top of page

Jalan Kota dan Go-Food: Relasi Konsumen dan Infrastruktur

oleh Mega Putri – Mahasiswa Antropologi Budaya UGM (17/409948/SA/18715)


Negara Indonesia memiliki berbagai potensi penunjang pertumbuhan ekonomi. Selain faktor melimpahnya sumber daya alam, kestabilan politik, dan kepastian regulasi, faktor sumber daya manusia menjadi salah satu indikator yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut. Sumber daya manusia yang berkualitas menjadi entitas yang sangat berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kadar kualitas sumber daya manusia pada dasarnya ditentukan dari pendidikan –pendidikan moral maupun pendidikan akademis- dan pengalaman yang diterima oleh penduduk Indonesia pada setiap tahap usianya. Berbicara mengenai pendidikan, perguruan tinggi dianggap sebagai gerbang utama pembentukan pola pikir dan cara pandang baru. Sehingga perguruan tinggi menjadi sebuah entitas yang bersifat prestisius dimana seseorang perlu mencapai tahap pendidikan tersebut. Menurut BPS tahun 2017, sekitar 6.924.511 dari 260 juta penduduk Indonesia menyandang status sebagai mahasiswa (Badan Pusat Statistik, 2017). Artinya satu dari 37 penduduk Indonesia merupakan pelajar tingkat akhir. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dijuluki sebagai kota pelajar memiliki 372.478 mahasiswa terdaftar atau setidaknya Jogjakarta menyumbang angka 5,4% jumlah mahasiswa dari keseluruhan jumlah nasional. (Siswoyo, 2007) Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi.


Sebagai mahasiswa belajar dan berdiskusi bukanlah hal yang asing, sudah menjadi rutinitas umum ketika mahasiswa disibukkan oleh tugas dan berbagai diskusi. Disamping belajar dan berdiskusi, kegiatan non akademis menjadi pilihan utama atau pilihan alternatif bagi mahasiswa untuk memperkaya pengalamannya di dunia kampus. Kegiatan akademis maupun non akademis yang berada di dunia perkuliahan menjadikan mahasiswa memiliki jadwal yang padat. Aktifitas yang padat tersebut mengidentifikasikan bahwa mahasiswa memiliki kesibukan yang cenderung lebih kompleks daripada orang seusianya. Padatnya jadwal mahasiswa secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada pola makan dan pola perilaku konsumsi. (Abraham Maslow, 2016) mengemukakan mengenai teori hieraki kebutuhan yang terdiri dari lima tingkat kebutuhan. Tingkat fisiologis merupakan tingkat kebutuhan yang paling bawah. Ciri dari tingkat fisiologis yaitu terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik seperti kebutuhan akan udara, makanan, minuman dan sebagainya. Kebutuhan ini jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrem bisa menyebabkan manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Tingkat selanjutnya yaitu tingkat kedua hingga tingkat kelima antara lain kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk dihargai dan terakhir yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri.


Makan dan konsusmsi menjadi hal yang berpengaruh bagi aktifitas manusia –khususnya mahasiswa- karena merupakan basic need yang perlu dipenuhi. Disamping padatnya jadwal mahasiswa akan aktifitasnya, mahasiswa pun perlu memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu makan. Dua kebutuhan yang saling berkaitan membentuk sebuah konsepsi yang mengharuskan akan adanya pelayanan yang cepat. Keadaan ini yang kerap mendorong mahasiswa untuk mencari pelayanan yang instan dan efisien, tidak terkecuali pada aspek konsumsi. Keinginan dan tuntutan agar memiliki gerak dan pemikiran secara cepat, instan dan efisien sejalan dengan layanan online food delivery. Telah menjadi rahasia bersama jika layanan ini - online food delivery - merupakan layanan yang banyak digemari masyarakat baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Berdasarkan laporan survei asosiasi restouran - Restaurant Association survey - tahun 2008 menyatakan bahwa 57 persen masyarakat akan menggunakan layanan pesan antar makanan ke rumah atau tempat kantor mereka jika banyak restoran menawarkan layanan tersebut (Zety e.l. Journal of Modern Education Review, September 2016).


“Based on Restaurant Association survey in year 2008, 57 percent of people being surveyed said that they would use delivery services to their homes or offices if more restaurants offered it”.


Go - Food merupakan salah satu brand layanan online food delivery yang populer di Indonesia dan dinilai sebagai solusi atas masalah efisiensi waktu dalam memperoleh makanan. Sejak bulan Januari 2015 sampai bulan April 2016, makanan Go - Food telah diorder lebih dari 15 juta kali. Saat ini Go - Food telah memiliki lebih dari 100.000 mitra di seluruh Indonesia, mulai dari restoran kelas atas sampai penjual makanan rumah tangga yang hanya menjual makanannya via platform online. Kemudahan dalam mendapatkan makanan tersebut lebih kurang berpengaruh pada perilaku konsumsi mahasiswa. . Perilaku konsumsi mahasiswa yang dimaksud yaitu intensitas makan dan cara mendapatkan makanan.


Go - Food sebagai cabang layanan dari Go-Jek menjadi primadona bagi orang yang memiliki kecenderungan praktis dalam membeli makanan. Berbekal smartphone dan akses internet orang dapat dengan mudah mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Konsumen –dalam hal ini mahasiswa UGM- yang memanfaatkan layanan Go - Food bukanlah seseorang yang random namun mahasiswa yang memiliki klasifikasi tertentu baik dari segi umur maupun segi penguasaan sumber daya. Berbicara mengenai mahasiswa tentu berbicara mengenai kelompok umur atau generasi. Menurut Manheim dalam (Ryder, 1965) generasi adalah suatu konstruksi sosial dimana didalamnya terdapat sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis. Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Manheim (1952) bahwa individu yang menjadi bagian dari satu generasi, adalah mereka yang memiliki kesamaan tahun lahir dalam rentang waktu 20 tahun dan berada dalam dimensi sosial dan dimensi sejarah yang sama. Tak jauh berbeda juga definisi yang dikembangkan oleh oleh Ryder (1965) yang mengatakan bahwa generasi adalah agregat dari sekelompok individu yang mengalami peristiwa – peristiwa atau masa-masa yang sama dalam kurun waktu yang sama pula.


Martin & Tulgan (2002) dalam (Mannheim, 1952) mengemukakan tipe-tipe generasi diantaranya Silent Generation (1925-1942), Baby Boomers (1946-1964), Generation X (1965-1977), Millenials (1978-2000). Pada tipe generasi diatas, mahasiswa UGM masuk dalam tipe generasi Millenials (1978-2000). Mereka termasuk generasi yang menjadi tokoh utama perkembangan dan pengguna teknologi modern. Mereka menyukai hal-hal yang praktis, cepat, dan instan. Argumen ini didukung oleh pertanyaan Lyons (2004) dalam Theoritical Review : Teori Perbedaan Generasi yang menyatakan bahwa Generasi Y dikenal dengan sebutan generasi millenial atau millennium ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter, dengan kata lain generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming. Lebih lanjut Lyons (2004) juga mengungkapkan ciri -ciri dari generasi millennial diantaranya masing-masing individu memiliki berbeda yang sangat signifikan, hal tersebut tergantung dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya, pola komunikasinya sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya, memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan.


