top of page

Gerbong Khusus di KRL Commuter Line Jakarta: Eksklusivitas, Seksisme, atau Kesetaraan Gender


Gerbong khusus wanita vs Gerbong reguler. (foto: Diyan Bijac)

Transportasi publik yang aman dan nyaman merupakan hal yang cukup sulit ditemukan, terutama di kota-kota besar, termasuk di Jakarta. Angkutan umum yang tersedia bisa disebut masih jauh dari kata nyaman dan aman. Upaya-upaya untuk memberikan keamanan dan kenyamanan transportasi publik sudah dirintis oleh pemerintah. Salah satunya dengan menyediakan gerbong atau tempat duduk khusus perempuan. KRL Jakarta sudah cukup lama menyediakan gerbong khusus untuk perempuan. Walaupun sudah tersedia, jumlah perempuan yang banyak tidak mampu menampung seluruhnya. Akibatnya banyak perempuan yang menggunakan gerbong reguler.

Dikutip dari Okezone (2010), gerbong khusus perempuan lahir dari keluhan para pelanggan khususnya perempuan. Gerbong khusus ini dianggap dapat menekan angka kejahatan yang mengincar para perempuan, sehingga perempuan dapat senantiasa merasa aman saat menggunakan commuter line. Jika dilihat dari konteks aman, tidak hanya perempuan saja yang butuh rasa aman dalam KRL. Semua orang pun berhak mendapatkan rasa aman, termasuk laki-laki. Tersedianya gerbong khusus perempuan, membuat diskriminasi dikalangan laki-laki. Disisi yang sama, kehadiran perempuan di gerbong regular membuat perempuan tereksklusifkan diantara laki-laki. Laki-laki seolah-olah harus mendahulukan perempuan dalam hal fasilitas di KRL seperti kursi dan hangrip. Padahal saat perempuan berada di gerbong regular, mereka pun harus mendahulukan perempuan atau laki-laki yang lebih membutuhkan fasilitas di KRL.


Eksklusivitas perempuan di gerbong reguler

Upaya pemerintah dalam memberikan kenyamanan bagi perempuan yang menggunakan transportasi umum ini belum membuahkan hasil maksimal. Sudah banyak perempuan yang memberikan testimoni soal tidak enaknya berada di gerbong khusus perempuan yang mereka pilih dengan sengaja. Gerbong khusus perempuan, dapat dikatakan “ganas” bagi para perempuan. Alih-alih merasa aman dan nyaman, mereka mengaku harus mengecap pengalaman sepat seperti berebut tempat, saling cibir, bahkan tengkar mulut dengan sesama perempuan yang justru membikin naik pitam dan membuat lelah. Sebagian memandang gerbong khusus perempuan sebagai arena tempur di mana yang cekatan melihat peluang, dia yang menyabet kenikmatan (Kirnandita, 2017).

Jika di gerbong khusus perempuan mereka dapat berperilaku “ganas” dengan sesama perempuan dalam hal fasilitas di KRL. Lain halnya saat para perempuan berada di gerbong regular yang bercampur dengan laki-laki. Di gerbong reguler, antara jumlah perempuan dan laki-laki dapat dikatakan seimbang. Rebutan kursi sudah biasa terjadi di gerbong reguler antara laki-laki dan perempuan. Dikutip dari Megapolitan Kompas (2014), seorang penumpang KRL laki-laki bernama Cahyo berpendapat “jika laki-laki dan perempuan sama saja. Kalau terus-terusan berdiri pasti capek juga. Kalau lagi capek banget, enggak akan saya kasih tempat duduk saya, kecuali ada nenek-nenek atau ibu hamil. Kayanya pasti langsung dikasih tempat duduk sih. Kalau cewek, memang biasanya suka cuek saja. Mungkin sama-sama merasa paling berhak duduk”. Namun eksklusivitas disini tidak dapat juga dipandang sebagai hal negatif. Karena masih banyak juga perempuan maupun laki-laki yang membutuhkan fasilitas KRL seperti ibu hamil, ibu menyusui, penyandang disabilitas dan lansia.


Tanggapan laki-laki terhadap gerbong khusus

Ardiansyah (2015) sebagai pengguna KRL mengutarakan tanggapannya mengenai gerbong khusus di KRL bahwa Pemerintah telah menyediakan kereta dan gerbong khusus perempuan. Tujuannya adalah melindungi perempuan dari godaan dan gangguan laki-laki yang kadang suka colek-colek atau melakukan pelecehan seksual. Hal tersebut dianggap tidak relevan karena, tindakan tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Tidak semua laki-laki dalam gerbong reguler melakukan tindakan tersebut. Perempuan dapat melindungi diri sendiri dari para laki-laki. Perempuan itu kuat, mandiri dan cerdas dan yang paling penting, perempuan itu setara dengan laki-laki. Satukan perempuan dalam gerbong yang sama dengan laki-laki dan hal tersebut akan menghapus diskriminasi dikalangan laki-laki.

