sama-sama tergugah untuk meneliti satu pos yang kami anggap memiliki karakteristik yang menarik, yakni pos pemeriksaan di Gerbang Utama UGM. Alasannya sederhana saja, secara material pos ini paling eye-catching, letaknya strategis, mobilitas pengendara yang memasuki gerbang ini cukup masif dan variatif, menilik bangunan-bangunan yang berlokasi beberapa ratus meter di dekat pos Gerbang Utama seperti University Club dan PKKH UGM kerap disambangi publik non-sivitas akademika yang menghadiri acara-acara tertentu. Dari segi reflektif, kami sendiri pernah mengalami dinamika yang cukup menarik di pos ini, yang akan kami elaborasikan di bagian selanjutnya. Namun, bertolak dari tiga hal (sosial, material, reflektif) ini, kami ingin tahu, apa sih sebenarnya fungsi Gerbang Utama UGM? Bagaimana pengendara pun akhirnya merespons kegiatan pemeriksaan kendaraan di gerbang utama ini? Apakah mereka menaatinya? Adakah proses-proses menyiasati pemeriksaan tersebut, andaikata, mereka ingin cepat-cepat masuk kuliah atau lupa membawa STNK ketika keluar dari kampus?


Selain menarik dari sisi material, sosial, dan reflektif, proses memasuki areal UGM dengan terlebih dahulu melewati Gerbang Utama UGM yang telah dilukiskan di awal membuat kami benar-benar merenungi apakah gerbang ini memang memiliki fungsi yang sama seperti pintu masuk benteng suatu kerajaan? Baik bagaimana pun, Setha Low (1996) pernah mengategorisasikan Sao Paulo dalam penelitian Caldeira (2000) sebagai “kota benteng” di mana masyarakat “Yang Kaya” memiliki dinding untuk membarikade wilayah kehidupan mereka dari “Yang Miskin”. Lebih lanjut lagi, kajian atas literatur Caldeira dari Freeman (2013) turut menyebut ada empat teknik yang mengisolasikan suatu area dari kota, dalam hal ini dinding, gerbang, kamera pengawas, dan penjaga keamanan khusus. Sehingga, kami pun kembali tergelitik untuk bertanya, apakah kehadiran pos pemeriksaan kendaraan di Gerbang Utama hanya sebatas untuk alasan keamanan, atau ada isu lebih besar yang melandasinya?

Mengalami dan Mengamati Gerbang Utama UGM

Dengan semangat menjawab keingintahuan yang kami ejawantahkan dalam pertanyaan di atas, pada hari Senin (23/04) dan Selasa (24/04) lalu, kami bertiga tetap menyambangi Gerbang Utama UGM. Kami melakukan pengamatan pada siang ke sore hari, tepatnya 13.00-15.00 di hari Senin, sedangkan di hari berikutnya, kami melakukan pengamatan pada pagi ke sore hari, pukul 09.00-11.00.


Kami mencoba menghayati proses memasuki Gerbang Utama UGM yang sebenarnya sudah pernah kami alami, namun tak pernah benar-benar kami refleksikan secara kritis. Keberadaan benda fisik yang menyambut sebelum dan mendekati pos pemeriksaan kendaraan menjadi perhatian kami. Proses memasuki Gerbang Utama UGM akan didahului oleh keberadaan Pelataran UGM yang berisi taman beton di tengah beserta tulisan ‘Universitas Gadjah Mada’, yang diapit gapura tinggi di kanan dan kirinya. Di dekat gapura juga terdapat beberapa rambu yang salah satunya bertuliskan, “Anda memasuki wilayah kampus”. Lalu, mendekati pos pemeriksaan kendaraan, lajur akan terbagi menjadi dua: untuk motor dan mobil. Sepeda juga mengikuti motor. Kerucut lalu-lintas dan pengatur lalu-lintas lainnya yang berwarna jingga ditegakkan untuk menegaskan jalur. Untuk jalur pengendara motor juga ada dua opsi, “Karcis” dan “Jalur KIK”.