Klasifikasi konsumen layanan Go Food selanjutnya didasarkan atas penguasaan sumber daya –kekayaan- yang memiliki peran sebagai alat pemenuhan keinginan seseorang. Berdasarkan penelitian lapangan etnografi menunjukkan fakta bahwa sebanyak 12 dari 14 mahasiswa Universitas Gadjah Mada berpenghasilan atau memiliki “uang saku” lebih dari Rp 900.000,00 per bulan mengandalkan layanan Go- Food dalam menentukan pilihan menu makanan. Terminologi dari penghasilan atau “uang saku” dalam penelitian ini yaitu sebatas uang untuk kebutuhan konsumsi tanpa mencampurkan kebutuhan lainnya. Uang penghasilan atau uang saku menjadi variabel yang mempengaruhi kelenturan otoritas mahasiswa –mahasiswa Gadjah Mada- dalam melakukan aktifitas, tidak terkecuali otoritas dalam menggunakan layanan Go – Food. Mahasiswa Gadjah Mada yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas dapat dengan mudah meminta orang lain –layanan Go – Food- untuk mengantarkan makanan apa yang mereka kehendaki kapan dan dimanapun mereka inginkan.


Fakta tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki penguasaan sumber kekayaan “ lebih banyak ” cenderung dapat dengan mudah melakukan aktifitas yang mereka inginkan. Hal ini karena variabel penguasaan sumber kekayaan berkaitan erat dengan kelenturan otoritas seseorang. Sebagaimana dikatakan (Mohamad Toha, 2012) :


“....maka kekuasaan (power) yang memberikan seseorang memiliki wewenang (authority) merupakan syaraf yang berfungsi sebagai penggerak dari pada kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang lain, guna mencapai suatu tujuan” (hal. 109)

T. Hani Handoko dalam (Mohamad Toha, 2012) menyatakan dua pandangan yang saling berlawanan mengenai sumber wewenang. Sumber wewenang pertama yaitu dikenal sebagai Teori Formal (Pandangan klasik), menyatakan bahwa wewenang adalah dianugerahkan ; wewenang ada karena seseorang diberikan atau dilimpahkan hal tersebut. Pandangan tersebut menganggap bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat ketingkat. Adapun sumber wewenang kedua yaitu dikenal sebagai Teori Penerimaan (acceptance theory of authority), yang berpendapat bahwa wewenang seseorang timbul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima (receiver).

Meminjam pemikiran T. Hani Handoko mengenai teori formal, dan pendapat Mohamad Toha mengenai fungsi wewenang maka telah jelas bahwa wewenang atau otoritas yang berada pada tingkat atas dapat berfungsi sebagai penggerak kegiatan tertentu. Dalam kaitannya dengan penggunan layanan Go - Food oleh mahasiswa Gadjah Mada dipengaruhi oleh faktor ekonomi seseorang memang benar adanya. Faktor ekonomi seseorang nantinya akan dapat menimbulkan kelas-kelas ekonomi. Dengan demikian berdasarkan catatan lapangan dan teori sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kelas ekonomi seseorang maka semakin sering seseorang menggunakan layanan Go - Food. Kelas ekonomi yang terbentuk berdasarkan kekayaan individu akan membentuk polarisasi kelas. Polarisasi kelas menurut Mc Lellan yaitu satu kelas sentiasa berada di posisi bertentangan dengan kelas-kelas yang lain dan mengalami perpecahan, lantas kemudiannya akan membentuk dua blok yang saling bertarung (McLellan 1977: 222)


Dalam penggunaan layanan Go - Food, mahasiswa –mahasiswa Gadjah Mada- memiliki berbagai alasan. Berbagai alasan tersebut menghasilkan pravelansi jawaban terbanyak yaitu “karena ingin efesien waktu tanpa harus mengantre dan menghadapi macetnya jalan” . Sebanyak 75 % narasumber memikili jawaban yang serupa atas alasan penggunaan layanan Go – Food. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sepuluh dari lima belas orang mengatakan bahwa alasan penggunaan layanan Go - Food karena alasan malas akan kemacetan jalan. Kemacetan jalan yang berlarut-larut akan membuang waktu seorang mahasiswa, mengingat bahwa mahasiswa memiliki kesibukan yang padat. Jalan sebagai ciri utama teritorial kota memiliki peran penting yang berpengaruh pada aktifitas manusia. Jalan sekaligus menjadi infrastruktur umum memiliki modal utama untuk membantu memperlancar kehidupan warganya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, infrastruktur atau prasarana memiliki arti “( n ) segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya”. Adapun menurut cambridge dictionary infrastructure adalah the basic systems and services, such as transport and power supplies, that a country or organization uses in order to work effectively.


Menurut Grigg (1988) infrastruktur merupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung, dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini, hal-hal yang terkait dengan infrastruktur tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sistem lingkungan dapat terhubung karena adanya infrastruktur yang menopang antara sistem sosial dan sistem ekonomi.


Dalam konteks ini penggunaan layanan Go Food dipengaruhi dari faktor infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan raya. Semakin macet keadaaan jalan raya, minat untuk menggunakan layanan Go - Food pada mahasiswa Gadjah Mada semakin tinggi. Keadaan ini didasari atas alasan efesiensi waktu, tenaga, serta sumber daya –bensin-. Sikap manusia tersebut dijadikan ‘subjek’ dialektik atas perubahan sistem perilaku konsumsi.


Berdasarkan penelitian tersebut intensitas pemanfaatan layanan Go Food pada mahasiswa Gadjah Mada dipengaruhi dari indikator penguasaan kekayaan, klasifikasi generasi, serta pandangan terhadap infrastruktur –jalan raya- yang dapat menyita waktu mahasiswa.


Komentar


Michael Don Lopulalan

Mahasiswa Antropologi Budaya UGM (17/409947/SA/18714)


Seusai membaca artikel oleh Putri, saya langsung berusaha sembari memaksa ingatan kepada pengalaman memesan makanan melalui layanan daring. Tak hanya itu, saya sangat berusaha mengingat peristiwa pertama kali menggunakan layanan daring untuk memesan makanan. Sayang sekali, ingatan pertama sangat susah untuk diambil kembali tapi beberapa peristiwa selanjutnya pun teringat sangat jelas. Sedikit peristiwa terjadi tahun lalu, saat saya masih tinggal bersama teman-teman dalam rumah kontrakan. Pun sebagian besar peristiwa terjadi tahun ini, saat saya tak lagi tinggal dalam rumah kontrakan melainkan dalam ruang indekost. Pengalaman demi pengalaman cukup untuk membuat isi pikiran menyetujui buah ide dari Putri tentang relasi antara jalan dan frekuensi pemesanan makanan melalui layanan daring. Apabila diingat, saya memang memesan makanan karena beberapa faktor yakni kedekatan dengan elektronik, uang, dan imaji kemacetan jalan raya. Kesadaran bahwa kedekatan dengan elektronik mempengaruhi pola dinamika keseharian baru terangkat saat membaca bagian Putri memaparkan relasi generasi dengan obyek yang berkembang beriringan dengan masa dewasanya. Teknologi, yang dinyatakan Putri sebagai bagian dalam generasi saya, telah melekat dalam berbagai kehidupan keseharian. Pula, teknologi telah memudahkan segala hal sehingga manusia, terutama mahasiswa dalam topik tulisan di atas, dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus untuk mempertahankan kehidupannya. Apabila peribahasa menyatakan ‘sambil menyelam, minum air’, maka artikel di atas dapat seirama dinyakan menjadi ‘sambil belajar, makan dari Go-Food’.


