top of page

Kabupaten Bantul dan Transformasinya

Athif Tsabit Prasojo (17/413272/SA/18854) Shafira Apriliana Hendrawan (17/413286/SA/18868) Vincamira Tasha Florika (17/413290/SA/18872) Ali Akbar Muhammad (17/414967/SA/19017)




Esai Utama Kabupaten Bantul dan Transformasinya Oleh: Ali Akbar Muhammad (17/414967/SA/19017)


Pendahuluan

Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ibu kotanya adalah Bantul. Motto kabupaten ini adalah Projotamansari, yang merupakan singkatan dari Produktif-Profesional, Ijo royo royo, Tertib, Aman, Sehat, dan Asri. Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di sebelah utara, Kabupaten Gunung Kidul di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat. Kabupaten bantul sedang menghadapi pembangunan infrastuktur jaringan jalan dan transportasi yang sedang berkembang pesat. pembangunan jalan lintas selatan jawa dan pembangunan New Yogyakarta International Airport di kabupaten kulonprogo tentunya membawa pengaruh kepada kabupaten bantul secara keseluruhan, karena untuk menuju Kota Yogyakarta dari NYIA melewati wilayah kabupaten bantul. Nantinya setelah proyek pembangunan itu selesai, kebupaten bantul akan merasakan dampak dan manfaat yang tidak dapat dihindari: peningkatan arus lalulintas, peningkatan wisatawan, dan tetunya pertumbuhan ekonomi masyarakat bantul secara signifikan dan keseluruhan. Sehingga pemerintah daerah perlu melakukan penyesuaian rencana pembangunan dengan rencana pembangunan yang dilakukan penprov maupun pemerintah pusat.

Artikel ini menyoroti tentang pembangunan Jalan Sudirman Bantul di kabupaten Bantul yang kini sudah selesai dilaksanakan menuai pro kontra, pasalnya meskipun jalan yang baru penataannya baik dan memperlebar ruas jalan namun pembangunan jalan ini dilakukan dengan menebang seluruh pohon perindang yang ada sejak dulu di pinggir jalan Sudirman Bantul. Sebelum pembangunan ini dilaksanakan, suasana rindang sangat terasa ketika melewati Jalan Sudirman Bantul ini, mulai dari perempatan Klodran sampai Perempatan Gose. Pembangunan Jalan Sudirman Bantul ini membawa perubahan sosial dan budaya kepada masyarakat, ruas jalan baru yang lebar dan halus, juga penataan trotoar yang sudah baik menjadi ruang terbuka tempat berkumpul baru bagi masyarakat Bantul. Renovasi juga dilakukan oleh Pemkab Bantul pada lapangan Paseban yang merupakan Alun Alun Kabupaten Bantul, kini Lapangan Paseban berubah menjadi tempat publik yang ramah anak bagi masyarakat yang mengunjunginya, terlebih apabila megunjungi lapangan pada malam hari. Jalan Sudirman Bantul secara keseluruhan menjadi tempat publik yang ramah kepada siapa saja.


Bantul Kota Sebelum Pembangunan Jalan Sudirman

Bantul kota merupakan ibukota kecamatan dari kabupaten bantul, Wilayah ini merupakan jantung ekonomi dan jantung pemerintahan kebupaten bantul, dan merupakan wilayah penduduk paling padat di kabupaten bantul. Wilayah ini dilalui oleh jalan protokol yang merupakan jalan utama kabupten bantul yaitu jalan sudirman bantul. Jalan yang membentang kearah Utara-Selatan sepanjang 1500 meter dari perempatan Klodran sampai perempatan Gose. Jalan sudirman bantul merupakan poros tengah-nya kota Bantul, yang mana terdapat deretan bangunan vital, diantaranya: gedung kantor DPRD, Polres, pegadaian, rumah sakit PKU, kantor Pos, Pasar, perpustakaan, alun alun, kantor bupati, kelurahan, kantor kecamatan, dan pusat pertokoan serta kantor bank, dan masjid Agung Bantul diujung Utara, sisi Barat jalan. Kawasan ini juga merupakan pusat kuliner dan pertokoan di kabupaten bantul, sehingga kawasan ini tidak pernah sepi dari aktivitas manusia selama 24 jam non-stop. Di jalan sudirman bantul ini juga terdapat pasar bantul, yang merupakan pasar tradisional terbesar di kabupaten bantul. Pasar bantul ini memiliki hari pasar kliwon, sehingga pada hari itu pasar bantul dan sekitarnya akan dipenuhi oleh kegiatan ekonomi. Jalan protokol Jenderal Sudirman Bantul ini, merupakan akses vital bagi masyarakat Bantul bagian tenggara dan Selatan guna kearah kota maupun ke Sekolah atau ke kampus. Juga sebagai pusat aktifitas warga Bantul di pasar, pertokoan maupun perkantoran.

Sebelum renovasi jalan sudirman bantul, jalan protokol ini hanya satu jalur utama dengan dua jalur lambat dikedua disisinya, yang diantara jalurnya ditanam pepohonan hingga pertumbuhan cabang yang rindang, memayungi ruas jalan sudirman bantul dari panas matahari. Seiring berjalannya waktu dan bertumbuh besarnya pepohonan, hingga akar-akarnya mampu mengangkat aspal jalan dan membuat kontur jalan bergelombang, dan merusak pembatas jalan yang berupa taman ditengahnya, sehingga di beberapa titik terjadi kerusakan, juga pada Penerangan Jalan Umum (PJU) dan rambu lalulintas mengalami kerusakan karena tertimpa dahan yang patah. Ini sangat tidak nyaman untuk berkendara, bahkan bisa membahayakan pengendara. terlebih volume kendaraan makin hari makin padat, sehingga sangat beresiko apabila terus dibiarkan seperti itu. Ruas jalan protokol ini juga tidak memiliki kantung parkir yang memadai, sehingga parkir kendaraan dari seluruh aktivitas yang ada di jalan sudirman bantul ini menggunakan badan jalan dan mengakibatkan kepadatan lalulintas yang tidak bisa dihindari. Sehingga kawasan ini sangat terlihat semrawut. Seperti yang diberitakan tribunnews.com https://jogja.tribunnews.com/2014/09/13/kantong-parkir-di-bantul-belum-memadai-bagi-pengendara

disisi lain, pembangunan jalan lintas pantai selatan dan NYIA terus berlangsung. Nantinya setelah pembangunan itu selesai dapat dipastikan arus lalulintas yang akan memalui wilayah kabupaten bantul semakin padat, dan tentunya kawasan jalan sudirman bantul yang merupakan jalan utama akan semakin ramai. Dengan problematika itu maka pemerintah daerah bantul melalui Dinas Pekerjaan Umum di bulan juli tahun 2017, mulai mengerjakan jalan Jenderal Sudirman untuk ditata ulang dan renovasi dengan tujuan untuk merefitalisasi dan membentuk konsep kota bantul yang baik dan tertata. Menurut sebuah prasasti yang berada di ujung Selatan jalan sudirman bantul, bahwa jalan ini pernah dilakukan penataan kawasan, dan diresmikan oleh Paku Alam VIII pada tanggal 20 Juli 1995. Dan kini setelah 22 tahun berlalu, ditahun 2017 ini kembali jalan Sudirman bantul yang memiliki panjang diangka 1,525 KM ini dilakukan penanganan yang dimulai pada 18 Juli 2017, dengan biaya sebesar 21 milyar (tepatnya Rp 21.550.909.000,00), dengan waktu selama 150 hari kalender (deadline 20 Desember 2017), dengan pelaksana oleh PT Suradi Sejahtera Raya ( Ngipik, Baturetno, Banguntapan, Bantul).


Bantul Kota Setelah Pembangunan Jalan Sudirman

Boleh dipastikan semua akan pangling dengan tampilan barunya, yang terlihat begitu apik, menonjol di segi trotoar, jadi itulah mengapa jalan sudirman ini kini disebut sebagai Malioboro-nya Bantul. Trotoar baru yang bersahabat dengan kaum difabel maupun tunanetra dengan dilengkapi penunjuk jalan yang sesuai dengan standar internasional sign braille. jalan Bantul terlihat berbeda dari yang dulu, kini jalan protokol ini ditata seperti halnya jalan protokol kota-kota lainnya, dibuat dua arah dengan tengahnya di buat pembatas arus jalan yang sekaligus berfungsi sebagai pot bunga bunga yang cantik, serta pepohonan yang pertumbuhannya tidak merusak aspal dan mampu untuk dijadika perindang, penanaman pohon ini berjarak 7m dengan dibuatkan rongga penahan dari beton untuk mengantisipasi pertumbuhan tanaman agar tidak menjulurkan akar ke bagian jalan aspal, dan diantara pepohonan yang ditanam dipasang Penerangan Jalan Umum (PJU) yang baru. Yang membuat terkesan apik, adalah dibuatkan beberapa tempat duduk dibeberapa titik disepanjang jalan 1,5 kilometer ini, baik trotoar disi Barat maupun Timur jalan, seperti di kawasan pedestrian, nyaman untuk berkumpul dan kongkow-kongkow. Jalan sudirman bantul terdapat 7 potongan jalan untuk mengantisipasi menyeberang maupun untuk putar balik, ada satu perempatan (simpang empat Pegadaian, yang ada Taman Paseban disitu). Dan yang Istimewa adalah dipasangnya conblock batu dengan motif ornamen geometris atau motif conblok ditata lingkaran, seperti motif bunga, melingkar tepat didepan pasar Bantul.

