top of page

Identitas Kampung Badran:dari Kampung Gali, Kampung Ramah Anak, Hingga Wacana Kampung Sadar Bencana

Updated: Jul 3, 2019

Sekar F Zahra, Danielle Anastasia, V Tasha Florika.

Kampung Badran merupakan salah satu kawasan pemukiman yang terletak di sisi barat Kota Yogyakarta, tepatnya di Kelurahan Bumijo, Kecamatan Tegalrejo. Sejarah singkatnya, Kampung Badran merupakan bekas BONG (Pemakaman Tionghoa). Namun pada akhirnya dibongkar dan di pindahkan. Tetapi, tidak seutuhnya dipindahkan, dikarenakan ada beberapa pemakaman yang masih ada. Maka, kemudian dibangunlah Krematorium Wahana Mulia Badran. Selain dengan pemakaman Tionghoanya, ada pula yang menyebutkan bahwa Badran merupakan tempat untuk melakukan meditasi atau melakukan tirakat. Namun, jika kita melihat konstruksi media yang ada, Kampung Badran lebih dikenal dengan stigmanya, seperti “Kampung Preman” yang di dalamnya dikenal dengan reputasinya memiliki preman desa (Trajuningsih,2015) yang juga lebih akrab dengan sebutan “Kampung Gali” karena ditunjukkan dengan kondisi sosial masyarakat yang negatif, mulai dari anak jalanan, preman, dll.


Melalui stigma ini, menyebabkan masyarakat sekitar Kampung Badran membuat beberapa gerakan atau perubahan untuk menghapus stigma yang didapat dari lingkungan luar. Salah satunya menurut media, terdapat "Forum Kampung Ramah Anak Badran”. Mereka melakukan beragam kegiatan seperti kampanye kampung sehat, pemberdayaan potensi anak dengan olahraga tenis, hingga kolam renang untuk masyarakat sekitar kampung Badran (Jogja, 2017). Kampung ramah anak ini, merupakan perwujudan kebijakan KLA ditingkat kelurahan, sehingga dalam prakteknya di masyarakat lebih terkenal dengan sebutan kampung ramah anak (KRA), yang mana merupakan pembangunan kelurahan yang menyatukan komitmen dan sumberdaya pemerintah kelurahan dengan melibatkan masyarakat, dunia usaha dalam rangka mempromosikan, melindungi, memenuhi dan menghargai hak-hak anak yang direncanakan secara sadar dan berkelanjutan menurut peraturan Meneg. PPPA No 14 Tahun 2010 (Wahyuningsih, 2019). Tapi, tak berhenti disitu, Kampung Badran juga memiliki kebanggaan tersendiri, salah satunya dengan kesadarannya terhadap bencana melalui adanya program tanggap bencana oleh Bokomi yang waktu itu pertama kali diselenggarakan di Badran, sehingga ada wacana baru untuk menamakan Kampung Badran bukan lagi Kampung Gali atau Kampung Ramah Anak (KRA), tetapi “Kampung Sadar Bencana”.



Badran dalam Kacamata Lain

Untuk mengenal Kampung Badran dari sisi yang lain secara mendalam, kami menemui seorang bapak bernama Noorhadi yang sudah lama tinggal di Badran dan banyak bergelut membangun Kampung dan mengembangkan warga Kampung Badran. Begitu tinggal di Kampung Badran dua tahun kemudian di tahun 1981, Noorhadi diamanahkan menjadi ketua pemuda yang membuatnya berkecimpung dan aktif dalam kegiatan kampung hingga diamanahkan menjadi ketua RT dan RW Kampung Badran yang kemudian mendapatkan penghargaan “best practice kampung paling bagus se-kota Yogya”. Tak hanya aktif di kampung, Noorhadi juga aktif dalam dunia akademis,salah satunya dengan menjadi seorang dosen Geografi di Universitas Gadjah Mada. Selain sosok Noorhadi, kami juga menemui seseorang bernama Ikaputra yang menjadi inisiator dan terlibat aktif dalam program tanggap bencana alam (Bokomi) dan terjun langsung di Kampung Badran. Sosoknya, cukup akrab dengan Noorhadi. Pasalnya, selain sama-sama menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada, program tanggap bencana itu melibatkannya bersama tim dengan warga kampung Badran yang saat itu sedang diketuai oleh Noorhadi. Terakhir, selain Noorhadi dan Ikaputra, kami menghubungi seorang warga Jogja yang tak tinggal di Kampung Badran bernama Kanthong, yang memiliki impresi sebagai orang luar terhadap kehidupan Kampung Badran di zamannya.