Seberapapun menarik sudut pandang yang diambil oleh Putri, saya merasa tulisan di atas masih perlu beberapa perbaikan guna menyempurnakan dan mempertegas premis utama. Dalam kesempatan komentar ini, saya akan menyertakan beberapa kritik terhadap tulisan di atas. Kritik tersebut akan dibagi menjadi dua bagian yakni struktur tata bahasa dan konsep. Dalam setiap bagian, saya akan mengusahakan untuk memberikan pedoman untuk memperbaiki hal yang dilihat kurang. Saya bukan ahli tata bahasa pun ahli konsep generasi, mahasiswa, jalan, ataupun layanan daring, namun jika sesuatu mengganggu alur membaca maka dapat dipastikan terjadi sebuah kesalahan. Apapun komentar yang tertera di bawah dapat terjadi pula kepada saya sehingga pembenaran antara satu penulis dan lainnya sangat dibutuhkan guna mendapat hasil yang sepadan yakni perkembangan kepenulisan.


Pada bagian pertama, saya akan mengomentari struktur tata bahasa sesuai yang dijanjikan pada paragraf di atas. Hal pertama yang langsung teramati ketika membaca tulisan oleh Putri adalah ketiadaan paragraf latar belakang yang juga termasuk gagasan utama, pertanyaan utama, dan pembagian kepenulisan artikel. Ketiadaan bagian ini langsung membingungkan pembaca awam seperti saya. Apa pertanyaannya? Bagaimana usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut? Mengapa penulis tertarik membicarakan hal ini? Terlepas dari latar belakang, Putri terlalu asik untuk mengatur gagasannya sedari hal yang paling dasar yakni pelajar yang terlihat dari pemaparan data alasan Yogyakarta disebut sebagai kota Pelajar. Hal pertama yang saya amati, rupanya adalah hal utama yang melandasi kekurangan selanjutnya. Tidak adanya landasan pacu untuk bergerak—latar belakang—berdampak langsung kepada struktur artikel yang tidak mengalir antara satu bagian dan bagian yang lain. Setiap bagian seakan terlepas dari bagian yang lain sehingga konsep atau definisi yang dipaparkan sebelumnya seperti tidak terpakai dalam konsep atau definisi selanjutnya. Misalnya, pemaparan tentang mahasiswa dan hubungannya dengan sebutan Yogyakarta sebagai kota Pelajar. Apa hubungan kota Yogyakarta dengan kesimpulan akhir yang menghubungkan jalan dengan pemesanan makanan secara daring? Lagi, pada halaman pertama Putri menjelaskan tentang manusia yang memenuhi kebutuhan untuk mencapai rasa aman, agar dapat dicintai, dan melakukan aktualisasi diri. Lantas, apa hubungan kebutuhan dengan kesimpulan akhir? Bahkan, sebagian pernyataan terbuang sia-sia karena tidak terpakai dalam bagian analisa (ataupun kalau ada bagian analisa). Pada akhirnya, hampir sebagian besar porsi artikel digunakan untuk menjelaskan konsep seperti layaknya bajing loncat. Dari satu konsep ke konsep lain, ke konsep lain lagi, ke konsep lain lagi, dan begitu seterusnya hingga berhenti pada satu pijakan bernama kesimpulan. Jujur, saya sempat terkejut selepas membaca pernyataan singkat tentang jalan lalu begitu saja diberhentikan oleh paragraf penutup yang berupa satu kalimat. Tak ada penutup lain, hanya satu kalimat yang berisi kesimpulan. Sejujurnya saya tidak menyadari kesimpulan akan berakhir pada jalan dan keputusan mahasiswa. Bahkan, kesimpulan apapun tidak sempat terlintas. Kesimpulan Putri pada artikel dengan tema urban tidak dirasa begitu mencolok terutama dengan kesimpulan yang tidak memakai infrastruktur sebagai sebab utama. Konsep yang dipakai dalam kesimpulan, setelah saya baca berulang-ulang, pun masih tidak terlalu relevan. Pernyataan sebelumnya tentang Go-Food, teori politik yang memaparkan tentang kewenangan, dan generasi dengan teknologi tidak saya lihat dalam tiga paragraf analisa dan penutup. Judul yang begitu memberi ekspetasi, pun berakhir menelan hidup-hidup harapan pembaca. Segala kekurangan yang terlihat dan dijelaskan di atas dapat ditemukan asal-muasalnya yakni ketiadaan penempatan latar belakang. Latar belakang dan penulisan argumen penulis bukan dibuat dengan tujuan formalitas dan kerapian tulisan, namun sebagai panduan penulis dan pembaca. Ketiadaan latar belakang berdampak kepada kebingungan penulis karena tanpa dasar tertulis seperti kebingungan pembaca karena tak ada imaji awal tentang arah pembuatan tulisan.


Hal kedua dari struktur tata bahasa atau kepenulisan adalah nihilnya penjabaran lebih lanjut tentang penelitian etnografi yang dilakukan oleh penulis. Pada halaman ketiga, penulis menyebutkan bahwa analisa yang akan dijelaskan berdasar pada catatan penelitian etnografi. Pernyataan tunggal oleh penulis lantas mengakibatkan berbagai pertanyaan lanjutan muncul. Bagaimana penelitian etnografi dilakukan? Siapa informan? Pertanyaan pun terus bergulir karena baru saja mengetahui—melalui pernyataan tiba-tiba—tentang penelitian etnografi yang dilakukan guna mendapatkan data untuk kepentingan kepenulisan. Mungkin alangkah lebih tepat apabila catatan dari penelitian etnografi diberi bagian (sub-bab) tersendiri dan dipisah dari penjelasan konsep melalui studi literatur.


Sebelum memulai pada bagian kedua yang membahas konsep, saya akan terlebih dahulu mendebat hipotesa Putri dengan hipotesa pribadi. Menurut saya, tingkat pemesanan makanan melalui layanan daring meningkat karena tata ruang kota, bukan terkhusus pada jalan saja. Pandangan yang diajukan tersebut hanyalah satu pandangan dalam melihat relasi makanan dan kota (serta teknologi). Padahal, relasi makanan dan kota dapat dilihat pula sebagai hubungan yang melalui beberapa dinamika. Misalnya, Sara Roncaglia dalam Tastes and Cultures (2013) menjelaskan bahwa makanan tak hanya mewakili suatu rasa dalam makanan, namun juga ‘rasa’ yang diciptakan masyarakat itu tersendiri. Karakteristik makanan dapat pula membentuk karakteristik masyarakat. Dalam masyarakat yang terus berubah dan berdinamika dengan pendatang tahunan seperti Yogyakarta, transformasi karakteristik makanan dan ruang urban menjadi hal yang juga menarik. Makanan Yogyakarta yang pada umumnya terbuat dari bahan-bahan yang sederhana namun diracik dengan baik dan disidangkan dengan jenis makanan lain dengan dominasi rasa ringan pun tak terlalu asin rupanya menjadi karakteristik orang Yogyakarta yang juga senang bersikap sederhana dan ramah. Selain itu, D. W. Drakakis Smith (1994) dalam Food Systems and the Poor in Harare under Conditions of Structural Adjustment menyatakan bahwa terdapat permasalahan pangan dalam ruang urban karena produksi pangan masih sedikit sementara yang menyediakan pangan segar hanyalah supermarket dengan harga yang tinggi. Dua artikel di atas hanyalah contoh dari sekian banyak tulisan yang memberi fokus kepada relasi antara infrastruktur ruang urban dan makanan sebagai, seperti yang dinyatakan Putri, kebutuhan pokok manusia.


