top of page
Writer's pictureSarah Amany Wisista

Kesalehan Masa Kini: Kisah Orang-orang yang Berlomba Menjadi Nabi

Sekarang ini kita menyaksikan kembali kebangkitan semangat beragama yang dapat kita lihat manifestasinya dalam berbagai bentuk di berbagai belahan dunia: gereja Katolik menentang mati-matian spirit komunitas LGBTQ+ di Amerika Serikat dan orang-orang Islam garis keras di Indonesia mengintervensi jalannya pemerintahan. Agama kemudian menjadi topik yang sebetulnya mulai terasa memuakkan, karena berita-berita serupa terus-menerus berseliweran di televisi maupun media daring dan cetak dalam narasi-narasi yang tidak jauh berbeda.


Salah satu kasus serupa, seperti yang mungkin masih lekat dalam ingatan, adalah seorang gubernur yang dipenjarakan karena kasus “penistaan” agama. Hal ini sejujurnya membuat saya heran karena orang-orang begitu merasa tersinggung karena “penistaan” yang dimaksud, walaupun tidak jarang mereka bahkan bukan orang yang sudah mendirikan shalat lima waktu secara penuh. Maksud saya, kenapa harus berbusa-busa mengafirkan orang lain ketika ibadah sendiri saja belum becus?


Jauh dari sifat yang seharusnya ‘mulia’, kesalehan masa kini justru terlihat seperti sesuatu yang tanpa tedeng aling-aling dan tidak berempati, yang dengan membabibuta membuat semua urusan menjadi benar dan salah, halal dan haram, surga dan neraka. Semangat beragama ini muncul dimana-mana, namun dalam tulisan ini, akan kita lihat bagaimana kesalehan masa kini berkembang dalam komunitas Muslim di Indonesia.


Seberapa Jauh Agama Terlibat dalam Kehidupan Bermasyarakat?

Sebelum lebih dalam mendefinisikan “kesalehan masa kini”, ada baiknya kita mungkin perlu melihat seberapa jauh agama terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. Ini akan memudahkan kita dalam menentukan tolak ukur yang berbeda-beda, karena pastilah kita tidak bisa langsung memukul rata bahwa fenomena ini terjadi dalam proses yang identik di semua tempat. Kebangkitan semangat beragama ini mungkin terlihat geliatnya dimana-mana, namun tidak mungkin dalam manifestasi yang benar-benar serupa.



Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, sumber: kantoralamat.net


Sebagai contoh yang paling dekat, agama adalah aspek yang begitu signifikan di Indonesia—kita bahkan punya Pengadilan Agama yang terpisah dari Pengadilan Negeri dan kolom agama di KTP yang tidak bisa “dikosongkan”. Sedangkan, di Prancis (dan banyak negara sekuler lainnya), negara melarang warganya menampilkan simbol-simbol beragama di muka publik. Sejauh apa keterlibatan agama dalam pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat suatu negara tentulah tak bisa lepas dari sisi historis dan banyak aspek pendukung penting lainnya, dan ini yang menyebabkan adanya iklim sosial yang bermacam-macam tadi. Dengan perbedaan iklim sosial yang cukup kontras itu, hal-hal yang diatributkan sebagai perilaku “saleh”—dan, lebih dari itu, seberapa pentingkah masyarakatnya memandang kesalehan—di negara-negara yang berbeda tersebut pastilah juga berlainan.


Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, dalam tulisan ini saya akan mencoba mengupas fenomena kesalehan masa kini dalam komunitas Muslim di Indonesia. Perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri atas banyak kepercayaan, dan saya semata-mata memilih menulis mengenai komunitas Muslim karena saya—atau setidaknya keluarga saya—adalah entitas yang ikut bergabung di dalamnya.


