top of page

Jogja Library Center: Pojok Kesunyian di tengah Hiruk Pikuk Malioboro

Updated: Apr 10, 2019

oleh Okky Chandra B., Hanna Rahmayani W., Lowa Satada, Reza Altamaha


Nampak depan perpustakaan

Wilayah kota mempunyai bermacam-macam institusi sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Adanya berbagai institusi yang berada di perkotaan memperkaya rupa perkotaan itu sendiri. Di antara beragam institusi, perpustakaan menarik perhatian kami.


Perpustakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring merupakan tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dan sebagainya. Sementara itu, menurut Sharma dan Vishwanathan “library is a place in which books,manuscripts, musical scores, or other literary and artistic materials are kept for use but not for sale” (2001, p. 10). Sebagaimana diketahui bahwa Yogyakarta dijuluki sebagai kota pelajar, didasari oleh jumlah perguruan tinggi yang banyak; perguruan tinggi dengan fasilitas yang berkualitas; serta minat tinggi pelajar atau mahasiswa untuk belajar di kota ini (bernas.id, 2018).


Keberadaan perpustakaan di Yogyakarta menjadi penting sebagai institusi penunjang dan pendorong pendidikan untuk para penghuninya. Menemukan perpustakaan di kota ini tidaklah sulit, selain melalui institusi pendidikan macam universitas maupun sekolah dilengkapi dengan perpustakaan dengan akses publik.


Ada juga tempat-tempat yang memang diperuntukkan sebagai perpustakaan, semisal Grahatama Pustaka yang menjadi satu perpustakaan termegah di Indonesia (Metrotvnews.com, 2015). Di samping perpustakaan yang berlokasi di Janti tersebut, masih ada pula perpustakaan lain, seperti Perpustakaan Kota Yogyakarta serta Perpustakaan Kolsani.


Di balik nama-nama perpustakaan yang mungkin sudah banyak diketahui orang awam, terdapat satu perpustakaan yang menarik perhatian kami yakni Jogja Library Center yang berada di Kawasan Malioboro.


Letak dan Sejarahnya

Jogja Library Center beralamatkan di Jalan Malioboro Nomor 175, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta. Kondisi Malioboro yang selalu ramai setiap harinya, cukup mengejutkan turut menyimpan tempat di mana pustaka lawas dapat ditemukan dan diakses dengan mudah.


Perpustakaan ini memang terkesan ‘nyelip’ diantara barisan pertokoan di Jalan Malioboro. Kalau mata tak jeli memperhatikan, bisa saja perpustakaan ini terlewat begitu saja. Terdapat dua titik patokan penanda keberadaan perpustakaan ini yaitu, Halte Bus Trans Jogja yang berada tepat di seberang gedung perpustakaan dan Plang Malioboro yang terletak tidak jauh dari perpustakaan.


Jogja Library Center juga sarat akan sejarah. Menilik kembali ke masa lampau, kawasan Malioboro sejak masa kolonial Belanda telah ramai dengan kegiatan perekonomian. Di salah satu sudutnya berdiri toko buku dan percetakan yang terkenal di masa itu, yakni N.V. Boekhandel en Drukkerij Kolff-Bunning (situsbudaya.id, 2017). Perusahaan ini menyediakan buku-buku pendidikan di Hindia Belanda.


Kolff-Bunning dapat bertahan selama beberapa puluh tahun sebelum akhirnya tutup dan berubah menjadi bangunan Cagar Budaya. Sebelum dikenal dengan Jogja Library Center, gedung bekas Kolff-Bunning sempat dijadikan Perpustakaan Negara. Sekarang ini bangunan berlantai dua tersebut menyimpan pustaka menarik khususnya berkaitan dengan pustaka sejarah.


Jogja Library Center diresmikan pada tanggal 17 Oktober 1949 di tengah perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Peresmian perpustakaan pada 1949 menunjukkan bahwa pemerintah sangat menyadari dengan keberadaan perpustakaan di tengah-tengah masyarakat dapat memenuhi tujuan pemerintah Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa.


Kondisi lobby dipotret dari tangga

Di Perpustakaan

Sewaktu melawat ke Jogja Library Center kami cukup terkesima dengan suasana perpustakaan ini. Jika di halaman luarnya berjejer lapak para pedagang yang menjual pernak-pernik maupun oleh-oleh khas Malioboro, masuk ke dalam perpustakaan ini terasa seperti tidak sedang berada di Malioboro.