Memasuki jalur ini, kami sudah bisa melihat Anggota Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) atau yang lebih populer disebut Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) [1] di dalam pos, sedang melayani pengendara. Pengendara pun akan dihadapkan dengan dua pilihan, 1) mengambil karcis, dengan pertimbangan tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atau efektivitas waktu bila dibandingkan dengan menunjukkan STNK, atau 2) tidak mengambil karcis, dengan pertimbangan bisa menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), STNK, atau bukti lainnya yang menjamin mereka sebagai sivitas akademika UGM yang tidak berintensi untuk melakukan tindak kriminalitas, ketika ingin keluar dari areal UGM nanti. Kami memilih mengambil karcis yang saat ini berwarna biru (dulu sempat berwarna pink dan kuning).


Kami termasuk beruntung, karena pada hari Selasa yang terhitung waktu pagi itu, antrean tak terlalu panjang. Kami dengan mudah melewati pos lajur “karcis” kurang dari dua menit saja. Betti melaporkan bahwa dalam waktu selepas makan siang dan seusai pukul 15.00, pintu masuk sepi, yang banyak dilalui malahan pintu keluar oleh pengendara yang tampaknya terdiri dari sebagian mahasiswa yang “pulang”. Sedangkan dalam pengamatan hari Selasa, Agista dan Shabia mencatat bahwa kendaraan masuk ke kampus pada pukul 10.00 pagi nyatanya tidak terlalu ramai. Bila dibandingkan dengan pos pemeriksaan yang terdapat di Jalan Olahraga, pos di Gerbang Utama masih kalah padat.


Pada pengamatan kami hari Senin dan Selasa itu, yang menarik untuk didiskusikan adalah dinamika interaksi antara petugas SKKK dan pengendara yang masuk atau keluar. Sebelumnya, kami ingin mengutarakan bahwa ada beberapa pengecualian pemeriksaan, yakni mereka yang menjadi pengemudi moda transportasi non-privat seperti taksi, ojek daring, becak, bahkan ambulan donor darah. Mereka boleh masuk dan keluar tanpa perlu diperiksa. Sebagian besar pelaju motor dan mobil yang ingin masuk lewat Gerbang Utama biasanya bersabar memperoleh karcis, sebagian lain melewati proses itu begitu saja–terutama ketika antrean panjang dan bikin frustasi. Betti, yang berkendara ke UGM dengan menggunakan sepeda, bercerita bahwa bisa sangat menyebalkan untuk bersumpal-sumpalan dengan pengendara mobil dan motor yang memroduksi polutan sehingga ia sering memotong jalan mobil yang lebih sepi, dan petugas SKKK-nya pun memaklumi. Kami pun mengamati cukup banyak motor dan mobil yang memilih untuk tidak ambil karcis, tak ada paksaan, dengan konsekuensi ditanggung pengendara sendiri. Interaksi antara petugas dan pengendara berlangsung hanya beberapa detik, karena sebatas melirik plat nomor, mencatat nomor seri angka, menyobek, mengangsurkannya ke pengendara.


Sedikit berbeda kisah dengan pengambilan karcis yang lebih longgar, keluar lewat Gerbang Utama UGM bisa jadi malapetaka atau sarana kreatif untuk menyiasati keketatan pemeriksaan, jika pengendara lupa membawa STNK, KTM tertinggal, atau kehilangan karcis. Portal seringkali diturunkan petugas untuk mencegah “pengemudi bandel” yang tetiba menjadikan jalur pemeriksaan sebagai arena MotoGP karena alasan-alasan lupa dan hilang ini. Dalam suatu kesempatan, teman Betti yang lupa membawa KTM menunjukkan foto KTM-nya yang tertera di galeri ponselnya. Shabia mengingat pengalamannya di hari berhujan yang membuatnya tak sempat menyiapkan STNK atau KTM, membuatnya harus menjawab kuis dadakan dari petugas SKKK tentang plat nomornya sendiri dan fakultas asalnya. Satu peristiwa menarik yang terjadi di tengah-tengah pengamatan kami, seorang pengendara perempuan berhijab tiba-tiba terhenti di tengah jalan dan menelpon salah seorang sanaknya karena ia lupa membawa STNK.