Kampung Badran sebagai “Kampung Gali”

Sebagai warga yang sudah cukup lama tinggal, Noorhadi banyak menuturkan kisahnya mengenai pengalaman hidup selama tinggal di Kampung Badran. Saat ditanya mengenai sejarahnya, Kampung Badran dahulu adalah bentuk representasi dari struktur masyarakat kota, di mana masyarakat tumbuh berdasarkan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Bintarto (dalam Setiawan,2018) , bahwa urbanisasi merupakan gejala geografis yang dapat dipandang sebagai proses pembentukan kota. Peningkatan laju urbanisasi dapat menimbulkan dampak yang bersifat membangun (konstruktif) maupun merusak (destruktif).


Badran sendiri merupakan kampung yang diapit oleh rel kereta, bong/pemakaman, dan sungai, sehingga menurut Noorhadi, kampung Badran merupakan areal pemukiman kota yang sangat rawan karena ketika pemukiman berada di areal dekat rel kereta, maka kriminalitas dan berbagai tindakan asusila akan sangat terbuka lebar. Dan ketika pemukiman dekat dengan sungai, maka membentuk pemukiman yang disebutnya sebagai slum area yang membuat kawasan kumuh dan semakin membuat Kampung Badran menjadi sangat rawan terhadap bentuk-bentuk kriminalitas dan bencana sosial. Dari kerawanan inilah, maka tak heran, jika kemudian Kampung Badran sangat dikenal dengan identitas “kampung gali”nya, yang di dalamnya dipenuhi oleh anak-anak nakal dengan tindakan asusila seperti perjudian, pencopetan, hingga pelacuran. Ditambah pula, dengan areal yang berdekatan dengan bong atau pemukiman Tionghoa yang sangat luas yang turut dipenuhi oleh para tuna wisma atau gelandangan.


Memori terhadap identitas kampung gali di masa itu yakni tahun 78 an ketika Noorhadi tinggal, Kampung Badran adalah kampung hitam kelam seluruh DIY. Ia menceritakan bagaimana kriminalitas itu ada, salah satunya palang kereta yang diganjal oleh para gali untuk memudahkan mereka naik ke atas kereta dan mencopet tas-tas para penumpang di dalamnya. Kehidupan gali tersebut, juga diimpresikan oleh Kanthong, yang bercerita bahwa Kampung Badran masa itu dikenal sebagai kampung gali yang lengkap dengan kehidupan judi, mabuk, prostitusi, maling dll, “seabgreg kehidupan negatif ada di sana,” ujar beliau. Para gali Badran ini menjadi "penguasa penuh" lingkungan Malioboro. Mereka jugalah yang mengendalikan bisnis perjudian dan prostitusi di wilayah Pasar Kembang, hingga membuat lahan prostitusi sendiri dengan membuat rumah-rumah kecil di pinggir stasiun karena pemakaman yang sudah digusur. Dari situ, para gali mengurus wanita tuna susila yang dahulunya juga tinggal di kuburan Tionghoa, hingga rumah-rumah yang dijadikan tempat pelacuran itu, bahkan, dikatakan lebih besar dibandingkan dengan Pasar Kembang.


Namun jika berbicara tentang gali di Badran, kita tak lepas dengan sosok yang sangat terkenal pada tahun 1970-an. Ialah Gun Jack, pesohor di kampung Badran,yang kala itu menjadi “mbahnya gali Mbadran” yang disegani di Mbadran dan seantero Jogja. Ia memiliki pengaruh yang kuat atas kriminalitas, dan disegani oleh TNI serta polisi karena Ia dulunya merupakan Anggota BIN. Ia kemudian mengorganisir para gali yang ada di Badran, salah satunya untuk mencopet dan hasilnya dipakai untuk membangun masjid. Rudi, teman Gun Jack (dikutip dari Tempo), mengatakan alasan mengapa preman-preman segan padanya, karena hubungan baik dengan orang-orang berpengaruh dan merangkul orang-orang yang tersisihkan karena latar belakang dunia hitam. Gun menyebutnya dengan kaum marginal, yang mana ia berteman dengan kaum marginal (Jogja, 2017).


Di tahun 1984 era Soeharto, Noorhadi mengatakan bahwa ada pembersihan gali di kampung yang disingkat dengan OPK. Para dedengkot yang ada di kampung, puluhan di tembak mati, sehingga menyisakan gali-gali yang pada akhirnya mau tak mau memilih untuk hidup lebih aman dengan bekerja di perusahaan bis yang ada di Jogja salah satunya kobutri dan kopata sebagai satpam. Dari situlah, kemudian Kampung Badran menjadi lebih aman dan nyaman karena perusuh tidak lg ada yang berani. Orang kampung yang semakin terhimpit perekonomiannya, juga pada akhirnya menjual rumah-rumahnya kepada para pendatang. Sehingga kini Kampung Badran mulai banyak dihuni oleh para pendatang baru seperti Noorhadi sendiri. Begitu Ia diamanahkan menjadi ketua RT hingga RW di Kampung Badran, Ia mencoba mengubah Badran agar seperti kampung yang lain.Salah satunya dengan membeli tanah, lalu mendirikan masjid tahun 2007 di atasnya. Ia meminta para warga kampung, termasuk gali sendiri, untuk lebih sering pergi ke masjid hingga para gali sendiri merasa segan. Sehingga, kini kehidupan Badran jauh lebih baik, bahkan tutur Noorhadi menjadi lebih religius meski sebelumnya “masjid itu nggak laku.. bahkan juga nggak ada yang puasa”.


