Jembatan Penyeberangan: Dari Ibu Kota ke Tanah Sultan
- Iffah F. Annisa
- Apr 26, 2019
- 10 min read
Updated: May 6, 2019
Halimah, Iffah Fitri Annisa, Ilona Cecilia, Yolita Andindya.

Jumat, 19 April 2019 --masih dalam euforia pemilu, Stasiun Tanah Abang terlihat padat merayap, layaknya pantauan lalu lintas. Hari ini Stasiun Tanah Abang lebih padat dari hari-hari biasanya, mungkin karena bertepatan dengan tanggal merah dan termasuk dalam long weekend. Alasan lain yang membuat stasiun ini sangat ramai adalah keberadaan ibu-ibu yang berbondong-bondong dengan anak-anaknya untuk pergi ke Pusat Grosir Tanah Abang untuk sekadar membeli baju lebaran, yang padahal masih membutuhkan waktu sebulan lebih menuju hari raya. Puasanya saja belum dilakukan, tetapi mereka sudah sibuk mencari baju baru untuk lebaran di pusat grosir.
Fenomena berbelanja sebelum puasa ini terjadi agar mendapatkan harga lebih murah, juga menghindari berdesak-desakan yang lebih parah lagi ketika berbelanja di bulan Ramadhan agar tidak membatalkan puasa. Atau di antara mereka terdapat pengunjung yang hanya ingin sekadar jalan-jalan saja dan kalau ada barang yang menarik hati baru dibeli, tanpa mengantisipasi kondisi Tanah Abang yang pada hari ini teramat ramai.
Jembatan Penyeberangan Tanah Abang
Saya, Iffah, termasuk ke dalam pengunjung yang tidak mengetahui dan mengantisipasi kondisi Tanah Abang akan sangat ramai, baik mulai dari stasiun, skybridge, jalanan maupun pusat grosir. Terakhir kali saya berjalan di Tanah Abang--bukan sekadar transit dari commuter line--adalah sekitar lima tahun lalu ketika duduk di bangku SMA. Pada waktu itu saya dan teman-teman sekelas hendak mengunjungi Museum Tekstil yang berada di Jalan K. S. Tubun atau Petamburan, Tanah Abang. Berkaca dari terakhir kali ke Tanah Abang, banyak sekali perubahan yang terjadi dan baru dirasakan sekarang. Perubahan yang paling signifikan adalah keberadaan jembatan penyeberangan multiguna (JPM) atau skybridge yang baru dibuka untuk umum 7 Desember 2018, lalu. Seperti yang dilansir dalam berita CNN Indonesia, Wakil Walikota Jakarta Pusat, Irwandi, mengatakan bahwa uji coba JPM dinilai baik.
Sekeluarnya dari pintu stasiun, saya langsung disuguhkan dengan lautan manusia yang memadati skybridge. Saya tidak menyangka kalau Tanah Abang bakal seramai ini. Kerumunan ini di antaranya adalah para pedagang kaki lima (PKL), pejalan kaki, penumpang yang baru turun dari kereta, calon penumpang kereta, dan petugas keamanan. Kerumunan yang tidak begitu teratur sehingga petugas keamanan memberitahu dengan tegas dan lantang yang kurang lebih bunyinya seperti ini, “Bu-Ibu kalau menunggu kerabatnya jangan di tengah! Itu buat jalan! Beri ruang untuk orang yang ingin lewat!” Rasanya saya ingin cepat-cepat keluar dari kerumunan tersebut. Namun apa boleh buat, saya harus melalui skybridge ini jika ingin mencapai Pasar Tanah Abang.
