top of page

Halim Al Kautsar: Jalan Terjal Menjadi Penyiar

Updated: Dec 9, 2018

Mega Putri

Nabila Yudiawati Hanun





Jika hanya meneropong dari jauh rasanya sulit memahami jalan hidup seorang penyiar. Ahmad Halim Al-Kautsar Santosa atau yang kerap di sapa Halim, namanya tidak pernah muncul di koran, apalagi di TV, namun bagi pendengar setia salah satu stasiun radio swasta (medari FM), anda pasti pernah mendengarnya.

Hari Rabu, 21 November 2018, kami bertemu dengan sosok Halim. Pukul 15.00 Halim datang menggunkan motor mio merahnya. Seperti biasa, ia masuk dengan canggung dan berusaha melucu. Tubuhnya gempal dan rambutnya klimis, ia merupakan tipe laki laki meteroseksual, penampilan nomor satu, meskipun dari luar kelihatanya tidak seperti itu. Ia menggunakan celana dan jaket jeans andalannya. Entah sudah keberapakali dalam seminggu, jaket itu ia gunakan. Tidak ada yang spesial dari Halim dalam sekali pandang, namun mengenalnya secara personal (terutama Nabila) membuat kami memutuskan untuk mengangkatnya dalam tulisan.

Namaku Halim...

Halim merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ia lahir pada tanggal 12 April 1998. Saat ini ia sedang berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional (UPN). Sebelumnya ia bersekolah di Sekolah Menengah Akhir yang sama dengan penulis dan memiliki angkatan yang sama dengan salah satu dari kami (nabila).

Rekam jejak kepenulisannya ia mulai sejak belia. Ia banyak dan aktif mengikuti kegiatan jurnalisme, sejak SMP ia tergabung dengan karya ilmiah remaja (KIR). Minatnya kemudian berlanjut ke klub jurnalis di SMA dengan mengikuti ekstrakulikuler jurnalisme sekolah. Ia juga termasuk di dalam komunitas KACA yang merupakan grup rubik remaja untuk koran kedaulatan rakyat. Saat inipun ia juga menjabat sebagai pimpinan umum Persma di UPN.

Berbicara mengenai dunia jurnalisme, tentu membutuhkan energi yang cukup untuk melakukan serangkaian prosesi jurnalisme seperti meliput, merangkum, menulis untuk menghasilkan sebuah tulisan. Energi yang dikeluarkan untuk dunia jurnalisme membentuk perawakannya tidak terlalu tinggi dan berisi. Pertama kali melihatnya kesan yang di dapatkan adalah preman, anak urakan, maupun cap macho (maskulin) lainnya. Namun sebenarnya bila mengenalnya lebih dekat, dia adalah pribadi yang feminin, meskipun ia sering menyangkalnya. Halim bukanlah pribadi yang tertutup. Ia senang bicara, mengobrol, dan membuat lelucon.

“Dari kecil aku memang orang yang suka ngomong. Apa apa dikomentarin, sampe-sampe sendal polkadot papahku aku omongin juga. Melihat aku yang suka ngomong kayak gini, kan sayang ya kalau nggak dimanfaatkan.” Tuturnya.

Melihat bakat dan potensi ini ia pergunakan untuk hal hal yang lebih positif dan menyenangkan, salah satunya menjadi MC di berbagai acara. Hal yang perlu disoroti dari menjadi MC di berbagai acara merupakan langkah pertamanya dalam menapaki dunia radio.

... awalnya aku nggak pernah kepikiran untuk jadi penyiar...

Halim menyukai berbicara di depan umum, maka dari itu ia melihat MC sebagai chancenya dalam unjuk diri. Berkali-kali membawa acara di SMA dalam skala kecil membuatnya memiliki relasi dari alumni, salah satu Etha Saragih atau yang kerap kami sapa Mbak Etha, yang saat itu merupakan penyiar di Radio Q. Ia menyarankan Halim untuk mengikuti berbagai lomba penyiaran karena melihat potensi Halim dalam membawakan acara radio. Hal ini sekaligus untuk menambah pengalaman dan jam terbang sebelum Halim benar-benar meluncur di dunia radio dan tentunya masih banyak benefit lainnya.

Ia berkata ada sekitar 3 sampai 4 lomba siaran yang di adakan tiap tahun di Jogja, dan ia selalu mengikuti semuanya. Dalam tiga tahun selama masa SMA, sudah ada sekitar 10 lomba yang ia coba. Sayang semuanya berakhir kegagalan.

“ Setiap aku mau ikut lomba tuh ya, pasti temen temen sekelas pada ngejekin kayak misalnya: ah, paling cuma pengen bolos, paling nggak menang lagi, dan sebagainya. Sakit sih... tapi mungkin itu yang membuat aku bangkit ya.”

