top of page

Ketertarikan Generasi Z Terhadap Karya Musikal Klasik: Perspektif Terhadap Diri Sendiri


Sumber: Pinterest

Disney merilis cukup banyak karya musikal yang baru dengan perspektif dan bentuk yang lebih ramah anak dibanding karya musikal klasik—bentuknya kartun dengan warna-warna cerah. Karya musikal klasik yang akan dibahas dalam esai ini adalah karya musikal klasik yang ditampilkan di panggung Broadway. Sekarang, hal-hal seperti film musikal Disney-lah yang dikenal oleh remaja, terutama generasi Z. Hampir sedikit dan cenderung jarang ditemukan remaja yang masih tertarik terhadap karya musikal klasik dengan penampilan langsung maupun film adaptasi, misalnya Les Miserablés, Phantom of the Opera, atau bahkan Hamilton. Esai ini akan membahas tentang tingkat ketertarikan generasi Z terhadap karya musikal klasik dan pengakuan diri yang kemudian datang dari mereka.


Klasik = Kuno

Embel-embel klasik sering kali dilihat orang sebagai sesuatu yang sudah lawas, tidak pada zamannya. Sebelum lebih jauh, sebenarnya karya seperti apa yang dimaksud dengan klasik? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, klasik adalah sesuatu yang memiliki nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan yang abadi. Contohnya karya-karya klasik seperti Romeo and Juliet oleh Shakespeare, Gulliver’s Travel oleh Jonathan Swift, atau bahkan Anna Karenina tulisan Tolstoy yang kemudian menjadi tolak ukur penulis-penulis setelahnya dalam menulis sebuah karya. Dalam esai ini, karya klasik yang akan dibahas lebih spesifik kepada karya-karya musikal. Karya-karya musikal yang didefinisikan klasik pun beragam. Ada karya musikal yang dari awalnya ditulis untuk menjadi sebuah musikal, namun ada pula yang merupakan adaptasi dari buku kemudian lirik-lirik lagu di dalamnya ditulis untuk keperluan penampilan saja. Contohnya ada West Side Story, Newsies, Fiddler on the Roof, Cabaret, atau Chicago. Karya-karya musikal ini pun kemudian lebih dikenal setelah berada di atas panggung Broadway, salah satu panggung teater di Amerika yang paling terkenal selain panggung West End di London, Inggris.


Dalam kasus ini, karya musikal klasik kemudian dirasa sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dan tidak lagi cocok dengan referensi gaya hidup sekarang, terutama untuk generasi Z. Menurut Posnick-Goodwin, generasi Z adalah orang-orang yang lahir di jangka tahun 1990 awal hingga 2000 awal. Pada saat esai ini ditulis, anak-anak generasi Z sedang dalam masa peralihan remaja-dewasa. Perkembangan zaman yang kemudian berdampak pada pesatnya perkembangan budaya popular—seperti film, musik, novel—menjadi salah satu alasan menurunnya ketertarikan generasi Z terhadap karya-karya klasik. Generasi Z sekarang pun memiliki cukup banyak pilihan budaya popular dari setiap karyanya, baik film, musik, maupun literatur. Banyaknya inovasi-inovasi dari gaya dan aliran seni pun semakin mendorong pandangan ketinggalan zaman terhadap karya-karya klasik. Tidak sedikit karya-karya klasik yang kemudian hanya dikenal sebatas tugas dari sekolah, tidak dibaca atau ditekuni karena keinginan diri sendiri. Karya musikal klasik sendiri kemudian disandingkan dengan istilah kuno, seakan-akan karya-karya tersebut sudah waktunya dikemas dan dipamerkan saja dalam lemari kaca hingga berdebu—menandakan dimakan waktu sebagai satu pencapaian tersendiri untuk keklasikannya.


Pemaknaan Bentuk Karya

Karya musikal klasik yang sudah ada sejak lama dan hidup dalam beberapa dekade tentu kemudian dimaknai berbeda-beda oleh generasi yang berbeda. Oleh kedua kakek-nenekku hal itu dianggap menarik dan mereka menikmati pertunjukannya. Namun pada zaman itu, tidak semua orang bisa menikmati pertunjukan teater terutama musikal, karena akses yang masih terbatas. Ayah yang kemudian mendapat pengaruh tersebut pun masih menikmati hal itu dan menganggap hal tersebut cukup menyenangkan. Berbeda dengan adikku, yang termasuk dalam generasi millennial dan tumbuh di era modern, di mana musik dan film sangat mudah diakses lewat barang elektronik sehingga ketertarikannya mengenai karya-karya klasik, terutama musikal, pun tidak setinggi orang tuanya.