Untuk mendefinisikan komunitas Muslim sendiri pun sebetulnya bukan perkara yang mudah, sebab seorang Muslim pastilah memiliki banyak intersection atau titik potong dengan aspek identitas lainnya: gender, kelas, etnis, orientasi seksual, profesi, dan masih banyak lagi. Menjadi seorang Muslim adalah satu bagian dari identitas suatu individu, tapi Muslim laki-laki yang berdarah Makassar dan datang dari kelas menengah ke atas tentulah akan berbeda dengan Muslimah perempuan yang datang dari keluarga menengah ke bawah Jawa, misalnya.


Saya menyadari eksistensi titik potong-titik potong ini, yang pastilah akan berimplikasi pada beragamnya pemahaman komunitas Muslim itu sendiri akan Islam dan pentingnya berlaku saleh. Meskipun demikian, Islam tetap menjadi kepercayaan mayoritas di Indonesia dengan persentase sekitar 87% dari keseluruhan populasi. Jumlah yang begitu besar, dan ini rasa-rasanya berkontribusi terhadap betapa kuatnya Islam bergerak di nyaris seluruh aspek di Indonesia, mulai dari pemerintahan, pendidikan, bahkan sampai kepada dunia hiburan yang didominasi sinetron-sinetron dengan latar Islam. Latar Islam di sini bukan serta-merta sinetron berlatarkan kehidupan pesantren atau semacamnya, tapi justru terkesan hanya sekadar menyelipkan adegan shalat atau menyebut istighfar dan ucapan serupa agar tetap terlihat “normatif” untuk penonton yang diasumsikan mayoritas beragama Islam.


Namun, Islam tentulah memiliki cerita historis yang panjang dan tidak ujug-ujug muncul sebagai Islam yang kita kenal sekarang. Sejak zaman kolonialisme hingga kini, Islam di Indonesia mengalami apa yang saya istilahkan sebagai roller coaster sosio-kultural, karena perubahan yang dialami dari satu zaman ke zaman yang lain cukup ekstrim sehingga pantaslah rasanya jika saya menggunakan istilah roller coaster.



Sarekat Islam, sumber: berdikarionline.com


Dalam banyak buku-buku sejarah mengenai masa kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia, kita tentu sering membaca bahwa pergerakan komunitas Muslim turut punya andil besar dalam kemerdekaan bangsa. Organisasi-organisasi seperti Syarikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan masih banyak lainnya ikut menggerakkan roda bangsa dalam berbagai bidang—perdagangan, pendidikan, sosial, yang kemudian secara langsung maupun tidak langsung juga ikut berperan dalam memerdekakan diri dari penjajah.


Dalam merumuskan dasar negara Pancasila pun, kita juga pasti pernah mendengar mengenai versi asli sila pertama yang kemudian diubah. Sila yang awalnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” itu sempat menimbulkan kerunyaman karena terkesan bahwa Indonesia hanya terdiri atas penduduk Muslim. Namun, para tokoh yang bekerja di balik perumusan Pancasila itu pun akhirnya memutuskan mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang menurut saya merupakan poin penting yang menunjukkan toleransi umat Islam karena tetap mempertimbangkan keluhan serta usulan umat beragama lain.


Sesaat setelah merdeka, Indonesia pun rasanya bukanlah negara yang betul-betul relijius. Jika menilik dari pemakaian kerudung, misalnya, tidak semua wanita-wanita muslimah di seluruh penjuru Indonesia serta merta memakai kerudung, namun dimulai dahulu oleh wanita-wanita muslimah Aceh dan Minang yang memang lebih dulu mengenal konsep Islam.


Masih tentang kerudung, sekitar tahun 80-an Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bahkan melarang penggunaan kerudung bagi siswi di sekolah, dan banyak perkantoran yang mensyaratkan pegawainya untuk tidak memakai kerudung saat bekerja. Barulah pada awal tahun 90-an, Depdikbud kemudian mengeluarkan SK baru yang memperbolehkan siswa untuk berkerudung di sekolah, walaupun saya masih ingat hari-hari di 2000-an awal di mana ibu saya berkerudung dalam kegiatannya di luar namun tidak berkerudung ketika berangkat bekerja ke bank. Kemudian, berangsur-angsur tren memakai jilbab berkembang di Indonesia

hingga sekarang.