Terkait perkembangan Kampung Badran sekarang, Kanthong juga memaparkan bahwa di era sekarang ini, dengan perkembangan ekonomi, teknologi dan efek pariwisata, memang Mbadran masih ada. Namun tidak “segarang” dulu. Dengan kebijakan penataan perkotaan, Mbadran juga berbenah mengikuti jamannya. Meski kehidupan mabuk, judi dan prostitusi masih ada, namun dikemas lebih rapi dan modern penampilannya. Apalagi dengan perkembangan pariwisata saat ini, banyak tumbuh hotel-hotel berwajah modern.


Kampung Badran sebagai Kampung Ramah Anak

Jika identitas “kampung gali” sangat melekat pada Kampung Badran karena fakta sosial yang ada, identitas “kampung ramah anak” menurut Noorhadi agaknya cukup membingungkan. Sebutan itu, muncul dan kurang berarti karena disematkan begitu saja oleh pemerintah DIY yang bermula dari Kebijakan KLA di Yogyakarta. Menurut Rusmiyati (2018), kebijakan tersebut dilaksanakan sejak tahun 2009 di Badran Kelurahan Bumijo sebagai bentuk ujicoba. Kemudian, pelaksanaan dalam perkembangannya dari Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP), bekerjasama dengan Gugus Tugas KLA yang aktif melakukan pendampingan.


Dari kebijakan tersebut, konstruksi media turut mewarnai dan me-romantisir sebutan tersebut yang menurut Noorhadi membuatnya menjadi identitas tanpa kompromi bersama warga. Meskipun bernilai positif, seperti tersedianya ruang terbuka hijau yang memungkinkan untuk arena bermain anak, menurutnya, identitas atau pelabelan tersebut hanya menyediakan ruang secara fisik yang tidak membuat program-program secara sosial. Sehingga, pelabelan tersebut menurutnya terkesan kurang mengena kepada warga, karena tanpa identitas tersebut, Kampung Badran meski dulunya lekat dengan sebutan kampung gali, sudah sangat ramah anak dengan iklim atau kondisinya yang dirasa aman dan nyaman.


Branding pemerintah salah satunya Kampung Ramah Anak atau RKA tersebut, menurutnya tidak mencerminkan yang ada di kampung. Bahkan, tidak ada manfaat dan efek di kampung, seperti halnya jam belajar masyarakat yang dinilai kurag efektif. Label "ramah anak" tersebut hanya dinilai dengan menyalurkan hobi dan aktifitas kepada anak, salah satunya melalui ruang terbuka. Tetapi, kampung-kampung lain yang tidak tersedia fasilitas, tidak bisa mencerminkan branding itu sendiri. Banyak branding kampung yang dibuat oleh pemerintah kota tanpa mengetahui potensi atau tanpa melihat pengamalan di kampung. Hanya sebatas “plang yang ditulisi”, yang menurut Noorhadi sebelum diberi label, Kampung Badran terasa sama saja. Label tersebut tidak ada kaitannya dengan program di kampung, hanya memberi tanpa sosialisasi. Tambahnya, kampung yang tidak dilabeli, mungkin akan lebih bagus.


Kampung Badran dan Wacana Identitas “Kampung Sadar Bencana”

Wacana identitas baru ini, muncul dari pernyataan Noorhadi saat kami mewawancarai di kediamannya. Jika ditanya mengapa, alasannya, pelabelan ini dirasa lebih konkret dibandingkan dengan penyematan pemerintah yakni kampung ramah anak, dikarenakan terdapat program t bencana alam, yang saat itu turut mempopulerkan nama Kampung Badran. Noorhadi mengatakan,“Ketika kampung sudah bagus dan berbenah, lalu masuklah program tanggap bencana.” Program tanggap bencana ini, bermula dari Boshai Community atau Bokomi dari Jepang yang juga akrab dengan kepanjangan “Basis Organisasi Kesiagaan Komunitas” (Tribun Jogja), yang saat itu dibentuk sebagai simbol bagi masyarakat untuk selalu siaga menghadapi gempa, yang pada awalnya terjadi di Kobe tahun 1995 dan merenggut banyak korban jiwa (Tempo.co). Kesadaran untuk membuat program tanggap bencana itu muncul, dan diadakanlah program tersebut di Indonesia, yang salah satunya diadakan di Kampung Badran yang menjadikan Kampung Badran sebagai anggota Bokomi 192 (Tribun Jogja).