Kasus ini sama dengan kasus opera Lara, oleh Aimé Maillart, yang kemudian batal tampil ketika naskahnya diterjemahkan ke dalam bahasa inggris karena kurangnya ketertarikan orang-orang terhadap karya terjemahan Perancis. Hal tersebut dikarenakan tidak ada kesamaan yang bisa disandingkan dari kehidupan keseharian mereka. Yang menjadi konteks dan permasalahan kali ini adalah kurangnya rasa kesamaan dan hubungan dari generasi Z ini terhadap karya musikal klasik dengan keseharian mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa karya-karya musikal yang dianggap klasik pun memiliki alur cerita, konflik, hingga latar yang masih medieval, sesuai dengan pada saat karya tersebut ditulis.


Seiring berjalannya waktu, karya musikal klasik pun kemudian dilihat dan dimaknai sebagai sesuatu yang adiluhung, mahal, dan susah untuk diakses. Hal itu yang kemudian memengaruhi pandangan masyarakat terhadap karya musikal klasik yang berubah-ubah setiap generasinya. Penonton pun lebih memilih menonton film yang durasinya cenderung lebih pendek dibanding karya klasik, apalagi musikal. Pemaknaan bentuk karya musikal klasik sebagai satu hal yang adiluhung pun datang dari sulitnya akses sehingga hanya bisa dinikmati oleh orang-orang dari kelas menengah ke atas. Selain itu, pakaian yang digunakan untuk hadir dalam sebuah pertunjukan teater pun menjadi salah satu alasan istilah adiluhung tersebut disandingkan dengan keklasikkan. Dalam perjalanannya, panggung karya musikal klasik, contohnya Broadway, secara tidak tertulis meminta tamu dan penonton yang hadir untuk berdandan secara semi-formal, sehingga terlihat rapi, juga sebagai sebuah bentuk apresiasi terhadap pertunjukan yang ditampilkan.


Kembali lagi mengenai keklasikkan dan bagaimana hal ini membentuk perspektif seseorang terhadap ketertarikannya akan karya musikal klasik, generasi Z cenderung melihat dan menilai sebuah karya dari bentuk visualnya. Karya musikal klasik, dengan poster pertunjukan yang tentu menggunakan gaya lama baik dari nada warna mau pun format penulisan tentu menjadi salah satu alasan generasi Z kurang tertarik terhadap karya musikal klasik tersebut. Tentang anak-anak generasi Z yang tidak lagi merasa punya hubungan yang erat dengan gaya-gaya penulisan tersebut pun kemudian semakin mendukung pemaknaan mereka terhadap karya musikal klasik, bahwa karya musikal klasik merupakan sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman, sudah tidak lagi pantas untuk dinikmati. Pemaknaan ini kemudian menjadi tolak ukur dan sudut pandang generasi Z terhadap karya-karya klasik, bahwa menyukai karya-karya klasik berarti menikmati hal-hal lawas yang kuno dan ketinggalan zaman. Penghargaan dan apresiasi terhadap karya-karya klasik pun dilakukan sebatas tahu dan mengenal, tidak didalami dan dinikmati selayaknya karya tersebut—sehingga bisa menyanding istilah klasik.


Pelabelan Diri

Pemaknaan kuno, lawas, atau bahkan ketinggalan zaman terhadap karya musikal klasik pun kemudian menjadi satu sudut pandang awal yang mengarah kepada pelabelan diri. Pelabelan diri merupakan satu hal yang ramai dilakukan oleh generasi Z, di mana mereka mengaku sebagai bagian dari sesuatu. Hal ini pun terjadi dengan karya musikal klasik. Mereka yang ternyata menyukai dan menikmati karya musikal klasik tidak semerta-merta mau untuk mengaku bahwa mereka menyukai hal tersebut. Didukung oleh opini yang dimaknai oleh lingkungan sekitar bahwa karya musikal klasik merupakan sesuatu yang kuno, maka cenderung generasi Z—contohnya penulis—mencoba mencari istilah-istilah baru untuk menjadi substitusi dari penikmat sesuatu yang klasik, dengan berusaha tetap menghadirkan esensi klasik tersebut.


