Jombor dan Trans Jogja: Simpul Transportasi Tanah Istimewa
- rayhan wildan
- Apr 25, 2019
- 6 min read
Updated: May 2, 2019
Adam Sediyoadi P, Anugerah Rinaldi, Rayhan Wildan R, Tigar Brilyan Sugijarta.

22 April 2019
Lalu lintas Sleman pagi itu cukup lenggang. Mungkin karena banyak penduduknya yang masih berada di luar kota untuk menikmati long weekend. Sekitar pukul 8, sampailah kami di Terminal Jombor. Kami memarkirkan motor di depan salah satu kantor agen Perusahaan Otobus (PO). Menurut data yang termaktub dalam laman Dinas Perhubungan Provinsi D.I. Yogyakarta, Jombor merupakan terminal tipe B yang berfungsi melayani kendaraan umum untuk Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP), Angkutan Kota (Angkot), dan atau Angkutan Pedesaan (Ades).
Wajah-wajah penuh penantian menjadi pemandangan umum yang kami lihat. Gadget menjadi pelarian para calon penumpang untuk menghindari kebosanan. Beberapa penumpang juga ada yang menunggu sembari menikmati rokoknya. Kerumunan calon penumpang ini kamu lihat di depan salah satu kantor penjualan tiket milik sebuah PO ternama. Mereka menunggu kedatangan bus dengan tujuan akhir Semarang. Beberapa penumpang ada yang baru membeli tiket beberapa saat sebelum berangkat.
Satu hal yang kami sadari, sistem yang berlangsung di terminal ini masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan stasiun maupun bandara. Di sini, tidak ada pengecekan, pencetakan boarding pass bahkan antrean menuju peron atau ruang tunggu. Semuanya berjalan dengan sangat sederhana. Pun, tidak ada papan informasi yang memuat jadwal keberangkatan atau petugas yang wara-wiri membantu para calon penumpang. Kamu datang, membeli tiket secara on the spot (OTS), lalu berangkat.
Bahkan beberapa menit sebelum bus mulai melaju, masih ada penumpang yang baru tiba. Mereka diantar oleh teman, saudara atau pasangan. Ya, terminal memang menjadi sebuah titik yang menghubungkan ataupun memisahkan. Setelah mengamati kerumunan calon penumpang tersebut kami kemudian menuju bangunan utama terminal.
Bangunan utama Terminal Jombor sangat sederhana. Terdapat sebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang setengah tingginya berdindingkan kaca. Di dalamnya kosong. Di seberangnya, terdapat tiga orang petugas yang duduk di jalur dua—Terminal Jombor memiliki 3 jalur bus di kedua sayap. Salah satu petugas terlihat sedang membaca koran, yang satunya lagi sedang menikmati rokok dan sesekali menulis, mungkin data bus yang masuk ke terminal hari ini. Serta orang ketiga yang bertugas menjadi petugas tiket. Ketika ada bus kecil yang masuk ia akan langsung bangun untuk memberikan tiket dan mengambil uang dari supir bus tersebut.
Kami kemudian memutuskan untuk duduk sembari ngopi di sebuah warung kaki lima yang memang banyak berjualan di bagian selatan terminal. Dari tempat kami duduk, kami dapat mengamati halte bus Trans Jogja secara jelas. Menurut Rayhan, untuk sebuah halte yang terletak di dalam terminal, halte tersebut cukup kecil. Meskipun begitu, intensitas lewatnya bus TransJogja cukup tinggi. Kurang dari 20 menit kami mengamati sudah ada 3 bus yang lewat untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.
Kebanyakan para penumpang Trans Jogja ini adalah para pekerja yang masih setia menggunakan trasnportasi umum di Jogja. Beberapa dari mereka datang dengan diantar oleh keluarga, ada juga yang diantar oleh ojek online. Sebagai informasi, jasa ojek online di sini hanya dibatasi untuk mengantar penumpang. Jika hendak pulang dari terminal, penumpang dapat memanfaatkan jasa dari paguyuban ojek Terminal Jombor, atau jika membawa banyak barang dapat memesan taksi yang sudah berderet panjang di bagian depan terminal.
Halte Jombor Sore Hari
Kunjungan kedua kami ke Terminal Jombor dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 23 April 2019 sekitar jam 4 sore. Kali ini kami langsung mengunjungi halte Trans Jogja. Waktu sore hari kami pilih karena merupakan jam pulang sekolah, sehingga halte tersebut akan penuh berisi para penumpang. Dugaan kami tersebut benar adanya. Suasana halte Trans Jogja di Terminal Jombor pada waktu itu sangatlah ramai.
