top of page
Writer's pictureFathi Mujadidi

Garda Terdepan Militer

Updated: Mar 10, 2021

Menjadi dilema tersendiri buat saya apabila membicarakan hubungan antara warga sipil dengan aparat militer. Pengalaman yang saya rasakan sejak kecil seakan menjadi paradoks. Selama masa kecil hingga mungkin menuju remaja, saya seakan didoktrin oleh orangtua saya bahwa kalau ada aparatur negara seperti polisi dan tentara, jangan berbuat yang aneh-aneh, nanti bisa ditangkap atau malah-malah ditembak. Mengerikan sekali bukan? Tapi kemudian saya pahami bahwa itu cuma menjadi salah satu cara orangtua saya mengajarkan untuk tidak berbuat onar dan jahat. Tapi ungkapan sederhana seperti tadi sebetulnya mampu mengkonstruksi masa kecil saya; sepanjang sekolah dasar hingga setidaknya sekolah menengah atas, saya jadi takut dengan tentara, dan selalu berusaha mengambil jarak apabila kebetulan melihat mereka.


Hal ini kemudian bertolakbelakang dengan apa yang disampaikan oleh guru saya di bangku sekolah. Beberapa mata pelajaran yang menyinggung soal aparat militer seperti PPKN atau Sejarah, ternyata selalu berusaha memberikan konteks yang baik tentang mereka melalui buku paket yang disampaikan oleh guru-guru saya. Saya ingat pelajaran Sejarah sendiri selalu membicarakan nama-nama para pejuang (tentara) yang berperan vital dalam kemerdekaan negara, serta tentunya tanggal dan tahun atas momen penting mereka yang mereka banggakan serta harus dibaca sebagai sebuah hal yang sudah sewajarnya dibanggakan oleh semua murid yang duduk di bangku sekolah waktu itu.


Pengalaman saya memang tidak bisa digunakan untuk mewakili pandangan masyarakat yang lebih luas. Tapi setidaknya saya bisa mengatakan bahwa bentuk hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya sedikit banyak juga dipengaruhi oleh pengalaman yang melatarbelakanginya. Hal ini saya katakan atas dasar hasil pencarian data saya di lapangan, yang kebetulan juga melibatkan saya dengan pihak yang sebelumnya saya segani; yaitu TNI, dan dalam hal ini adalah para Babinsa (Bintara Pembina Desa) yang ada di wilayah Ibukota. Selain karena pertemuan dengan mereka mampu menghasilkan pengalaman dan pandangan baru saya terhadap tentara, tapi juga bagaimana adanya hubungan-hubungan yang terbangun antara Babinsa dengan masyarakat.


Memahami Relasi Sipil-Militer

Membahas perihal militer di Indonesia dan hubungannya dengan warga sipil erat hubungannya dengan kejatuhan rezim Soeharto pada Reformasi 1998. Namun bukan berarti hanya berfokus pada momen yang secara harfiah terjadi waktu itu. Reformasi 1998 terjadi bukan sebagai sesuatu yang sekejap mata, perlu diperhatikan juga momen tersebut terjadi lantaran sebuah proses panjang atas kejadian yang ada di masa sebelumnya, serta berkesinambungan dengan masa sekarang. Merujuk kepada pendapat Terrence Lee (2000) yang mengatakan bahwa orientasi dari militer dinilai sangat politis mengingat bahwa para tentara, alih-alih mendaftar untuk mengejar karir kemiliteran profesional mereka malah terbawa motivasi semangat nasionalisme untuk melawan penjajah.


Hal ini makin diamini ketika banyak juga dari mereka yang merambah ke dunia politik dan tidak pernah menyatakan bahwa mereka apolitis. Diperkuat lagi dengan pertimbangan yang mereka sampaikan mengenai kekuatan yang paling mampu untuk memastikan stabilitas serta perintah dalam negara adalah kekuatan dari mereka—melihat sejarah kemerdekaan Indonesia. Hal ini yang kemudian menegaskan bahwa politik memang tidak akan pernah luput dalam kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan manusia, tak terkecuali pada institusi militer.

Apa yang dinyatakan oleh Terrence Lee pada pembahasan mengenai relasi sipil-militer ini menjadi lebih menarik lagi karena Lee mencoba membaca faktor-faktor apa yang sebetulnya membantu pihak militer untuk melibatkan diri terhadap politik warga sipil. Pada dasarnya, keterlibatan politik yang dilakukan TNI kepada pemerintahan tidak semata-mata terjadi karena mereka ingin; tapi lebih kepada tersedianya kesempatan dan celah untuk melakukannya (Lee, 2000).


