Adam Sediyoadi P, Anugerah Rinaldi, Rayhan Wildan R, Tigar Brilyan Sugijarta.
Minggu, 5 Mei 2019 kami berkunjung ke kafe Antologi. Jam menunjukan tepat pukul 15.00, saat kami sampai di kafe yang lokasinya tidak jauh dari UGM. Kami merasa sangat indie saat itu karena meminum kopi di waktu petang Seperti biasanya, sore itu Antologi ramai oleh para pengunjung. Saat kami di sana, hampir seluruh kursi dan meja kafe yang tersedia telah diisi oleh para pengunjung yang sedang menikmati kopi sembari mengerjakan tugas atau sekadar mengobrol bersama kawan. Kami menghitung saat itu Antologi dipenuhi oleh 28 orang. Kami pun masuk dan memesan minuman di bar serta langsung membayarnya. Setelah memesan minuman, kami mencari tempat duduk yang kami rasa tepat untuk mengamati perilaku orang-orang yang di sana. Pertama kali, pandangan kami tertuju pada setiap orang yang berada di kafe tersebut yang kebanyakan membawa laptop pribadi. Tentunya sudah pasti kebanyakan orang-orang tersebut adalah mahasiswa, karena banyak dari orang-orang tersebut sedang mengerjakan tugas sambil berdiskusi.
Bagian dalam dari Antologi ini sendiri sama seperti kafe pada umumnya. Pada sisi tengah sampai bagian timur kafe disediakan kursi dan meja sebagai tempat duduk para pengunjung. Pada sisi barat, di tembok disediakan tempat lesehan yang di depannya terdapat rak buku untuk membaca. Selain itu, di bagian jendela juga dapat digunakan sebagai tempat lesehan. Pada bagian lesehan inilah perempuan dan laki-laki bercampur menjadi satu tanpa sekat yang memisahkan mereka. Kami melihat bagaimana orang-orang yang tidak saling kenal ini dapat duduk berdampingan dengan sangat dekat. Bahkan kami juga melihat seseorang yang tidak mengenali satu sama lainnya dapat bersenderan bersamaan pada sebuah bean bag yang disediakan. Tempat lesehan tersebut telah memberikan ruang interaksi yang terjadi relatif lebih intensif. Kami melihat ada sepuluh orang yang duduk lesehan berdampingan dapat duduk di satu bean bag yang sama. Mungkin dari tempat itulah para pengunjung dapat menjadi fasilitator untuk membuka pembicaraan antara orang yang saling tidak mengenal, walaupun pada saat itu kami mengamati hal tersebut tidak terjadi.
Antologi adalah kedai kopi yang juga biasa digunakan sebagai coworking space. Antologi menyediakan ruang kerja bagi mereka yang membutuhkan dengan membayar sejumlah uang. Mereka akan menjadi member dan bisa menentukan berapa lama tergantung uang yang mereka bayar. Ada beberapa varian member berdasarkan waktunya, yaitu member harian, mingguan, dan bulanan. Tentunya mereka akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari pengunjung biasa. Mereka bisa leluasa mengakses semua tempat yang ada di Antologi karena bagian atas hanya dikhususkan untuk member. Bagian atas juga terdapat ruangan tertutup yang dapat disewa untuk keperluan seperti rapat, meeting, dan sebagainya. Kelebihan lain dari menjadi member adalah mendapatkan akses internet yang lebih cepat dan lama, mengingat pemakaian internet pengunjung biasa hanya dibatasi selama satu jam per hari.
Beragam Rupa Pengunjung Kedai Kopi
Sembari menunggu nama kami dipanggil untuk mengambil minuman yang telah kami pesan dan bayarkan sebelumnya, kami kembali mengamati secara lebih lanjut bagaimana perilaku para pengunjung Antologi dan interaksi antar sesamanya. Mayoritas para pengunjung kafe Antologi memang datang secara bergerombol atau dalam kelompok kecil, yakni berjumlah 2 hingga 4 orang. Kami mengamati hanya ada tiga pengunjung yang datang secara mandiri, di mana mereka juga sedang mengerjakan tugas dengan membawa laptop serta beberapa lembar kertas. Para pengunjung ini juga datang secara mandiri dengan sepeda motornya masing-masing, di mana hal ini menyebabkan area parkir kendaraan sepeda motor cukup penuh sesak pada saat itu. Walaupun kebanyakan datang secara berkelompok, namun para pengunjung ini juga tidak terlalu banyak bercakap satu sama lain. Utamanya mereka hanya mengobrol singkat sembari mengerjakan tugas di laptopnya masing-masing. Kami melihat banyak para pengunjung yang asyik bermain ponsel mereka masing-masing, dimana hal tersebut semakin membuat interaksi di antara mereka semakin sedikit. Beberapa orang yang asik dengan ponsel mereka membuat tidak ada perbincangan antara orang-orang tersebut, padahal mereka berkumpul atas relasi pertemanan dan berada pada satu meja yang sama.