Jalan adalah satu kesatuan dalam tata ruang kota. Pada bagian Putri mengutip Grigg (1988) dinyatakan bahwa infrastruktur adalah sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan/ gedung, dan fasilitas publik lainnya, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Melalui Grigg, infrastruktur tidak berdiri sendiri melainkan dalam hubungannya dengan yang lain. Dampak yang disebabkan oleh pendirian Mall, misalnya, akan pula berdampak kepada pola pemukiman, pengairan, dan kesediaan fasilitas publik. Begitu pula dengan pembangunan bandara atau sekolah. Sehingga, argumen yang hanya mengambil jalan sebagai analisa lantas tak memperdulikan hubungan dengan aspek infrastruktur lainnya terlihat sangatlah ignoran. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan artikel di atas terasa sangat kosong atau agak membingungkan dalam analisa yang menghubungkan tingkat pemesanan makanan dengan jalan. Kedua hal tersebut tentu ada hubungan yang sangat jelas. Pernyataan Putri pun tak dapat disalahkan karena memang penggunaan layanan Go-Food dipengaruhi jalan karena kalau tak ada jalan maka tak aka nada kendaraan termasuk Go-Jek yang menyediakan layanan Go-Food, bukan? Namun, pernyataan dan pemaparan yang terlalu singkat dalam mengambil konsep infrastruktur dan kemudian langsung disandingkan bersamaan dengan konsep lainpun terasa sangat buyar.


Selain jalan, argumen yang cukup mengganjal adalah pernyataan tentang kebiasaan mahasiswa yang begitu komplek, yang dilanjutkan dengan generasi Y, kemudian dilanjutkan kewenangan materiil. Apakah seluruh mahasiswa Gadjah Mada yang merupakan generasi Y menggunakan kewenangan materiil melalui pemesanan Go-Food? Mahasiswa Gadjah Mada adalah sekelompok manusia yang terdiri dari berbagai kalangan sosial dan ekonomi. Setiap keputusan yang dibuat oleh individu yang termasuk dalam kelompok ‘mahasiswa Gadjah Mada’ tidak bisa langsung diputuskan dan dikategorikan dalam kotak-kotak tertentu tanpa ada penjelasan yang khusus. Siapa mahasiswa Gadjah Mada ini? Benarkah mahasiswa yang memiliki karakteristik sama dengan mahasiswa tersebut mempunyai pilihan dan tindakan yang serupa? Lagi-lagi, ketidakjelasan penjabaran catatan etnografi menjadi kekosongan yang berdampak kepada ketidakjelasan analisa. Pertanyaan yang saya ajukan tersebut berangkat dari tak adanya lanjutan terhadap kutipan dari Ryder (1965) yang mengatakan bahwa generasi merupakan agregat dari sekelompok individu yang mengalami peristiwa-peristiwa yang sama dalam kurun waktu yang sama. Apakah terdapat kesamaan dalam informan yang diambil menjadi sampel? Apakah terdapat perbedaan?


Sejauh pengalaman saya dan teman-teman dalam memesan makanan melalui layanan daring, tindakan tersebut hanya didasari motivasi jalanan macet atau rasa malas untuk menembus kemacetan kota. Perihal penguasaan materiil dan kewenangan, kami tidak mengambil pusing karena total pembayaran ditanggung dan dibagi rata ke semua pihak. Ataupun apabila sedang sendirian, pilihan untuk memesan makanan melalui layanan daring didasarkan pada kemampuan untuk membayar, bukan kelas ekonomi. Kelas ekonomi yang lebih tinggi, menurut saya, akan lebih memilih untuk menembus kemacetan kota dengan kendaraan dan memesan makanan di tempat yang tidak terlalu ramai atau tempat yang ramai namun dengan rasa yang sepadan. Kemampuan untuk membayar terletak kepada jumlah uang yang dipunyai dan tidak selalu dapat dikategorikan langsung dalam kelas ekonomi yang lebih tinggi. Mahasiswa yang menyimpan uang atau menghemat uang dengan makan di warung atau masak sendiri, misalnya, mungkin mempunyai uang sisa yang dapat digunakan untuk memesan melalui Go-Food di akhir minggu. Apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berskala tiap minggu, apakah dapat dikatakan sebagai sering? Apakah ia langsung dikategorikan sebagai kelas ekonomi yang lebih tinggi? Yang ingin ditekankan dalam poin ini adalah penulis terlalu cepat mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi kepada beberapa pihak yang dianggap sejenis. Penulis terjebak dalam premis ‘jika A melakukan B, maka seluruh A akan melakukan B’. Jika beberapa mahasiswa memilih untuk membawa bekal karena uang jajan per-hari sedikit, apakah seluruh mahasiswa yang membawa bekal langsung dapat dikategorikan sebagai kelompok dengan kelas ekonomi rendah dengan kewenangan terhadap materill yang rendah pula?


Argumen serupa juga dapat diterapkan dalam pernyataan penulis yang menyatakan bahwa pemesanan layanan Go-Food dilakukan oleh mahasiswa yang memiliki jadwal padat atau sibuk. Pemahaman penulis tentang sibuk seperti apa? Bagaimana kegiatan atau kesibukan yang dimiliki oleh informan sehingga penulis menyatakan kesimpulan demikian?


Melalui pemaparan yang cukup panjang, saya ingin menegaskan pernyataan yang dikemukakan pada awal komentar yakni penulis perlu mempertegas dan menyempurnakan premis utama yang ingin disampaikan. Premis yang ditegaskan berarti pula membatasi dan menjelaskan penelitian etnografi melaui catatan etnografi yang pernah dilakukan. Tanpa catatan etnografi dalam sebuah tulisan, penelitian etnografi hanya menjadi kegiatan yang tak berguna. Penyempurnaan premis utama berarti perbaikan dan penyelarasan antara pemakaian satu konsep dengan konsep yang lain, pernyataan lain dengan pernyataan lain. Terlebih kepada pernyataan yang dikutip langsung dari sumber tertentu berarti mempunyai kekuatan untuk mendukung premis utama. Apabila pernyataan yang dikutip tidak membantu untuk mempertegas dan menghubungkan satu konsep dengan konsep lain terlebih dengan kesimpulan, maka setiap referensi yang dikutip perlu dikaji ulang guna menilik fungsi dalam tulisan yang dipaparkan.


Priyanca Minerva Charillane Soselisa

Mahasiswa Antropologi Budaya UGM (17/414976/SA/19026)


Topik yang dipilih oleh penulis sebenarnya cukup menarik. Bagi seorang konsumen yang menggunakan layanan daring tersebut saya juga merasa tertarik dengan tema yang penulis coba jelaskan. Saya seringkali menggunakan jasa layanan ini juga karena berbagai alasan. Terkadang sebagai solusi karena tidak memiliki kendaraan pribadi untuk pergi secara mandiri menuju salah satu tempat makan yang diinginkan. Selain itu alasan tersebut juga memungkinkan saya untuk menghinari pengeluaran biaya yang lebih banyak. Biaya yang dikeluarkan dalam menggunakan jasa layanan daring tersebut pun termasuk murah dan terkadang mendapat diskon dari aplikasi Go-Jek sendiri, tak sebanding jika harus pergi langung mneuju tempat makan yang dimaksud. Teringat kembali pada tulisan saya dan teman mengenai Ojek Online dan infratruktur jalan yang hanya berfokus pda jasa antar-jemput yang disediakan Ojek Online bukan kepada jasa layanan antar maknanan. Selain itu dalam salah satu tugas Ujian Akhir Semester, saya dan teman-teman sekelas diwajibkan untuk menulis artikel mengenai perilaku konsumtif kaum milenial terhadap penggunaan Go-Food yang dianggap sebagai peralihan dari makanan rumahan. Dengan demikian, alangkah menariknya jika kedua tulisan yang pernah saya buat dapat dianalisa lebih jauh.