Di samping persoalan kerudung, ada hal-hal lain yang menyangkut perihal agama di Indonesia yang selalu berubah seiring perkembangan zaman. Perubahan ini dapat dilihat mulai dari tataran kebijakan politik hingga kebudayaan populer, dan jika kita ingin menjawab pertanyaan ‘seberapa jauh agama terlibat dalam kehidupan bermasyarakat?’, saya rasa agama, terutama Islam, dilibatkan jauh sekali dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.


Kesalehan Masa Kini Itu Kesalehan yang Semacam Apa?

Jika melihat diri sendiri sebagai individu yang identitasnya terbentuk atas banyak perpotongan aspek, saya akan mendefinisikan diri saya sebagai seseorang yang dibesarkan di tengah keluarga Muslim Jawa-Sunda kelas menengah. Keluarga inti saya—ayah, ibu, saya, dan seorang adik perempuan—bukanlah keluarga yang benar-benar relijius, walaupun nenek dari ayah adalah kepala sekolah sebuah TK Aisyiyah, yang juga tempat di mana saya pernah belajar.


Lulus dari TK Aisyiyah tersebut, saya melanjutkan bersekolah di SD dan SMP Islam lainnya. Selama belajar di sekolah-sekolah swasta Islam tersebut, saya justru jadi mendapat pengalaman-pengalaman yang membuat saya banyak bertanya-tanya tentang agama saya sendiri. Saya ingat masa-masa awal di sekolah dasar yang masih membuat saya ngeri kalau memikirkannya, ceritanya saat itu seorang guru Fiqih (cabang agama Islam yang secara umum membicarakan tatacara beribadah) mengatakan bahwa kita tidak boleh terlalu dekat dengan orang-orang “kafir” karena nanti kita akan berpisah di akhirat. Ujung-ujungnya, saya yang masih kecil itu jadi betulan sedih kalau sedang menonton film Harry Potter dan membayangkan semua pemainnya masuk neraka.


Hal-hal yang terlihat insignifikan dan tidak berpengaruh itu ternyata justru punya imbas yang sangat berkebalikan. Mungkin tujuan awal guru Fiqih saya itu adalah “menjaga” murid-muridnya dari “bahaya kaum kafir”—yang sebenarnya perlu dipertanyakan juga—tapi implikasinya ternyata bisa melebar sampai ke tahap intoleransi beragama, yang sayangnya dipupuk sejak dini pada anak-anak kecil yang tanpa sadar melanggengkan pemikiran semacam itu di dalam kepalanya.


Begitu SMA, saya belajar di sebuah bilingual boarding school di Jogja yang bukan sekolah Islam, tempat saya pertama kali berteman dekat dengan teman-teman Katolik, Hindu, Budha, dan Protestan. Terlepas dari ajaran-ajaran “kita benar, mereka kafir” yang terus-terusan didengungkan selama sembilan tahun belajar di sekolah swasta Islam yang makin lama makin membuat saya jengkel, saya selalu menganggap diri saya sendiri sebagai seseorang yang berpandangan terbuka mengenai agama dan kepercayaan. Tapi, mengenal teman-teman saya ini lebih dekat benar-benar menampar saya dalam cara yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Mereka sama-sama manusia seperti saya, sama-sama bisa merasa lapar dan sebagainya, dan saya ingin sekali guru-guru saya dulu itu punya teman-teman lintas agama yang menyenangkan seperti saya agar tidak sibuk mengafir-kafirkan orang.