Hilir mudik para penumpang yang naik dan turun kami jumpai di sore ini. Kami juga mengamati bahwa para penumpang yang turun dari bus Trans Jogja seringkali juga berpindah menggunakan angkutan transportasi lain yang ada di Terminal Jombor ini. Mereka menggunakan ojek maupun bus kecil untuk melanjutkan perjalanan mereka. Lokasi di mana para pengendara ojek ngetem atau berkumpul di kawasan Terminal Jombor ini memang tidak jauh dari halte Trans Jogja Jombor ini, bahkan tak jarang mereka mendatangi para penumpang untuk menawarkan jasa ojek mereka.
Saat kami melakukan pengamatan dan wawancara sambil lalu kepada orang-orang yang berada di halte Trans Jogja Jombor dan sekitarnya selama kurang lebih satu jam, tercatat ada delapan bus Trans Jogja yang melewati halte ini. Menurut petugas Trans Jogja yang berjaga saat itu, yakni mas Anam dan mas Fandi, halte ini memang selalu dipenuhi para penumpang. Pada saat keadaan ramai, halte ini dapat menampung tiga puluh orang.
Trans Jogja sebagai Transportasi Publik andalan?

John P. Ernst dan Heru Sutomo (2010) menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia dihadapkan dengan tren menurun dalam penumpang angkutan umum, di mana wilayah Yogyakarta pun menunjukkan hal tersebut. Studi dari Wolfram Lorenz (2002) dengan baik menjelaskan bagaimana kehidupan kendaraan dan apa saja kendaraan di Yogyakarta, termasuk di dalamnya angkutan umum di kota ini. Menurut Lorenz, jalanan di Yogyakarta berisi para pedestrian, sepeda, sepeda motor, becak, andong, mobil, bus kota, truk, dan polisi sebagai pemberi dan pengawas peraturan. Yogyakarta sebagai sebuah kota tentu saja mengalami berbagai interaksi, di mana kemudian transportasi yang ada di dalamnya pun berubah dan berganti.
Pembukaan Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta, yakni TransJakarta pada tahun 2004, menyebabkan penerapan BRP semakin luas di kota-kota lain di Indonesia. BRP pun muncul di Yogyakarta dengan nama TransJogja dan menjadi kemudian menjadi salah satu angkutan umum yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan para warga Yogyakarta dan sekitarnya. Namun karena alasan struktur jalan, struktur kelembagaan, dan struktur operasional yang berbeda, Llyod Wright (2010) mengemukakan bahwa sistem BRT di kota-kota selain Jakarta merupakan sistem baru, di mana hal ini Yogyakarta juga termasuk di dalamnya.
Pemerintah kota menyediakan banyak halte sebagai pemberhentian bus Trans Jogja. Halte Trans Jogja ditempatkan pada tempat-tempat strategis yang ada di kota guna mempermudah mobilitas masyarakat. Menurut Siti Aminah (2007) karakter umum dari transportasi publik adalah pelayanan akses kepada masyarakat dengan mobilitas dan akses pada pekerjaan, sumber-sumber sosial ekonomi politik, pusat kesehatan, dan tempat rekreasi.
Namun, dalam beberapa pemberitaan di media, halte Trans Jogja memiliki suatu masalah mengenai lahan penggunaannya dan keramahan terhadap difabel. Berkenaan dengan masalah pertama, hal tersebut disebabkan karena banyak dari halte Trans Jogja dibangun di atas trotoar, di mana hal tersebut mengganggu hak dari para pejalan kaki. Halte Trans Jogja Jombor sendiri memang didirikan di atas trotoar yang kondisinya juga sudah tidak terlalu baik. Akses terhadap difabel juga menjadi salah satu implikasi atau akibat dari buruknya kondisi trotoar serta penempatan halte Trans Jogja di trotoar. Halte Trans Jogja di Terminal Jombor pun juga demikian, tidak ramah terhadap para difabel. Akses jalan yang kurang baik untuk dapat naik menuju ke halte serta seringkali penuhnya halte oleh penumpang menunjukkan hal tersebut. Dalam hal tersebut, jalan atau akses menuju naik ke halte perlu kiranya untuk diperbaiki serta kaum difabel perlu diberikan ruang lebih saat berada di dalam halte.