Mujurnya ia, di tengah kebingungan untuk lolos dari gerbang, Petugas SKKK keluar pos untuk berteriak pada koleganya, dan ia memacu motornya lekas-lekas keluar. Hal ini menunjukkan masih ada negosiasi antara petugas dan pengendara yang melibatkan penelusuran identitas dan kepemilikan bilamana pengendara tak mampu untuk menunjukkan bukti fisik berupa STNK, KTM, atau karcis. Dan variasi-variasi tindakan ini bahkan terjadi sebelum bukti fisik diperiksa, misalkan kami mendapati mobil-mobil sering diperbolehkan keluar begitu saja asalkan mereka menurunkan kaca jendela, mengangguk, mengklakson, atau menyerukan terima kasih.


Puas mendiskusikan interaksi dan pola perilaku pengendara serta petugas di Gerbang Utama UGM, diskusi reflektif pasca pengamatan kami berujung pada kisah Betti yang mengontraskan kampusnya di Leipzig, Jerman. Ia bilang di Leipzig tak ada infrastruktur seperti gerbang utama UGM ini. Betti bercerita bahwa di Leipzig gedung universitas tidak dipusatkan seperti kompleks, tapi dikonstruksikan di sela-sela bangunan kota lainnya, seperti mal, pertokoan, dan kedai kopi. Makanya Betti heran, mengapa menurut UGM tidak baik bila setiap orang masuk saja, malahan diseleksi di gerbang ini?


Merunut Keterkaitan Gerbang Utama UGM dengan Kebijakan Keamanan Kampus

Nyatanya, kami sama-sama mengerti, bahwa infrastruktur Gerbang Utama dibangun untuk merespon ketakutan akan adanya pelanggaran keamanan dan keselamatan di dalam kampus sebagai usaha untuk pemeliharaan aset. Kebijakan UGM untuk menegakkan keamanan dan pemeliharan aset senantiasa dirumuskan kembali dan dievaluasi dengan melihat “kejadian-kejadian” per tahun yang didata PK4L (2017) seperti misalnya kasus yang paling marak: laporan kehilangan kendaraan dan tindakan asusila.


Tampaknya, UGM merelasikan kemunculan hal ini dengan ketiadaan batas fisik dan seleksi yang tegas sehingga masyarakat yang tidak memiliki kepentingan bisa keluar-masuk kampus dengan kendaraan mereka (Primordia, 2017). Pada Rencana Induk Pengembangan Kampus (RIPK) 2005-2015 pun diberlakukan penutupan beberapa akses masuk, pembangunan portal gate, dan adanya kebijakan KIK (Kartu Identitas Kendaraan) dan karcis berbayar untuk masyarakat umum (Zaqi, 2011). Namun, kebijakan untuk membayar ini dipermasalahkan hingga ke ranah hukum karena dianggap eksklusif dan mempersulit masyarakat sehingga kartu tanda masuk pun diganti dengan karcis kuning pada tahun 2014. Karcis kuning ini digunakan untuk mengetahui jumlah kendaraan yang keluar-masuk lingkungan kampus baik itu mahasiswa ataupun warga sekitar (Primordia, 2017). Awalnya, menurut Safira (2016) dari Bulaksumur Pos, mahasiswa selama ini tidak menganggap karcis kuning sebagai hal yang penting, karena nomor polisi kendaraan kerap ditulis sembarangan, karcis pun tak diperiksa saat keluar gerbang.


Hal ini baru berubah tatkala pada Februari 2017, pos pemeriksaan yang tadinya berlokasi di depan Fakultas Pertanian dan samping Fakultas Psikologi dimajukan ke pos pemeriksaan yang terletak di Jalan Olahraga. Bersamaan dengan pemindahan ini, pada tanggal 23 Februari 2017, juga ada uji pemberlakuan identifikasi kendaraan dengan karcis kuning (Hadafi et al, 2017). Walaupun sesudah uji coba pemeriksaan karcis tidak menjadi keharusan, pemeriksaan kendaraan dengan meminta karcis, STNK, atau KTM sering tetiba diberlakukan di pos-pos, sehingga sebagian masyarakat pun mengambil pilihan untuk “berjaga-jaga” sehingga tindakan mengambil karcis pun lebih aktif dilakukan di seluruh pos pemeriksaan, termasuk di Gerbang Utama UGM. Selain itu, Gerbang Utama UGM adalah garda terdepan untuk melindungi bangunan-bangunan yang dikategorikan sebagai “zona inti”, ruang dan bangunan yang memiliki nilai kesejarahan yang tinggi dan menjadi identitas UGM, seperti Kantor Pusat Tata Usaha (KPTU), perumahan dosen Bulaksumur, dan Lapangan Pancasila, misalnya (Renstra FK UGM, 2017).


