top of page
Writer's pictureIlona Cecilia

Kampung Prawirotaman: Antara Es Krim Italia dan Rendang Padang

Updated: Jun 13, 2019

Halimah, Iffah Fitri Annisa, Ilona Cecilia, Charistya Herandy


Jum’at, 4 Mei 2019―selepas kunjungan ke Istana Kepresidenan, kami siap menjelma menjadi “bolang” bocah petualang, mengelilingi kota Yogyakarta. Di tengah sibuknya perkuliahan, kapan lagi waktu yang tepat untuk sekadar berjalan-jalan menjadi turis di kota sendiri, jika bukan hari ini. Walaupun dua dari kami tidak memiliki KTP Yogyakarta, salahkah jika kami menganggap tempat menuntut ilmu sebagai kota sendiri? Kami rasa tidak ada aturan seperti itu. Lagi pula masyarakat Yogyakarta sangat welcome kepada siapa pun. Tidak melihat dari mana orang tersebut berasal, entah itu mahasiswa yang ingin belajar, wisatawan domestik maupun mancanegara. Nah, berhubung hari ini kami memutuskan menjadi bolang, pergilah kami ke daerah Prawirotaman, untuk merasakan menjadi turis di kota sendiri.



Plang di pintu masuk Kampung Prawirotaman. Sumber: njogja.co.id

Kampung Prawirotaman

Rasanya agak aneh jika warga Yogyakarta tidak pernah mendengar kampung Prawirotaman. Kampung ini memiliki berbagai julukan yang terkenal seperti, kampung turis, kampung bule, kampung internasional, dan Bali-nya Jogja. Prawirotaman berlokasi tidak jauh dari area wisata Malioboro dan menjadi pusat penginapan para turis. Tahun 2018 lalu, Prawirotaman berada dalam peringkat ke-32 pada daftar 50 Kawasan Paling Menyenangkan di Dunia versi situs wisata Time Out. CNN Indonesia berpendapat masuknya Prawirotaman pada daftar karena kampung ini menyuguhkan suasana berwisata yang menyenangkan tanpa meninggalkan suasana tradisional khas Pulau Jawa.


Meski disebut sebagai kampung, Prawirotaman terletak di pusat kota dan mudah ditemukan. Jalanannya pun jangan dibayangkan berupa gang-gang sempit karena kampung ini jauh dari kesan semacam itu. Tepat di depan gapura penanda jalan Prawirotaman, terdapat semacam plang yang sangat besar yang menunjukkan tempat-tempat kuliner, wisata, dan penginapan yang ada di Prawirotaman.


Prawirotaman pada dasarnya merupakan nama sebuah jalan satu arah yang menghubungkan Jalan Parangtritis dan Jalan Imogiri Barat. Bila dilihat berdasarkan fungsinya, dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Prawirotaman termasuk ke jalan lokal sekunder dalam skala perkotaan yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rendah.


Toko Satu Dunia

Prawirotaman pada siang hari terlihat sepi, tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Walaupun terlihat sepi, kami dengan mudah menemukan beberapa turis mancanegara yang asyik berjalan di sana. Ibarat seorang turis yang baru tiba di lokasi liburannya, kami memasuki salah satu toko buku dan post card sekaligus travel agency bernama Toko Satu Dunia. Toko ini telah berdiri sejak tahun 2006 dan telah melayani wisatawan dari berbagai wilayah. Memasuki toko, terlihat sepasang turis asing sedang membeli buku dan berbicara menggunakan Bahasa Inggris dengan penjaga toko tersebut. Penampilannya sangat kasual dan tidak membawa tas besar sehingga kami mengira mereka tinggal di sekitar sini, atau mungkin telah menginap beberapa lama di penginapan setempat.