Bentuk Perubahan Infrastruktur Sekitar Tanah Abang
Sebelum ada skybridge, lima tahun lalu, untuk mencapai Museum Tekstil atau pusat grosir saya harus keluar stasiun terlebih dahulu melalui tangga yang berada di hall selatan (gedung lama), kemudian berjalan kaki di bahu jalan. Masih teringat betul dalam memori, kala itu cukup panas dan sedikit macet, namun tidak seramai saat ini. Saat itu saya harus berjalan melewati beberapa pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan dagangannya, seperti minuman dingin, siomay, juga casing HP―di bahu jalan sebelah kanan kalau dari arah stasiun menuju museum. Juga terdapat halte bis yang di depannya banyak angkot “ngetem”, taksi, dan tukang ojek menunggu penumpang yang baru turun dari kereta. Begitupun kalau ingin ke pusat grosir Tanah Abang harus berjalan kaki di bahu jalan yang satunya Jalan Jatibaru Raya, sebelah kiri kalau dari arah stasiun―yang seingat saya bahu jalan sebelah kiri ini lebih banyak PKL yang menjual pakaian.
Semenjak ada skybridge di Tanah Abang, semuanya jadi terkoneksi. Gedung lama stasiun langsung tersambung dengan jembatan penyeberangan multiguna, dilansir dari KOMPAS.com (2018) JPM akan menghubungkan Stasiun Tanah Abang dengan empat titik disekitarnya. Apabila belok kanan dari arah stasiun maka pejalan kaki dapat mengakses Jalan K. S. Tubun atau Museum Tekstil, Pasar Tanah Abang Blok F, dan Blok G.
Jika belok kiri dari arah stasiun yang akan ditemui pejalan kaki adalah Halte Trans Jakarta dan Jalan Jatibaru Raya. Sedangkan tangga yang sebelumnya digunakan untuk mengakses bahu jalan, sekarang digunakan sebagai penghubung dengan halte Trans Jakarta atau mikrotrans Jak Lingko. Sementara bahu jalan di seberang Jalan Jatibaru Raya ditutup atau disterilkan dari pejalan kaki, hal ini terlihat dari tingginya pagar yang dipasang di sepanjang bahu jalan. Begitu pun dengan pagar yang berada di tengah jalan raya, tinggi menjulang sampai dasar jembatan, agar pejalan kaki tidak menyeberang sembarangan dengan membahayakan diri sendiri dan transportasi yang lalu lalang.

Nunggraeni (2006) pernah membahas bagaimana para pejalan kaki lebih suka melompati pagar pembatas daripada lewat jembatan penyeberangan. Dari sini dapat diketahui bahwa keselamatan bukanlah satu-satunya variabel yang berpengaruh dalam penggunaan jembatan penyeberangan. Keberadaan pagar pembatas sebagai bentuk larangan masyarakat untuk menyeberang sembarangan juga diatur dalam UU No. 38 Tahun 2004, Pasal 12 (1) yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan”. Sementara diberlakukannya kebijakan tersebut agar para pejalan kaki dapat memanfaatkan fasilitas skybridge dan moda transportasi Jak Lingko yang terhubung dengan JPM.
Dari Bahu Jalan ke Jembatan
Skybridge ini disebut jembatan penyeberangan multiguna karena selain ditujukan untuk para pejalan kaki sekaligus penumpang kereta (commuter), jembatan ini bertujuan untuk menertibkan PKL yang tadinya berjualan di bawah jembatan atau di bahu jalan. Ukurun jembatan pun sangat panjang dan lebar, menutupi dua ruas jalan di bawahnya. Dari luasnya jembatan dapat menampung PKL yang tadinya berada di bawah. Para PKL ini difasilitasi kios-kios yang posisinya berada di tengah-tengah jembatan sehingga membagi jembatan menjadi dua jalan―saya berjalan di sisi kanan jembatan. Barang yang diperdagangkan didominasi oleh pakaian, dan hanya beberapa kios yang saya temui yang menjual makanan, sepatu, dan juga tas. Para PKL ini sangat antusias menjajakan dagangannya, tidak jauh berbeda dengan para pembeli yang mengerubungi kios-kios tersebut.