Mengenai artikel yang telah disampaikan oleh penulis, saya mendapati beberapa hal yang menuai beberapa tanggapan kritik saya. Dalam tulisan tanggapan ini saya akan menuliskan beberapa kritik saya mengenai tulisan penulis yaitu mengenai ketidaksinambungan dan subjektivitas dalam penulisan artikel. Tentu saja tidak ada tulisan yang sempurna, perbikan akan terus terjadi dan beberapa hal yang akan saya tuliskan di bawah akan didampingi dengan saran dan beberapa hal yang menurut saya dapat diperbaiki. Beberapa saran dari sara hanya berdasarkan prespektif dan beberapa referensi pembantu. Jika ada kekurangan atau kekelirua dalam tulisan ini, silahkan direspon kembali oleh penulis akhir.


Dalam hal ketidaksinambungan, pendapat saya kurang lebih hampir sama dengan komentator sebelumnya. Penataan konsep nampaknya juga menjadi masalah kecil penulis. Berbagai tulisan yang penulis gunakan kadang terlalu berlebihan dan tidak dapat dihubungkan dengan topik dan tema awal yang telah dipilih. Dalam hal ini, yang saya perjelas ialah di bagian generasi milenial dan pembagian kelas ekonomi. Penulis mengutip tulisan oleh Martin dan Tulga (2002) juga Lynos (2004) mengenai beberapa ciri dan arti dari generasi milenial atau generasi Y. Nampaknya penulis terlalu fokus terhadap generasi milenial tanpa menjelaskan secara lebih lanjut mengenai hubungan generasi tersebut dengan tema yang penulis bawakan. Nampak dari tulisan ini, entah hanya menurut saya atau tidak, penulis nampak kewalahan dalam penulisan yang diwajibkan harus 2000 kata yang akhirnya membuat penulis mengambil berbagai sumber dan pembahasan yang tidak terlalu perlu dan tidak mendukung penulisannya. Dengan mngutip penulis yang sama, nampaknya tak terlihat ada kejelasan dalam pemaparan konsep awal. Misalnya terdapat tulisan bahwa Mahasiswa UGM merupakan tipe generasi milenial. Namun tidak dijelaskan pada kalimat tersebut mahasiswa pada era tahun yang mana, dan nampaknya penulis juga terlalu focus mengenai mahasiswa UGM padahal yang ada dalam tulisan yang dikutip penulis tidak terdapat keteran generai milenial merupakan mahasiswa UGM. Maka pernyataan penulis juga menjadi tidak valid karena tidak jelas walaupun telah mendapatkan bantuan dari kutipan tersebut. Selain itu, dalam topik penulis tidak tercium aroma bahwa hanya berfokus kepada generasi milenial atau mahasiswa UGM. Maka judul yang dipilih penulis pun nampaknya sia-sia karena penjelasan awalnya telah sedikit melenceng dari topiknya sendiri. Karena pada topik dan judul yang telah tertulis, penulis hanya menyebutkan mengenai ‘konsumen’ bukan secara khusus hanya generasi milenial saja. Alangkah baiknya jika pada pembuka tulisan ini lebih ditekankan mengenai Go-Food dan konsumennya, bukan hanya generasi milenial, bahkan generasi sebelumnya pun ada yang menjadi langganan setia pelayananan Go-Food. Bahkan saya baru mengetahui mengenai salah satu jasa layanyan dari Go-Jek yaitu Go-Life dari nenek saya. Jadi nampaknya pengguna aplikasi Go-jek tidak terlalu terpaku pada generasi milenial saja. Sebagaimana judulnya, penulis alangkah baiknya benar-benar berfokus kepada konsumen, bukan generasi tertentu.


Dalam hal pembahasan penulis mengenai Go-Food yang membagi kelas ekonomi, menurut saya sebenarnya tidak terlalu nyambung dengan topiknya. Dalam tulisannya, penulis membahas mengenai uang saku yang dimiliki oleh mahasiswa UGM. Masih sama dengan yang telah saya katakan sebelumya, sayang jika penulis hanya menjelaskan mengenai mahasiswa UGM sedangkan konsumen Go-Food tidak hanya mencakup generasi tiu saja, berbeda halnya jika pada judul telah ditekankan mengenai fokus tulisan hanya pada generasi milenial. Dalam hal ini penulis terkesan menjelaskan bahwa mahasiswa UGM yang memiliki kelas menengah ke atas dapat dengan mudah mengakses Go-Food tak terbatas ruang dan waktu. Dengan semua kemudahan tanpa membingungkan ini, tentunya semua orang menjadi terjerumus akan teknologi yang ditawarkan. Dengan semua kemudahan ini, menjadikan individu menjadi pribadi yang malas berusaha untuk mencapai hasil. Sayangnya tidak dijelaskan bahwa hal tersebut tidak dapat terjadi setiap waktu. Ada berbagai pertimbangan yang tidak dijelaskan oleh penulis. Para konsumen Go-Food tidak selalu dapat mendapatkan pesanan mereka karena pertimbangan dari pihak Go-Food itu sendiri. Hanya karena konsumen memiliki kemampuan untuk memesan sesuatu, bukan semerta-merta dapat dia dapatkan. Berbagai pertimbangan mengenai Go-Food yang juga dapat membatalkan pesanan, mungkin karena letak restaurant yang diinginkan konsumen terlalu jauh atau karena ada bebrapa driver Go-Food yang juga sedang malas menghadapi kemacetan. Setelah penulis membahas mengenai wewenang seorang konsumen, penulis menjelaskan mengenai polarisasi kelas yang terbentuk melalui layanan Go-Food. Menurut saya, dengan penulis menyatakan mengenai kelas ekonomi konsumen yang berbeda, secara tidak langsung penulis menjadi seorang pembagi kelas ekonomi. Dengan mengutip McLellan (1977), nampaknya penulis agak keliru dalam mengambil sumber karena penjelasan mengenai polarisasi kelas. Dalam hal konsumen Go-Food nampaknya tidak cocok mengutip McLellan seperti yng telah dilakukan oleh penulis. Pada dasarnya kelas ekonomi telah dikonstruksi secara jelas. Dengan mengatakan bahwa Go-Food juga mengambil peran dalam pembentukan kelas sosial nampaknya kurang tepat. Menurut saya, Go-Food sebagai jasa layanan membantu memperlihatkan lebih jelas mengenai kelas ekonomi, bukan membentuknya karena kelas ekonomi telah hadi jauh sebelum Go-Food diciptakan. Penulis juga terkesan sangat melarutkan dirinya dalam peran mahasiswa sebagai konsumen dan akhirnya terdapat subjktivitas mengenai mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa digambarkan oleh penulis sebagai mahkluk yang memiliki kesibukan yang padat. Namun tidak dapat digeneralisasikan seperti itu. Kesibukan merupakan sesuatu yang relative. Jika penulis mengatakan bahwa mahasiswa memiliki kesibukan, bagaimana dengan orang lain? Pada dasarnya semua orang memiliki kesibukannya sendiri, melihat penulis meukul rata hal tersebut bagi mahasiswa, yang bukan merupakan topik utama dalam tulisanya, saya anggap agak keliru.