Setelah kedua turis itu berbicara dengan penjaga toko, kami pun melakukan hal yang sama. Mengobrol sedikit banyak mengenai jasa perjalanan yang ditawarkan, dan bagaimana sistem penawaran jasa tour and travel dengan penjaga toko―Nadiya. Toko Satu Dunia ini memang menargetkan pasarnya pada turis asing dengan menjual buku-buku dalam Bahasa Inggris, postcard khas Indonesia, dan mengenalkan budaya lokal seperti kelas membatik dan memasak makanan khas Indonesia. Mereka mengadakan kerjasama dengan cukup banyak pihak, seperti hotel-hotel di sekitar, biro transportasi, hingga tempat-tempat wisata. Sayang sekali, kami tidak menemukan banyak interaksi dari para wisatawan karena toko tersebut sedang sepi pengunjung pada hari itu dan seperti yang dikatakan oleh Nadiya, bahwa saat ini belum memasuki high seasons dimana turis-turis mulai banyak berdatangan.

Sebagai wisatawan pasti telah menyiapkan segala sesuatu kebutuhan perjalanannya dari jauh-jauh hari. Apalagi saat ini informasi mudah sekali untuk didapatkan melalui internet. Tidak jarang mereka akan menyusun rencana perjalanan sebaik mungkin. Namun siapa sangka keberadaan biro jasa perjalanan tetap dibutuhkan untuk mengatur segala keperluan kegiatan wisata.


Tempo Gelato

Setelah mendatangi biro perjalanan, kami mengunjungi tempat yang cukup menarik dan cukup dapat menghilangkan teriknya matahari Jogja siang itu. Dari banyaknya restoran dan kafe-kafe di jalan Prawirotaman yang menjual makanan dan minuman dari mancanegara dan bergaya ala-ala eropa, kami memilih Tempo Gelato, sebuah toko es krim gaya Italia yang cukup tersohor di kota Jogja. Desain interior yang cukup unik menggambarkan Jawa-Eropa tempo dulu, dan varian es krim yang enak dan beragam membuat tempat ini lebih terkenal di kalangan turis lokal dibanding kafe di sekitarnya.



Suasana Tempo Gelato

Ketika kami datang, toko ini cukup ramai, hanya tersisa dua atau tiga tempat duduk yang kosong. Setelah kami membayar es krim dan memilih rasanya, barulah kami mendapatkan tempat duduk. Dari sekian banyak pengunjung yang datang ke Tempo Gelato Prawirotaman siang itu, kami hanya melihat satu-dua rombongan turis asing, sisanya merupakan turis lokal. Memang oleh Nadiya sebelumnya diperingatkan bahwa Tempo Gelato Prawirotaman biasanya dipenuhi oleh turis lokal. Hampir semua datang bersama rombongan atau orang lain, tidak ada yang seorang diri. Mayoritas pengunjung mengenakan pakaian yang trendi dan bagus, serta perempuan menggunakan riasan yang cantik.


Mereka berdandan cantik dan kasual seperti memang sedang berlibur atau sekadar menikmati es krim di depannya. Melihat dari penampilan pengunjung yang kemari dan harga yang ditawarkan untuk setiap es krim, sepertinya pengunjung yang kemari berasal dari kalangan menengah ke atas. Dari rombongan anak-anak muda, pasangan muda-mudi, sampai dengan rombongan keluarga, kami melihat mereka mengambil foto di tempat ini dengan kamera ponsel pintar mereka. Tak aneh mengingat lampu-lampu berwarna kuning, tembok, hiasan dinding, sofa, hingga jendela-jendela besar yang menghadap ke jalan memang sangat estetik dan setiap tempat di kafe ini layak untuk menjadi spot swafoto.

Kami melihat tempat ini menjadi sasaran wisata tidak hanya bagi para turis dan warga lokal kota Jogja, namun juga turis dari berbagai daerah. Halimah, misalnya, ia seringkali diminta oleh saudara-saudaranya dari luar kota untuk mengantar mereka pergi ke Tempo Gelato karena mereka melihat rekomendasi di sosial media. Kebanyakan dari mereka yang tertarik, mengatakan alasannya sebagai berikut; penasaran dengan rasanya, atau ingin mengambil foto di tempat yang jelas bagusnya.