Renovasi juga diberlakukan pada area lapangan paseban. Paseban merupakan nama sebuah lapangan yang berada di depan komplek Pendopo Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang juga merupakan alun-alun Bantul. Paseban kini telah menjadi pusat keramaian Kota Bantul karena banyak orang yang mengunjungi tempat ini, khususnya bagi masyarakat Bantul. Seiring berjalannya waktu, Paseban juga telah menjadi pusat perekonomian bagi masyarakat karena banyak masyarakat baik lokal maupun luar kota yang berjualan di sekitar Paseban. Terdapat puluhan penjual yang berjualan disepanjang Paseban, merka berjualan kuliner berupa jajanan, makanan, juga beberapa mainan. Selain banyak pedagang, disana juga banyak aneka hiburan permainan khusus anak-anak sehingga membuat tempat ini menjadi sangat menarik, hiburan berupa persewaan sepeda hias, becak mini, trampoline, mobil mainan anak, otopad, permainan lukis untuk anak-anak dan lain sebagainya. Banyak orangtua yang mengajak anak-anaknya untuk bermain di Paseban. Lapangan ini memiliki dua pohon beringin, sama halnya dengan alun-alun Yogyakarta, namun tanpa mitos yang membuatnya ramai dikunjungi. Walaupun tanpa mitos, lapangan paseban ini tetap menjadi daya tarik kunjungan bagi masyarakat bantul, tersedianya sarana hiburan yang murah meriah, suasana yang menyenangkan menjadikan lapangan paseban dan ruas jalan sudirman bantul sebagai ruang publik yang bebas digunakan oleh siapapun.

Banyaknya masyarakat yang datang menjadi berkah tersendiri bagi para penjual di Paseban dan ruas jalan sudirman bantul, terutama waktu liburan dan akhir pekan karena pada saat itu Paseban dipadati pengunjung dari berbagai tempat. Berbagai makanan di jual disana, seperti angkringan, wedang ronde, siomay, batagor, cilok, bajigur, dan lain-lain. Tidak hanya penjual yang merasakan keuntungan dari banyaknya pengunjung, tetapi penjaga parkir disekitar Paseban juga ikut merasakannya. Di sepanjang jalan sudirman sendiri juga berubah menjadi tempat yang nyaman untuk berkumpul, tempat duduk yang disediakan oleh pemerintah daerah bantul menjadi tempat favorit bagi pengunjung unutk berkumpul, meskipun di beberapa tempat yang tidak terdapat tempat duduk juga menjadi tempat berkumpul dengan lesehan. Dengan adanya renovasi jalan dan meningkatnya jumlah pengunjung jalan sudirman bantul ini menjadi berkah bagi warga sekitar dengan membuka warung kaki lima dan asongan, warga sekitar banyak yang mencari penghasilan tambahan dengan berjualan makanan, jajanan, minuman, dan rokok. Lapangan paseban dan ruas jalan sudirman bertransformasi menjadi tempat berkumpul masyarakat dari berbagai kalangan dan usia, berbagai latarbelakang menjadi satu untuk merasakan atmosfer khas yang ada di wilayah ini. Paseban mulai ramai pada pukul 16.00 WIB dan menjelang malam alun-alun ini semakin dipadati pengunjung.


Dampak dan Reaksi Masyarakat Terhadap Pembangunan Jalan Sudirman Bantul: Transformasi Sosial dan Budaya yang Terjadi Setelah Pembangunan Jalan Sudirman

Langkah Pemda Bantul melakukan penataan ulang ruas Jalan Jenderal Sudirman mulai dari Klodran-Gose Bantul memunculkan beragam reaksi dari masyarakat. Karena jalan sepanjang 1.5 km tersebut selesai dikerjakan dalam waktu yang cepat. Bahkan dalam proyek tersebut hampir 400 lebih pohon ditebang. Program penataan jalan tersebut dimulai 18 Juli hingga 20 Desember 2017 dengan anggaran Rp 21.5 miliar. Lebar jalan sudirman bantul kini mencapai 21 meter. Sementara untuk didepan Pasar Bantul dibuat ruang terbuka. Sehingga bisa dimanfaatkan untuk beragam kegiatan.

Salah satu kegiatan rutin yang diadakan adalah car free day bantul. Setiap Hari Minggu sejak pukul 06.00 WIB biasanya perempatan Gose Bantul ke arah Utara dampai perempatan klodran ditutup dari kendaraan bermotor. Hanya Para pejalan kaki, para pesepeda yang diperbolehkan memasuki jalan Sudirman, titik pusat kegiatan adalah di depan Pasar Bantul. di depan Pasar Bantul biasanya didirikan panggung dan di kanan kirinya juga didirikani tenda-tenda yang berderet membujur kearah Utara. Tenda-tenda itu digunakan UMKM, para pedagang yang memamerkan dan menjual berbagai jenis kuliner, kebutuhan rumah tangga ataupun barang kerajinan. Biasanya juga dipasang alat pengeras suarauntuk memutar lantunan musik mengiringi senam aerobik yang difasilitasi oleh pemerintah kabupaten bantul. Car free Day ini juga merupaka tempat berkumpul berbagai komunitas, diantaranya: komunitas pesepeda, baik sepeda gunung maupun sepeda tempo dulu memarkirkan sepedanya dengan rapi, sementara pemiliknya duduk-duduk di pembatas jalan, ada pula komunitas pecinta satwa (ular) memamerkan piaraannya. Tidak jauh dari komunitas-komunitas itu, biasanya terparkir mobil keliling Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bantul dan Instansi pelayanan publik lainnya, seperti mobil keliling dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantul.

Sementara salah satu warga yang ditemui di Pasar Bantul Wahadi mengungkapkan, mestinya penataan tidak harus dengan menebang semua pohon. Karena kondisinya jadi sangat panas setelah semua pohon habis ditebang. Sebagai masyarakat tidak tega melihat pohon yang sudah berumur puluhan tahun ditebang, butuh satu generasi lagi untuk melihat pohon besar di jalan ini tumbuh. Sebaliknya Triyono, seorang warga yang ditemui mengungkapkan, langkah pemerintah Bantul menjadikan Jalan Jenderal Sudirman sebagai pusat kota ada benarnya. triyono yakin semua sudah dipertimbangkan, pemerintah itu banyak diisi orang pandai, keputusan menata jalan ini tentu sudah dikaji (data wawancara). warga pun berharap agar pembangunan Jalan Jenderal Sudirman meningkatkan kunjungan masyarakat ke Pasar Bantul, pertokoan di sepanjang jalan sudriman bantul dan lapangan paseban. Jangan sampai pembangunan itu sekadar mengubah wajah Jalan Jenderal Sudirman yang terlihat megah dan mewah, tetapi tidak punya kontribusi pada perekonomian masyarakat.


Penutup

Kini pembangunan jalan sudirman bantul telah selesai, terlepas dari pro kontra proyek pembangunannya, jalan sudirman bantul telah berubah menjadi ruang publik yang nyaman bagi seluruh pengunjung khususnya warga bantul. Pembangunan infrastruktur jalan sudirman ini dimaksudkan untuk merevitalisasi jalan dan taman yang telah rusak, juga untuk membangun kesan bantul kota yang nyaman, bersih, dan tertata. Pembangunan proyek penataan jalan ini merupakan kontribusi dari warga bantul sendiri, dimana dana pembangunannya menggunakan dana pendapatan pajak dari masyarakat bantul. Tujuan pembangunan jalan sudirman telah tercapai, dan manfaat serta dampaknya sudah bisa diamati dan dirasakan oleh orang-orang yang mengunjunginya. Kawasan ini menjadi semakin menarik untuk dibahas dalam kajian-kajian lain dengan menyoroti sudut pandang yang berbeda.