Hening dan nyaman kami rasakan di dalam perpustakaan ini. Perpustakaan yang berada di bawah naungan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY ini memiliki arsitektur khas masa kolonial Belanda. Corak perpustakaan dominan berwarna cokelat dan putih.


Saat memasuki perpustakaan ini kita akan disambut oleh petugas dan diminta mengisi daftar hadir pengunjung tepatnya disebelah kiri pintu masuk. Selanjutnya akan tampak rak-rak berukuran besar mengelilingi lobby berisi arsip dokumen-dokumen seperti surat kabar dan majalah terbitan lama hingga yang terkini seperti Suara Karya, Kompas, Suara Merdeka, Djaka Lodhang, Tempo, dan masih banyak lagi.


Masing-masing dokumen tersebut dikliping dan dikelompokkan berdasarkan waktu terbit. Tetapi sebelum memasuki area-area tersebut kita harus menyimpan tas kita di loker kayu bawah tangga yang telah disediakan tepatnya di dekat pintu masuk dengan kartu identitas sebagai jaminan peminjaman loker. Di samping kiri loker tersebut juga disediakan loker charger bagi pengunjung yang ingin mengisi daya baterai telepon seluler beserta chargernya.


Terdapat space yang mendominasi lantai pertama ini sebagai tempat pengunjung duduk lesehan sambil membaca dokumen-dokumen yang ada, dan didukung dengan tersedianya meja-meja baca serta akses Wi-Fi gratis.


Hampir seluruh ruangan didominasi dengan kayu seperti meja, kursi, rak-rak buku, juga lantai tempat duduk pengunjung yang telah disebutkan tadi. Kemudian pada ujung ruangan ini terhubung dengan ruang komputer di mana kita bisa mengakses dokumen-dokumen yang telah didigitalisasi. Di bilik setelahnya terdapat Kyoto Book Corner yang menyimpan koleksi buku hasil kerja sama dengan negara Jepang, serta terdapat tiga ruangan lagi setelahnya yaitu mushola, toilet, dan kantor petugas perpustakaan.


Susunan meja dan kursi serta beberapa rak buku yang berada di lantai dua

Kemudian untuk menuju ke lantai dua kita menggunakan tangga yang bentuknya melingkar. Sesampainya diatas kita akan disambut dengan koleksi “Wayang Klithik” yaitu wayang yang bentuknya mirip wayang kulit hanya saja terbuat dari kayu. Sama halnya dengan yang ada di lantai pertama, di lantai ini juga menyimpan koleksi koran-koran maupun majalah lama.


Hanya saja yang membedakan adalah di lantai ini lebih fokus menyediakan space untuk kegiatan diskusi. Di beberapa sudut tempat terdapat meja dan kursi untuk mendukung kegiatan diskusi tersebut dan ada satu meja besar disertai banyak kursi di tengah ruangan yang disusun untuk 15-20 orang jika ingin mengadakan rapat atau diskusi.


Selanjutnya ada tiga ruangan kecil yang lebih intens dan tertutup difungsikan untuk diskusi. Tetapi, ketika kami beberapa kali berkunjung, lantai kedua ini memang lebih sepi dari lantai pertama. Padahal, lantai ini lebih luas dan banyak meja serta kursi untuk duduk dibandingkan lantai bawah. Selanjutnya diujung kanan ruangan juga terdapat ruang koleksi khusus Jogjasiana, disertai meja dan kursi yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk membaca, mengerjakan tugas, maupun berdiskusi.


Meskipun fasilitas yang ditawarkan di perpustakaan ini sudah baik, tetapi jumlah pengunjung disini masih sedikit, yaitu hanya sekitar 20-30 orang perhari jika dibandingkan dengan perpustakaan-perpustakaan di Jogja lainnya, seperti Perpustakaan Kota Yogyakarta, Perpustakaan Daerah Yogyakarta “Grahatama Pustaka”, dan lain sebagainya.


Hal ini mungkin karena memang letaknya yang terpencil ditengah keramaian Malioboro atau juga karena perpustakaan ini hanya menyimpan arsip-arsip surat kabar yang tidak seperti perpustakaan lain yang menawarkan koleksi-koleksi buku bacaan yang lebih banyak peminatnya.