Penjelasan mengenai wewenang dengan mengutip Toha (2012) sebenarnya saya anggap tidak perlu karena tidak emndukung topic yang dibawakan. Memang tidak keliru bahwa wewenang dan otoritas mempengarhi suatu kegiatan. Namun nampaknya tidak tepat untuk disandingkan dengan topic tersebut. Suatu wewenang yang diberikan dapat digunakan sebaik-baiknya dan nampaknya hal itu berlaku oada konsumen yang memiliki wewenang yang diberikan kepadanya ntuk menggunakan jasa layanan Go-Food. Meskipun demikian dengan meminjam pemikiran ini, penulis masih tidak bisa mebuktikan atau memaparkan konsepnya. Hal tersebut sebenarnya sangat fatal, karena pembaca bisa saja mempertanyakan tulisan tersebut dan bisa dengan fatal mengritisi sang penulis yang tidak tahu arah tujuan pembahasan yang dibawanya. Sebenarnya menurut saya bagian penjelasan mengenai wewenang ini dihilangkan juga tidak ada masalah karena tidak mndukung topic yang dibawa dan tidak membuktikan arah yang dituju oleh penulis.


Kemudian mengenai infrastruktur nampaknya tidak dijelaskan juga mengenai peran infrasturuktur dengan penggunaan Go-Food. Penulis begitu fokus pada menjelaskan generasi milenial, wewenang sehingga penjelasan infrastruktur hanya mendapatkan bebrapa paragraph terakhir. Namun,, paragraph-paragraf infrastruktur terssebut tidak membuktikan sama sekali penjelasan mengenai hubungannya dengan Go-Food. Setengah halaman terakhir tulisan mengenai infrastuktur terkesan tergesa-gesa dan tidak memperhatikan hal yang sebenarnya harus dibahas. Dari judul tulisan, sebenarnya say mengahrapkan penjelasan yang jelas mengenai GO-Food dan infrastruktur jalan. Pembahasan mengenai Go-Food dan infrastruktur jalan merupakan topic yang jarang diambil oleh penulis. Oleh karena itu, sebagai pembaca, say ingin mendapatkan hubungan dan penjelasan ayng jelas. Dengan hanya memaparkan setengah halaman mengenai infrastruktur dan tidak ada penjelasan mengenai hubungannya dengan Go-Food membuat saya sebagai seorang pembaca merasa membuang-buang waktu karena tidak mendapatkan penjelasan yang menopang judul itu sendiri.


Dalam tugas saya yang menulis juga tenyang Go-Food, saya mendapati berbagai alasan mengenai penggunaan jasa layanan Go-Food. Generasi milenial yang menggunakan jasa layanan Go-Food tidak semata-mata dikarenakan sibuk atau malas bermacet ria. Alasan lainnya seperti ingin memesan makanan pada saat malam namun terlalu dingin jika pergi ke restoran menggunakan sepeda motor dan tempat makan yang berada di sekitar konsumen tersebut telah tutup mengharuskannya untuk menggunakan jasa tersebut. Selain itu beberapa konsumen mungkin menghindari kejahatan yang di jalan raya ketika pergi ke restoran pada saat malam atau subuh. Saya sebagai salah satu konsumen Go-Food juga memiliki alasan tersendiri, bukan hanya karena sedang mengerjakan tugas atau saya memiliki wewenang dalam menggunakan aplikasi Go-Food. Namun karena saya juga tidak memiliki kendaraan untuk mengakes restoran 24 jam atau sedang sakit sehingga tidak dapat berjalan menuju rumah makan terdekat, atau mungkin hanya sekedar pengen makan makanan yang jaraknya cukup jauh dari rumah saya Beberapa probabilitas yang sama sekali tidak disinggung oleh penulis ini nampaknya memberikan kesan bahwa setelah penulis melenceng dari topiknya, ia juga tidak mengeksekusi hal yang dituliskannya dengan baik.


Jika dihubungkan dengan jalan, saya rasa cukup banyak penjelasan yang tidak diambil oleh penulis. Hal yang terlintas pertama di pikiran saya ketika membaca judulnya adalah akses. Seperti yang banyak orang tahu, Ojek Online tidak dapat mengakses beberapa tempat tertentu. Ketika saya membaca artikel ini sebenarnya saya mengharapkan penjelasan mengenai probabilitas konsumen yang ingin menggunakan layanan Go-Food tapi tidak didukung oleh posisi konsumen itu sendiri. Hal tersebut nampaknya terlewatkan oleh penulis karena terlalu fokus kepada hal yang lain. Namun sebagai seorang pembaca, harapan terhapad pertanyaa yang terlontar di pikiran itu terjawab cukup tinggi. Akses yang dibatasi kepada Ojek Online juga artinya membatasi wewenang konsumen. Konsumen tidak dapat menggunakan jasa tersebut tanpa diganggu aspek ruang dan waktu karena nampaknya ruang juga menjadi sebuah batasan. Tak sedikit Ojek Online yang dikenai denda karena mberhenti di suatu lokasi, dan hal ini tidak dijelaskan oleh penulis. Dikarenakan hal tersebut, dan sebenarnya tidak hanya sebatas macet atau malas, infrastruktur yang dimaksud pada judul tulisan diharapkan dapat dijawab pada tulisan di bawahnya.


Saya mengutip McLuhan (1962) “inovasi dalam bidang teknologi informasi atau teknologi komunikasi memberi perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat”. Dengan perkembangan teknologi saat ini maka perilaku masyarakat juga akan terus berubah. Go-Food juga nampaknya memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat pada masa sekarang. Menurut saya, jika penulis mencoba untuk lebih menspesifikan tulisannya dan mungkin melatih tata pembahasan dan tema yang ia pilih mengenai tulisan ini, mungkin dapat mengutip penelitian yang lebih konkrit, misalnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 di Amerika. Studi ini mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Studi tersebut menjelaskan bebagai perilaku generasi milenial tentang informasi dan teknologi yang terus berkembang. Kemudian, mengenai perilaku konsumtif yang disebutkan sebelumnya oleh penulis, Menurut Sumartono (1998) menyatakan bahwa konsep perilaku konsumtif amatlah variatif, tetapi pengertian perilaku konsumtif adalah membeli barang atau jasa tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan.


Kembali terhadap respon saya kepada penulis, saya agak merasa aneh dengan struktur konsep yang tidak bersinambung. Dalam penjelasannya, jembatan transisi mulai dari penjelasan awal hingga infrastruktuf terkesan tergesa-gesa. Penulis juga mengutip beberapa tulisan yang tidak mendukung tulisannya sendiri. Sama seperti beberapa tulisan yang telah saya sebutkan di atas, penulis nampak masih bingung dengan konsep dan alur yang ingin dibawakan. Selain itu, tulisannya juga terkesan ambang tanpa penjelasan yang jelas arahnya. Tema yang dibawakan sebenarnya cukup menarik jika dieksekusi dengan baik. Namun, kebingungan tersebut malah menjadi penghalang antara penulis dan tulisannya sendiri.