Esai Tanggapan 1 Oleh Shafira Apriliana Hendrawan (17/413286/SA/18868)


Transformasi ruang kota menjadi salah satu pembahasan yang paling hangat ketika berbicara mengenai segala bidang ilmu yang mempelajari tentang ruang urban. Transformasi tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota metropolitan, namun juga daerah sekitarnya yang cenderung luput dari perhatian. Ada berbagai alasan yang mendasari pengembangan kota-kota kecil. Cohen (2006) memaparkannya ke dalam tiga alasan utama. Pertama, secara demografis, total populasi kota kecil sangatlah signifikan. Kedua, kota-kota kecil biasanya mengalami pertumbuhan yang lebih cepat daripada kota-kota besar atas skalanya yang lebih kecil. Ketiga, menurut studi terbaru mengenai infrastruktur urban, penduduk kota-kota kecil di negara-negara berkembang secara luas memiliki layanan dasar yang masih kurang memadai. Motif dari transformasi ruang kota – khususnya ke arah yang lebih sustainable – memiliki berbagai motif, di antaranya adalah dalam rangka mendapatkan dukungan politik, bisnis, atau sosial; ajang mempertunjukkan perkembangan inovasi teknologi, organisasi maupun sosial; serta untuk meningkatkan kualitas gaya hidup masyarakat lokal (McCormick et al, 2011). Transformasi juga memiliki beberapa aspek, di antaranya adalah aspek fisik dan sosial ekonomi (Kurnianingsih dan Rudiarto, 2014). Menurut Kurnianingsih dan Rudiarto (2014), transformasi dalam aspek sosial ekonomi dapat dilihat melalui variabel kepadatan penduduk yang berkaitan dengan migrasi, aksesibilitas, serta fasilitas dan utilitas dasar; serta variabel mata pencaharian yang berkaitan dengan perilaku ekonomi sosial budaya dan aksesibilitas.


Mobilisasi Massa Pasca Transformasi

Pembahasan penulis mengenai transformasi ruang di Kabupaten Bantul menjadi suatu pembahasan yang menarik, khususnya atas upayanya untuk membahas dampak sosial budaya atas transformasi yang terjadi. Pembahasan mengenai pengaruh pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulonprogo terhadap infrastruktur di Kabupaten Bantul membuktikan bahwa transformasi infrastruktural pada satu tempat menjadi titik keberangkatan transformasi di tempat lain yang sekiranya dapat menunjang keberlangsungan infrastruktur tersebut. Poin mengenai pengaruh pengoperasian New Yogyakarta International Airport (NYIA) saya rasa dapat dieksplorasi lebih lanjut. Pembangunan fasilitas dan infrastruktur dilaksanakan dengan motif dapat memberikan nuansa aman dan nyaman bagi pengunjung Yogyakarta – suatu implikasi dampak dari pembangunan NYIA sendiri (Setiawan & Assidiq, 2018). Penulis pun tidak lupa untuk membahas dampak selain dampak infrastruktural, seperti mobilisasi, serta perekonomian. Jika diselaraskan dengan teori yang dipaparkan oleh Kurnianingsih dan Rudianto, penulis mencoba untuk menelusuri transformasi dalam aspek sosial ekonomi, di mana pengembangan infrastruktur dan aksesibilitas menyebabkan transformasi perilaku ekonomi sosial budaya serta mobilitas penduduk. Meskipun demikian, minimnya kerangka teori yang digunakan dalam penulisan membuat pembahasan fenomena transformasi yang terjadi di Kabupaten Bantul kurang jelas bagi saya. Adanya kerangka teori yang mendasari penulisan dapat membantu dalam analisis fenomena transformasi ruang urban yang disorot.

Dalam esainya, penulis menyatakan bahwa esainya akan menyoroti pembangunan Jalan Sudirman yang merupakan jalan utama di Kabupaten Bantul. Keputusan penulis untuk fokus kepada infratruktur penunjang utama di Kabupaten Bantul merupakan keputusan yang bagus karena banyaknya variabel dalam kabupaten yang dipengaruhi, mulai dari perekonomian hingga infrastruktur penunjang kegiatan administrasi daerah. Deskripsi yang diberikan oleh penulis juga membantu untuk membayangkan kondisi jalan tersebut dan bagaimana transformasi yang terjadi membantu dalam penanggulangan segala kekurangan yang dimiliki Jalan Sudirman sebelum terjadinya transformasi. Namun, deskripsi dari penulis belum memiliki kejelasan sumber – apakah penulis melakukan observasi yang berkepanjangan? Apakah penulis melakukan wawancara dengan warga lokal? Atau penulis sendiri merupakan warga lokal? Tentunya masing-masing perspektif akan memberikan hasil perolehan data yang berbeda, sehingga saya rasa perlu ada kejelasan mengenai dari mana data yang mendasari deskripsi tersebut dapat diperoleh. Selain itu, sumber perolehan data akan menyediakan konteks untuk membantu pembaca dalam penggunaan perspektif selama membaca esai ini.


Melihat Transformasi Urban dengan Perspektif Ekologi Berkelanjutan

Masih terdapat beberapa hal yang dapat ditingkatkan dalam penulisan esai tersebut. Penulis menyatakan bahwa transformasi yang terjadi di Jalan Sudirman dianggap melahirkan problematika baru, di mana kepadatan lalu lintas dan keramaian warga dapat meningkat. Selain problematika yang ditimbulkan oleh adanya transformasi tersebut, terdapat pula problematika yang berakar dari minimnya kesadaran dari warga sekitar – khususnya juru parkir. Juru parkir dinyatakan belum bisa menata parkiran kendaraan bermotor dengan baik, sehingga Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bantul melakukan koordinasi dengan pihak toko maupun juru parkir dalam rangka menanggulangi penataan parkir di sepanjang Jalan Sudirman ("Dishub Bantul Tegur Penataan Parkir Toko dan Warung di Jalan Jenderal Sudirman - Tribun Jogja", 2019). Tentunya, setiap transformasi ruang tidak luput dari berbagai kekurangan yang kemudian dapat dijadikan target pengembangan wilayah selanjutnya. Penulis luput untuk membahas apakah ada upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat lokal untuk mengurangi atau menanggulangi problematika tersebut. Salah satu problematika akibat dari transformasi Jalan Sudirman yang dipaparkan oleh penulis adalah terjadinya penebangan pohon yang menghilangkan suasana rindang di sepanjang Jalan Sudirman. Penulis tidak menyatakan secara eksplisit akibat dari penebangan pohon tersebut selain perubahan lanskap. Keberlanjutan atau sustainability dari dampak transformasi ruang tersebut layak mendapatkan fokus pula. Dengan maraknya isu mengenai lingkungan hidup, transformasi ruang urban masa kini telah diselenggarakan dengan mementingkan keberlanjutan dari transformasi tersebut (McCormick et al., 2011). Konteks ekologis mengenai sustainability dari keputusan pemerintah daerah bisa ditelusuri lebih lanjut oleh penulis beserta upaya pemerintah untuk memperbaiki isu sustainability yang ditemui sebelum transformasi dilakukan.

Oleh karenanya, saya rasa perlu dibahas lebih lanjut oleh penulis bagaimana penebangan pohon tersebut berdampak pada lingkungan sekitar dan apakah ada upaya dari pemerintah daerah setempat untuk memastikan keberlanjutan dari transformasi ruang yang diselenggarakan. Memang sekilas penataan ruang, khususnya di Jalan Sudirman, terkesan hanya untuk meningkatkan nilai estetika. Adanya rancangan jalanan dari batu bermotif geometris yang terletak tepat di depan Pasar Bantul memperkuat praduga tersebut. Namun, apakah transformasi tersebut semata-mata untuk meningkatkan nilai estetika dari lanskap kota yang berada sepanjang Jalan Sudirman? Jawaban dari pertanyaan ini layaknya dapat dijadikan bahan untuk mengeksplorasi lebih lanjut motivasi di balik adanya transformasi yang terjadi di Jalan Sudirman. Saya pun menemukan bahwa penebangan pohon tersebut tidak semata-mata dilakukan untuk meningkatkan nilai estetika, namun juga untuk memastikan bahwa pohon-pohon yang baru tidak akan merusak jalan seperti dulu dengan membangun bingkai berupa beton guna menangkal akar-akar pohon yang menjalar ("Ini Penyebab Jalan Jendral Sudirman Bantul Terasa Sangat Panas di Siang Hari - Tribun Jogja", 2019). Hal ini membuktikan bahwa penebangan pohon tidak hanya dilaksanakan begitu saja, namun juga dengan mempertimbangkan sustainability yang sebelumnya belum tercapai dengan adanya kerusakan jalan akibat akar pohon yang menjalar. Saya juga mengalami kesulitan untuk memahami bagaimana penulis dapat pindah pembahasan dari penebangan pohon langsung ke dampak perekonomian bagi masyarakat lokal. Hubungan di antara keduanya luput dari pemahaman saya, sehingga saya mengalami kebingungan dalam membaca bagian tersebut.


Melihat Transformasi Urban dengan Perspektif Global

Selain transformasi yang terjadi di Jalan Sudirman, penulis juga membahas mengenai transformasi Lapangan Paseban yang juga berfungsi sebagai alun-alun di Kabupaten Bantul. Meskipun demikian, penulis tidak menjelaskan bagaimana transformasi tersebut terjadi, bagaimana kondisinya sebelum dan sesudah transformasi terjadi, sehingga sulit bagi saya untuk membayangkan dan mengomentari pula bagaimana transformasi tersebut berdampak pada asyarakat lokal. Tidak terdapat kejelasan mengenai transformasi yang terjadi di Lapangan Paseban, apakah ruang tersebut diubah secara fisik atau hanya mengalami transisi perihal fungsinya. Setelah mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut, pemerintah melakukan penataan kawasan tersebut mulai dari perubahan desain bangunan dan penataan lanskap ("Lapangan Paseban dan Parasamya Akan Ditata - Tribun Jogja", 2018). Deskripsi yang diberikan oleh penulis terbatas pada dampak ekonomi yang ditimbulkan dari transformasi Lapangan Paseban, mungkin memang hanya karena perekonomianlah yang mendapatkan dampak signifikan dari transformasi tersebut. Meskipun demikian, mobilisasi massa juga menjadi salah satu faktor yang meningkatkan perekonomian pasca transformasi Lapangan Paseban dan Jalan Sudirman, sehingga keduanya memiliki hubungan antara satu dengan yang lain.