Seorang perempuan sedang membuka arsip

Aktivitas di Perpustakaan

Jogja Library Center yang kami kunjungi beberapa kali ini memang tidaklah ramai. Sewaktu memasuki gedungnya pun, pengunjungnya dapat dihitung dengan jari.


Mungkin tak lebih dari sepuluh orang pengunjung dalam waktu kunjungan kami selama kurang lebih tiga jam. Di situ kami amati beberapa aktivitas pengunjung di dalam perpustakaan.


Terdapat seorang perempuan yang duduk lesehan di lantai kayu sambil membolak-balikan arsip yang telah ia kumpulkan. Terlihat kalau jenis arsip yang sedang dibaca dan dipotret merupakan koran, tetapi tak begitu jelas koran dari media mana yang dibaca. Selain itu, terdapat pula seorang lelaki yang nampaknya masih berstatus mahasiswa sedang mengamati rak demi rak. Ia mengenakan baju himpunan jurusan. Ia kemudian menuju rak di sudut kiri ruangan, di situ ia memilih kemudian mengambil satu arsip tebal dan membawanya menuju meja baca.


Beberapa orang sedang mengakses arsip digital melalui komputer yang tersedia

Lain halnya dengan perempuan dan lelaki tadi, ada pula seorang bapak yang kami lihat sedang membaca koran baru yang rupanya memang tersedia di dekat meja petugas perpustakaan.


Pengunjung lain adalah seorang bapak dan anak perempuannya yang menuju ke arah belakang perpustakaan ini. Di ruangan sebelahnya, yaitu ruang komputer – beberapa orang terlihat sedang menyimak arsip-arsip yang telah didigitalisasi sambil sesekali mengusap layar komputer untuk berganti bacaan. Meski begitu, suasana perpustakaan ini masih hening, sesekali mungkin terdengar suara komputer atau pun suara arsip yang dibolak-balik.


Di samping pengunjung, kami juga sempat mengamati beberapa petugas perpustakaan yang sedang bekerja. Terlihat ada empat orang petugas di perpustakaan ini, dua petugas berada di bagian resepsionis untuk menyambut pengunjung sambil mengarahkan langkah selanjutnya yang harus dilakukan pengunjung untuk dapat menikmati fasilitas dari perpustakaan ini.


Dua petugas di bagian resepsionis tadi berpakaian formal dan cukup ramah kepada para pengunjung. Ada pula satpam yang kami lihat terkadang mondar-mandir keluar masuk perpustakaan. Petugas terakhir di perpustakaan ini adalah cleaning service, ia beberapa kali terlihat menenteng pel dan ember dari ruang ke ruang.


Di waktu tertentu, salah satu resepsionis mengecek rak-rak buku. Dugaan kami, ia sedang menata buku yang dikembalikan tidak ditempatnya, yang dibuktikan ketika ia membawa sebuah arsip dari salah satu rak dan memindahkannya ke rak di sebelahnya.


Digitalisasi Koleksi

Salah satu sudut yang menyita perhatian kami adalah ruangan berisi beberapa komputer. Ruangan tersebut seakan memadukan masa lampau dan masa kini, yang mana arsip-arsip lawas didigitalisasi. Digitalisasi koleksi langka merupakan proses alih media koleksi buku langka dari bentuk tercetak menjadi bentuk elektronik (Asaniyah, 2017, p. 89).


Dilakukannya digitalisasi tentunya wajar, mengingat arsip cetak akan rusak dimakan zaman maka diperlukan langkah demikian agar koleksi langka yang tersimpan dalam Jogja Library Center tetap lestari. Akan disesali kiranya apabila koleksi langka yang tersimpan di perpustakaan ini tidak dapat bertahan di tengah pusaran zaman. Keberadaan teknologi yang mampu memindahkan informasi dari media cetak ke media elektronik memang telah berkembang cukup baik saat ini.


Namun begitu, digitalisasi ini juga menghasilkan celah, “technology is bringing the world together, but many cultural factors fundamentally divide people” (Sharma & Vishwanathan, 2001, p. 15). Pernyataan Sharma dan Vishwanathan tersebut ada benarnya, tatkala kemajuan teknologi, termasuk pula dalam digitalisasi arsip membuahkan perbedaan. Hal ini terjadi karena perbedaan literasi orang-orang untuk dapat mengakses koleksi yang telah didigitalisasi juga beragam, ada yang mahir dan ada pula yang gegap mengoperasikannya.