Balasan


Setya Dewi

Mahasiswa Antropologi Budaya UGM (17/409953/SA/18720)


Pembahasan artikel yang dibuat penulis sangat menarik perhatian saya. Hal ini dikarenakan saya juga seorang mahasiswa generasi milennial yang juga memanfaatkan layanan daring untuk mempermudah pemesanan makanan dan mengefisienkan waktu. Layanan daring ini sangat menopang kehidupan konsumsi makan saya dalam beberapa waktu yang ini. Selanjutnya saya sangat mengapresiasi atas artikel yang dibuat Putri dan komentar-komentar menarik yang ditulis oleh Lopulalan dan Soselisa. Saya sudah mencoba memahami isi komentar Lopulalan serta Soselisa, lalu membuat saya berfikir semakin dalam dan ingin menorehkan hasil pikiran saya melalui tulisan ini. Saya di sini akan menanggapi komentar menurut sepemahaman dan sepenangkapan saya mengenai artikel di atas. Saya bukan ahli dalam berkomentar maupun menanggapi komentar, namun saya akan mencobanya di sini.

Saya akan membahas satu persatu komentar yang perlu dibahas. Pertama, mengenai komentar tentang latar belakang yang belum terlihat dari artikel di atas. Menurut saya memang latar belakang menjadi kunci utama sebagai modal gagasan utama, pernyataan umum, dan pembagian kepenulisan artikel serta arah pembahasan artikel. Maka dari itu saya menyetujui komentar Lopulalan bahwa saya juga merasa kebingungan atas apa pertanyaan dari artikel tersebut, apa yang mau dibahas dan dijawab, dan mengapa tulisan ini dibuat. Semua kebingungan tersebut bisa dijawab dengan latar belakang. Menurut saya hal tersebut sangat penting, sehingga pembaca dapat memahami apa maksud penulis dan topik apa yang mau dibahas serta arah pembicaraan yang jelas.


Kedua, berkaitan dengan komentar alur pembahasan seperti yang dikatakan Lopulalan bahwa setiap bagian seakan terlepas dari bagian yang lain sehingga konsep atau definisi yang dipaparkan sebelumnya seperti tidak terpakai dalam konsep atau definisi selanjutnya. Pada bagian ini justru saya berfikiran lain, mungkin maksud Putri menyusun pembahasan sedemikian rupa agar pembahasan dapat mencakup secara luas dan lengkap. Namun pada akhirnya, saya rasa dalam merangkai konsep satu dengan konsep selanjutnya kurang ada ikatan benang merahnya, sehingga konsep-konsep yang diutarakan terasa terpisah-pisah atau terlepas-lepas satu dengan lainnya. Seperti kosep satu dengan lainnya berdiri sendiri-sendiri. Atau mungkin saja Putri sudah berusaha menghubungkan konsep satu dengan konsep lainnya agar relevan, mencoba mencari benang merahnya. Namun dalam penataan kata belum maksimal sehingga pembaca merasa belum melihat kesinambungan dan maksud dari satu konsep dengan konsep lainnya. Pada bagian kesimpulan pun belum mencakup semua konsep yang sudah dibicarakan sebelumnya. Begitu juga Don menyebut bahwa kesimpulan yang diangkat belum begitu revelan dengan pembahasan-pembahasan sebelumnya. Menurut saya hal dikarenakan belum adanya sebuah latar belakang dan alur pembahasan yang jelas dari penulis, sehingga kesimpulan hanya diambil berdasarkan pembahasan konsep terakhir. Padahal akan lebih baik jika pada bagian kesimpulan dapat menghasilkan simpulan dari berbagai macam konsep yang sudah dibahas di atasnya.


Ketiga, berkaitan dengan catatan etnografi dari hasil penelitian penulis. Menurut komentator di atas, catatan etnografi penulis belum begitu jelas sehingga tidak bisa menjadi bukti penelitian yang berguna sebagai pendukung tulisan. Menurut saya akan lebih baik jika hasil etnografi dipaparkan secara detail sebagai pendukung konsep yang dibahas, sehingga tulisan akan jelas dan tidak terjadi kebingungan oleh pembaca. Menurut saya, bagian ini juga sangat penting karena hasil etnografi ini berkaitan dengan premis penulis. Premis penulis juga harus jelas arahnya kemana sehingga pembahasannya pun juga akan terarah dan terhubung satu sama lainnya. Keempat, komentar mengenai infrastruktur jalan berkaitan dengan pemesanan makanan via Go-Jek. Penulis memaparkan bahwa infrastruktur jalan ini sebagai alasan pemilihan Go Food, karena jalan terkadang dipenuhi dengan masalah kemacetan sehingga mahasiswa UGM menghindari hal tersebut, maka solusinya memesan makanan menggunakan Go Food. Maksud penulis mungkin kedua hal tersebut (jalan dan Go Food) sangat berhubungan, antara jalan dan pemesanan makanan via Go-Jek. Karena menurut saya pribadi, keputusan membeli makanan via Go-Jek bisa jadi karena alasan menghindari macet jalan. Nah, Jalan yang dimaksud di sini sebagai infrastruktur utama yang berkaitan dengan pelayanan Go-Jek, karena jalan menjadi penunjang utama terlaksanakanya proses antar makanan dari Go Jek (Go Food) ke pemesan atau pembeli.


Keempat, mengenai komentar kutipan yang berisikan ciri dan arti dari generasi milenial. Penulis memang menjelaskan tentang hal itu dengan maksud Mahasiswa UGM yang diteliti merupakan generasu milenial. Namun penulis sedikit kurang menjelaskan hubungan generasi milenial dengan topik yang dibicarakan, sehingga terlihat kurang berkesinambungan. Tidak dijelaskan pula Mahasiswi UGM yang mana. Karena semua mahasiswa UGM belum tentu masuk dalam generasi milenial dan semua generasi milenial belum tentu mahasiswa UGM, lalu semua mahasiswa UGM juga belum tentu menggunakan layanan daring, sehingga pada bagian ini akan lebih baik jika dijelaskan dengan spesifik. Saran saya lebih jelas jika penulis juga menjelaskan mengenai Mahasiswa UGM usia berapa sampai berapa yang termasuk dalam generasi milenial. Lalu Mahasiswa UGM yang mana saja yang termasuk generasi milenial dan menggunakan layanan daring dengan berbagai alasan apa saja mereka memutuskan melakukan hal demikian. Kelima, mengenai komentar kelas ekonomi mahasiswa UGM menjadi indikator pemesanan makanan via Go Food. Menurut saya kelas ekonomi ini belum tentu menjadi patokan awal atas keputusan membeli makanan via Go Food. Entah dari kelas sosial menengah keatas atau kebawah, semua dapat memesan makanan via Go Food atas kehendak masing-masing mahasiswa UGM. Bahkan memesan makanan menggunakan Go Food dengan membeli makanan langsung di tempat, harganya sama. Malah terkadang Go Food memberi berbagai macam fasilitas vocher, diskon, dan lain-lain sehingga harga makanan menjadi lebih murah. Bisa jadi hal itu menjadi alasan mahasiswa UGM membeli makanan via go food, sehingga belum tentu karena latar belakang perekonomian yang rendah atau tinggi atau menengah.


