Adam Sediyoadi P. & Tigar Brilyan S.
Ide tulisan ini muncul karena salah satu dari kami mendengar sebuah iklan di radio mengenai kondisi kota Jogja pada masa lampau. Iklan tersebut bercerita tentang kota Jogja yang masih asri, di jalanan masih terdengar suara kereta kuda, lonceng sepeda, dan bebas polusi. Jika dilihat kondisi sekarang kota Jogja, memang sudah tidak memungkinkan lagi. Polusi telah bertebaran di mana-mana yang disebabkan oleh mobil dan motor yang memenuhi jalanan kota. Akhirnya banyak titik-titik kemacetan yang terjadi di beberapa sudut kota. Kata asri sepertinya sudah tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai gambaran kondisi kota Jogja saat ini.
Secara umum, kemacetan disebabkan oleh penambahan jumlah kendaraan yang tiap tahunnya semakin meningkat tanpa dibarengi dengan penambahan ruas jalan. Tak hanya jumlah kendaraan yang mencapai 1.600.000 pada tahun 2018, tetapi juga banyaknya kendaraan yang singgah atau melintasi kota Jogja.[1] Menurut lembaga survei inrix, pada 2017 Jogja memiliki predikat kota termacet ke-4 setelah Jakarta, Bandung, dan Malang.[2] Namun, apa yang menyebabkan jumlah kendaraan meningkat? Pada momen apa yang membuat ledakan populasi sehingga kemacetan bisa terjadi? untuk mengetahui hal tersebut, kami mewawancarai dua orang yang kiranya mengerti sejarah pembangunan di Yogyakarta. Sebelumnya kami mempunyai hipotesis bahwa awal mula kemacetan adalah saat adanya universitas pertama di Indonesia, yaitu UGM.
Kemunculan universitas memicu pembangunan-pembangunan lainnya, selain mahasiswa, tetapi juga kebutuhan lainnya untuk mahasiswa itu sendiri. Barangkali kebutuhan tempat tinggal (rumah, kost atau kontrakan), konsumsi (kemunculan rumah makan di mana-mana), dan mungkin gaya hidup (cafe, mall, dll). Melalui proses yang panjang, pembangunan semakin masif ke daerah-daerah sekitar universitas, hingga akhirnya jogja semakin padat. Terlebih UGM bisa dibilang sebagai universitas pioner yang membuat banyak perguruan tinggi banyak bermunculan di Jogja. Menurut Ristekdikti, jumlah perguruan tinggi di DIY mencapai 107 yang meliputi 4 Institut, 7 Politeknik, 19 Universitas 26 Sekolah tinggi, 39 Akademi, dan 12 lainnya termasuk golongan selain itu.[3] Berbagai perguruan tinggi tersebut menyebar di beberapa titik kota Jogja dan secara tidak langsung menyebabkan kenaikan populasi.
UGM: Penggerak Awal Perkotaan
UGM adalah salah satu perguruan tinggi negeri yang dibangun pertama kali di Indonesia. UGM sendiri didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 desember 1949 dengan menggabungkan beberapa perguruan tinggi. Berdirinya UGM adalah inisiatif dari rakyat yang mana termasuk dalam proses perjuangan Indonesia untuk menunjukan eksistensinya kepada dunia. Bisa dibilang UGM adalah salah satu bentuk perjuangan pada masa penjajahan.
Banyak hal yang berubah (dalam hal positif) karena adanya universitas tersebut. Barangkali perubahan di bidang sosial seperti, ketahanan pangan, kesehatan, ekonomi, militer, pendidikan pada masyarakat saat itu. Pembangunan kampus ugm pastinya telah merubah lingkungan yang dulunya sawah menjadi areal kampus. Dulunya pembangunan dilakukan jauh dari pemukiman. Bahkan pembangunan dirasa sangat dekat dengan gunung Merapi. Sekarang, daerah yang dulunya area hijau, berubah menjadi permukiman padat penduduk dengan banyaknya institusi dan ruang publik. Pengaruh UGM terus berkembang hingga mempengaruhi populasi Jogja karena banyak perguruan tinggi yang akhirnya lahir di Jogja dan memberikan status “Jogja Kota Pelajar”.
Dengan adanya embel-embel Jogja sebagai kota pelajar dan terus berkembangnya kampus-kampus swasta di Jogja, menyebabkan banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di kota pelajar Jogja. Perkembangan kampus di Jogja yang sangat pesat berdampak pada meningkatnya jumlah populasi sekaligus kendaraan di kota Jogja. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari Tarigan dan Saputra (2013) bahwa salah satu faktor bertambahnya jumlah kendaraan disebabkan oleh jumlah universitas. Selain dikenal dengan kota pelajarnya, Jogja juga dikenal dengan kota budaya dan kota tujuan wisata. Dengan adanya embel-embel yang melekat pada kota Jogja, secara langsung telah mengakibatkan penambahan jumlah penduduk. Selain itu perkembangan kampus yang ada juga tidak dapat dipisahkan dari banyaknya jumlah kendaraan pribadi yang dimiliki para mahasiswa supaya mudah dalam mengakses ke kampus ataupun pulang dari kampus.