Seperti yang dipaparkan oleh Cohen dalam Kurnianingsih dan Rudianto (2014), perubahan kepadatan penduduk akan semakin cepat meningkat pada wilayah yang memiliki kelengkapan infrastruktur. Dalam konteks ini, Lapangan Paseban merupakan salah satu kelengkapan infrastruktur yang menyebabkan adanya mobilisasi penduduk yang meningkat. Menurut Cohen (2006), demografi dapat mempengaruhi peningkatan pemahaman mengenai transisi urban masa kini. Dengan kata lain, mobilitas penduduk yang menyebabkan perubahan demografi dapat mempengaruhi dinamika dalam ruang kota tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul “The Global City”, Sassen (2007) menyatakan bahwa kemunculan kota urban juga berkaitan dengan interkonektivitas yang tersedia dengan adanya proses globalisasi. Lantas, mobilitas masssa baru akan terjadi dengan adanya proses globalisasi yang menunjukkan bahwa terdapat kota-kota di luar kota yang menjadi pusat kesibukan atau kota sentral. Ekonomi yang berjaring (Sassen, 2007) juga memiliki dampak di Kabupaten Bantul. Meningkatnya jumlah wisatawan yang mengunjungi Kabupaten Bantul menjadi bukti bahwa Kabupaten Bantul memiliki peran sebagai penyedia obyek wisata, dan peran inilah yang menimbulkan peningkatan jumlah wisatawan. Perspektif global dalam studi urban layak untuk ditelusuri lebih lanjut atas banyaknya potensi keterkaitan yang dapat mempengaruhi transformasi di suatu kota, dalam konteks ini, Kabupaten Bantul.


Implikasi Sosial Budaya Pantikan Transformasi Urban

Esai ini juga sempat menyinggung mengenai perubahan sosial budaya masyarakat yang dibawa dengan adanya pembangunan Jalan Sudirman, namun penulis gagal untuk memaparkan lebih lanjut bagaimana perubahan tersebut terjadi. Dinamika masyarakat sebelum dan sesudah pembangunan Jalan Sudirman juga tidak dipaparkan, sehingga sulit untuk diketahui bagaimana perubahan tersebut terjadi, atau bahkan apa perubahan tersebut memang terjadi. Meskipun demikian, dinamika masyarakat yang pro dan kontra terhadap proses pembangunan Jalan Sudirman memberikan sedikit insight mengenai masyarakat yang dipengaruhinya. Terdapat sebagian masyarakat yang bersikeras bahwa pembangunan tidak perlu dilaksanakan dengan penebangan pohon yang masif karena kondisi yang menjadi panas dan menyayangkan penebangan pohon yang sudah berumur puluhan tahun. Terdapat pula sebagian masyarakat yang menganggap bahwa langkah tersebut ada benarnya karena adanya pertimbangan dari ‘orang pandai’ yang telah melakukan kajian (Sigit, 2017).


Kesimpulan

Secara keseluruhan, kelemahan esai ini terletak pada minimnya teori yang mendasari serta variabel yang kurang ditelusuri lebih dalam. Gaya penulisan yang kurang tertata juga memperlambat proses pembacaan, meski tidak secara signifikan. Tiap fenomena yang dibahas oleh penulis benar adanya dan memang tampak secara kasat mata, namun pantas untuk ditelusuri lebih lanjut bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi sedemikian rupa, serta bagaimana pengaruhnya dengan variabel-variabel yang dikatakan mengalami perubahan seiring dengan adanya transformasi ruang tersebut. Untuk memahami fenomena di balik transformasi ruang, dibutuhkan proyeksi akurat pertumbuhan kota di masa depan, yang pada gilirannya harus didasarkan pada fondasi yang kuat dari perolehan statistik berkualitas tinggi serta pemahaman yang baik mengenai kemungkinan pola dan tren perubahan urban (Cohen, 2006). Dengan menyediakan konteks ekonomi, sosial dan budaya sebelum transformasi terjadi, maka dapat diidentifikasi berbagai alasan yang memotivasi dilaksanakannya transformas ruang suatu kota dan dapat diprediksi pula bagaimana transformasi tersebut dapat mempengaruhi keberlangsungan masyarakat sekitar yang dipengaruhinya.

Andai saja esai ini menggali lebih dalam mengenai fenomena transformasi ruang di Kabupaten Bantul, maka dapat dengan mudah diidentifikasi pemahaman yang dapat menjadi dasar pertimbangan studi-studi terkait di masa depan. Meski perspektif yang diberikan oleh penuli cukup memberikan konteks atas transformasi yang terjadi di Kabupaten Bantul, alangkah lebih baik jika penulis memperluas perspektif untuk melihat interkonektivitas antara variabel dalam Kabupaten Bantul dengan luar Kabupaten Bantul sendiri – seperti dibangunnya New Yogyakarta International Airport (NYIA) maupun wacana persiapan menuju Kota Yogyakarta sebagai ‘world heritage city’. Kedua variabel tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam revitalisasi Provinsi D.I. Yogyakarta secara keseluruhan, sehingga pantas untuk ditelusuri lebih lanjut keterkaitannya. Esai ini terkesan terlalu deskriptif dan kurang menganalisa fenomena yang dibahas, sehingga sulit bagi saya untuk menganggap esai ini sebagai sesuatu yang memantik pemikiran dan hanya dibaca sebagai esai yang informatif atas situasi dan kondisi Kabupaten Bantul pasca transformasi Jalan Sudirman. Meskipun demikian, perlu diapresiasi pula upaya penulis dalam membuktikan bahwa transformasi Jalan Sudirman dan sekitarnya tidak hanya mempengaruhi infrastruktur fisik, namun juga dinamika masyarakat sekitar dan juga memantik pola pikir masyarakat agar lebih kritis terhadap keputusan pemerintah.

Esai Tanggapan 2 Oleh Vincamira Tasha Florika (17/413290/SA/18872)


Esai utama, menjadi esai yang sangat baik atas berlangsungnya fenomena yang saat ini sedang terjadi. Aktualitas tersebut, tentunya membawa pemikiran kritis, terutama yang terjadi di Bantul, bahwa sebuah kota bagaimanapun juga akan menghadapi sebuah tantangan global dengan berlangsungnya pembangunan. Melalui sebuah esai tersebut, kita bisa memahami lebih dalam bagaimana pembangunan dalam Kota Bantul, yang membawa transformasi di dalam masyarakat, mulai dari fisik-hingga sosial sekalipun. Namun, jika esai utama dan tanggapan satu lebih menyoroti pada pembangunan kota Bantul dalam konteks historis dan lingkungannya, esai tanggapan dua ini, lebih fokus terhadap hal-hal yang sedikit diabaikan, yakni, dengan lebih melihat transformasi kota Bantul salah satunya pembangunan infrastruktur fisiknya, sebagai sebuah perubahan besar yang merupakan kebutuhan dan tuntutan yang di dalamnya terdapat proses, faktor, aktor, dan dampak yang tak hanya dipandang secara luas, namun juga dalam sudut pandang yang lebih mikroskopis pada konteks lokalitas, sosial dan budayanya. Transformasi tersebut, juga pada akhirnya menciptakan identitas yang baru, sebagai bentuk solusi permasalahan kota untuk mewujudkan kota yang aman dan nyaman bagi penduduknya, melalui sebuah branding yang muncul dalam sejumlah literature dan media massa yakni “Bantul Smart City”.


Memahami Pembangunan Kota Bantul Sebagai Sebuah Tuntutan dan Kebutuhan

Pembangunan atau development dalam kota menurut Jayadinata, merupakan “pengadaan sesuatu atau mengatur sesuatu yang belum ada, dan meningkatkan sesuatu yang sudah ada”. Pembangunan ini, tentunya tak selalu berjalan dengan mulus (Nofitasari,2016). Selayaknya manusia, pembangunan pun tidak pernah bisa sempurna, yang pada akhirnya menuai pro dan kontra di masyarakat. Seperti dalam esai utama, pembangunan yang terjadi secara signifikan di Jalan Sudirman Bantul, menuai adanya pro yang mana terdapat sebuah ruang public bersama berupa alun-alun paseban untuk tempat berkumpul, lebih tertatanya jalanan, dan sebagainya. Namun di lain sisi, terdapat kontra, yang mana jalanan dengan rindangnya pepohonan sebelum diadakannya pembangunan hilang sehingga memberi kesan bahwa Bantul semakin panas dan tandus.Namun, bagaimanapun juga, terlepas dari pro dan kontra yang ada, pembangunan yang terjadi di kota Bantul, tak hanya dilangsungkan sebagai sebuah program biasa, namun sebagai sebuah tuntutan dan kebutuhan, yang mau tak mau harus diadakan.