Pengunjung Tempo Gelato

Tak hanya pada hari itu, kami kembali ke Tempo Gelato pada hari Minggu, sehari sebelum puasa. Untuk melihat apakah ada hal baru yang dapat kami temukan―siapa tahu ada varian rasa baru yang bisa kami coba―atau ada sesuatu yang luput dari perhatian kami kemarin.

Setelah memilih rasa es krim yang ternyata masih sama, kami memilih tempat duduk di ruangan yang terpisah dengan meja kasir dan counter es krim. Ruangan yang kelihatannya lebih private. Berisikan lima pasang meja yang di satu sisinya dilengkapi sepasang kursi, sedangkan sisi lainnya dilengkapi dengan sofa yang menyatu―mengelilingi dua sisi ruangan― juga terdapat dua meja bar di sisi lainnya. Ruangan yang kira-kira dapat menampung dua puluh pengunjung, kalau semua kursi terpenuhi.


Kami memilih meja di sudut ruangan, sebut saja meja 5, kalau dari arah pintu masuk berada di sudut sebelah kiri. Meja 1, berada di sebelah kanan pintu masuk, ditempati oleh sepasang anak muda, laki-laki dan perempuan yang keduanya terlihat seumuran. Meja 2, berada di sebelah meja 1, ditempati oleh satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, satu anak laki-laki, dan dua anak perempuan―tidak pada satu meja, tetapi duduk di kursi bar (meja 7) disebrangnya. Anak-anak dari keluarga ini juga terlihat tidak jauh berbeda usianya, mereka terlihat seperti anak baru gede “abg”. Meja 3 juga diisi oleh keluarga kecil yang beranggotakan bapak, ibu, satu anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Anak laki-laki dan perempuan keluarga ini lebih muda usianya bila dibandingkan dengan keluarga di meja 2, mereka terlihat seperti anak sekolah dasar (SD). Meja 4 juga ditempati oleh sepasang anak muda yang terlihat lebih dewasa dari pasangan anak muda meja 1.


Namanya juga Tempo Gelato yang tidak pernah sepi pengunjung. Para pengunjung yang baru datang akan mencari-cari meja mana yang telah kosong dari penghuni sebelumnya. Selama kami berada di sana, kami melihat beberapa kali pergantian pemain di setiap meja. Seperti keluarga di meja 2 digantikan oleh tiga perempuan muda yang berpakaian rapi dan memperlihatkan ke-stylish-an mereka dan keluarga di meja 3 yang digantikan oleh keluarga lainnya, serta ada keluarga baru yang menempati kedua meja bar. Keluarga baru ini beranggotakan ibu, anak laki-laki, nenek, dan kakek.


Dari semua pengunjung yang silih berganti, kami mengklasifikasikannya menjadi tiga ragam. Pengunjung yang datang bersama pasangan, pengunjung berkeluarga, dan pengunjung yang datang dengan teman-teman. Dari ketiga ragam pengunjung ini kami bisa melihat lama waktu yang dihabiskan setiap kali datang ke Tempo Gelato. Mulai dari 15 menit sampai lebih dari satu jam.


Pengunjung yang menghabiskan waktu 15-30 menit adalah keluarga. Keluarga yang datang bersama anak-anaknya. Mereka memakan waktu 15-30 menit untuk menyelesaikan es krim dan mengabadikannya sesekali. Seperti keluarga pertama di meja 2, sang ibu berfoto bersama ketiga abg-nya yang sedang menikmati es krim. Tak jarang mereka saling bertukar varian rasa es krim. Setelah es krim tersebut hilang dari pandangan, mereka segera beranjak dari mejanya. Begitu juga keluarga baru yang menempati dua meja bar. Sang ibu hanya mengambil gambar anak laki-lakinya yang sedang menghabiskan es krim di sebelahnya. Adapun interaksi kakek-nenek-cucu yang baik di dalamnya. Kakek-nenek ini tidak dapat menghabiskan es krim kemudian meminta cucunya untuk menghabiskannya, seraya berkata “Bantuin Opa dong! Opa gak habis nih”. Kemudian mereka meninggalkan tempat, untuk ke destinasi berikutnya dengan muka yang ceria.