Penampakan Kyoto Book Corner

Sudut Baca yang Terlupakan

Sudut baca ini merupakan sebuah ruang koleksi yang diberi nama Kyoto Book Corner. Dalam sekali lihat, ruang ini tampak terlupakan karena letaknya yang paling belakang dalam rangkaian ruang perpustakaan dan sepi pengunjung.


Selama kami berkunjung ke Jogja Library Centre dan menjelajahi ruangannya, hanya ada satu atau dua orang yang mengunjungi Kyoto Book Corner. Ruang ini pertama kali diresmikan pada hari Rabu, 20 Oktober 2010 oleh Gubernur Prefektur Kyoto, Keiji Yamada dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X. Peresmian Kedai Buku Kyoto (Kyoto Book Corner) ini sebagai perayaan 25 tahun kerjasama kedua provinsi tersebut dan juga sebagai hadiah hari jadi ke 61 Perpustakaan Daerah Provinsi DIY.


Ruangan yang dipakai sebagai koleksi buku-buku Kyoto terletak di bagian belakang setelah lobby dan tempat baca untuk pengunjung. Tidak hanya buku-buku saja yang dijadikan koleksi, namun ada beberapa produk teknologi lawas yang ikut dijadikan koleksi seperti komputer, mesin ketik, dan mesin cetak.


Ruang koleksi ini dilengkapi dengan berbagai rak etalase berisikan literatur yang ditulis dengan huruf Jepang. Meski kami tidak mengerti apa yang diceritakan oleh buku-buku di ruang koleksi Kyoto Book Corner, namun visual menarik pada sampul buku sepadan untuk diamati. Di seberang rak etalase buku terdapat photocorner dengan latar belakang merah yang bertemakan ornamen khas budaya Jepang.


Ruangan yang bersebelahan langsung dengan Kyoto Book Corner ialah ruang komputer yang terdapat pula koleksi komputer, mesin ketik dan mesin cetak lawas. Di ruangan tersebut disediakan komputer tabung dan komputer tablet untuk memudahkan pengunjung mengakses arsip elektronik dan berselancara di dunia maya.


Menurut I. Agustiro Suro (dpad.jogjaprov.go.id, 2011), kerjasama antara Kyoto dan Yogyakarta karena adanya persamaan “kekhususan” daerah tersebut terhadap negaranya. Kyoto Jepang telah menjadi pusat penting dan istimewa dalam sejarah Jepang hampir sepanjang seribu tahun, begitu pula dengan Yogyakarta yang menjadi wilayah istimewa dalam sejarah Indonesia.


Oleh karena persamaan itu, diharapkan Yogyakarta dan Kyoto dapat menciptakan sinergi untuk perkembangan peradaban dunia di masa mendatang dan dikenal sebagai dua daerah yang membawa warna global dengan kearifan lokal. Lalu, dengan adanya Kyoto Book Corner dapat dijadikan sebagai rintisan perluasan jejaring pusat-pusat internasional yang lain seperti Lembaga Indonesia Perancis, Pusat Studi Jerman, Karta Pustaka Pusat Kebudayaan Indonesia Belanda, Hatta Corner yang merupakan cikal bakal Pusat Studi India, America Corner di UGM dan UMY, Sinologi Pusat Kajian Cina di UMY Pusat Studi Korea di UII dan UGM, Pusat Studi Kanada di UIN Sunan Kalijaga, Pusat Studi Turki di UGM dan lain-lain.


Adanya jaringan pusat-pusat studi internasional ini akan dapat memperkuat peranan Yogyakarta sebagai Kota Damai dan Zona Perdamaian yang dapat ikut serta menciptakan perdamaian di Indonesia dan di dunia Internasional.


Refleksi

Mengingat kembali kunjungan kami ke Jogja Library Center sebetulnya memberikan pengalaman menarik sekaligus wawasan baru akan adanya perpustakaan yang menyediakan berbagai arsip lawas yang jarang ditemukan dan dapat dengan mudah diakses di perpustakaan ini.