Pelabelan diri berarti melihat kembali perspektif mereka terhadap diri sendiri terkait dengan karya musikal klasik. Bagaimana mereka melabeli diri mereka pun dipengaruhi oleh sudut pandang mereka terhadap karya musikal klasik. Apabila generasi Z melihat karya musikal klasik hanya dari satu sudut pandang, misalnya seorang anak generasi Z dari keluarga menengah ke bawah dengan cukup akses untuk media sosial, maka anak ini akan melihat karya musikal klasik sebagai satu hal yang antik, kuno, dan tidak lagi pada zamannya. Maka mungkin saja, ia akan melabeli dirinya sebagai seseorang yang up-to-date karena merasa tidak memiliki ketertarikan terhadap karya musikal klasik tersebut. Berbeda dengan orang yang tumbuh dalam keluarga pemusik, besar kemungkinannya untuk ia menganggap karya musikal klasik itu menarik karena ia tumbuh dan berkembang di lingkungan yang menghargai dan mengapresiasi karya-karya tersebut.


Ada satu istilah yang kerap kali menjadi ‘angin lewat’ mengenai penikmat karya-karya klasik, terutama musikal, yaitu old soul. Ada segelintir orang yang menganggap bahwa menikmati hal-hal klasik berarti memiliki satu titik atau satu bagian dari dirinya yang berusia lebih tua. Ada pula mitos yang sering menjadi bahan obrolan di keluargaku bahwa ada sebagian jiwa-jiwa kita yang merupakan sisa peninggalan jiwa pendahulu, sehingga kita masih bisa menikmati, mengapresiasi, dan menghargai adanya karya musikal klasik tersebut. Pun aku, apabila diminta untuk melabeli diri, aku akan menggunakan istilah old soul tersebut karena aku merasa bahwa ketertarikanku terhadap karya musikal klasik merupakan sesuatu yang diturunkan, ditinggalkan oleh orang tuaku, dan kemudian kukembangkan dengan caraku sendiri.


Yang menarik dari karya musikal klasik bagiku adalah fakta bahwa semua itu dilakukan secara langsung—tanpa efek, tanpa proses pengeditan—dan bisa dinikmati dengan mata telanjang. Lewat karya musikal klasik aku bisa mendapatkan bayangan dan gambaran tentang sebuah tempat, sebuah isu, atau bahkan sebuah konflik dalam bentuk yang lebih familiar denganku, yaitu musik. Cenderung melodi, nada, hingga lirik dalam sebuah karya musikal klasik menjadi satu hal yang signifikan dan penting karena selain menjadi penggganti sebuah dialog atau narasi, musik pun bisa menjadi salah satu penentu titik konflik, klimaks, bahkan penyelesaian sebuah konteks atau masalah, karena aura dan suasana yang terbangun dari bunyi musik tersebut. Hal ini pun membekas jauh lebih dalam dibanding karya seni lainnya, misalnya film.


Masih ada perasaan yang mengganjal tentunya apabila ada orang-orang yang menilai bahwa karya musikal klasik adalah sesuatu yang kuno, tapi tidak bisa disanggah juga apabila terkadang aku pun masih tidak ingin mengakui label yang telah kuberikan kepada diri sendiri. Terkadang, label yang diberikan oleh diri sendiri tidak berdampak sebanyak label yang diberikan orang, karena label atau perspektif orang terhadap diri sendiri tentu—terasa—lebih penting.


Perspektif Diri Sendiri

Pada akhirnya, tetap yang lebih penting adalah bagaimana perspektif diri sendiri terhadap pemaknaan dan pelabelan diri. Memaknai sesuatu yang tidak lagi relevan dan bisa disamakan dengan kehidupan keseharian tidak mudah, apalagi kemudian menempatkan diri untuk tahu akan berada di sisi sebelah mana. Generasi Z cenderung memaknai sesuatu langsung secara visual yang kemudian berdampak pada minimnya usaha untuk mendalami dan mencari tahu lapisan-lapisan di balik tampak visual tersebut. Hal tersebut kemudian memancing opini-opini publik dan pelabelan terhadap karya musikal klasik sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman. Meski masih ada sebagian kecil dari generasi Z yang menyukai, menikmati, dan mengapresiasi karya musikal klasik, namun label-label yang kemudian akan menempel pada diri mereka menjadi satu kekhawatiran sendiri.

13 views0 comments

Komentarze


bottom of page