top of page

Josi: Kisah Pelajar, Barista, dan Rumahnya

Updated: Dec 26, 2018

Oleh: Adam Sediyoadi Putra & Anugerah Rinaldi

Figure 1: Josi di depan coffee shop Signatura. (sumber: https://www.instagram.com/josilamablawa/).

Salah satu dari kami, Adam, memiliki seorang teman yang bekerja di sebuah coffee shop di Yogyakarta. Relasi pertemanan terjalin dengan kebetulan, karena suatu hal yang tidak direncanakan sebelumnya. Adam yang rutin menikmati kopi di coffee shop tersebut akhirnya kemudian beberapa kali juga berinteraksi dengan orang tersebut. Walaupun memang orang tersebut sepertinya mudah akrab dengan orang lain, namun bagi Adam, hal itu membuatnya tertarik untuk selalu datang di coffee shop tersebut. Suatu ketika kami mendapatkan tugas untuk membuat sebuah tulisan dengan tema person, kami berinisiatif untuk berangkat ke coffee shop tersebut pada tanggal 14 November 2018 di pagi hari untuk lebih mengetahui kisahnya. Kami memilih orang tersebut karena beberapa kali Adam berinteraksi dengannya dan kami merasa bahwa ada sesuatu hal yang menarik di dalam diri orang tersebut.

Seorang Pelajar dari Indonesia Timur di Kota Pelajar

Yogyakarta dapat disebut sebagai kota pelajar karena memiliki banyak perguruan tinggi dan banyaknya jumlah pelajar dalam kota tersebut. Efianingrum (2017) mengutip seorang Sosiolog Selo Sumardjan (2009) dalam bukunya “Perubahan Sosial di Yogyakarta” menguraikan tentang masifnya pembangunan sekolah dan universitas di Yogyakarta terjadi sejak tahun 1950-an.[1] Akibatnya, banyak orang dari berbagai pelosok Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, Maluku, Papua, dan pulau-pulau kecil lainnya juga, datang jauh-jauh untuk belajar di kota Yogyakarta. Salah satu contoh kecilnya ialah seperti teman Adam, yang bernama Josi.


Josi merupakan seorang mahasiswa Sanata Dharma tahun angkatan 2017 yang datang jauh dari kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Josi datang jauh dari kampung halamannya ke Yogyakarta untuk belajar karena ia menilai dan memandang bahwa kota Yogyakarta nyaman untuk dapat dijadikan tempat belajarnya. Ia juga memiliki alasan tertentu mengapa tidak melanjutkan pendidikan di berbagai kota besar lainnya seperti Jakarta, Malang, dan Surabaya. Menurutnya, Jakarta sudah penuh dengan orang-orang pekerja yang sangat aktif. Di Malang, ia tidak memiliki pandangan atas apa yang ada di kota tersebut. Josi tidak ingin mencoba “perjudian” atas dirinya di kota Malang tersebut. Untuk Surabaya sendiri, ia memiliki pandangan bahwa kota tersebut merupkan kota pelabuhan yang sangat terik dan tentu saja aktivitas para pekerja juga sangat padat di kota tersebut.


Selain karena stigma tertentu yang ada di dalam dirinya, Josi memiliki alasan kesejarahan yang cukup andil dalam menentukan kota tujuan pendidikannya. Dulu, kedua orang tua Josi bertemu saat berada di Yogyakarta. Gambaran bahwa kota Yogyakarta adalah kota yang nyaman pun kemudian datang dari cerita orang tuanya. Ia pun kemudian ingin mengulang “cerita lama” kedua orang tuanya tersebut untuk berkuliah di Yogyakarta. Di sini kami menilai bahwa Josi memiliki pandangan baik atas kota Yogyakarta, karena cerita-cerita tentang “kebaikan” kota ini telah diterima olehnya sebelum ia sampai di kota ini.

Kami menilai bahwa tidak sembarang orang dapat pergi untuk melanjutkan pendidikannya di sebuah tempat yang jauh dari asalnya. Ada faktor pendukung yang membuat seseorang itu dapat pergi jauh meninggalkan kampung halamannya untuk belajar. Menurut kami, seseorang yang dapat pergi kesuatu tempat yang jauh untuk melakukan suatu hal harus memiliki kekuatan dalam hal modal (keuangan) dan non-modal (jasmani). Kedua elemen tersebut saling bersinergi, sehingga mendorong seseorang untuk meninggalkan tempat asalnya dan memulai kehidupan baru yang (sangat) berbeda dengan apa yang selama ini telah dialaminya.