Koleksi perpustakaan ini juga membawa kembali ke peristiwa-peristiwa lampau yang tertulis di dalamnya – suasana khas kolonial juga membawa kesan yang merangkai peristiwa masa lalu. Di balik anggapan-anggapan positif yang terbesit dari benak kami, muncul pertanyaan mengapa orang-orang masih mengunjungi perpustakaan ini? Lalu apakah yang terjadi jika perpustakaan ini suatu saat menghilang?


Kembali pada pengertian perpustakaan sebagai sebuah tempat untuk menyimpan sumber ilmu, rasanya tidak berlebihan jika status mulia ini disematkan. Terlebih upaya untuk menjaga dan merawat ilmu pengetahuan sudah menjadi praktik lama di Indonesia, dimulai sejak zaman kerajaan, penjajahan Hindia-Belanda, penjajahan Jepang, pasca kemerdekaan, serta masa Orba hingga saat ini (Nurlidiawati, 2014, p. 19).


Di masing-masing fase tersebut terdapat sebuah kesamaan dalam upaya untuk mewariskan ilmu melalui bentuk buku, koran, majalah, maupun surat-surat yang dijadikan sebagai arsip. Tak terkecuali dengan Jogja Library Center yang kini difungsikan sebagai salah satu perpustakaan arsip dibawah naungan DPAD DIY. Sesuai dengan cerita sebelumnya, tumpukan kliping koran, majalah, dan buku-buku seputar Yogyakarta tersimpan dengan rapih dan hampir jarang tersentuh oleh khalayak umum.


Kurangnya perhatian masyarakat terhadap keberadaan perpustakaan ini seolah menggambarkan adanya jarak dengan perpustakaan. Kunjungan ke Jogja Library Center yang dapat dibilang bisa dihitung dengan jari dapat disebabkan oleh dua faktor berdasarkan pemantauan kami disebabkan karena ketidaktauan mengenai keberadaan perpustakaan tersebut, dan susahnya akses parkir.


Biarpun perpustakaan ini banyak dijadikan rujukan bagi mahasiswa untuk mencari arsip, kondisi yang tenang dan nyaman juga menjadi salah satu nilai lebih dari Jogja Library Center. Jika dilihat perbedaan suasana antara di luar di Jalanan Malioboro dengan di dalam akan sangat terasa bedanya. Hiruk pikuk Malioboro dengan berbagai aktivitas di luar sangat kontras dengan di dalam perpustakaan. Bahkan jika membandingan dengan perpustakaan lain yang ada di Yogyakarta, Jogja Library Center dapat dikatakan cukup sepi pengunjung meski memiliki fasilitas yang tidak jauh berbeda dari perpustakaan lain.


Referensi

  1. Asaniyah, N., 2017. Pelestarian Informasi Koleksi Langka: Digitalisasi, Restorasi, Fumigasi. Buletin Perpustakaan, Volume 57, pp. 85-94.

  2. Nurlidiawati. 2014. Sejarah Perkembangan Perpustakaan di Indonesia. Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al Hikmah, 2(1), pp. 18-27.

  3. Sharma, R. & Vishwanathan, K., 2001. Digital libraries: developmentand challenges. Library Review, 50(1), pp. 10-15.

  4. Suro, I. Agustiro. 2011. Kyoto Book Corner Jogja Library Center. Available at: http://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/kyoto-book-corner-jogja-library-center-oleh-i-agustiro-suro-239 (Accesed 3 April 2019).

  5. bernas.id, 2018. Yogyakarta Disebut Kota Pelajar? Apa Alasannya? Available at: https://www.bernas.id/58911-yogyakarta-disebut-kota-pelajar-apa-alasannya-.html [Accessed 2 April 2019].

  6. Metrotvnews.com, 2015. Yogya Segera Miliki Perpustakaan Senilai Rp72,5 Miliar. Available at: http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/12/15/460599/yogya-segera-miliki-perpustakaan-senilai-rp72-5-miliar [Accessed 2 April 2019].

  7. situsbudaya.id, 2017. Jogja Library Center. Available at: https://situsbudaya.id/jogja-library-center/ [Accessed 2 April 2019].

Recent Posts

See All

1 Kommentar


KMP
KMP
05. Apr. 2019

Deskripsi hasil pengamatan yang bagus!! this is one of my fav!

Gefällt mir

Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page