Bukan hanya untuk alasan keamanan dan pemeliharaan aset, adanya pemeriksaan yang lebih aktif di pos-pos pemeriksaan terutama di Gerbang Utama UGM terkait dengan upaya UGM “berbenah” dalam rangka menjadi kampus educopolis. Tertera di Rencana Induk Pengembangan Kampus (RIPK) 2005-2015, dikatakan educopolis adalah suatu lingkungan yang kondusif untuk proses pembelajaran dalam konteks pengembangan kolaborasi multidisiplin dan yang tanggap terhadap isu ekologi demi mencapai visi universitas. Salah satunya adalah mengurangi “tingkat kebisingan” dengan pengaturan lalu lintas kampus (Agung, 2011). Baik dengan dalil keamanan dan pembenahan menuju educopolis, dengan kebijakan mengetatkan pemeriksaan lewat pos-pos, kami melihat kecenderungan UGM untuk “melihat” masyarakat luar sebagai golongan yang harus dikurangi aksesnya dengan diseleksi. Kami melihat bahwa mengurangi “tingkat kebisingan” ini sifatnya bertahap, yaitu menutup akses masuk lewat beberapa gerbang dekat pemukiman (di Jalan Olahraga, misalnya) dan mengonsentrasikan serta mengetatkan pemeriksaan di Gerbang Utama UGM serta gerbang utara UGM dekat Jalan Agro, sehingga muncul keengganan warga untuk melintas.


Gerbang Utama UGM: Bentuk Governmentality dan Konstruksi ‘City Campus’

Tidak berhenti di persoalan “penolakan” halus UGM terhadap masyarakat luar demi alasan keamanan dan pemeliharaan, kami merelasikan Gerbang Utama UGM dari bentuk governmentality yang pernah dibahas Foucault dalam kasus-kasus yang mirip dengan persoalan masuk kampus. Menurut Foucault, kekuasan tidak terjadi selalu dalam sistem hierarkis dengan paksa. Akan tetapi kekuasan terjadi dalam sistem politis yang menciptakan pengetahuan tertentu supaya orang-orang memerintah diri sendiri (Dupont and Pearce, 2001: 125). Maksudnya dalam kasus kami, orang-orang yang masuk atau tidak masuk kampus UGM sudah menginternalisasi pengetahuan tertentu tentang mengizinkan atau menolak masuk dan keluarnya orang-orang. Bagian yang juga mencipta pengetahuan tersebut adalah infrastruktur pintu gerbang utama UGM. Foucault menetapkan pengetahuan sebagai aspek penting dalam konsep governmentality, dan dalam konteks “pemerintah nasional” pencipta pengetahuan ini adalah pembuat kebijakan universitas.

Selain itu, kami merenungi infrastruktur pos pemeriksaan Gerbang Utama yang didukung dengan keberadaan materi fisik dan arsitektur. Proses pertama governmentality adalah problematisasi ruang tertentu (Lemke, 2000: 32), dan dari proses memasuki gerbang utama UGM, pengendara akan mengalami tiga suasana yang berbeda, kondisi lalu lintas di Bundaran yang masih bagian dari kota Yogyakarta secara “umum”, memasuki Boulevard UGM yang iconic dan turut dihiasi rambu-rambu pos pemeriksaan yang seakan-akan berisi peringatan, lalu lolos dari pos pemeriksaan memasuki fasad taman di tengah jalan; kanan-kirinya terdapat bangunan-bangunan administrasi dan fasilitas tertentu, dan jalan itu berlabuh pada bangunan Grha Sabha Pramana yang kadang-kadang–pada cuaca cerah–dilatarbelakangi Gunung Merapi. Melihat ini, Betti teringat arsitektur kota istana di Jerman: terdapat pintu masuk dan pagar, lalu ada jalan indah yang menuju istana utama.