Dari kejauhan terlihat beberapa kotak warna hijau yang cukup besar berada di pinggir jembatan yang mana kotak tersebut adalah toilet umum. Toilet umum tersebut cukup ramai dan antri karena saya hanya menemui dua buah toilet di sisi kanan jembatan. Selain toilet umum, jembatan ini dilengkapi guiding block berwarna kuning atau jalur ramah disabilitas. Namun sayangnya petunjuk terputus di depan pintu keluar pejalan kaki. Fasilitas lain yang juga dapat ditemui di atas jembatan adalah petunjuk jalan atau arah yang berada di langit-langit jembatan.
Dari pengamatan saya, penempatan petunjuk jalan sudah sangat baik namun belum cukup membantu memberikan arah kepada para pengguna, sebab masih banyak pengguna yang kebingungan mereka harus melewati pintu keluar mana untuk sampai pada lokasi yang dituju. Atau mungkin karena ramainya kerumunan pedagang membuat orang-orang menjadi terdistraksi dan tidak fokus. Jarak pintu keluar yang lumayan jauh, tidak dibarengi dengan tempat duduk atau peristirahatan untuk orang-orang yang kelelahan. Tempat duduk yang saya temui sebatas kursi plastik yang disediakan oleh para pedagang di sisi jembatan, sehingga tak jarang pengunjung yang kelelahan duduk-duduk di atas jembatan, bahkan ada yang sambil menikmati makan siang mereka.
Berada di atas skybridge tidak jauh berbeda seperti berada di pasar karena banyaknya penjual dan pembeli yang saling bertransaksi. Tidak heran jika akan berdesak-desakkan dan bertabrakan karena arus pengunjung yang tidak teratur. Berdesak-desakkan tidak terjadi hanya di atas jembatan, tetapi juga di pintu keluar yang menghubungkan dengan pasar Tanah Abang karena ukurannya yang lebih sempit. Namun di sisi lain saya mempertanyakan bagaimana pejalan kaki biasa yang tidak memiliki niat untuk berbelanja di JPM ini? Lantas apa bedanya dengan berdesak-desakkan dengan PKL saat sebelum direlokasi ke atas skybridge?
Saya rasa dengan adanya skybridge ini belum sepenuhnya menertibkan PKL yang ada di Tanah Abang. Sebab saya menemui di bawah jembatan di salah satu ruas jalan, Jalan Jatibaru Raya, masih banyak PKL yang menjual dagangannya. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi kepada okezone.com (2019) bahwa skybridge bukan merupakan solusi untuk menghilangkan PKL. Sebab menurutnya dengan adanya skybridge malah menarik PKL lebih banyak lagi dan mengakibatkan kekurangan tempat sehingga membuat para PKL kembali lari kebawah. Menurut saya tata kota memang sulit dan masih perlu dibenahi.

Jembatan Penyeberangan Pasar Beringharjo
Di satu sisi, bentuk dan kondisi infrastruktur di Tanah Abang dapat dibandingkan dengan kondisi jembatan penyeberangan orang (JPO) yang berada di Yogyakarta. Kami di Yogya mencoba membandingkannya dengan Pasar Beringharjo yang memiliki dua jembatan penghubung. Pilihan kami jatuh pada Pasar Beringharjo karena ketiadaan opsi tempat lain di Yogyakarta yang sebesar dan sepadat Tanah Abang, sehingga kami hanya bisa memilih yang mendekati mirip saja. Pengamatan dilakukan dua kali di waktu yang berbeda―siang dan sore menjelang malam―pada hari yang sama Senin, 22 April 2019.
Di waktu siang hari, kami mendapati Pasar Beringharjo yang cukup ramai oleh pengunjung. Hal ini dapat dilihat dari lahan parkir kendaraan roda dua yang lumayan padat. Perlu diketahui bahwa pasar ini memiliki lahan parkir kendaraan roda dua di selatan pasar―Jalan Pabringan--dan di sekitar area untuk menurunkan penumpang.