Walaupun mayoritas mereka datang dalam kelompok kecil 2-4 orang, namun saat kami sedang menikmati minuman kami, terdapat satu rombongan yang datang. Kehadiran mereka secara bersamaan melepas keheningan kafe Antologi sore itu dengan suara motor dan cakap mereka yang saling bersahutan. Tak hanya itu, mereka juga masih terus bercakap lumayan keras pada awal mereka datang, terlebih saat mereka sedang memesan minuman. Mereka berjumlah 10 orang dan terlihat bahwa mereka adalah seorang mahasiswa karena beberapa dari mereka menggunakan kemeja korsa prodi. Mereka datang untuk melakukan rapat jika didengarkan sekilas dari pembicaraan mereka.
Tidak hanya orang yang mengerjakan tugas saja, kami juga melihat tiga orang laki-laki yang berada di samping kami sedang bermain game online. Mereka cukup menarik perhatian kami karena mereka mengobrol dengan cukup keras. Ketiga lelaki ini sangat asik membicarakan game online mereka sehingga mereka tidak sadar jika pembicaraan mereka dapat terdengar oleh kami. Selama kami mengamati ketiga lelaki tersebut, pembicaraan mereka selalu tertuju pada topik seputar game online. Mereka sampai tertawa terpingkal-pingkal karena topik dan pembicaraan game online mereka sendiri. Ada satu pembeda yang lain dari ketiga laki-laki ini dengan kelompok lainnya yang ada di Antologi ini, yakni mereka bertiga mengobrol dan bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa. Selain ketiga laki-laki ini, seluruh pengunjung di Antologi ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapannya.
Para pengunjung yang mengunjungi Antologi ini pun juga memanfaatkan beberapa fasilitas yang tersedia di sini. Hal ini dibuktikan dengan penuhnya stopkontak yang digunakan untuk mengisi daya laptop masing-masing dari para pengunjung. Berbagai bantal yang tersedia di tempat duduk lesehan pun juga digunakan sebagai sandaran para pengunjung sembari mereka mengobrol satu sama lain. Namun demikian, fasilitas buku yang tersedia dalam berbagai rak di kafe Antologi ini tidak dimanfaatkan oleh para pengunjung saat itu.
Secara umum, kami menyadari bahwa hampir semua pengunjung termasuk dari kalangan menengah ke atas. Apa dan bagaimana cara mereka mengenakan pakaian dan aksesoris dapat melihat apa status mereka. Para pengunjung kafe cenderung berpenampilan mewah. Hal yang paling mudah untuk dilihat apakah orang tersebut memakai barang yang bermerek atau tidak dapat dilihat pada brand sepatu yang mereka pakai. Terlihat jelas bahwa mereka menggunakan sepatu bermerek yang biasa dijual di mall. Kita juga dapat melihat status mereka melalui barang apa saja yang ia miliki. Yang paling mudah diamati adalah smartphone dan laptop yang mereka pakai. Kami amati memang smartphone dan laptop yang mereka pakai cukup prestise untuk dikatakan kalangan menengah keatas.
Untuk melihat status mereka, kami juga mengamati kendaraan yang mereka gunakan. Ada beberapa orang yang menggunakan mobil dan ada juga yang menggunakan motor. Beberapa motor yang digunakan oleh pengunjung sini juga bervariatif mulai motor bebek yang biasa, hingga “motor gede” atau sering juga dikatakan “motor laki”. Biasanya orang yang menggunakan mobil cenderung orang yang berumur, walaupun beberapa juga adalah seorang mahasiswa. pengunjung yang sudah berumur ini atau mungkin kita katakan babak-bapak dan ibu-ibu datang ke sana untuk membicarakan sesuatu. mereka tidak seperti pengunjung mahasiswa yang mengerjakan tugas atau bermain game online.