Ini menunjukkan kita telah memasuki ruang “universitas” yang mana merupakan institusi yang menekankan status sivitas akademika UGM, membuat orang yang non-sivitas akademika, yang “tidak berkepentingan” harus diperiksa dan diseleksi kepentingannya dahulu untuk menjadi “yang berkepentingan”. Seperti yang dikatakan Dupont dan Pearce (2001: 125), governmentality memberi pertimbangan atas pengorganisasian hal-hal sosial ke domain-domain yang berbeda, dan memiliki beragam logika yang imanen (beroperasi). Ada pertimbangan konstruksi individual (sebagai mahasiswa atau pengunjung yang “berkepentingan”) dalam relasinya dengan situs yang berbeda-beda (Universitas) dan ketetapan yang juga berbeda-beda. Karcis biru dan STNK menjadi legitimasi kepentingan ketika keluar dari lingkungan kampus. Dalam praktik itu, peran petugas SKKK menjadi sigfikan karena mereka menwujudkan “hubungan baru antara entitas sosial dan individual” (Dupont dan Pearce, 2001: 129).


Usaha ini memang benar untuk melindungi keamanan dan kenyamanan, tetapi hanya terhadap orang-orang tertentu saja. Seperti kata Dupont dan Pearce (2001), “kebahagiaan individu [dalam konteks kami kebahagiaan ketika segala hal aman dan nyaman] menjadi tujuan politik [dalam hal ini politik pemeriksaan kendaraan] sebagai syarat keberlangsungan dan pembangunan negara [dalam hal ini Universitas] yang berhubungan dengan kekuatan mereka dan kepatuhan subjek-subjeknya.” Sivitas akademika jelas menjadi individu yang ingin dibahagiakan di tulisan ini; diprioritaskan. Lucunya, masih ada beberapa tindakan pengendara yang berusaha untuk menyiasati peraturan ketika mereka melanggar peraturan tersebut, hal yang disebut Harvey dan Knox (2015) sebagai tindakan teasing out arrangements of people, things, ideas, and materials yang terangkum dalam “sociotechnical assemblages”.


Selain itu, adanya Gerbang Utama UGM dan usaha kampus membentuk UGM sebagai kampus educopolis bisa ditarik dengan model-model kampus yang marak di Swiss pada tahun 1960 -1970 yang diceritakan Kerstin Hoeger (2007) sebagai model kampus yang hijau, namun cenderung monofungsional dan terisolasi–layaknya sebuah enklaf. Model yang mengintroversi dan memisahkan kampus dengan kota seperti misalnya Kampus ETH Hönggerberg dituturkannya memang mendatangkan sebuah atmosfer yang tenang dan senyap, menstimulasikan kekondusifan belajar dan kontemplasi. Di sisi lain, introversi dan separasi kampus ini dari kota telah memisahkan diri mereka dari struktur-struktur kota dan kehidupan publik, sehingga berimbas pada ketiadaan lingkungan yang baik untuk mengembangkan pengetahuan modern. Walaupun model ini sudah mulai ditinggalkan di beberapa kampus di Eropa dan Amerika, model seperti ini malah tengah bermunculan di Asia. Hoeger menyebut universitas-universitas ini “Inner-City Campus”, kampus yang menciptakan sendiri geliat perkotaan baru di dalam kompleksnya. Dari sini, kita bisa melihat universitas sebenarnya bisa memilih untuk mendefinisikan kota terkait dengan pembangunan kampus mereka: kampus yang berusaha mengonstruksi kota sendiri atau kampus yang berusaha menjadi bagian dari kota.


Terkait benar atau tidaknya, dalam penelitian lapangan minggu ini, kami sebenarnya tengah berusaha untuk melihat secara kritis bahwa infrastruktur secilik pos pemeriksaan di Gerbang Utama UGM memiliki keterkaitan dengan diskursus yang lebih besar soal governmentality UGM dalam mengontrol keamanan kampus dan di sisi lain untuk menegaskan citra mereka tuju sebagai kampus Educopolis, kampus yang bermodel “Inner-city Campus”. Namun, permasalahan separasi dari masyarakat kota Yogyakarta “di luar” dan UGM sebagai “kampus benteng” memang harus dibahas kembali dengan memerhatikan ruang-ruang lainnya di dalam kampus. Ini membuktikan pemikiran Larkin (2013) cocok dalam membahas Gerbang Utama UGM sebagai bagian yang terkoneksi dengan infrastruktur, fasilitas, dan sistem lainnya di kampus, bahwa infrastruktur bersikap dualitas, ketika mereka beroperasi secara sistemik, bukankah mereka tidak bisa diteorisasikan sebagai objek yang sendiri?