Agak lucu apabila melihat spanduk-spanduk di jalanan Jakarta yang sedang ramai diisi dengan slogan-slogan politik, kemudian muncul spanduk dari pihak militer ini dengan slogan ‘netral’ tadi. Karena menilik dari sejarah pun, usaha-usaha yang selalu dilakukan pihak militer sendiri adalah usaha yang bersifat politis, bahkan menjurus pada keberpihakan. Bicara mengenai doktrinasi oleh aparat militer mungkin akan menjadi sebuah bahasan yang berbeda, namun selanjutnya menarik apabila mencari tahu akankah motif-motif tadi ditemukan pada lini-lini terbawah baik dari pihak sipil maupun militer atau malah sama sekali berbeda. Apakah mampu disamakan apa yang terjadi di level atas dan level bawah pada relasi yang sedang dibahas ini kemudian bisa dijawab dengan melihat satu per satu dua konteks yang berbeda ini.


Babinsa: Garda Terdepan Militer

“Sampai daun yang jatuh pun harus kami ketahui dan tidak boleh luput,” begitu ungkapan salah seorang Babinsa yang saya temui di Jakarta untuk mengibaratkan tugas dan pekerjaan mereka. Lucunya, hampir setiap Babinsa di wilayah yang berbeda menyampaikan hal yang berbunyi demikian. Tugas yang diberikan kepada mereka memang tidak sepenuhnya sedetail itu. Singkatnya, Babinsa adalah representasi TNI dalam rangka pelaksanaan keamanan dan ketertiban masyarakat di tingkat wilayah. Beberapa tugas pokok mereka antara lain adalah (1) melatih satuan perlawanan rakyat, (2) memimpin perlawanan rakyat di pedesaan (3) memberikan penyuluhan kesadaran bela negara, (4) memberikan penyuluhan pembangunan masyarakat desa di bidang Hankamneg (pertahanan dan keamanan negara), (5) melakukan pengawasan fasilitas/prasarana Hankam di pedesaan/kelurahan, dan (6) memberikan laporan tentang kondisi sosial di pedesaan secara berkala.


Bekerjasama juga dengan Polri dan juga Pemda Kecamatan membentuk ‘tiga pilar’ yang saling bahu-membahu untuk keterlaksanaan Kamtibmas. Kembali kepada pengibaratan ‘daun yang jatuh’, tugas mereka memang sebetulnya sebagai bentuk pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengganggu ataupun merusak terlaksananya Kamtibmas tadi. Maka dari itu pengibaratan tadi muncul, karena memang mereka dituntut untuk jeli mendeteksi dan mengidentifikasi situasi dan kondisi di wilayah.


Kemudian hal ini menjadikan keseharian mereka—kalau saya ibaratkan—sebagai seorang etnografer yang berada di lapangan; mereka berkeliling di wilayah, mencari informasi-informasi, dan mencoba memahami sebaik mungkin dinamika yang terjadi di masyarakat dalam wilayah mereka, lengkap dengan catatan-catatan yang harus juga ditulis, berusaha menjadi sedekat mungkin dan mengenali sedalam mungkin wilayah mereka ditempatkan, baik secara geografis, demografis, maupun pada tataran yang lebih personal seperti problematika sosial masyarakat disana hingga ke persoalan rumah tangga.


Kumpul-kumpul di warung pun menjadi kegiatan yang tidak bisa dielakkan. Kegiatan ini mereka katakan sebagai bentuk Komunikasi Sosial atau Komsos, dalam rangka penyelenggeraan keamanan wilayah tadi. Baik itu warung makan maupun warung kopi, pos ronda atau bahkan konter pulsa, semua tempat idealnya harus pernah disambangi oleh seorang Babinsa. Belum lagi dengan hubungan yang mereka jalin dengan seorang mitra, yaitu orang yang membantu pekerjaan mereka di wilayah atau singkatnya sebagai intel di masyarakat, dan juga dengan organisasi Wanra (Perlawanan Rakyat) yang mereka bantu berdayakan.


Setidaknya demikianlah yang dengan bangga mereka sampaikan, diikuti dengan keluhan implisit perihal upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan—karena sebetulnya mereka dilarang membicarakan perihal upah tadi. Tapi kemudian, hal inilah yang membuat Babinsa mampu menjalin sebuah pola relasi yang baru dalam masyarakat sipil. Inilah yang mereka sebut sebagai jejaring untuk membantu pekerjaan mereka menjadi pemerhati dan pengawas wilayah.


Relasi dan Kekuasaan

Jejaring yang lahir dari keberadaan (perwakilan) institusi militer yang ditempatkan pada lapisan-lapisan terbawah secara struktur dan teritorial ini kemudian memunculkan hal-hal yang problematis di mata masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat dari beberapa wilayah yang berbeda merasakan bahwa kehadiran mereka justru seakan-akan menjadi ‘parasit’ di tengah-tengah mereka. Sebagai contoh adalah ketika masyarakat melihat ada salah satu dari Babinsa yang dianggap memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk keuntungan-keuntungan pribadi dari kekuasaan yang dimiliki.