Dari kedua lahan parkir tersebut kami kurang mengetahui mana lahan parkir yang memang ditujukkan untuk parkir (tidak liar), dan mana yang bukan ditujukkan untuk parkir (liar). Atau mungkin keduanya memang merupakan lahan parkir, namun salah satunya dibuka secara kondisional. Di sini kami melihat bahwa lahan parkir yang dekat area menurunkan penumpang adalah kondisional ketika lahan parkir Jalan Pabringan sudah padat. Atau kemungkinan lainnya adalah bahwa kedua lahan parkir ini bersaing antara satu sama lain dalam menarik pengunjung menempatkan kendaraannya di sana.
Dari lahan parkir Jalan Pabringan menuju bangunan pasar, pengunjung dapat memanfaatkan fasilitas jembatan penyeberangan orang (JPO) yang telah disediakan. Dari kedua jembatan yang ada, terlihat bahwa ukuran jembatannya berbeda. Jembatan pertama (depan) lebih lebar dibandingkan dengan jembatan kedua (belakang), namun keduanya memiliki panjang yang sama yakni hanya menutupi satu ruas jalan saja, Jalan Pabringan. Kedua jembatan ini bentuknya mirip, namun fungsinya agak sedikit berbeda.

Untuk mencapai atas jembatan pertama, pengunjung dapat menggunakan tangga atau eskalator. Di atas jembatan pertama terdapat beberapa kios-kios pedagang seperti yang terjadi pada skybridge Tanah Abang meskipun tidak sebanyak dan sepadat di sana. Kami hanya mendapati beberapa pedagang yang berjualan di pinggir jembatan, di antaranya adalah pedagang sepatu, pedagang topi bordir, pedagang pakaian, dan pakaian dalam. Juga beberapa kios yang ditutupi oleh terpal. Jembatan pertama dilengkapi oleh tempat duduk besi dan tempat sampah yang diletakkan di tengah-tengah jembatan. Jembatan ini langsung terhubung dengan lantai dua gedung bagian depan Pasar Beringharjo, yang di lantai tersebut rata-rata menjual pakaian.
Jembatan kedua yang posisinya berada di belakang gedung langsung terhubung dengan bangunan pasar bagian belakang, di mana gedung belakang terlihat seperti bangunan tua yang kurang menarik perhatian pengunjung. Gedung belakang ini lebih banyak ditempati pedagang yang menjual makanan tradisional serta bahan-bahan masakan. Pada jembatan kedua tidak ditemui pedagang yang berjualan seperti jembatan pertama. Seakan-akan jembatan kedua memang dibuat khusus untuk menyeberang saja. Kondisinya juga lebih sepi, hanya ditemui seorang bapak-bapak tua yang sedang tertidur lelap di ujung jembatan.
Pada kunjungan yang kedua, sekitar waktu Maghrib, Beringharjo sudah mulai sepi. Di sepanjang jalan Pabringan, tempat di mana terdapat dua jembatan penghubung antara tempat parkir dengan pasar, hanya ada beberapa pemulung dan tukang sampah yang membersihkan limbah pasar; tukang-tukang becak yang beristirahat dan menawarkan jasanya pada orang-orang yang lewat; tukang parkir; dan pedagang kembang sajen. Ketika kami datang, jembatan yang di belakang―jika dilihat dari Jalan Malioboro―aksesnya sudah ditutup menggunakan rolling door besi dan digembok rapat-rapat, baik untuk masuk maupun keluar pasar.
Pintu bawah Pasar Beringharjo bagian belakang tergolong kecil dan sempit. Kami mengasumsikan hal tersebut sebagai upaya agar orang-orang yang datang dari tempat parkir menggunakan jembatan penyeberangan untuk mengurangi macetnya akses jalan yang disebabkan oleh pejalan kaki yang menyeberang. Karena memang dasarnya jembatan penyeberangan banyak disediakan di berbagai lokasi dengan aktivitas ramai seperti pasar, sebagai sarana perpindahan moda transportasi pejalan kaki yang akan menyeberang. Selain untuk kenyamanan, jembatan penyeberangan juga dibuat untuk menghindari kecelakaan akibat kendaraan bermotor.