[1] Nama ini telah berubah dari SKKK ke P4KL terhitung sejak 2016, namun, sebagian besar civitas academica UGM masih memanggil Anggota PK4L dengan sebutan “Petugas SKKK”. Di dalam tulisan ini, kami pun masih akan menyapanya Petugas SKKK.


Referensi

Literatur:

1. Dupont, Danica and Frank Pearce. 2001. Foucault contra Foucault. Rereading the 'governmentality' papers. Theoretical Criminology Vol. 5 No 2, pp. 123-158.

2. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2017. Bab V: Rencana Induk Kampus. Diakses dari http://renstra.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/221/2017/10/Peraturan-I.pdf

3. Freeman, James P. 2013. Book Review: City of Walls: Crime Segregation and Citizenship in Sao Paulo. Urban Geography, Volume 24, Issue 2, pp. 183-184,

4. Harvey, Penny and Hannah Knox. 2015. Roads. An Anthropology of Infrastructure and Expertise. Ithaca (NY): Cornell University Press.

5. Hoeger, Kerstin. 2007. Campus and the City – A Joint Venture?. In Kerstin Hoeger, Campus and The City: Urban Design for The Knowledge Society, pp. 12-23. Zurich: gtaVerlag.

6. Larkin, Brian. 2013. The Politics and Poetics of Infrastructure. Annual Review Anthropology Vol 42, pp. 327-343.

7. Lemke, Thomas. 2000. Neoliberalismus, Staat und Selbsttechnologien. Ein kritischer Überblick über die governmentality studies. Politische Vierteljahresschrift, Vol. 41 No 1, pp. 31-47.

8. Low, Setha M. 1996. The Anthropology of Cities: Imagining and Theorizing the City. Annual Review of Anthropology, Volume 25, pp. 383-409, https://www.jstor.org/stable/2155832

9. Universitas Gadjah Mada. 2005. Rencana Induk Pengembangan Kampus 2005-2015. Diakses dari http://munawar.staff.ugm.ac.id/wp-content/buku-masterplan2005_2015.pdf


Berita:

1. Agung. 2011. UGM Berbenah Menuju Kampus Educopolis. Diakses dari 247https://ugm.ac.id/id/berita/3177-ugm.berbenah.menuju.kampus.educopolis

2. Firdaus, M Zahri dan Ihsan Nur R. 2017. Menanti Kebijakan Baru Lalu Lintas UGM: Stiker Bersensor. Bulaksumur Pos Edisi 27, diakses dari https://issuu.com/skmugmbulaksumur/docs/bulaksumur_pos_-_edisi_247

3. Hadafi F R, et al. 2017. UGM Coba-coba Kebijakan Karcis Kuning?. Diakses dari https://www.bulaksumurugm.com/2017/02/24/ugm-coba-coba-kebijakan-karcis-kuning/

4. Kompas. 2009. Pemasangan Portal di UGM Demi Keamanan. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2009/08/24/18030343/pemasangan.portal.di.ugm.demi.keamanan

5. Kompas. 2009. BEM Tolak Penutupan Akses ke UGM. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2009/08/20/22362081/bem.tolak.penutupan.akses.ke.ugm

6. Primordia Faperta. 2017. Lindungi Kampus Kerayaktan, UGM Perketat Keamanan. Diakses dari https://primordia.faperta.ugm.ac.id/2017/03/17/lindungi-kampus-kerakyatan-ugm-perketat-keamanan/

7. Safira, Hana. 2017. Semangat Juang Universitas Kerakyatan. Diakses dari https://issuu.com/skmugmbulaksumur/docs/bulaksumur_pos_-_edisi_247

8. Zaqi. 2011. Karcis Berbayar Sebabkan Macet. Diakses dari http://www.balairungpress.com/2011/04/karcis-berbayar-sebabkan-macet/

Recent Posts

See All

Kommentare


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page