Hal ini tidak mampu saya pungkiri juga karena memang nyatanya beberapa Babinsa yang saya temui memiliki materi dalam bentuk harta yang lebih ketimbang anggota yang lain. Namun beberapa dari mereka itu juga tidak ragu untuk memberitahu dan mengakui bahwa mereka memiliki hal-hal tersebut berkat relasi dan ‘jejaring’ yang mereka bangun, yang kemudian mereka kembangkan menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan keanggotaan mereka sebagai militer—salah satu contohnya adalah dalih bisnis dan investasi melalui relasi yang digunakan.


Pandangan beberapa orang terhadap Babinsa yang sempat saya tanyakan juga kurang lebih berbunyi serupa. Bahwa Babinsa dengan kekuasaan posisi dan kekuasaan mereka mampu memanfaatkan hal itu untuk ‘kantong’ mereka sendiri. Hal ini masyarakat lihat ketika para Babinsa mampu memiliki beberapa unit mobil, bercerita tentang rumah-rumah yang mereka miliki, atau sekedar dari gaya ‘petantang-petenteng’ mereka berjalan ke warung kopi. Tidak baik juga untuk berprasangka dan mencari-cari di manakah letak kesalahan dari alibi-alibi mereka, namun yang jelas mereka pun sadar atas pandangan miring yang diberikan pada mereka. Atau mungkin pada banyak kasus lainnya yang pada dasarnya memiliki konteks yang sama namun pada kejadian dan waktu yang berbeda.


Menarik juga melihat fenomena yang terjadi dalam masyarakat—termasuk saya sendiri sempat berpikir bahwa menganggap kekuasaan adalah sesuatu yang absolut. Kekuasaan diartikan kepemilikan atas sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Mengutip pandangan dari Foucault, yang mengatakan bahwa:

... power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony." (1990, hal. 92-93).

Saya pikir terdapat kemiripan apa yang terjadi dalam pandangan masyarakat perihal institusi TNI—yang berada di level terbawah dan berbentuk sebagai Babinsa ini—dengan cara Foucault mengargumentasikan bahwa harus terdapat pemahaman kekuasaan yang berbeda dari pemahaman yang tradisional.


Babinsa sebetulnya tidak pernah merasa dirinya memiliki strata yang lebih tinggi ketimbang masyarakat, malah sebaliknya beberapa Babinsa merasa tokoh-tokoh yang ada di masyarakat sendiri memiliki pengaruh yang lebih besar karena dinilai lebih terpandanga dan dihormati. Cuma dalam beberapa kasus yang saya temui, masyarakat memiliki rasa segan yang sama terhadap personel TNI, dan menafsirkan sendiri bahwa tentara memiliki kuasa yang lebih dari mereka Pernyataan tersebut juga menjawab mengapa selalu ada orientasi politik-ekonomi dalam relasi antara sipil-militer, yaitu karena hal tersebut diakibatkan oleh adanya konsep kekuasaan yang dianggap sebagai disciplinary, alih-alih sovereignity; karena kekuasaan dianggap memiliki fungsi terhadap relasi-relasi sosial (Foucault, 1990) yang kemudian bisa menurun pada aspek lainnya seperti politik dan jugaekonomi.


Penutup

Dalam menutup pembicaraan mengenai hubungan-hubungan antara warga sipil dengan militer, sangat tidak cukup apabila hanya ingin melihat dari sisi institusional secara umum saja. Ketika pada tataran nasional, maka terlihat bahwa TNI seakan sudah memiliki kecenderungan untuk masuk dan ‘bermain’ dalam politik negara bahkan dari awal sekali negara ini terbentuk. Seakan-akan tergambarkan bahwa relasi yang dijalin antara warga sipil dengan militer hanya bergulat pada tataran TNI dengan pemerintah nasional secara institusi.

Ketika bicara relasi apa yang terbentuk antara warga sipil dan militer, maka pandangan-pandangan masyarakat dan perihal apa saja yang mereka pahami mengenai militer perlu juga diperhatikan; pun sebaliknya. Tanpa mengetahui apa yang terjadi pada level paling dasar, maka tidak akan diketahui bahwa sebenarnya persepsi individu-individu tadi juga berperan penting dalam dinamika pihak-pihak yang bersangkutan.


Referensi

Foucault, M. (1990). The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1. New York: Vintage Books.

Lee, T. (2000). The Nature and Future of Civil-Military Relations in Indonesia. Asian Survey, 40(4), 692-706

19 views0 comments

Comments


bottom of page