Dilihat dari penampilan sehari-harinya, kami menilai bahwa Josi termasuk ke dalam keluarga yang berkecukupan. Bahkan di dalam salah satu ceritanya, kakaknya berkuliah di Jerman. Josi juga mengatakan bahwa dia sebenarnya dapat bebas memilih ingin berkuliah di mana saja karena kakaknya sudah melakukannya dan bahkan lebih jauh dari tempat kuliah Josi sekarang. Terlebih ia mengatakan bahwa ia merupakan anak sulung yang dapat memilih kemauannya sendiri tanpa khawatir. Kesuksesan atas kakaknya pun sebetulnya menjadikan beban tersendiri bagi Josi. Jadi, terkadang kita tidak dapat senaknya dalam memilih keputusan seperti untuk melakukan mobilitas, itu dipengaruhi oleh relasi-relasi kita dengan orang lain. Berkaca dari Josi, kita dapat melihat bahwa kemampuan atas pemenuhan kedua faktor tersebut telah mendorongnya untuk dapat melakukan mobilitas ke Yogyakarta. Selain itu, relasi-relasi sosial di dalam keluarga Josi pun banyak memainkan peran sehingga ia dapat melakukan mobilitas ke Yogyakarta.


Seorang Barista dari Timur di Kota Kopi “Baru”


Selain Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, menurut kami Yogyakarta dapat disebut sebagai kota kopi kedua setelah Aceh. Menurut Ranu Prasetyo, Marketing Communications Manager Ralali.com sekaligus pakar bisnis digital di Indonesia menjelaskan, pada tahun 2017 jumlah kedai kopi di Yogyakarta dan sekitarnya mencapai angka 1.200 (seribu dua ratus), angka ini jauh lebih tinggi dari kota-kota besar terdekat seperti Semarang, yang bekisar 700 (tujuh ratus) kedai kopi, serta Solo berkisar 400 (empat ratus) kedai kopi.[2] Angka ini pun tentu saja akan terus bertambah, mengingat kota di Yogyakarta pertumbuhan penduduk cukup meningkat serta berkembang pesatnya industri dan kegiatan perekonomian di kota ini. Sehubungan dengan hal tersebut, banyaknya coffee shop di Yogyakarta pun membuat Josi berkesempatan untuk dapat menjadi seorang barista di kota ini. Kesempatan kemudian jatuh kepada sebuah coffee shop di jalan Agro, tepat di sebelah utara Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, yang bernama Signatura.

Menurut kami, menjadi seorang barista tidak cukup hanya mengandalkan pengetahuan dan skill dalam membuat kopi. Barista yang baik merupakan seorang yang juga dapat membuat pelanggannya puas dengan memberikan kopi yang nikmat dan pelayanan yang baik. Bagaimana seorang barista memperlakukan pelanggannya, menyapanya, serta interaksinya sembari pelanggan itu menikmati kopi merupakan nilai tambah tersendiri bagi kami. Pada akhirnya, jika barista dapat memperlakukan pelayan dengan baik, akan tercipta sebuah ikatan emosional antara pelanggan dan barista. Ikatan itulah yang meningkatkan jumlah pelanggan tetap yang ingin terus kembali lagi, bukan hanya untuk menikmati secangkir kopi namun untuk menikmati suasana di sebuah coffee shop.

Kami menilai bahwa Josi memiliki kedua modal itu. Josi dapat membuat kopi yang enak sekaligus juga dapat memperlakukan pelanggannya dengan baik. Ia mudah untuk bergaul, menyapa pelanggan, dan terkadang saat ia berlatih membuat sebuah kopi, ia membagikannya kepada pelanggan dan meminta pendapat terhadap kopinya. Ia juga mempunyai kebiasaan memperhatikan hal-hal kecil seperti kebiasaan kita saat sedang ngopi, atau bahkan memperhatikan selera kopi kita, sehingga ia dapat merekomendasikan kopi yang akan ia buat. Hal-hal kecil itulah yang terkadang tidak kita sadari justru membuat sebuah ikatan emosional antara seorang barista dengan pelangggannya semakin dalam.