Dikutip dari liputan6 (2013), sekitar tahun 2013 sempat akan terjadi penghapusan gerbong khusus perempuan di KRL. Menteri BUMN, Dahlan Iskan pun mengaku tidak keberatan dengan adanya penghapusan KRL Rangkaian Khusus Wanita (RKW) yang dilakukan oleh PT. KAI (Persero). PT. KAI sendiri ingin mengembalikan hak penumpang kereta antara laki-laki dan perempuan. Karena selama ini dengan kereta khusus perempuan dinilai mengurangi tingkat efisiensi operasional perjalanan KRL. PT. KAI akan lebih berkonsentrasi pada hak penumpang yaitu keselamatan selama menggunakan moda transportasi KRL.


Seksisme atau kesetaraan gender

Kebanyakan orang-orang menganggap bahwa seksisme adalah bentuk diskriminasi laki-laki terhadap perempuan, atau suatu paham bahwa laki-laki lebih eksklusif daripada perempuan. Padahal, berdasarkan UNICEF, seksisme adalah sebuah bentuk diskriminasi yang muncul atas dasar perbedaan gender. Paham seksisme muncul dari adanya stereotipe-stereotipe tentang peran gender, dan memiliki anggapan bahwa gender tertentu lebih baik daripada gender lainnya. Sedangkan sexist adalah julukan untuk tindakan-tindakan yang mendiskriminasikan suatu gender. Jadi seksisme tidak hanya membicarakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tapi laki-laki juga bisa jadi korban seksisme. (Doob, 2013).

Adanya perspektif seksisme ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Sebelum kesetaraan gender ini terwujud dalam bentuk perilaku dan aturan yang adil gender, baik masyarakat maupun pemerintah harus terlebih dahulu memiliki perspektif gender yang setara dan terbebas dari pandangan-pandangan yang seksisme. Meskipun, menghapus pemikiran yang seksis dalam diri masyarakat bukanlah hal yang mudah mengingat sejak lahir kita sudah dibentuk dengan norma dan budaya yang cenderung patriarkis (Annisa, R, 2017).

Jika berbicara mengenai seksisme atau kesetaraan gender, mungkin harus dilihat juga konteks dan permasalahan apa yang akan timbul jika adanya gerbong khusus laki-laki. Masyarakat menggunakan kereta dengan berbagai tujuan, ada yang memang berpergian sendiri, ada juga yang bepergian bersama keluarga sehingga berangkatnya bersama dengan istri, anak, atau anggota keluarga lainnya yang berjenis kelamin wanita. Hal tersebut memang terkesan seksisme, tapi kesetaraan untuk tetap bepergian bersama keluarga utuh ataupun pasangan juga harus diperhatikan lagi. Jadi tidak hanya aspirasi perempuan saja yang ditampung oleh PT. KAI ataupun pemerintah, aspirasi laki-laki pun harusnya diterima agar tahu apa saja yang harus diperhatikan dalam pemberian fasilitas gerbong khusus maupun gerbong reguler di KRL commuter line.

Salah satu hal yang dianggap menjadi solusi pencegahan pelecehan dan kekerasan di transportasi umum adalah pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Namun, pada kenyataannya, kebijakan ini tidak luput dari adanya pro dan kontra. pemisahan gender di transportasi publik adalah solusi tapi sifatnya sementara. Di dalam mencapai kesetaraan perempuan dan laki-laki, ada terminologi temporary special measure atau tindakan khusus sementara, yang seolah-olah mengeksklusifkan perempuan, tapi tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi karena ada hal yang melatarbelakanginya. Bukan berarti laki-laki tidak menjadi dapat korban. Ada (laki-laki yang menjadi korban) tetapi persentasenya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan yang menjadi korban. Karena kondisi seperti itulah maka harus ada tindakan khusus untuk perempuan dan hal itu tidak dianggap sebagai diskriminasi. Keinginan laki-laki terkait adanya “gerbong pria” dapat dikatakan tindakan sexist. Tetapi pada kenyataannya tidak juga. Keinginan laki-laki dengan adanya “gerbong khusus laki-laki” adalah bentuk tuntutan kesetaraan hak agar memiliki hak yang sama dengan perempuan. Karena pada kenyataannya, saat ini perempuan lebih banyak mendapat hak dibandingkan laki-laki. Bahkan laki-laki sudah menerima didiskriminasi PT. KAI dengan tidak disediakan gerbong khusus laki-laki. Sementara perempuan, ketika sudah duduk di gerbong reguler, cenderung tidak mau memberikan kursinya kepada laki-laki yang membutuhkan seperti lansia atau orang dengan kebutuhan khusus. Christin (2017) menyebutkan bahkan ada yang beralasan bahwa “saya perempuan, saya lemah”.