Dengan banyaknya jumlah kendaraan yang semakin lama semakin memprihatinkan, menurut kami Jogja memang tidak didesain sebagai kota yang besar (seperti surabaya dan kota besar lainnya) terutama pada jalanannya. Jogja memang memiliki jalanan yang tidak terlalu besar dan beberapa jalanan bisa dibilang kecil untuk dilalui banyak kendaraan. Namun karena jumlah penduduk yang semakin bertambah dan jumlah pendatang semakin meningkat, membuat daya minat membeli kendaraan pada masyarakat semakin bertambah banyak jumlahnya. Pertambahan jumlah kendaraan yang tidak dibarengi dengan pembangunan ruas jalan lambat laun tidak akan mencukupi untuk mendukung dan menampung mobilitas kendaraan di Kota Jogja.
Selain peningkatan jumlah kendaraan dan penduduk yang datang ke Jogja, nampaknya faktor lain tertuju pada adanya kampus-kampus yang berada di Jogja. Salah satu kampus tersebut adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Ya, kita ketahui sendiri UGM telah banyak memberikan pengaruh mobilitas perkotaan di Yogyakarta. Singkat cerita, memang salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan mobilitas perkotaan di Jogja adalah UGM. dengan adanya label Jogja sebagai Kota Pelajar memang tidak dapat lepas dari perkembangan pendidikan di Jogja yang sejak dulu sudah memiliki cerita sejarahnya. Kemunculan UGM ini juga berdampak pada berkembangnya perekonomian di sekitar wilayah UGM.
Dengan adanya UGM yang terletak di tengah-tengah Kota Jogja, membuat tempat tersebut sangat strategis. Para warga yang berada disekitar wilayah UGM mulai membuka usaha-usaha pribadinya seperti adanya kos-kosan, kontrakan rumah, warung makan, warung foto copy dan masih banyak tempat usaha baru yang marak bermunculan di sekitaran kampus UGM. Karena mahasiswa yang berkuliah di UGM tidak hanya masyarakat lokal saja, melainkan dari seluruh Indonesia dapat berkuliah di UGM, membuat populasi di Jogja berkembang pesat. Tentunya orang-orang butuh mobilitas untuk memenuhi kebutuhannya. Kendaraan pribadi adalah salah satu cara yang menurut mereka efektif digunakan untuk mobilitas. Sehingga banyak dari mereka membeli atau membawa kendaraan pribadi mereka dan memenuhi jalanan kota.
Kondisi Kini Kemacetan Kota Jogja
Jogja memang memiliki memori yang bisa dikatakan sebagai memori yang indah untuk diingat. Kembali pada masa lalu di mana Jogja adalah salah satu kota dengan tingkat kemacetan yang sangat rendah. Di beberapa jalan dulunya masih terlihat pemandangan masyarakat menggunakan sepeda, becak, andong dan dan sebagainya. Angkutan umum seperti jurusan Jogja-Kaliurang kini keberadaannya juga sudah tidak terlihat lagi. Salah satu teman kami yang telah tinggal di Jogja sejak ia lahir, merasakan memori selama ia berada di Jogja sampai saat ini. Menurutnya Jogja mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama pada jumlah volume kendaraan di jalanan. Ia melihat bahwa Jogja yang dulu dikenal dengan tempat yang nyaman, namun ia sekarang kurang merasakan kenyamanan tersebut.
Jogja sekarang telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan terhadap kemacetan jalan dari waktu ke waktu. Mas Drajat adalah salah satu yang merasakan hal tersebut. Ia adalah seorang PNS yang bekerja di Dinas Kebudayaan. Setiap hari ia melakukan perjalanan dari Kalasan menuju kampus UGM untuk berjaga di Museum UGM. Ia mengaku sering mendapati kemacetan saat berangkat bekerja maupun pulang. Bahkan untuk melewati jalan alternatif, seperti selokan mataram, sudah diwarnai dengan kemacetan. Berbeda dengan jaman dulu, ia merasakan untuk menuju ke kota Jogja masih memerlukan waktu yang singkat. Sekarang semua memerlukan waktu karena kemacetan terjadi dimana-mana.
Beberapa titik kemacetan yang berada di Jogja sudah hampir sering kita temui di jalanan. Menurut salah satu warga yang kami wawancarai yaitu Pak Alim yang sudah lama tinggal di Jogja dan bekerja di kepolisian lalu lintas, ia mengatakan titik-titik kemacetan di Jogja antara lain seperti terlihat di perempatan MM UGM, perempatan Mirota Kampus, perempatan Tugu, perempatan Jalan Magelang dan masih ada beberapa tempat kemacetan lainnya. Menurutnya kemacetan di Jogja ini mulai meningkat pada tahun 2000-an hingga sampai saat ini. Ia juga mengatakan jam berangkat dan jam pulang kerja adalah salah satu kemacetan yang cukup parah terjadi di jalan Kota Jogja saat ini. Bahkan kemarin salah satu dari kami melakukan perjalanan dari perpustakaan ugm menuju daerah wirobrajan. Jarak yang ditempuh kurang lebih hanya 6,5 KM, namun waktu yang dibutuhkan hingga 1 jam perjalanan.