Barista: Poros Kedai Kopi
Jika berbicara tentang kedai kopi, maka kita tidak bisa tidak berbicara tentang Barista. Kehadirannya bisa dibilang adalah pusat kegiatan karena tentunya tanpa barista kedai kopi hanyalah sebuah tempat tanpa makna. Semua perilakunya akan berdampak pada kedai kopi itu sendiri, mulai cara meracik dan menyajikan minuman hingga cara memperlakukan pengunjung.Oleh karena itu kami juga mengamati, bagaimana relasi antara barista dengan konsumen di Antologi.
Jika diamati sekilas, hubungan antara barista dan pengunjung seperti halnya hubungan antara penjual dan pembeli. Barista menawarkan minuman dan makanan kepada pembeli melalui daftar menu yang ada, lalu pembeli memilihnya melalui menu yang ada dan membayarnya di kasir. Setelah membayar, pembeli diharuskan menunggu pesanan mereka dengan sebelumnya meninggalkan nama mereka untuk di panggil. Jika sudah, barista akan memanggil mereka sesuai nama mereka, seperti “atas nama mas/mbak .…”. Hubungan seperti tampak seperti penjual dan pembeli pada umumnya. Tidak ada ikatan relasi lainnya yang mengikat.
Pada waktu dan situasi tertentu di Antologi, barista dapat menjadi seseorang yang begitu dekat dengan pembeli, walaupun tidak ke semua pembeli. Kami mengamati mereka dapat saling bertukar obrolan seperti layaknya seorang teman. Obrolan dapat terjadi saat pembeli memilih tempat duduk di bagian bar atau tempat yang dekat dengan barista. Daerah tersebut seperti memungkinkan muncul pembicaraan antara barista dan pembeli, terkadang pembeli lain yang tidak saling kenal dapat larut pada obrolan yang sama. Entah apa pemicunya, terkadang topik sederhana membuat orang ingin untuk saling menimpali satu sama lain.
Peran barista penting di sini karena tentunya wajah kedai kopi, selain karena keragaman minumannya, juga ditentukan oleh sikap barista terhadap pengujung. Barista menjadi kesan tersendiri untuk sebuah kedai kopi. Cara barista menyapa pengunjung, menawarkan minuman, bertukar obrolan, hingga tatacara barista dalam meracik minuman yang mana akan memberikan kesan kepada pembeli. Semua tingkah laku yang dilakukan oleh barista entah secara langsung atau tidak, akan memberikan citra bagi coffe shop dan tentunya dapat menjadi penggerak utama dari kedai kopi. Tanpa kehadiran barista, sebuah kedai kopi tidak berarti apa-apa dan akan menjadi ruang tanpa makna.
Tiba-tiba Semua Suka Ngopi
Setelah film Filosofi Kopi (2015) rilis, masyarakat Indonesia seperti ditawarkan sebuah masukan baru, yakni bercengkrama di kedai kopi. Memang jika kita menilik lebih jauh, sebenarnya relasi masyarakat Indonesia dengan tidaklah asing. Sudah sejak zaman sekolah, kita terbiasa untuk berkumpul di warung kopi. Namun, terjadi sebuah peningkatan standar dari tempat nongkrong itu tadi. Jika dulu, warung kopi berdinding kayu sudahlah cukup. Kini, kita merasa bahwa tempat untuk nongkrong harus nyaman, tersedia sambungan internet serta yang paling penting instragamable. Dalam artikel berjudul “Ramai-ramai Merambah Bisnis Kedai Kopi” yang ditulis oleh Gumiwang (2018) disebutkan bahwa saat ini tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia sudah mencapai 1,2 kg per kapita. Menurut Gumiwang, meningkatnya tingkat konsumsi kopi juga tidak terlepas dari gaya hidup masyarakat urban yang gemar berkumpul.
Untuk kasus di Jogja sendiri, kedai kopi bagaikan jamur di musim hujan. Pertumbuhannya sangat masif, mengisi setiap lahan kosong di kota Jogja dan kabupaten Sleman. Lahan yang tidak terlalu luas, bangunan sederhana namun estetik serta lampu penanda mencolok menjadi ciri-ciri dari kedai kopi. Kegiatan minum kopi yang dahulu biasa dilakukan di rumah, kini memiliki ruang khusus. Ruang yang tidak hanya digunakan untuk meminum kopi saja tentunya, namun juga untuk menikmati setiap obrolan hangat di setiap tegukannya.
Referensi
1. Gumiwang, 2018. Ramai-ramai Merambah Bisnis Kedai Kopi. https://tirto.id/ramai-ramai-merambah-bisnis-kedai-kopi-cHPS
Σχόλια