Saat ditanya soal Bokomi, Ikaputra yang menjadi inisiator, mengatakan bahwa "Kampung Badran merupakan kampung padat penduduk yang dinilai sangat pas untuk diadakan program semacam ini. Noorhadi sendiri, menjadi penghubung saat awal menentukan kampung yg relevan untuk mengintroduksikan program. Kerawanan dalam kondisi pemukiman terhadap bencana ini, menjadi isu generik yg terkait dengan isu bencana kebakaran. Semenjak program itu diadakan di RW IX Kampung Badran, program tersebut berkembang baik hingga saat ini, yang kemudian menularkan kampung-kampung yang lain untuk siaga terhadap bencana."


Ikaputra menambahkan, Kampung Badran masih tetap eksis dengan kesadarannya terhadap bencana. Seperti adanya 15 tim kebakaran, yang masing-masing memiliki semangat dengan setiap minggu ke-3nya mengadakan latihan dan tanggal 17 Agustus melaksanakan simulasi pemadam kebakaran menggunakan alat Bokomi. Tim ini menjadi merasa memiliki “bokomi” itu sendiri, yang pada akhirnya menjadi kunci utama mengapa kampung cukup handal untuk menyiagakan bencana. Menurut Ikaputra, pantas ketika seorang Noorhadi membanggakan program itu hingga ingin melabeli kampungnya sebagai “kampung sadar bencana” tidak dengan label Kampung Ramah Anak dikarenakan prosesnya yang bersifat top-down sehingga kurang menuntut warga untuk kreatif. Sementara program bokomi yang ada, bersifat bottom-up, bahkan dari hati ke hati. “Program ini, menumbukan Seed, yakni benih kreatif yang membawa tipe angin yang ditumbuhkan di Badran. Kemudian, menyiram program yakni water oleh pelaksana seperti Ikaputra. Lalu, diperkuat oleh tanahnya yakni soil dr komunitas warga seperti Noorhadi. Tiga unsur ini penting, sehingga program bisa terus menjadi hal yang suistainable.” tutur Ikaputra.


Meski belum seluruh RW program ini diadakan, Noorhadi berharap untuk memperluasnya dan menyiapkan semua RW terhadap program tersebut. Sehingga tuturnya, “saat semua sudah siap, baru saya launching “Kampung Sadar Bencana” ”. Dirinya yang kini menjabat menjadi ketua kampung, mengatakan bahwa sedang menyusun perencanaan. Dirinya akan membuat label tersebut menjadi dua program, yakni bencana alam dan bencana sosial seperti misalkan kemiskinan dengan membuat bumdes. Paparnya, karena ketua kampung baru dibentuk akhir tahun 2018, maka tahun 2020 baru bisa dikoordinir oleh ketua kampung. Sehingga kemungkinan menurut Noorhadi, label itu baru bisa dilaunching tahun 2020.



Daftar Pustaka

1. Jogja, W. (2017, December 16). Kampung Badran: Dari Kampung Preman Menjadi

Kampung Ramah Anak. Retrieved from WargaJogja:

http://wargajogja.net/komunitas/kampung-badran-dari-kampung-premanmenjadi-

kampung-ramah-anak.html

2. Septiawan, L., & Su Ritohardoyo, S. R. (2018). Karakteristik Perkembangan Kualitas

Permukiman Kampung Badran dan Jogoyudan Sebagai Kampung Ramah

Anak. Jurnal Bumi Indonesia, 7(1).

3. Wahyuningsih, U. (2019, April 29). KAMPANYE PROGRAM KAMPUNG RAMAH

ANAK DALAM MEWUJUDKAN KOTA LAYAK ANAK DI YOGYAKARTA .

Thesis (Skripsi).

4. Tempo.co, 2015. Bokomi, Satu Hal ini yang cuma ada di Jepang dan Indonesia. https://nasional.tempo.co/read/644230/bokomi-satu-hal-ini-yang-cuma-ada-di-jepang-dan-indonesia

5. Iwe, 2011. Kampung Badran Yogya Jadi Anggota Bokomi ke- 192. http://jogja.tribunnews.com/2011/12/08/kampung-badran-yogya-jadi-anggota-bokomi-ke-192

6. TRAJUNINGSIH, T. D. (2015). PERUBAHAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN MODAL SOSIAL (STUDI KASUS KAMPUNG BADRAN RW 11 KELURAHAN BUMIJO, KECAMATAN JETIS YOGYAKARTA) (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS SEBELAS MARET). 7. Rusmiyati, C., & Hikmawati, E. (2018). Implementasi Program Kampung Ramah Anak: dari Kampung Hitam Menuju Layak Anak. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 17(2), 165-178.

76 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page