Menurut pak Alim, salah satu yang bisa dilakukan untuk mengatasi kemacetan untuk saat ini adalah rekayasa lalu lintas. Terlebih menurut Hendratno (2013) budaya pada masyarakat untuk menggunakan transportasi umum masih rendah karena kurangnya kesadaran akan lalu lintas dan penegakan hukum dari pemerintah. Pembangunan rekayasa lalu lintas seperti flyover atau underpass dinilai dapat mengurangi tingkat kemacetan. hal tersebut terbukti dari hasil kajian yang dilakukan oleh Raharja dan Dharma (2017) mengatakan bahwa pembangunan underpass Kentungan dinilai efektif untuk mengurai kemacetan.
Tidak hanya pada jam-jam tertentu kemacetan di jalan kota Jogja dapat terjadi, namun pada beberapa momen tertentu kemacetan juga dapat terjadi, malah dapat memperparah kemacetan pada jalan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Pak Alim saat kami wawancarai, adanya momen wisuda pada kampus seperti UIN, Sanata Dharma, UNY dan UGM pasti selalu memicu kemacetan jalan. Tentunya hal tersebut kembali lagi pada persoalan kendaraan. Jika kita lihat, momen wisuda pada sebuah kampus pastinya setiap keluarga dari seorang mahasiswa selalu membawa kendaraan pribadi yaitu mobil. Pada momen inilah mereka mengusahakan membawa mobil (bagi yang tidak memiliki mobil pribadi) untuk mengantarkan anaknya. Dan pada momen ini juga keterbatasan lahan parkir yang tidak mencukupi, pada akhirnya jalanan di sekitar kampus itulah digunakan sebagai tempat parkir kendaraan yang memicu terjadinya kemacetan.
Pada intinya kemacetan di Jogja telah membuat perbedaan yang sangat drastis antara Jogja dulu dengan Jogja sekarang. Kami juga menyadari bahwa memori yang telah kami miliki pada Jogja yang dulu kembali teringat saat kemacetan yang terjadi kami alami sendiri. Pikiran tentang “dulu jalan ini lancar dan tidak semacet ini” masih terus kami alami dan tidak dapat dilupakan begitu saja. Berbagai pembangunan terus dialami oleh kota Jogja. Membuat kota tersebut semakin padat dan sesak oleh pendatang. Kami tidak ingin menyalahkan kondisi yang sudah terjadi. Berbagai hal telah terjadi pada sejarah kota Jogja, membentuk wajah baru dan berdampak pada kemacetan. Dari hasil pengamatan kami dan data berbagai narasumber, tampaknya kehadiran universitas telah memicu banyaknya pembangunan yang membuat Jogja semakin padat. Banyak pendatang, khususnya mahasiswa, mengisi Jogja menyebabkan lonjakan jumlah penduduk dan kendaraan menyebabkan kemacetan di beberapa sudut kota Jogja.
Daftar Pustaka
1. Hendratno, Edie T. (2013). Masalah Transportasi Kota Dilihat dengan Pendekatan Hukum, Sosial dan Budaya. Mimbar Hukum 21(3), 1-13. DOI: https://doi.org/10.22146/jmh.16275
2. Raharja, Adyk. M., & Dharma, I Gusti B. B. (2017). Kajian Literatur Simulasi Pengaruh Penerapan Underpass Di Persimpangan Kentungan Yogyakarta Terhadap Beberapa Persimpangan Lainnya. SENATIK 3, 1-6. DOI: http://dx.doi.org/10.28989/senatik.v3i0.134
3. Tarigan, Frinal & Saputra, Erlis. (2013). Analisis Pertumbuhan Moda Transportasi Dan Infrastruktur Jalan Di Kabupaten Sleman Dan Kota Yogyakarta Tahun 2000-2010. Jurnal Bumi Indonesia 2(2), 1-8.
Referensi:
1. Bramasto Adhy, “Inilah Penyebab Kemacetan Kendaraan di Sejumlah Ruas Jalan di Yogyakarta”, diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2018/01/26/inilah-penyebab-kemacetan-kendaraan-di-sejumlah-ruas-jalan-di-yogyakarta, pada 29 Mei 2019 pukul 13.37
2. Danar Widiyanto, Yogya Masuk 10 Kota Termacet di Indonesia, diakses dari https://krjogja.com/web/news/read/58925/Yogya_Masuk_10_Kota_Termacet_di_Indonesia, pada 30 Mei 2019 pukul 23.16
3. Ristekdikti, Kopertis Wilayah V – D.I Yogyakarta, diakses dari https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/kopertis-wilayah-v-d-i-yogyakarta/, pada 29 Mei 2019 pukul 14.37
Comments