Pengunjung yang menghabiskan waktu 45-60 menit adalah anak-anak muda yang datang bergerombol mulai 3-6 orang. Mereka datang dengan pakaian rapi dan trendi, ada juga yang datang membawa kamera. Mereka menghabiskan es krim dengan cara bertahap. Sesuap-cekrek-sesuap-cekrek. Mungkin lebih lama mencari sudut yang bagus dan merapikan rambut untuk berfoto dan upload. Seperti tiga perempuan muda yang menghabiskan es krim sambil berkaca, khawatir kalau lelehan es krim akan mengotori riasan di wajah mereka. Kami yang memerhatikannya saja sampai gemas. Mereka saling bergantian mengambil gambar satu sama lain, kemudian memilih foto mana yang cukup menarik untuk diunggah ke sosial media. Begitu seterusnya sampai es krim tersebut akhirnya habis. Kemudian mereka pergi dengan puas karena telah berhasil memberikan konten menarik.


Pengunjung yang menghabiskan waktu paling lama, di atas satu jam, adalah anak muda yang sedang “pdkt” atau berpacaran. Pasangan anak muda ini akan berlama-lama bertukar cerita sambil menikmati es krim. Ada yang satu es krim untuk berdua, ini agar romantis atau hemat kantong? Biarlah dunia serasa milik berdua, begitu juga es krim ini. Mereka akan mengobrol panjang lebar tentang apa saja. Topik yang dibicarakan juga beragam, ada yang menjadikan konten di sosial media mereka sebagai pembicaraan, atau pun sekedar menggosip. Kalau sudah datang waktu saling diam, dan saling melihat ponsel masing-masing, tandanya topik pembicaraan sudah habis. Kemudian mereka akan beranjak dari Tempo Gelato dengan suasana yang canggung.


Dari setiap pengunjung yang kami perhatikan, mereka sulit sekali untuk lepas dari ponsel pintarnya. Tak jarang anak-anak mereka juga melakukan hal yang sama. Meskipun awalnya mereka berhadap-hadapan menikmati es krim, tetapi ketika es krim tersebut telah habis mereka akan kembali menatap smartphone. Seakan isu dalam ponsel lebih menarik daripada kesan yang dimiliki sang anak setelah menikmati es krim. Ketika orang tua begitu sibuk dengan isi ponselnya, anak-anak juga akan tersibukkan dengan permainannya.

Berhubung kami telah menghabiskan waktu cukup lama di Tempo Gelato, sudah saatnya memberikan kesempatan kepada pengunjung lain untuk menikmati es krim di meja kami. Sampai keluar dari Tempo Gelato, kami hanya menemukan satu orang turis asing yang datang bersama wisatawan lokal. Semua pengunjung yang datang, rata-rata merupakan wisatawan lokal seperti yang telah disebutkan di atas. Es krim Italia Jawa ini tidak pernah terlewatkan oleh wisatawan, SUARA.com berpendapat bahkan di hari libur besar dan jika cuaca tidak hujan pengunjung bisa sampai kehabisan es krim karena antrean pembeli yang mengular.


ViaVia Jogja

Cukup puas di Tempo Gelato, kami mencari tempat lain yang menarik di Prawirotaman. Kami berjalan menelusuri Prawirotaman, memikirkan destinasi selanjutnya sambil melirik-lirik restaurant dan café yang sibuk menyajikan makan siang. Cacing-cacing di perut kami ikut bernyanyi, sambil merayu untuk diberi makan. Tidak heran mereka kelaparan karena waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Sebelum menentukan tempat yang akan kami datangi, kami sempat melihat menu restoran lainnya yang disediakan di luar restoran. Kami hanya melirik sambil melewatinya, khawatir kalau berhenti lama-lama akan didatangi pelayan―mengira kami akan memesan. Kami geleng-geleng kepala, terkejut melihat harga Gado-gado yang mencapai 35.000,-. Kami yang biasa makan mie ayam Kansas 11.000,- terheran-heran siapa yang akan mengeluarkan uang sebanyak itu untuk makan gado-gado, yang jelas bukan kami. Melihat angkanya saja, kami jadi ragu untuk mencari restoran lain yang mungkin akan membanderol harga serupa.