Sayangnya, ketika saya merasa sudah keluar dari lingkungan yang mencoba mengungkung saya dalam konsepsi keagamaan yang sempit itu, saya justru melihat banyak fenomena semangat beragama yang baru-baru ini bermunculan. Semangat beragama yang, seperti yang sudah saya tekankan di awal tulisan ini, “tanpa tedeng aling-aling dan tidak berempati”—dan semangat ini datang dari keluarga saya sendiri. Perilaku ini terlihat ketika saya memutuskan melepas kerudung, misalnya. Keputusan saya melepas kerudung seharusnya menjadi urusan personal antara saya dan tuhan saya, namun hal ini justru menjadi topik pembicaraan yang tidak lekas-lekas selesai dibahas dalam acara keluarga. Tidak semua tante atau om saya ambil pusing tentang hal ini, memang, tapi tetap saja ada satu-dua kerabat yang mendaratkan kata-kata pedas tentang keputusan saya ini.



Ustadz Hanan Attaki, sumber: kumparan.com


Selain keluarga sendiri, saya juga melihat gejala-gejala semacam ini di kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada umumnya, seperti merebaknya fenomena yang saya sebut sebagai “ustadz youtube”, yang menunjukkan betapa mudahnya bagi seseorang di zaman sekarang untuk menjadi seorang penyiar kesalehan. Jika ulama-ulama dahulu harus menempuh pendidikan yang panjang dan lama untuk memahami berbagai cabang ilmu agama, rasa-rasanya pada hari-hari sekarang seseorang tinggal menambahkan “Al-“ atau “El-“ di nama mereka dan memasukkan ceramah mereka di youtube, dan orang-orang serta-merta mendengarkan. Saya mungkin terdengar skeptis, tapi saya bukannya mengeryitkan dahi pada semangat berdakwahnya. Saya mengeryitkan dahi pada fakta bahwa seringkali dakwah-dakwah ini tidak dibarengi dengan ilmu agama yang kuat dan kontekstualisasi konten untuk masa kini.


Mengapa Orang-orang Berlomba Menjadi Nabi?

Pertanyaan berikutnya mungkin akan lebih susah dijawab: mengapa orang-orang tiba-tiba mengalami gejolak semangat beragama ini? Mengapa orang-orang masa kini tiba-tiba memiliki urgensi untuk menjadi “juru selamat” bagi masyarakat, dengan semena-mena menentukan siapa dan apa yang saleh dan tidak saleh?


Jawabannya bisa jadi akan lebih bersifat reflektif daripada tegas dan gamblang, tapi kita dapat memulai menjawab pertanyaan ini dengan menyadari bahwa mungkin semangat beragama ini tidak tiba-tiba muncul. Seperti yang sudah saya singgung di atas, Islam di Indonesia mengalami fenomena roller coaster sosio-kultural yang menyebabkannya mengalami banyak perubahan dalam perkembangannya, dan ini mungkin hanyalah satu “tikungan” baru dalam perjalanan Islam di Indonesia. Jalan menuju tikungan itu sudah lama kita lihat, namun tikungannya sendiri baru benar-benar terasa sekarang ini.


“Tikungan” tajam yang berbahaya inilah yang harus kita waspadai arah pergerakannya. Alasan kenapa orang-orang berlomba-lomba menjadi nabi masa kini, saya pikir, tidak serta merta berhubungan dengan keimanan dan relijiusitas, namun urusannya malah lebih banyak berkubang dalam hal-hal duniawi yang bisa dibilang “kotor”: politik, uang, dan kekuasaan.