Ia kembali bercerita mengenai pengalaman paling pahitnya dalam mengikuti lomba. Saat itu ia mengikuti lomba penyiaran di salah satu universitas swasta bersama salah satu teman yang juga berasal dari sekolah yang sama. Halim dan temannya tersebut memperoleh peringkat 3 besar. Saat itu Halim jauh lebih percaya diri untuk memenangkan kompetisi tersebut karena persiapan dan pengalamannya jauh lebih matang di bandingkan temannya. Sayang, kompetisi penyiar tersebut dimenangkan oleh teman Halim. Ia berkata bahwa hal yang membuatnya kalah adalah karena faktor fisiknya. Lomba tersebut mencari ambassador untuk radionya, bukan hanya murni penyiar radio.

“ Ada banyak hujatan dari temen temen habis itu. Si A jauh lebih sedikit ilmunya tapi kok menang? Aku juga sempat down sih.”

Meskipun begitu Halim tidak menyerah, ia tetap mengikuti berbagai lomba lagi sampai lulus SMA. Sayangnya, ia memutuskan berhenti untuk terus mengikuti lomba setelah memasuki dunia kuliah.

Ia kemudian memutuskan untuk langsung melamar pekerjaan sebagai penyiar di berbagai radio. Beberapa di antaranya: RRI, Swaragama, Unisi, dan Radio Q. Nasib baik tidak datang semudah datangnya mentari dipagi hari, begitu pula dengan Halim, ia gagal dalam lamaran pekerjaannya. Mbak Etha kemudian menyarankan Halim untuk mengikuti salah satu open recruitment di salah satu radio streaming kecil yaitu Radio Kupang. Dari sanalah, jejak dunia penyiaran berhasil ia bangun.

Radio Kupang merupakan radio yang melakukan perekaman di Jogja dan kemudian menyiarkan di Jogja. Halim berkata, radio tersebut memang kecil, namun suasana kerja dan pendengar radionya kondusif sehingga Halim merasa nyaman bekerja. Ia berkata dari sanalah ia banyak belajar cara menjadi penyiar yang baik dan benar.

Selama hampir satu tahun menjadi penyiar, ia merasa perlu mengupgrade diri. Ia kemudian mencoba peruntungan dengan mendaftarkan diri ke salah satu radio swasta yang mengudara di Yogyakarta, yaitu Medari FM. Ia kemudian diterima untuk magang dan mengundurkan diri dari radio Kupang. Namun harus berkompetisi lagi selama 3 bulan dengan orang yang juga magang di tempat tersebut agar menjadi penyiar tetap.

Selama tiga bulan, ia cukup percaya diri untuk di terima sebagai penyiar tetap. Namun hal yang membuatnya sedih adalah selama proses tersebut ia tidak mendapatkan gaji.

“ Ya gimana sih ya... bolak-balik Rumah-Radio-UPN itukan pake bensin, terus abis itu nggak dibayar pula. Aku cukup tekor sih. Untung aja keterima.”

Halim merasa bahwa pengorbanannya tidak sia sia. Ia mendapatkan lebih banyak pekerjaan MC dengan skala yang lebih besar. Sampai saat ini ia masih menjadi penyiar radio di Medari FM.

“ Aku masih menunggu supaya punya acara (siaran) sendiri.”

... sekarang aku jadi penyiar, tapi nggak mudah jadi penyiar...

Selama menjadi penyiar, Halim memiliki banyak sekali kejadian kejadian yang membuatnya bahagia sampai geleng geleng kepala. Tentunya berbeda antara ketika menjadi MC dan menjadi penyiar.

Kejadian terburuk ketika menjadi MC promnight masa SMA. Tentunya menjadi salah satu tokoh yang banyak di bully oleh orang-orang satu sekolah membuatnya di olok olok di depan panggung. Salah satunya ketika ada yang meneriakkan resletingnya turun, dan Halim menengok ke arah resletingnya sehingga ia makin di hujat.

Sedangkan kejadian terburuk ketika menjadi penyiar adalah ketika ia di evaluasi oleh teman seprofesinya tanpa memiliki kesempatan untuk membela diri.

“ Ya, memang untuk radio skala besar aku belum selancar jaya temen temen penyiar lainnya. Cuma waktu itu rasanya kayak dipojokkan tanpa bisa berkata apa-apa.”

Sedangkan kejadian membahagiakannya sebagai MC ketika penonton tertawa mendengar guyonannya. Dan ketika menjadi penyiar, ada pesan dari pendengar yang menyemangatinya.

Menjadi penyiar dan MC tentunya memiliki keistimewaan yang berbeda. Menjadi MC bisa dekat dengan penonton, sehingga Halim menganggap hal tersebut seperti menjual diri atau personalitinya kepada orang sebagai investasi masa mendatang. Sedangkan menjadi penyiar menyenangkan ketika ia butuh waktu sendiri untuk bicara namun tidak perlu melihat siapa penonton yang mendengarkannya, jadi seperti memiliki privasi.

Ia berpesan kepada orang yang ingin menjadi penyiar, salah satu kuncinya adalah tidak menyerah. Ia harus pintar mengatur waktu membagi antara kerja-kuliah-rumah dan kalau ada, organisasi.

“ Kalau mau berusaha, pasti ada jalan.”

Comentarios


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page