Salah seorang arsitektur, Erlavina Prahesti (2016) menceritakan pengalamannya dalam blog pribadi ketika mengerjakan penataan area Pasar Beringharjo pada tahun 2015. Penataan area terjadi karena pedestrian di bawah jembatan Pasar Beringharjo sudah disalahgunakan oleh para pengunjung. Trotoar yang seharusnya menjadi lahan untuk pejalan kaki, justru digunakan untuk parkir kendaraan roda dua, sedangkan para pejalan kaki berjalan di jalan raya. Kemudian, di sekitar jembatan juga banyak pohon yang diletakkan di tempat yang rasanya membuat jalan trotoar semakin sempit. Dalam cerita yang ditulis oleh arsitektur tersebut, ia mengatakan bahwa desain yang tim-nya rangkai mempunyai tujuan, yaitu membuat pejalan kaki dan pendatang menjadi nyaman, tempat menjadi bersih dan luas, serta Pasar Beringharjo itu sendiri menjadi lebih apik dan menarik.
Dari keterangan beberapa tukang yang berada di depan pintu bawah Pasar Beringharjo bagian belakang, mereka menyarankan untuk datang ke jembatan depan saja karena masih buka ketika kami bertanya apakah kami bisa mengakses jembatan untuk melihat bagian dalamnya. Rupanya, jam akses jembatan depan dengan belakang tidak sama. Jembatan depan dibuka lebih siang daripada jembatan belakang. Oleh karena itu, jembatan belakang tutup lebih awal dibanding jembatan depan, yaitu sekitar pukul 5 sore, sedangkan jembatan depan ditutup sekitar pukul setengah 9 malam. Oleh karena itu, kami pergi menuju jembatan depan, dan meskipun sudah sepi, jembatan depan jauh terlihat masih ada tanda-tanda kehidupan– lampu masih menyala terang, beberapa orang masih berseliweran, dan rolling door belum ditutup, meski eskalator untuk naik sudah mati.
Berada di jembatan sungguh tidak terasa seperti berada di “jembatan”, lebih tepatnya seperti berada di satu ruang. Hal ini karena bentuk ruang hampir seperti persegi panjang dan tidak ada jendela bening yang memungkinkan kami melihat ke jalan atau pun bawah jembatan. Menurut asumsi kami, jembatan ini justru menjadi tempat paling strategis untuk berjualan karena orang-orang yang datang dan pulang akan melewati stan mereka meski di awal tidak memiliki niat untuk membeli. Hal semacam ini mengingatkan kami pada strategi tempat-tempat pariwisata yang membuat akses datang dan pergi dipenuhi toko oleh-oleh sehingga secara tidak langsung memaksa kami melihat produk-produk yang ditawarkan.
Kami menyempatkan mengelilingi Pasar Beringharjo yang sudah sepi--hanya satu dua stan yang buka. Kondisi dalam pasar maupun jembatan bagian depan juga bersih dan jarang sekali kami menemui sampah. Fasilitas di dalam pasar sangat memadai baik bangku-bangku untuk duduk maupun tong sampah yang biasanya diletakkan di sebelah bangku. Jika dibandingkan dengan Pasar Beringharjo bagian belakang, Pasar Beringharjo bagian depan terlihat lebih baru, modern, dan bersih. Menurut keterangan salah seorang tukang parkir, Pasar Beringharjo bagian depan menjual barang atau baju yang lebih umum dan kasual, sedangkan Pasar Beringharjo bagian belakang menjual baju-baju khusus seperti baju pengantin, jadi kemungkinan lebih sepi ketimbang Pasar Beringharjo depan. Jembatannya pun hanya digunakan benar-benar untuk penyeberangan.