Di Jalan Sudirman Kota Bantul sendiri dalam esai utama, merupakan poros tengah-nya Kota Bantul, yang terdapat deretan bangunan vital bagi masyarakat Bantul yang menjadi pusat aktifitas warga Bantul melalui keberadaan pasar tradisional, pertokoan maupun perkantoran. Sehingga, hal ini menjadi sebuah tuntutan dan kebutuhan bagi kota Bantul untuk memperbaiki sarana dan prasarana kotanya, yang mana menurut Wurarah (2012), pembangunan tersebut berguna untuk kepentingan pembangunan industri dan perdagangan, menciptakan identitas daerah/kota, memperbaiki basis pesona atau kualitas hidup masyarakat, dan memperbaiki daya tarik pusat kota, yang mencakup pembentukan bank tanah, pengendalian dan perencanaan pembangunan, penataan pada kota, perbaikan-perbaikan sarana jalan raya, perbaikan sarana pusat pertokoan, pengaturan dalam tata ruang hingga penyediaan infrastruktur seperti sarana air bersih, listrik, taman, dan parkir yang keseluruhannya bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi di daerah dan memperbaiki citra pemerintah daerah serta beguna untuk kemajuan pusat perdagangan.

Selain sebagai pusat perkantoran dan perdagangan, disaat yang bersamaan pula, Kabupaten Bantul, juga sedang menghadapi dampak pembangunan New Yogyakarta International Airport di kabupaten Kulonprogo. Sehingga, terdapat tuntutan untuk menciptakan sarana-prasarana pendukung, seperti jalan raya, yang menurut Musyayaroh (2017),infrastruktur merupakan bagian dari kelengkapan suatu daerah sebagai alat penunjang kebutuhan hidup pada sektor sosial maupun ekonomi. Sebelumnya seperti yang diilustrasikan dalam esai utama, jalanan di Kota Bantul banyak mengalami kerusakan, yang salah satunya disebabkan oleh akar-akar pohon yang mengangkat jalanan aspal. Sehingga dengan adanya pembangunan jalan, dapat mencapai tingkat keamanan yang tinggi, yang mana untuk memenuhi tingkat keamanan yang tinggi, dilakukanlah pembangunan jalan raya yang sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia (Muyasyaroh,2017).

Pembangunan Kota Bantul,tak hanya terjadi di Jalan Sudirman Bantul, namun juga melalui Jalan Srandakan sebagai tonggak awal untuk wisatawan. Dimulai dengan membuat rest area, yang letaknya berada di utara jalur jalan lintas selatan yang disingkat dengan JJLS, atau dekat dengan Jembatan Srandakan yang menghubungkan antara Kulonprogo dan Bantul. Pembangunan rest area ini, akan melibatkan UKM di sekitarnya untuk mengisi rest area, yang pada akhirnya berdampak kepada masyarakat sekitar. Selain rest area, pemerintah juga menyiapkan masterplan untuk penataan pantai selatan yang ke depannya bisa meningkatkan sector pariwisata di Kota Bantul (http://radarjogja.jawapos.com/2018/07/20/sambut-nyia-pemkab-bantul-tata-pansela/). Sehingga dengan adanya pembangunan yang terjadi di Bantul, bisa bermanfaat dalam kehidupan masyarakatnya sendiri, yang menunjang usaha dan produktifitas warganya, dan sebagai kebutuhan untuk ruang hidup bersama yang lebih baik.

Di dalam pembangunan kota Bantul, selain terdapat proses dan faktor berupa kebutuhan dan tuntutan yang sudah diterangkan sebelumnya, juga terdapat aktor atau agen yang terlibat di dalamnya. Yang mana, dari keseluruhan literature yang ada, aktor atau agen utama di dalam perancangan dan pelaksana transformasi kota Bantul, lebih mengarah kepada Pemerintah Kabupaten Bantul yang paling berwenang dan berperan dalam pembentukan kebijakan dan lainnya. Namun, di samping itu, peran masyarakat tentunya juga menjadi landasan dari terealisasinya masterplan yang akan diterapkan dalam rencana pembangunan Kabupaten Bantul kedepannya, karena pendanaan pembangunan ini tentunya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Kesadaran masyarakat Bantul dalam membayar pajak adalah hal yang paling menentukan setiap kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Bantul nantinya akan berjalan dengan baik atau tidak. Dari pernyataan tersebut, maka pembangunan yang ada di Kota Bantul, tak hanya bisa dimaknai sebagai pembangunan yang terpusat sebagai “kemauan” pemerintah saja, namun juga melihat pada kebutuhan warganya hingga di masa yang akan datang.


Transformasi Kota, Identitas Baru?

Menurut Suhono dalam web (http://bappeda.jogjaprov.go.id/berita/detail/54-smart-city-peluang-dan-tantangan-untuk-yogyakarta-berbudaya), Kota Yogyakarta adalah salah satu kota yang berpotensi terhadap pembentukan konsep kota “smart city”, yang mana disebabkan kepemilikan modal dasar seperti sejarahnya yang merupakan daerah swaparja sehingga menempatkan dan memposisikan Kota Yogya sebagai kota yang penting. Selain sejarahnya, Yogya juga memiliki modal budaya, yang menurut penulis, kekayaan tersebut tak lekang oleh zaman yang membuat Yogya sebagai kota yang nyaman untuk ditinggali, dan harus dikembangkan dan dijaga sebaik mungkin agar kota Yogyakarta tidak meminggirkan kekayaan budayanya.

Dari hal itulah, branding “Bantul Smart City”, muncul dalam sejumlah media masa, atas berlangsungnya pembangunan yang terjadi secara massive di Kota Bantul. Brand ini, sekaligus mengkonstruksi identitas kota Bantul, yang menjadi “trigger” atau Quick Win atas pembangunan di Kabupaten Bantul. Brand “Bantul Smart City” ini menurut, dilakukan dengan konsep penataan kota dan masyarakat dengan teknologi digital untuk meningkatkan peforma dan kesejahteraan masyarakat, dengan mengurangi biaya dan konsumsi sumber daya dan berinteraksi secara lebih efektif dengan penduduk Bantul. Smart city ini, dianalisis dengan aplikasi cerdas dan disajikan sesuai dengan kebutuhan pengguna melalui aplikasi yang dapat diakses oleh berbagai jenis gadget. Tujuannya sendiri, berguna untuk mempermudah segala urusan melalui dukungan konektivitas tinggi dari pemanfaatan teknologi informasi dari permasalahan pelayanan kesehatan, layanan pendidikan kepariwisataan, penanggulangan bencana, penumpukan sampah, perbaikan jalan rusak, mengetahui kontur tanah suatu daerah, tata kelola perkotaan dan peruntukan. Tujuan implementasi Smart City adalah menunjang kota di dalam dimensi sosial yakni keamanan, ekonomi, teknologi dan lingkungan. Atau lebih umum lagi berdasarkan United Nation, dapat dikatakan bahwa tujuan Smart City adalah untuk membentuk kota yang Sustainable yakni dalam ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dimulai melalui langkah awal yang baik yakni dengan brand “Bantul Smart City” (Kusumaningsih, 2017).

Pembangunan Kota Bantul dalam Pandangan Lokalitas, Sosial, Budaya

Pembangunan yang terjadi di Kota Bantul, tak hanya terjadi pada pusat kotanya sebagaimana yang terjadi di Jalan Sudirman, Bantul. Pembangunan tersebut, rupanya juga berlangsung di seluruh wilayah Bantul, seperti desa-desa yang semula tidak tersentuh pembangunan. Di dalam literature milik Astuti (2018), adanya pembangunan JJLS yang terjadi di inti kota, terjadilah mobilitas masyarakat, yang menyatakan bahwa mobilitas sosial ini berkaiatan dengan perpindahan atau pergerakan suatu kelompok sosial ke kelompok sosial yang lainnya. Hal tersebut bisa terjadi pada mobilitas kerja yang terjadi di desa yang mana terjadi perpindahan dari suatu pekerjaan pekerjaan ke pekerjaan lainnya, seperti pertanian ke sector pekerjaan formal lainnya. Hal ini dikarenakan, pembangunan JJLS yang ada, bertujuan agar memudahkan jalur transportasi bagi masyarakat menuju tempat-tempat penting seperti bandara dan pelabuhan. Selain itu, fungsi dibangun JJLS adalah memudahkan para wisatawan untuk mengunjungi tempat wisata di daerah Kabupaten Bantul. Hal ini diharapakan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

Konteks lokalitas yang terjadi karena adanya pembangunan pada kota ini, disebabkan salah satunya karena Urban sprawl, yang merupakan transformasi fisiko-spalsial dari bentuk-bentuk kedesaan menjadi bentuk-bentuk kekotaan. Menurut Penulis, transformasi ini berkaitan dengan transformasi sosio-kultural dari kedesaan menjadi bersifat kekotaan, yang mana dengan adanya urban sprawl membuat desa-desa yang ada di Kota Bantul terjadi perubahan seperti adanya kepadatan peduduk, hingga terjadinya perubahan sector pekerjaan. Hal itu salah satunya juga terjadi di Desa Panggungharjo, yang mana menjadi padat penduduk dari tahun ke tahunnya Fitrianatsany, 2017).Lebih lanjut, fenomena perubahan sosial selain karena faktor urbanisasi yang diantaranya terdapat perpindahan penduduk dari desa ke kota, perubahan status pemerintahan dan perembetan kenampakan fisik kekotaan kearah luar atau urban sprawl, menyebabkan adanya perubahan yang terjadi pada aspek kultural yaitu perubahan kebudayaan masyarakat yang dahulunya bersifat tradisional kini menjadi modern. Yang mana, perubahan kultural ini dapat dilihat dari perkembang teknologi dan pendidikan di masyarakat desa, yang pada akhirnya membentuk masyarakat desa berpola modern., yang ditunjukkan salah satunya dari sistem kelembagaan dan kekeluargaan yakni mulai berkurangnya kelembagaan tradisional seperti kegiatan gotong royong dan lembaga-lembaga pertanian seperti kelompok tani (Fitrianatsany, 2017).