Keenam, komentar mengenai jadwal yang padat oleh mahasiswa UGM. Penulis memaparkan bahwa mahasiswa identik memiliki kesibukan yang padat. Namun kepadatan kesibukan ini akan lebih baik jika didetailkan sedemikian rupa apa dan bagaimananya. Menurut saya, kepadatan aktivitas akademis maupun non akademis belum tentu menjadi latar belakang keputusan membeli makanan via Go Food. Sehingga penulis lebih baik mendetailakan bagian tersebut. Lalu, menurut saya semua mahasiswa UGM belum tentu memiliki jadwal yang padat. Bisa jadi ada yang memiliki jadwal sangat padat, padat sedang, atau tidak padat. Bahkan “jadwal yang padat” itu pun sangat ambigu. Sehingga memunculkan pertanyaan juga bagi saya lantas jadwal yang padat seperti apa dan bagaimana? Menurut saya, akan lebih jelas dan spesifik jika penulis menjelaskan dengan fokus dan detail juga berkaitan dengan topik pembahasan tersebut.

Kritik dari Lopulalan sedikit besar mempengaruhi tulisan Putri, dua hal yang menjadi kritik Lopulalan yaitu mengenai struktur tata bahasa dan konsep perlu diapresiasi sekaligus patut ditelisik ulang. Perihal struktur tata bahasa yangmana ketiadaan paragraf latar belakang yang juga termasuk gagasan utama perlu menjadi koreksi penulis. Tidak terlepas dari hal itu jika kita mencermati betul-betul, Putri dalam artikelnya mencoba menjelaskan tujuan utama secara implisit dimana perlu usaha lebih untuk memahami tulisan tersebut. Tujuan utama dari artikel Putri dapat diketahui melalui dua kalimat terakhir pada paragraf ke empat, berbunyi sebagai berikut:


“Kemudahan dalam mendapatkan makanan tersebut lebih kurang berpengaruh pada perilaku konsumsi mahasiswa. Perilaku konsumsi mahasiswa yang dimaksud yaitu intensitas makan dan cara mendapatkan makanan.”


Diksi yang dipakai oleh Putri memang tidak secara terang menunjukkan kata “tujuan utama artikel”, namun jika kita mencermati antara judul dan paragraf dari kalimat tersebut terdapat korelasi yang akan menjawab tujuan penulisan. Sehingga dapat dipahami bersama jika artikel Putri memiliki tujuan untuk memaparkan bahwa penggunaan layanan Go – Food sangat berkaitan dengan kelas ekonomi Mahasiswa Gadjah Mada. Selain itu Putri juga ingin menegaskan bahwa jika mahasiswa Gadjah Mada yang berada pada kelas ekonomi menengah ke atas memiliki intensitas lebih sering menggunakan layanan Go – food daripada mahasiswa Gadjah Mada yang berada pada kelas ekonomi bawah. Tujuan lain dari artikel Putri yaitu ingin mengetahui alasan para pengguna Go – Food (mahasiswa Gadjah Mada) yang dapat dihubungkan dengan salah satu infrastruktur kota yaitu jalan (kemacetan jalan).


Selain mengenai tatabahasa, Lopulalan juga mengkritisi mengenai metodologi penelitian etnografi yang terdapat pada artikel Putri. Menanggapi pertanyaan Lopulalan tersebut sebenarnya Putri melakukan penelitian tersebut melalui wawancara mendalam. Melalui teknik tersebut Putri dapat mengetahui perspektif sebenarnya dari narasumber. Narasumber yang menjadi objek penelitian Putri cukup luas yaitu mahasiswa Gadjah Mada yang termasuk pada golongan umur 19 hingga 25 tahun -masih termasuk generasi objek penelitian dalam artikel-. Mahasiswa Gadjah Mada menjadi objek yang komprehensif karena tidak terikat oleh jurusan maupun angkatan masuk. Dari berbagai jawaban narasumber, Putri mengelompokkan data sesuai kebutuhan artikel yang ingin ditulis. Dalam hal ini Putri ingin menulis mengenai perilaku konsumsi mahasiswa melaui layanan dari Go Food terkhusus alasan dibalik itu dan kaitannya dengan kelas ekonomi mahasiswa.


Saran yang dikemukakan Lopulalan mengenai pemberian sub bab tersendiri catatan dari penelitian etnografi dan dipisah dari penjelasan konsep melalui studi literature merupakan saran yang baik, dan perlu menjadi catatan tersendiri untuk Putri. Namun disamping itu, penulis memiliki gaya penulisannya masing-masing, seperti gaya penulisan sistematis melalui sub bab – sub bab maupun gaya penulisan mengalir. Dalam hemat saya, tulisan Putri memiliki gaya penulisan yang mengalir tanpa adanya sub bab – sub bab seperti yang dimaksud Lopulalan. Bagi sebagian orang menyukai gaya penulisan seperti tulisan Putri dan ada pula orang yang menyukai gaya kepenulisan sistematis. Untuk memudahkan orang yang menyukai gaya kepenulisan sistematis, tanpa menghilangkan ciri khas gaya bahasa Putri, perlu adanya ketegasan atas sub topik yang ia kemukakan di dalam kalimatnya.


Kritik yang dikemukakan Lopulalan menjadi modal untuk artikel – artikel Putri selanjutnya agar lebih diterima oleh berbagai pecinta artikel atau esai ilmiah. Gaya bahasa yang lebih umum akan lebih diterima oleh banyak kalangan baik dari kalangan pecinta gaya bahasa sistematis maupun gaya bahasa yang mengalir.


Daftar Pustaka:

Abraham Maslow. 2006. On Dominace, Self Esteen and Self Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset. Hlm. 153, 168, 170-172, 299-342.

Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley. 2011. American Millennials: Deciphering the Enigma Generation.

Drakakis-Smith, D. W. 1994. Food Systems and the Poor in Harare under Conditions of Structural Adjustment. In Geografiska Annaler. Series B, Human Geography 76(2): 3-20.

Grigg, N. 1988, Infrastructure Engineering and Management, John Wiley & Sons.

Mannheim, K. 1952. The Problem of Generations. Essays on the Sociology of Knowledge, 24(19), 276-322–24.

McLellan, D. 1977. Karl Marx: Selected Writing. London : Oxford University. Mukherjee,

McLuhan, Marshall. 1962. The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. London & NewYork. Gingko Press.

Roncaglia, Sara. 2013. Conclusions: Tastes and Cultures. In Feeding the City. Open Book Publisher, https://www.jstor.org/stable/j.ctt5vjtm6.9

Ryder, N. B. 1965. The Cohort as a Concept in the Study of Social Change. American Sociological Review, 30(6), 843–861. https://doi.org/10.2307/2090964

Siswoyo. Dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Subrata & Ramaswamy, Sushila. 2000. A History of Socialist Thought: From the Precursors to the Present. New Delhi : Sage Publication Ltd.

Sumartono. 1998. Pengaruh Terpaan Iklan Shampoo di Televisi Terhadap Sikap dan Perilaku Konsumtif Remaja. Bandung. PPS-Unpad.

Toha Mohammad. 2012. POWER, INFLUENCE, DAN AUTHORITY (Kasus Pada Kehidupan Politik Era Soekarno, Soeharto, dan Habibie). Jurnal Adzikra, Vol. 03, No. 1, (Januari-Juni) 2012 ISSN: 2087-8605.

Zety dkk. Journal of Modern Education Review, September 2016, Volume 6, No. 9, pp. 622– 631.


Referensi Artikel Utama:


16 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentarios


bottom of page