Namun sebelum mencapai tikungan itu sendiri, jalan menuju ke sana kalau diamati, salah satunya bisa terlihat pada sekitar tahun 2013 ketika kerudung atau hijab mengalami popularitas yang tidak pernah didapatkan sebelumnya. Ketika dahulu hijab dimaknai sebagai kewajiban seorang muslimah, kini hijab juga dipandang sebagai sesuatu yang tidak “kuno” dan bisa dikreasikan. Kemunculan desainer-desainer berhijab seperti Dian Pelangi pun semakin memperkuat imej bahwa Islam sekarang tidak lagi “ketinggalan jaman”. Hal ini kemudian membuat banyak anak-anak muda mengadopsi gaya Islam yang “gaul” ini, yang selain terlihat dari gaya berhijab yang ternyata tidak perlu menjadi kuno, juga terlihat dari fenomena-fenomena lain seperti “uztadz youtube” yang berpenampilan “gaul” dan bergerak dalam topik bahasan yang dekat dengan anak muda (menikah, biasanya).



Kulkas halal, sumber: tribunstyle.com


Walaupun awalnya muncul sebagai sesuatu yang tidak menganggu, belakangan ini agama memang menjadi komoditas yang tak diragukan lagi daya jualnya. Predikat “halal” ditambahkan di belakang benda-benda yang tidak terbayangkan sebelumnya kalau mereka harus halal—seperti kulkas, dan bahkan kerudung, yang membuat saya bertanya-tanya apakah kerudung yang dulu-dulu saya pakai itu tidak halal karena tidak ada labelnya—dan ini seolah-olah menjadi jaminan bahwa barang-barang yang dilabeli halal itu berada dalam koridor syariat dan akan “diridhoi” tuhan.


Lebih jauh lagi dari sekadar label halal, agama kemudian diperjualbelikan dalam ranah yang lebih serius, yaitu dalam tataran nilai dan idealisme. Agama menjadi sesuatu yang dipegang kuat-kuat oleh sebagian kelompok dalam mengekspresikan identitas diri mereka, dijadikan alasan sahih untuk menyerang individu atau kelompok lainnya, dan pembenaran akan hal-hal buruk yang mereka lakukan karena seburuk-buruknya sesuatu yang mereka lakukan, toh sesuatu itu dilakukan untuk “membela” tuhan dan agama. Mungkin demikian pikir mereka, yang semakin menguatkan pendapat saya bahwa kemunculan semangat beragama ini justru muncul karena hal-hal yang sebetulnya sangat menyangkut soal dunia.


Kesimpulan: Bagaimana Kita Sebaiknya Menyikapi Kesalehan Masa Kini?

Ada banyak sudut pandang yang bisa digunakan untuk menyikapi kesalehan masa kini, entah ikut loncat ke dalam tren “hijrah” atau malah skeptis setengah mati, namun tentu saja cara yang paling adil adalah berusaha melihat fenomena ini dari kedua sudut pandang tersebut—atau bahkan lebih, jika kita mampu. Kita memang tidak harus setuju atau tidak setuju dengan fenomena ini, namun dengan berusaha melihat lewat banyak sudut pandang, kita setidaknya dapat memahami kenapa satu fenomena bisa muncul di tengah-tengah masyarakat.


Satu sikap yang bisa saya tawarkan adalah berhenti mencampuri urusan kesalehan seseorang. Agama seharusnya menjadi urusan dua arah seorang hamba dengan tuhannya, dan melibatkannya jauh sekali dalam kehidupan duniawi juga bukanlah hal yang bijaksana. Memberi saran dan mendoakan seseorang untuk kebaikannya adalah cara yang amat santun untuk mengajak seseorang meningkatkan keimanan, dan saya rasa kita harus lebih sering melakukan hal itu di kehidupan nyata. Berhentilah menjadi nabi yang merasa paling benar, yang membuat orang-orang lain merasa kerdil dan salah, yang tanpa rasa empati sedikitpun mengucapkan kata-kata seperti “Makanya shalat biar tidak bunuh diri!” Bilangnya ingin mencontoh nabi, tapi nabi mana yang tidak penuh cinta kasih dan semena-mena memperlakukan kaum yang berbeda dengan kaumnya?


Referensi:

Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Macmillan International Higher Education.

Shihab, M. Q. (2012). Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer (Vol. 1). Lentera Hati Group.

20 views0 comments

Comments


bottom of page