Pernah suatu ketika Adam datang dan ia tiba-tiba memberikan sebuah rekomendasi kopi yang menurut Adam memang benar-benar nikmat. Ia memberikan sebuah kopi dari Banjarnegara yang ia buat dengan proses Japanese dimana ia menyeduh kopi dengan alat bernama V60 dan hasil dari tetesan itu menetes ke ice cube di gelas server. Rasa yang akan keluar yang ia katakan pada saat menawarkan kopi itu adalah rasa fruity guava, manis, after taste yang ringan tapi juga mendapatkan body yang bold. Setelah Adam merasakan kopi tersebut, memang rasa yang ia katakan benar-benar dirasakannya. Itu juga membuktikan bahwa ia tidak hanya memperhatikan pelanggannya, namun juga memiliki skill dalam membuat kopi.

Coffee Shop adalah Rumah

Terkadang kita masih bias dengan definisi akan rumah. Menurut Rully (2014) “Dalam arti umum, rumah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu.... Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain” (2014: 1). Definisi rumah menurut bahasa memang jelas, namun rumah dalam beberapa situasi dapat menjadi sebuah konsep yang berbeda. Contohnya, terkadang kita mengaggap rumah adalah hanya bagian dari relasi-relasi kita, seperti saat kita berada dekat dengan anggota keluarga seperti orang tua, entah itu tidak di suatu bangunan, kita mengganggapnya adalah sebuah rumah. Contoh lainnya seperti saat kita mengganggap seseorang seperti pasangan kita sebagai rumah, padahal dia belum menjadi bagian dari keluarga seperti yang dikatakan dalam definisi tersebut.

Terkadang kita juga mengganggap sebuah tempat yang tidak berisi keluarga, kita tidak melakuka aktifitas rumah pada umumnya, namun kita dapat mengganggap sebuah tempat yang hanya kita singgahi sebentar sebagai sebuah rumah. Coffee shop terkadang dapat kita anggap sebagai sebuah rumah karena sifat-sifatnya seperti nyaman, hangat, dapat menjadi sebuah tempat untuk istirahat. Seperti yang dikatakan oleh Gelora Cita, “Warung kopi dijadikan rumah kedua bagi mereka setelah lelah melakukan rutinitas seharian” (Gelora Cita, 2015: 10). Hal itu dikarenakan di dalam coffee shop kita tidak hanya duduk untuk menikmati kopi namun, “....pilihan mereka berkunjung dan duduk diwarung kopi sebagai tempat dimana diwarung kopi tersebutlah mereka bisa berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman mereka, berbagi cerita, selain itu warung kopi tersebut juga dijadikan sebagai tempat melepas penat saat jam istirahat kerja serta selesai pulang kerja” (Gelora Cita, 2015: 10).


Menurut kami, Josi sebagai seorang barista di Signatura dapat membuat tempat tersebut memiliki konsep rumah. Ia memperlakukan pelanggan dengan baik, membuat sebuah ruang diskusi hingga relasi-relasi yang sifatnya emosional juga tercipta. Hubungan antara barista dan pelanggan ini akhirnya membuat Singatura memiliki konsep rumah seperti yang kita bahas sebelumnya. Terkadang orang-orang menyebutnya dengan istilah “homey” karena sebuah tempat memiliki sifat-sifat atau perasaan yang nyaman seperti rumah. dan menurut kami, coffe shop yang memiliki istilah ini adalah coffe shop yang kecil, seperti di Signatura ini . Jika coffe shop ini memiliki ruangan yang kecil, maka antara pelanggan dan barista dapat tercipta percakapan. Bisa juga antar pelanggan dapat saling berkenalan satu sama lain dan melakukan percakapan juga. Konsep tersebut pun juga dipelihara Josi selama dirinya tinggal di Yogyakarta. Tanpa hal tersebut, Josi tentu saja tidak akan pernah nyaman dengan Yogyakarta, dan ia telah pulang atau bahkan pindah dari tempat ini sejak jauh-jauh hari. Josi, seorang pelajar dan barista dari Indonesia bagian timur telah dapat menemukan, meredefinisikan, serta membuat konsep rumahnya di kota Yogyakarta ini.


Daftar Pustaka

Referensi


Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page