Esai Replay Oleh Athif Tsabit Prasojo (17/413272/SA/18854)


Esai yang menjadi perbincangan atau diskusi dalam susunan tulisan ini adalah esai berjudul "Kabupaten Bantul dan Transformasinya" yang ditulis oleh Ali Akbar. Sebelum berlanjut menjadi lebih dalam dengan replay saya atas dua tanggapan yang kemudian muncul dari esai, saya ingin mengajak pembaca untuk kembali mengingat sekilas mengenai esai tersebut. Ali dalam tulisannya berusaha untuk mengangkat fenomena dan dampak atau perubahan dari pembangunan infrastruktur jalan yang terjadi di Bantul, dalam tulisannya Ali berfokus hanya pada satu jalan yakni Jalan Sudirman Bantul yang membentang dari utara ke selatan, dari simpang empat Klodran hingga simpang empat Gose. Jalan ini disebutnya sebagai poros tengah Kota Bantul dan memiliki berbagai bangunan vital. Perlu diingat bahwa pembangunan jalan tersebut menurutnya merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur jaringan jalan dan transportasi yang sedang marak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sangat berkaitan dengan pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa dan New Yogyakarta International Airport (NYIA), sehingga Jalan Sudirman Bantul ini merupakan infrastruktur pendukung untuk akses pada dua proyek infrasruktur besar utama tersebut. Ali mengatakan bahwa pembangunan – atau yang saya rasa lebih tepat disebut sebagai pengembangan – dari Jalan Sudirman Bantul akan membawa dampak dan manfaat tertentu seperti peningkatan arus lalu lintas, peningkatan wisatawan, dan juga peningkatan perekonomian masyarakat Bantul.

Ali dalam esainya juga mengajak pembacanya untuk mengetahui kondisi jalan tersebut sebelum dilakukan pengembangan. Sebelum mendapat sentuhan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul berupa pengembangan tersebut, jalan ini memiliki ruas jalan yang lebih sempit, permukaan jalan yang kurang baik, serta trotoar atau pedestrian yang kurang tertata dengan baik. Meski begitu, Jalan Sudirman Bantul yang belum mendapat sentuhan itu telah memiliki barisan pohon perindang yang telah ada cukup lama – sudah besar – di sepanjang sisi jalan tersebut. Adanya pohon-pohon yang sudah besar tersebut meski dapat memayungi Jalan Sudirman Bantul dari terik panas matahari, namun pohon tersebut juga memiliki dampak lain seperti rusaknya fasilitas umum akibat tertimpa dahannya yang patah. Selain itu, pepohonan tersebut juga mempengaruhi permukaan jalan dikarenakan akarnya yang terus bertumbuh dan semakin kuat hingga mengangkat – merusak – permukaan Jalan Sudirman Bantul di banyak titik serta merusak pembatas jalan yang ada saat itu. Beralih dari soal pohon, Jalan Sudirman sebelum mendapat pengembangan ini juga memiliki permasalahan lain yakni kemampuannya yang tidak memadai untuk menampung volume kendaraan saat ini mengingat jalan ini diresmikan pada tahun 1995 dan tidak mendapat pengembangan dari segi daya tampung jalan sejak tahun tersebut. Volume kendaraan yang ada juga membawa masalah karena tidak adanya kantung parkir di sepanjang jalan ini sehingga kendaraan parkir di badan jalan dan membuat kepadatan.

Kini Jalan Sudirman Bantul yang telah mendapatkan pengembangan seperti menjawab semua tantangan yang terjadi sebelumnya dan siap untuk menghadapi masa depan dengan berbagai kemajuannya. Pedestrian yang nyaman, ramah difabel, dan berstandar internasional, serta ruas jalan yang meluas menjadi pembuktiannya. Bahkan adanya kursi-kursi di pedestrian Jalan Sudirman Bantul membuatnya menjadi tempat berkumpul dan bersantai yang baru di Bantul. Pohon-pohon besar yang sebelumnya telah ada dan memayungi jalan ini meski ditebang dalam pengembangan jalan ini, namun saya rasa hal tersebut dilakukan untuk alasan yang baik – menghilangkan permasalahan dan bahaya yang muncul dari adanya pohon yang kian besar. Lagi pula dalam pengembangan jalan ini adanya pepohonan perindang bukan menjadi sesuatu yang dilupakan karena dilakukan juga penanaman pohon di sepanjang jalan yang baru, bahkan juga dipikirkan dampak kedepannya oleh karenanya pepohonan tersebut ditanam dengan jarak tertentu dan mendapat rongga beton untuk menahan akar agar tidak menjulur dan merusak bagian jalan. Masih terkait dengan pengembangan jalan ini, Lapangan Paseban yang berada di Jalan Sudirman Bantul juga mendapatkan sentuhan renovasi. Tempat yang sejak dahulu memang menjadi ruang publik – sebagai alun-alun – menjadi semakin ramai serta semakin banyak berbagai usaha dan jasa yang bertempat di lapangan ini sebagai upaya ekonomi masyarakat Bantul. Artinya pengembangan Jalan Sudirman Bantul juga membawa berbagai dampak baru seperti banyaknya masyarakat yang datang sebagai pengunjung atau wisatawan memberikan berkah bagi para penjaja usaha dan jasa baik di Lapangan Paseban dan ruas Jalan Sudirman Bantul.

Ali mengatakan bahwa dirinya menyoroti pro dan kontra dari pengembangan Jalan Sudirman Bantul ini yang ia sebut memunculkan beragam reaksi dari masyarakat. Dalam esainya Ia membawakan dua pendapat dari dua orang yang diwawancarainya, di mana yang satu mengatakan bahwa semestinya pepohonan yang telah sejak dahulu ada tidak perlu ditebang. Di sisi lain ada seorang yang mengatakan bahwa pembangunan ini tentunya sudah dipertimbangkan dengan matang dan merupakan langkah yang baik. Tujuan pembangunan – pengembangan – jalan ini Ali anggap berhasil dan tepat. Ia mengakhiri esainya dengan mengatakan bahwa terlepas dari pro dan kontra yang ada, pembangunan - pengembangan - infrastruktur Jalan Sudirman Bantul merupakan upaya revitalisasi infrastruktur dan fasilitas publik untuk mendapat kesan Kota Bantul sebagai kota yang bersih, nyaman, dan tertata.