Bentuk eksklusivitas yang disediakan oleh PT. KAI sudah seharusnya dimanfaatkan oleh para perempuan yang memakai fasilitas gerbong khusus perempuan. Walaupun jumlah gerbong khusus yang tersedia hanya dua disetiap kereta. Sudah seharusnya gerbong khusus perempuan tersebut ditambahkan jumlah rangkaiannya agar kepadatan di gerbong khusus perempuan dan gerbong reguler dapat teratasi. Laki-laki yang memakai fasilitas gerbong reguler dapat leluasa memakai fasilitas yang ada di gerbong reguler tanpa harus dibayang-bayangi “pelecehan seksual” terhadap perempuan yang sudah banyak terjadi di gerbong reguler. Hal tersebut bukan juga menjadi seksisme bagi laki-laki. Itu dilakukan agar baik laki-laki maupun perempuan aman dalam memakai fasilitas yang telah tersedia.

Dengan adanya gerbong khusus perempuan, para perempuan sudah sangat dieksklusifkan dan terhindar dari “nakal”nya laki-laki di gerbong reguler. Jika gerbong laki-laki diadakan, mungkin gap antara perempuan dan laki-laki akan semakin melebar. Interaksi-interaksi kecil didalam kereta mungkin akan hilang jika berpergian bersama dengan teman-teman atau bahkan dengan orangtua dan harus menggunakan gerbong yang berbeda atau bahkan kereta yang berbeda. Persamaan hak atau ketersediaan akses di KRL bagi perempuan maupun laki-laki harus seimbang. Bukan hanya pengistimewaan bagi perempuan dengan pemberian hak atau akses berlebihan yang ujung-ujungnya melahirkan bentuk diskriminasi atau pembatasan hak bagi kaum laki-laki. Hal tersebut malah dapat menjadi semacam usaha mewujudkan keadilan dengan menciptakan ketidakadilan baru.


Referensi

Annisa, R. 2017. Seksisme dan Tantangan Kesetaraan Gender. Diakases dari http://www.rifka-annisa.org/id/berita/blog/item/519-seksisme-dan-tantangan-kesetaraan-gender, pada tanggal 11 oktober 2018.

Ardiansyah, A. S. 2015. Kereta Gerbong Khusus Perempuan Sebuah Tamparan Bagi Feminis. Diakses dari https://www.kompasiana.com/ariefsofyanardiansyah/5529abca6ea834024e552cfd/kereta-gerbong-khusus-perempuan-sebuah-tamparan-bagi-feminis, pada tanggal 27 September 2018.

Christin, L. H. 2018. Kesetaraan Gender di Atas Rel. Jurnal Studi Kultural Vol. 3(2): 75-79.

Doob, Christopher B. 2013. Social Inequality and Social Stratification in US Society. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

Kirnandita, P. 2017. Dilema Gerbong Khusus Perempuan. Diakses dari https://tirto.id/dilema-gerbong-khusus-perempuan-coXw, pada tanggal 27 September 2018.

Kurniawan, T. 2010. Gerbong KRL Perembuan Lahir dari Keluhan. Diakses dari https://news.okezone.com/read/2010/08/19/338/364367/gerbong-krl-perempuan-lahir-dari-keluhan, pada tanggal 27 September 2018.

Liputan6. 2013. Dahlan Iskan Tak Keberatan Gerbong Kereta wanita Ditiadakan. Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/586263/dahlan-iskan-tak-keberatan-gerbong-kereta-wanita-ditiadakan, pada tanggal 27 September 2018.

Rahmawati, L. 2013. Penumpang Pria dan Wanita di KRL Commuter Line Sama Egoisnya. Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/06/07170031/Penumpang.Pria.dan.Wanita.di.KRL.Commuter.Line.Sama.Egoistisnya, pada tanggal 27 September 2018.

Salamduajari. 2012. Kereta Khusus Perempuan yang Lebay. Diakses dari https://salamduajari.com/2012/12/18/kereta-khusus-perempuan-yang-lebay/, pada tanggal 27 September 2018.

UNICEF. 2017. It’s About Us : Gender and Sexist. Diakses dari http://www.unicef.ie/wp-content/themes/iboot-child/micro-sites/itsaboutus/cards/unicef-itsaboutus-gender-sexism.pdf , pada tanggal 27 September 2018.

Kommentarer


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page