Refleksi
Dari kedua jembatan, baik skybridge di Tanah Abang maupun JPO di Beringharjo, dapat ditemukan kesamaan bahwa fungsi utama keduanya adalah untuk penyeberangan serta memberikan akses yang lebih aman untuk para pejalan kaki dan pengendara moda transportasi yang ada. Sebab para pejalan kaki (Harahap, 2014) berada pada posisi paling lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan terutama bagi pejalan kaki yang menyeberang jalan sehingga secara tidak langsung mereka akan memperlambat arus lalu lintas.
Yang berbeda dengan kondisi jembatan penyeberangan di Tanah Abang, jembatan penyeberangan di Pasar Beringharjo tidak dipenuhi pedagang kaki lima yang memadati jalan. Pedagang yang berada di atas jembatan pasar terlihat seperti penyewa kios di pasar lainnya. Bayangkan saja jika pada satu titik tidak hanya dipenuhi oleh pejalan kaki tetapi juga pedagang kaki lima (PKL), maka diperlukan alternatif lain dalam mengatasi permasalahan kepadatan jalan yang disebabkan oleh tiga elemen, pejalan kaki, PKL, dan kendaraan.
Senada dengan hal ini, John J. Fruin (1971) memperhatikan tujuh sasaran utama dalam perencanaan fasilitas bagi pejalan kaki, yaitu: keselamatan (safety), keamanan (security), kemudahan (convenience), kelancaran (continuity), kenyamanan (comfort), keterpaduan sistem (system coherence), dan daya tarik (attractiveness)--di mana jembatan penyeberangan merupakan hasil dari ketujuh sasaran yang disebutkan oleh Fruin. Jembatan penyeberangan sendiri termasuk dalam bentuk penyeberangan tidak sebidang berupa pemisahan ketinggian antara pejalan kaki dan kendaraan; di mana para pejalan kaki, termasuk PKL dalam kasus Tanah Abang, berada di level atas dan kendaraan berada di level bawah (Fruin, 1971).
Referensi
1. Ani. (2018). “Menjajal Skybridge, Jembatan Anti-Keruwetan Tanah Abang”. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181207122156-20-351887/menjajal-skybridge-jembatan-anti-keruwetan-tanah-abang? diakses pada 25 April 2019
2. Prayoga, F. (2019). “Ketua DPRD DKI: Skybridge bukan solusi untuk PKL Tanah Abang”. okezone.com. https://news.okezone.com/read/2019/01/25/338/2009589/ketua-dprd-dki-skybridge-bukan-solusi-untuk-pkl-tanah-abang diakses pada 24 April 2019.
3. Harahap, H. H. (2014). “Analisa Karakteristik Penggunaan Jembatan Penyeberangan pada Daerah Perbelanjaan di Jalan Jenderal Sudirman Kota Palembang”. Journal of Civil and Environmental Engineering, 2(1).
4. Indraswara, M. S. (2006). “Kajian Perilaku Pejalan Kaki Terhadap Pemanfaatan Jembatan Penyeberangan”. ENCLOSURE, 5(2), 82-91.
5. Fruin, J. J. (1971). Pedestrian Planning and Design. New York: Metropolitan Association of Urban Designers and Environmental Planners, Inc.
6. Nunggraeni, H. A. (2006). EFEKTIFITAS PENGGUNAAN JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG (JPO) DAN VARIABEL-VARIABEL YANG MEMPENGARUHI PENYEBERANG JALAN DALAM MENGGUNAKANNYA (Studi Kasus: Kota Semarang) (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
7. Pemerintah Indonesia. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 132. Jakarta: Sekretariat Negara
8. Prahesti, E. (2016). “Penataan Area Jembatan Pasar Beringharjo Yogyakarta”. https://erlavinadesigner.blogspot.com/search/label/kawasan%20pedestrian diakses pada 25 April 2019
9. Wahyuningrum, R. (2018). “Menjajal Akses Skybridge Tanah Abang dari Stasiun”.Kompas.com. https://megapolitan.kompas.com/read/2018/12/08/06223721/menjajal-akses-skybridge-tanah-abang-dari-stasiun diakses pada 24 April 2019.
Perfect!!!