Tanggapan pertama yang muncul dari esai yang ditulis oleh Ali dengan judul “Kabupaten Bantul dan Transformasinya” muncul dari Shafira. Kritik yang muncul dari tanggapannya ini juga tepat dan tentunya tanggapan dari Shafira ini dapat digunakan untuk membangun agar esai karya Ali dapat menjadi lebih baik. Dalam tanggapan juga kritiknya, Shafira menggunakan berbagai teori yang masuk akal dan mampu menjadi dasar untuk mendukung tanggapan atau kritik yang muncul dari dirinya tersebut, di mana saya rasa tanggapan pertama yang muncul darinya ini lebih berfokus pada pembangunan Kota Bantul dalam konteks ekologis. Shafira sendiri nampak telah memahami konteks yang menjadi sorotan utama dari esai karya Ali yang ia tanggapi, bahwa pembangunan Jalan Sudirman Bantul dipengaruhi oleh pembangunan New Yogyakarta International Airport, di mana pembangunan bandar udara baru tersebut ia katakan dapat membuktikan bahwa transformasi infrastruktural pada suatu tempat menjadi titik keberangkatan terjadinya transformasi di tempat lain yang sekiranya dapat menunjang keberlangsungan dan operasional infrastruktur tersebut. Serta Shafira juga memahami poin-poin yang ada dalam esai karya Ali dan memperjelasnya – dengan landasan teori yang baik dan tepat – bahwa pembangunan Jalan Sudirman Bantul selain memiliki dampak infrastruktural juga memiliki dampak lain seperti mobilisasi dan perekonomian di mana dalam tanggapannya ini Shafira mengutip pernyataan Kurnianingsih dan Rudiarto (2004) yang mengatakan bahwa transformasi memiliki beberapa aspek seperti aspek fisik dan sosial ekonomi. Masih dalam pernyataan oleh Kurnianingsih dan Rudiarto (2004) yang Shafira gunakan tersebut, terdapat poin penting yang saya rasa mampu untuk benar-benar menjadi landasan atau kerangka teori dasar dalam esai karya Ali, yakni transformasi dalam aspek sosial ekonomi dapat dilihat dari variabel kepadatan penduduk yang kaitannya dengan migrasi, aksesibilitas, fasilitas dan utilitas dasar, serta variabel mata pencaharian yang berkaitan dengan perilaku ekonomi, sosial budaya, dan aksesibilitas yang mana variabel tersebut tentu sangat tepat digunakan untuk melihat apa yang terjadi dari esai karya Ali di Lapangan Paseban pasca renovasi dan Jalan Sudirman Bantul pasca pembangunan/pengembangan. Ketiganya – perilaku ekonomi, sosial budaya, aksesibilitas – yang berada dalam variabel mata pencaharian menurut saya dapat digunakan untuk mengukur transformasi serta melihat lebih detil untuk mengetahui apa saja yang terjadi dan seberapa dalam transformasi – perekonomian – terjadi di sana pasca transformasi infrastruktural di kedua infrastruktur tersebut.

Dalam tanggapannya ini, Shafira menggunakan dua perspektif yakni perspektif ekologi berkelanjutan dan perspektif global. Pertama saya akan membahas perspektif ekologi berkelanjutan yang ia ajukan dengan persoalan sustainability atau keberlanjutan di mana ia merasa Ali di dalam esainya tidak menjelaskan secara eksplisit akibat dari terjadinya penebangan pohon perindang di sepanjang Jalan Sudirman Bantul. Shafira merasa bahwa keberlanjutan tersebut layak mendapat fokus pula mengingat maraknya isu lingkungan hidup membuat transformasi ruang urban di masa kini telah diselenggarakan dengan mementingkan keberlanjutan dari transformasi tersebut (McCormick et. al., 2011). Namun kritiknya dalam masalah keberlanjutan yang mana Shafira mempertanyakan dampak penebangan pohon perindang sebelumnya serta pertanyaannya mengenai ada atau tidaknya upaya dari pemerintah daerah setempat untuk memastikan keberlanjutan dari transformasi yang dilakukan saya rasa kurang tepat. Meski Shafira sendiri sebenarnya sudah turut mengatakan bahwa penebangan ini juga sudah mempertimbangkan keberlanjutan yang belum tercapai sebelumnya apalagi dengan adanya dinding beton penahan akar agar tidak merusak jalan, saya rasa Ia tidak perlu mempertanyakan beberapa hal tersebut karena selain tampaknya ia sudah mengetahui jawabannya, hal tersebut juga sudah dijelaskan oleh Ali meski dalam esainya Ali tidak kemudian menjelaskan secara lebih dalam dan jelas. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dijelaskan oleh Ali bahwa pembangunan – pengembangan – Jalan Sudirman Bantul ini tidak menghilangkan pohon begitu saja karena kemudian saat ini juga telah dilakukan penanaman pohon kembali bahkan dengan jumlah yang lebih banyak jika melihat di berbagai sumber berita, salah satunya seperti Tribun Jogja (https://jogja.tribunnews.com/2017/09/08/jalan-jendral-sudirman-bantul-akan-kembali-ditanami-pohon). Selain itu dengan mendapat dinding beton untuk menahan akar pohon agar tidak merusak permukaan jalan, sehingga lebih kecil kemungkinannya di masa depan pohon tersebut ditebang lagi karena masalah merusak permukaan jalan seperti sebelumnya. Hal tersebut bagi saya berarti sustainability dengan proyek pengembangan Jalan Sudirman Bantul justru lebih baik jika dibandingkan sebelumnya karena kini pohon dan infrastruktur tersebut dapat bekerja sesuai fungsi dan manfaatnya masing-masing.

Sementara dalam perspektif global yang Shafira ajukan, ia mengutip pernyataan Sassen (2007) yang menyatakan bahwa kemunculan kota urban berkaitan dengan interkonektivitas yang tersedia dengan adanya proses globalisasi yang lantas menghasilkan mobilitas massa jika proses tersebut terdapat di kota-kota di luar kota yang menjadi pusat kesibukan atau kota sentral. Saya pribadi merasa teori tersebut kurang tepat jika digunakan untuk menanggapi konteks yang dihadirkan Ali dalam esainya. Dalam esainya, Ali tidak membicarakan soal kota ataupun daerah yang lain, hanya soal pengembangan Jalan Sudirman Bantul dan transformasi yang terjadi di wilayah jalan itu pasca selesainya proyek tersebut. Lapangan Paseban sendiri tidak berada di tempat yang lain, masih berada di Jalan Sudirman Bantul dan saya rasa renovasi Lapangan Paseban turut dihadirkan Ali untuk membahas lebih lanjut secara singkat mengenai dampak riil serta dapat mudah dimengerti transformasinya oleh pembaca dari seluruh kalangan dari proyek pengembangan Jalan Sudirman Bantul. Menggunakan perspektif global dari Sassen (2007) yang saya rasa masih terlalu luas tersebut dalam esai ini, dengan mengingat cakupan konteks esai karya Ali ini yang lebih sempit bagi saya perspektif dari Sassen (2007) itu dan yang dijelaskan oleh Shafira dalam tanggapannya yang menggunakan perspektif tersebut masih kurang membantu untuk mendalami permasalahan dan kekurangan yang telah ada di dalam esai tertanggap. Meski begitu, perspektif global yang ada dalam argumen Shafira saya rasa tepat dan dapat dihubungkan ketika membicarakan soal perekonomian masyarakat Bantul, khususnya di sekitar Jalan Sudirman Bantul yang kemudian berpotensi besar untuk meningkat.


Tanggapan kedua dari esai karya Ali hadir dari Tasha. Seperti Shafira, Tasha sendiri juga menggunakan beberapa referensi pustaka untuk menguatkan tanggapannya serta sudah memahami bahwa dalam esai Ali memiliki konsep utama yaitu pembangunan yang mana menurutnya bagaimanapun juga sebuah kota akan menghadapi sebuah tantangan global dengan berlangsungnya pembangunan. Tentunya pembangunan kota ini – Bantul – turut membawa transformasi dalam segi fisik hingga sosial dalam masyarakat. Tanggapan miliknya ini Tasha sebut berfokus pada transformasi Kota Bantul dari segi infrastruktur fisiknya yang merupakan kebutuhan dan tuntutan yang di dalamnya terdapat proses, faktor, aktor, serta dampaknya. Dampak tersebut dalam tanggapannya Tasha angkat dengan melihat pada konteks yang mengerucut dalam apa yang ia sebut sebagai lokalitas, sosial, dan budaya.

Saya sendiri setuju dengan tanggapan dari Tasha ketika membicarakan soal pembangunan Kota Bantul, seperti tanggapannya dalam bagian "Memahami Pembangunan Kota Bantul sebagai Sebuah Tuntutan dan Kebutuhan". Tentu pembangunan dalam konteks ini merujuk pada suatu hal yang baru, peningkatan ke suatu arah yang baik, dan sebagainya untuk mengakomodasi cita-cita dan keinginan bersama masyarakat Kabupaten Bantul. Siapa tidak suka pada suatu kemajuan yang akan memudahkan kehidupannya? Meski dalam proses pembangunan tersebut bukan hal yang asing jika kita menemui berbagai reaksi seperti pro dan kontra sebagai respon umum masyarakat atas suatu hal. Dalam konteks pembangunan Jalan Sudirman Bantul yang ada dalam esai karya Ali, Tasha mengatakan menuai pro dan kontra dari masyarakat seperti adanya ruang publik bersama berupa alun-alun Lapangan Paseban, lebih tertatanya jalanan, dan sebagainya. Sementara untuk kontra Tasha memberi contoh yang mana adanya masyarakat yang tidak menghendaki hilangnya pohon perindang yang ada sejak sebelum pembangunan dikerjakan. Sebelum lebih lanjut, saya hendak memberi kritik pada tanggapan Tasha yang seolah mengatakan bahwa Lapangan Paseban merupakan hasil dari proyek pembangunan Jalan Sudirman Bantul karena hal tersebut tidak tepat. Faktanya Lapangan Paseban tersebut bukan suatu hal yang baru karena dibenahinya Jalan Sudirman Bantul, melainkan sudah ada sejak dahulu dan memang menjadi ruang publik masyarakat Bantul, hanya saja karena proyek tersebut Lapangan Paseban turut mendapat sentuhan renovasi. Ruang publik yang benar-benar baru muncul setelah adanya proyek pembangunan - pengembangan - Jalan Sudirman Bantul adalah pedestrian atau trotoar di jalan tersebut yang kini menjadi luas dan memiliki kursi-kursi sebagai fasilitas umum hingga mendapat julukan "Malioboronya Bantul" seperti yang Ali katakan dalam esainya. Mengenai pembangunan ataupun pengembangan apapun bagi saya memang seringkali menemui sejumlah permasalahan, ada pihak yang mendukung, dan tentu ada pihak yang menolak. Namun terlepas dari semua itu masih menurut saya, pembangunan dan pengembangan jika menemui permasalahan tersebut tidaklah menjadi masalah yang besar karena dalam pemahaman saya hal tersebut - pengembangan dan pembangunan - memang sering tidak bisa memuaskan keinginan semua pihak sehingga yang dapat dilakukan dan diawasi dalam tiap pengembangan dan penbangunan adalah mana yang logis, benar, dan terbaik. Tasha dalam menguatkan argumennya mengenai pembangunan ini sebagai tuntutan dan kebutuhan bagi bagi warga Bantul mengutip pernyataan Wurarah (2012) yang mengatakan bahwa pembangunan berguna untuk kepentingan industri dan perdagangan yang kemudian menciptakan identitas kota, memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dan memperbaiki – meningkatkan – daya tarik kota.