Akhirnya kami memasuki salah sebuah toko setelah melihat beberapa turis asing memasukinya. Ternyata toko tersebut semacam tour and travel iya, toko souvenir juga iya, restoran pun iya. Pada awalnya kami sulit untuk mendefinisikan toko apakah itu. Namun setelah melihat website viaviajogja.com ternyata ViaVia merupakan tempat pertemuan bagi para pelancong dunia, persimpangan antara timur dan barat, utara dan selatan. Di mana konsep dari café itu sendiri sebagai tempat bertemunya budaya barat dan budaya timur, sekaligus sebagai tempat bertukar informasi antar budaya. Oleh karena itu di sini kami menemukan lebih banyak wisatawan asing daripada lokal, kebalikan dari Tempo Gelato.



Suasana ViaVia

Ruang pertama yang kami lalui adalah bagian tour and travel. Di sana ada beberapa turis yang sempat kami lihat di jalan sedang mengkonsultasikan rencana perjalanannya dibantu seorang pemandu wisata. Ruangan selanjutnya adalah toko cinderamata yang ukurannya lebih luas dari ruang tour and travel. Di sana banyak sekali cinderamata yang ditampilkan, mulai dari kain, kaos, tas, perhiasan, buku catatan, minyak organik dan lain-lain. Perhiasan, buku catatan, dan tas yang ditawarkan rata-rata terbuat dari bahan daur ulang dan bertuliskan slogan-slogan tentang melindungi bumi, mengurangi sampah, dan kesetaraan gender. Menurut kami cinderamata yang ditampilkan sangat unik dan menarik perhatian. Rasanya sangat sesuai dengan selera wisatawan internasional maupun lokal apalagi dengan menambahkan isu-isu sosial yang sedang terjadi di masyarakat.


Di sebelah kedua ruangan tersebut terdapat restoran yang cukup luas. Dengan interior yang tidak terlalu berlebihan. Dinding yang dibiarkan memperlihatkan bata merah dilengkapi dengan banyak lukisan hasil karya seniman-seniman bertalenta. Suasana yang begitu nyaman, diiringi lagu yang tidak begitu keras, membuat pengunjung dapat menikmati makan siang mereka dengan tenang. Restoran menyajikan menu yang bervariasi dengan hidangan dari seluruh dunia. Menu harian yang berubah untuk masakan Indonesia, pasta, salad, sandwich, steak dan masakan lainnya. Viaviajogja.com mengklaim bahwa semua hidangannya terbebas dari bahan pengawet Monosodium Glutamate (MSG).


Pengunjung ViaVia Jogja

Berbeda dengan Tempo Gelato, rata-rata pengunjung ViaVia adalah wisatawan asing. Mereka datang ke ViaVia dengan tujuan yang beragam. Ada yang datang untuk jasa perjalanan, datang untuk melihat-lihat souvenir yang ditawarkan, juga datang untuk menikmati hidangan―memenuhi energi untuk berwisata.

Sepasang turis yang duduk di sebelah meja kami memesan rendang daging. Sebelum memesan ia terlihat memastikan bagaimana mengatakan “Rendang” dengan benar―“How do you say it?” ―kepada salah seorang pramusaji. Sedangkan kami lebih memilih memesan roti lapis sambil bergurau “Kenapa kita gak pesan rendang?” “Enakan rendang nasi padang kali”.


Menurut salah seorang pramusaji, turis yang datang ke ViaVia lebih tertarik memesan masakan Indonesia. Mereka yang datang akan penasaran dengan makanan yang biasa bagi lidah orang Indonesia. Mungkin karena mereka seorang turis, akan kurang afdal apabila tidak mencicipi masakan khas dari negara yang dikunjungi. Namun tak jarang juga mereka memilih masakan Barat.