Permasalahan Trans Jogja
Menurut Siti Aminah (2007), setidaknya ada tiga indikator buruk untuk melihat pelayanan transportasi publik, yaitu tingkat pelayanan rendah, tingkat aksesibilitas rendah, dan biaya yang tinggi. Untuk menilai ketiga hal tersebut, kami bertemu pak Ateng untuk menceritakan pengalamannya sebagai penumpang Trans Jogja. Beliau banyak tahu mengenai Trans Jogja karena beliau sering menggunakan moda transportasi umum tersebut dan banyak mengenal kru Trans Jogja.
Menurut Beliau, mengacu pada Siti Aminah (2007), setidaknya Trans Jogja memiliki satu indikator buruk, yaitu tingkat pelayanan rendah. Banyak perlakuan kru Trans Jogja yang membuat penumpang tidak nyaman saat berada di dalam kendaraan. Dari rangkuman cerita pak Ateng, setidaknya terdapat tiga pelayanan Trans Jogja yang merugikan penumpang. Pertama, sopir Trans Jogja yang mengemudikan busnya secara “ugal-ugalan”, seperti rem mendadak, tidak memperlambat saat ada polisi tidur, dan kecepatan laju bus yang cepat (sering menyalip kendaraan lain). Tentunya, tindakan sopir yang seperti itu membuat penumpang tidak nyaman. Dikutip dari Okenews, tindakan sopir yang “ugal-ugalan” dikarenakan sopir yang ingin cepat sampai ke halte tepat dia beristirahat, sehingga semakin cepat, semakin lama dia beristirahat.
Kedua, Sikap arogansi kondektur bus terhadap penumpang. Menurut pak Ateng, ada beberapa oknum kondektur bus yang merendahkan penumpang yang terlihat tidak memiliki uang. Padahal seharusnya kondektur bis harus bersikap sama terhadap semua penumpang. Terlebih biaya yang mereka keluarkan sama, yaitu sebesar Rp 3.500 per orang. Hal buruk lain yang dilakukan kondektur bus dan sopir adalah tidak berhenti dan menaikkan orang yang ada pada halte portable (halte sekunder yang mana tidak terdapat kru Trans Jogja untuk menarik biaya. Jadi penumpang membayar biayanya di dalam bus kepada kondektur bis). Pak Ateng juga mengatakan bahwa kondektur seringkali tidak memiliki uang kembalian saat ada orang yang naik dari halte portable. Seharusnya kondektur harus mempersiapkan uang receh untuk mengantisipasi penumpang yang membayar dengan uang lebih.
Ketiga, banyak di antara armada bus yang sudah tidak layak pakai (jumlahnya sudah mencapai 34 dari 74 armada yang sudah harus secepatnya diganti), seperti gas buangan yang sudah menghitam. hal tersebut tentunya sangat merugikan pengendara lain, terutama pengendara motor. Apalagi jika sering menghirup gas tersebut akan menyebabkan berbagai gangguan pernafasan.
Trans Jogja sebagai infrastruktur memang telah mempermudah mobilitas masyarakat untuk mengakses setiap sudut kota. Harganya yang terjangkau, dan tempatnya yang strategis membuat Trans Jogja dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat. Berbagai permasalahan Trans Jogja ini seharusnya dapat menjadi refleksi bagi pemerintah untuk terus meningkatkan pelayanan. Dengan begitu, masyarakat dapat lebih nyaman ketika menggunakan transportasi publik kota.
Referensi
Aminah, Siti. 2007. “Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan”. Masyarakat, Kebudayaan dan politik 20(1), 35-52.
Ernst, John P. and Heru Sutomo. (2010). BRT's Influence on Public Transport Improvements in Indonesian Cities. Built Environment (1978-), Vol. 36, No. 3, Bus Rapid Transit: A Public Transport Renaissance (2010), pp. 344-352
Lorenz, Wolfram. (2002). The Impact of Modern Traffic and Traditional Life on Informal Traffic Rules: The Example of Yogyakarta. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 158, No. 4, ON THE ROAD: The Social Impact of New Roads in Southeast Asia (2002), pp. 691-705
Wright, Llyod. (2010). Bus Rapid Transit: A Public Transport Renaissance. Built Environment (1978-), Vol. 36, No. 3, Bus Rapid Transit: A Public Transport Renaissance (2010), pp. 268-273.
Comments