Transformasi dalam konteks pembangunan Kota Bantul ini menurut Tasha menciptakan identitas yang baru sebagai bentuk solusi permasalahan kota untuk mewujudkan kota yang aman dan nyaman, di mana kemudian hal tersebut menjadi sebuah branding yang Tasha hadirkan dalam tanggapannya. Branding – Kabupaten Bantul – tersebut sendiri rupanya merupakan sesuatu yang memang sudah muncul di masyarakat dan menurut Tasha ada dalam sejumlah literatur dan media massa. Branding yang dimaksud di sini adalah "Bantul Smart City" dan mengenai soal itu saya rasa sudah dijelaskan dengan cukup baik oleh Tasha meski memang belum tampak jelas seperti apa "Bantul Smart City" secara nyata dan jelas karena sesungguhbya branding tersebut memang masih berupa konsep dan gagasan.

Hal lain yang ingin saya diskusikan dari tanggapan Tasha adalah pembahasannya mengenai salah satu bagian tanggapannya yang berjudul "Penbangunan Kota Bantul dalam Pandangan Lokalitas, Sosial, Budaya". Saya merasa judul bagian salah satu tanggapannya tersebut sebenarnya sangatlah luas dan apa yang disajikan Tasha dalam tanggapannya di bagian tersebut masih sangat kurang. Menyinggung persoalan infrastruktur Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) yang berkaitan dengan pembangunan di Kabupaten Bantul saya rasa tidak salah, namun Tasha dalam bagian ini kurang mampu mengaitkan dengan topik persoalan utama yang ada dalam esai utama. Akan lebih baik jika bagian setelah menjelaskan JJLS tersebut bahwa infrastruktur itu merupakan bagian dari kelengkapan suatu daerah untuk menunjang kebutuhan hidup pada sektor sosial dan ekonomi langsung dikaitkan saja secara lebih dalam pada sektor sosial dan ekonomi yang ia sebutkan - meski soal ekonomi sudah sedikit tersirat dalam pembangunan rest area dekat pintu masuk JJLS wilayah Kabupaten Bantul - serta relevansinya dengan esai karya Ali. Meski Tasha menyebutkan bahwa dirinya membahas hingga soal peran masyarakat, namun pembahasan darinya soal hal ini masih kurang jelas, Tasha hanya membahas peran masyarakat tersebut berada pada tataran kewajiban yang berlaku yakni memmbayar pajak. Dengan demikian terkesan bahwa masyarakat Bantul turut membangun kotanya hanya dengan memberi pemasukan pada pemerintah saja. Terlalu jauh hingga membahas urban sprawl bagi saya juga kurang tepat dan masih berada pada tingkat permukaan mengenai apa itu urban sprawl saja. Meskipun masih masih terkait namun topik yang Tasha angkat ini justru hanya menambah persoalan baru dan tidak solutif atau menjawab/memperjelas dari esai utama. Saya sendiri merasa dalam studi perkotaan sebenarnya semua aspek yang berkaitan dengan masyarakat - yang sudah sangat luas - dapat dihubungkan dengan semua aspek mengenai kota dengan segala sistem dan strukturnya, jika kita tidak memiliki fokus yang jelas dalam tulisan yang dibuat, tentu akan susah untuk mengetahui isi dan tujuan dari tulisan tersebut.

Akhir kata, esai karya Ali sendiri juga masih memiliki banyak kekurangan dan banyak sekali hal yang masih bisa dijelaskan lebih dalam dari apa yang sudah ia angkat dalam esai tersebut . Kekurangan paling utama dalam esainya adalah soal kedalaman data dan teori, serta referensi dalam pembuatan esainya. Kedua adalah struktur penulisannya yang kurang tertata juga cukup mengganggu menurut saya dan Shafira seperti yang ia sampaikan dalam tanggapannya.

Daftar Pustaka

Astuti, D. S., & Nasiwan, N. (2018). KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PASCA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI DESA TIRTOHARGO KECAMATAN KRETEK KABUPATEN BANTUL. SOCIAL STUDIES, 7(1), 86-94.

Cohen, B. (2006). Urbanization in developing countries: Current trends, future projections, and key challenges for sustainability. Technology In Society, 28(1-2), 63-80. doi: 10.1016/j.techsoc.2005.10.005

Dishub Bantul Tegur Penataan Parkir Toko dan Warung di Jalan Jenderal Sudirman - Tribun Jogja. (2019). Retrieved from https://jogja.tribunnews.com/2019/02/25/dishub-bantul-tegur-penataan-parkir-toko-dan-warung-di-jalan-jenderal-sudirman

Ini Penyebab Jalan Jendral Sudirman Bantul Terasa Sangat Panas di Siang Hari - Tribun Jogja. (2019). Retrieved from https://jogja.tribunnews.com/2017/09/08/ini-penyebab-jalan-jendral-sudirman-bantul-terasa-sangat-panas-di-siang-hari

Kurnianingsih, N. A., & Rudiarto, I. (2014). Analisis Transformasi Wilayah Peri-Urban pada Aspek Fisik dan Sosial Ekonomi (Kecamatan Kartasura). Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(3), 265-277.

Lapangan Paseban dan Parasamya Akan Ditata - Tribun Jogja. (2018). Retrieved from https://jogja.tribunnews.com/2018/05/28/lapangan-paseban-dan-parasamya-akan-ditata

McCormick, K., Anderberg, S., Coenen, L., & Neij, L. (2013). Advancing sustainable urban transformation. Journal of Cleaner Production, 50, 1-11.

Muyasyaroh, S. L. (2017). Analisis Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 1987 Bina Marga dan Metode AASHTO 1993 (Studi Kasus: Peningkatan Ruas Jalan Siluk-Kretek, Bantul, DIY).

Nofitasari, T., & Prakoso, E. (2016). Persepsi Masyarakat Kepesisiran Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul terhadap Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (Jjls) di Kabupaten Bantul. Jurnal Bumi Indonesia, 5(3).

Sambut NYIA, Pemkab Bantul Tata Pansela • Radar Jogja. (2018). Retrieved from http://radarjogja.jawapos.com/2018/07/20/sambut-nyia-pemkab-bantul-tata-pansela/

Sassen, S. (2007). The Global City. A Companion To The Anthropology Of Politics, 168-178. doi: 10.1002/9780470693681.ch11

Setiawan, S., & Assidiq, Y. (2018). Kotabaru Selesai, Giliran Jalan Sudirman Direvitalisi | Republika Online. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/12/26/pkc808399-kotabaru-selesai-giliran-jalan-sudirman-direvitalisi

Sigit, A. (2017). Penataan Jalan Jensud Bantul Picu Beragam Reaksi. Retrieved from https://krjogja.com/web/news/read/40953/Penataan_Jalan_Jensud_Bantul_Picu_Beragam_Reaksi

SMART CITY PELUANG DAN TANTANGAN UNTUK YOGYAKARTA BERBUDAYA - Berita | BAPPEDA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. (2016). Retrieved from http://bappeda.jogjaprov.go.id/berita/detail/54-smart-city-peluang-dan-tantangan-untuk-yogyakarta-berbudayaKusumaningsih, R. Y. R., & Kawuningrum, K. (2017). KONSEP DESAIN JARINGAN KOMPUTER YANG SESUAI UNTUK KONTUR WILAYAH DALAM MEWUJUDKAN BANTUL SMART CITY. PROSIDING SENSEI 2017, 1(1).

UIN, D. L. P. S. A., & Kalijaga, S .(2017). URBAN DESA PROSES TRANSISI DESA MENJADI KOTA STUDI KASUS DI DESA PANGGUNGHARJO SEWON BANTUL YOGYAKARTA1.

Wurarah, J. (2012). Analisis Struktur Ekonomi Dan Sektor Basis Kabupaten Bantul Tahun 2007-2011.

24 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page