Hal menarik yang kami dapat adalah para turis ini jarang sekali terlihat menggunakan gadget mereka, tidak seperti wisatawan yang mengunjungi Tempo Gelato. Mereka tidak sibuk memotret dirinya untuk dimasukan ke sosial media. Hanya satu turis yang kami temui memotret makanan yang telah dihidangkan, atau bisa dibilang food porn . Para wisatawan ini benar-benar memanfaatkan waktu untuk quality time dengan partner perjalanannya sambil menikmati makanan pilihannya.


Kami sulit sekali membedakan wisatawan asing yang berada di ViaVia. Mereka semua terlihat sama―seorang turis. Kami tidak bisa membedakan kelas sosial mereka bila dilihat dari pakaian yang dikenakan. Mereka semua berpakaian hampir sama, sangat kasual. Yang laki-laki mengenakan kaos lengan pendek, celana selutut, dan sandal jepit, ada pula yang bersepatu, hanya beberapa yang membawa tas ransel dan memakai topi. Yang perempuan juga menggunakan sandal jepit, atasan terbuka―tanpa lengan atau tank top―celana pendek, dan tas kecil, terkadang dilengkapi aksesoris seperti kacamata dan topi. Mereka semua terlihat sama dan tidak ada yang berusaha menampilkan kelas sosialnya. Berbeda dengan pengunjung di Tempo Gelato yang dengan mudah dapat kami lihat yang berkelas dan bukan.


Urban Tourism

Edwards et al (2008) menyatakan, dalam Ashworth dan Page (2011), pariwisata adalah salah satu di antara banyak kekuatan sosial dan ekonomi di lingkungan perkotaan. Hal ini termasuk pada industri yang mengelola dan memasarkan berbagai produk atau jasa dan pengalaman kepada orang-orang (wisatawan) yang memiliki motivasi, preferensi, dan perspektif budaya dan terlibat dalam hubungan dua arah dengan tuan rumah (tujuan wisata). Berbeda dengan pariwisata yang dibatasi secara geografis, seperti daerah pedesaan, pantai dan lautan, pegunungan, atau yang lainnya, pariwisata di lingkungan perkotaan memberikan hal yang berbeda. Hal ini mencakup ‘budaya’ (festival dan seni―kelas membatik misalnya), ‘sejarah’, ‘kehidupan malam’, dan ‘perbelanjaan’ semua dapat dikatakan sebagai bentuk pariwisata perkotaan, seperti yang kami lihat pada Kampung Prawirotaman yang berada di tengah kota. Konteks budaya dalam pariwisata dan rekreasi saat ini telah berubah dan menjadi inti dari konsep modernitas baru di mana orang-orang mengalami dunia kontemporer, mengubah bentuk subjektivitas, sosialitas, dan penghargaan estetika mereka terhadap alam, lanskap, pemandangan kota, dan masyarakat lainnya (Gospodini, 2001)


Setelah seharian di Prawirotaman, kami menyimpulkan bahwa meskipun dijuluki kampung bule dan kawasannya mayoritas dipenuhi oleh kafe dan tempat makan bernuansa barat Kampung Prawirotaman dapat dikategorikan sebagai situs pariwisata kebudayaan. Situs pariwisata kebudayaan atau cultural tourism oleh World Tourism Organization dikatakan merupakan pariwisata dengan motivasi kultural seperti study tour, perjalanan budaya ke festival dan pertunjukan seni, kunjungan ke situs dan monumen, perjalanan untuk belajar alam, folklore atau seni. Hal ini dibuktikan dengan Toko Satu Dunia yang menyediakan kelas membatik dan memasak makanan Indonesia, juga ViaVia yang banyak menyediakan makanan Indonesia. Namun keberadaan Kampung Prawirotaman yang ada di tengah kota membuat penyematan titel dirinya sebagai situs pariwisata kebudayaan cukup kontradiktif jadi fenomena yang kompleks karena cakupan luas fasilitas yang ada di kota bukanlah produk eksklusif bagi turis (Istoc, 2012) tidak seperti pariwisata berbasis geografis. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pariwisata di tengah kota kehilangan pasarnya. Hal ini terbukti dari turis lokal yang juga banyak berkunjung ke Kampung Prawirotaman, contohnya ke Tempo Gelato.


Tempo Gelato dan ViaVia, keduanya menjadi pelabuhan turis lokal juga asing untuk mengisi waktu luang mereka sebagai (salah satu) bentuk pariwisata. Makanan menjadi wahana bagi mereka untuk berkumpul dengan orang tersayang dan merasakan cita rasa baru. Ya, baru, mengingat terdapat pola yang sangat jelas terlihat disini. Menarik bagaimana meskipun berada di satu kawasan, pemandangan yang kami temui di Tempo Gelato dan ViaVia hampir sepenuhnya berbeda. Tempo Gelato yang notabene merupakan tempat es krim Italia dipenuhi oleh turis lokal— entah memang karena es krim yang dijual atau interior tempat yang estetik. Sementara ViaVia yang meskipun menyediakan hidangan dari seluruh dunia, ramai dikunjungi turis asing yang ingin merasakan makanan Indonesia. Dari sini, terlihat bagaimana turis— asing maupun lokal, sama-sama mencari cita rasa baru melalui dua restoran tersebut.


Tidak hanya mengenai cita rasa baru yang dicari masing-masing pihak, kami juga menemui perbedaan menonjol akan gaya berpakaian dan interaksi yang terjalin antar pengunjung. Di Tempo Gelato, terlihat betul bagaimana turis lokal berasal dari kalangan berada melalui gaya berpakaian mereka—rapi dan stylish. Kelompok-kelompok turis lokal yang datang juga dapat dengan mudah dibedakan, mana yang datang berpasangan, dengan kelompok teman, atau dengan keluarga tercinta. Interaksi yang terjalin pun beragam, ada yang asyik bercengkrama, fokus untuk foto-foto, atau malah serius dengan ponsel. Semua seakan jelas di Tempo Gelato. Berbeda dengan pemandangan di ViaVia yang seakan sama. Turis asing terlihat ya.. tipikal turis asing. Semua berpakaian casual sehingga sulit melihat kelas sosialnya. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Ashworth dan Page (2011), wisatawan yang mengunjungi perkotaan dengan mudah terserap menjadi sebagian besar tidak terlihat secara ekonomi dan fisik. Turis asing di ViaVia juga jarang terlihat menggunakan ponsel apalagi memotret makanannya.


Tak disangka pengalaman jadi bolang di Prawirotaman berakhir menjadi pengamat para turis. Sambil mengamati, sambil menikmati berbagai hidangan enak, dan merasakan menjadi turis di kota sendiri. Untuk itu, kalian lebih memilih menikmati Gelato ala Italia, atau menikmati rendang dan salad di ViaVia melebur bersama para turis lainnya?



Referensi:

1. Ashworth, G., & Page, S. J. (2011). Urban tourism research: Recent progress and current paradoxes. Tourism management, 32(1), 1-15.

2. Chaerunnisa, & Puput P. (2017). “Es Krim Italia Jawa di Tempo Gelato Bikin ‘Meleleh’”. SUARA.com. https://www.suara.com/lifestyle/2017/07/28/124958/es-krim-italia-jawa-di-tempo-gelato-bikin-meleleh diakses pada 13 Mei 2019

3. Istoc, E. M. (2012). Urban cultural tourism and sustainable development. International Journal for Responsible Tourism, 1(1), 38-56.

4. Gospodini, A. (2001). Urban design, urban space morphology, urban tourism: an emerging new paradigm concerning their relationship. European Planning Studies, 9(7), 925-934.

5. Pemerintah Indonesia. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 132. Jakarta: Sekretariat Negara

6. Tim. (2018). “Prawirotaman Masuk Daftar Kawasan Menyenangkan di Dunia”. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180926164812-269-333426/prawirotaman-masuk-daftar-kawasan-menyenangkan-di-dunia diakses pada 9 Mei 2019

7. ViaVia Jogja. (2012). “ViaVia Concept”. ViaVia Jogja. https://www.viaviajogja.com/world.php diakses 14 Mei 2019

43 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page