Komunitas dalam Perspektif Antropologi dan Sosiologi
- V Tasha Florika
- Dec 28, 2018
- 10 min read
Ditulis oleh Halimah dan V Tasha Florika.
Ilmu Antropologi dan ilmu Sosiologi adalah ilmu yang saling berdekatan dan bersinggungan. Keduanya, mengalami perkembangan perubahan dimana objek penelitian Antropologi adalah masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di luar lingkungan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika modern. Namun, dalam fase perkembangannya yang keempat, ada perubahan yang fundamental di mana para ahli Antropologi mulai memperhatikan gejala-gejala masyarakat yang berada di luar objek penelitian Antropologi. Sementara, Sosiologi juga mengalami perkembangan yang hampir serupa dengan Antropologi, di mana sejak abad 19 tampak banyak penelitian Sosiologi yang mengolah bahan dari masyarakat suku bangsa penduduk pribumi di luar Eropa.Dari situ, tampak jelas bahwa begitu sulitnya membedakan antara ilmu Sosiologi dan Antropologi mengingat keduanya sama-sama mengalami perkembangan yang begitu signifikan (Syarbaini, et al, 2012).
Karena apa yang menjadi objek ilmu Sosiologi dan ilmu Antropologi tidak jauh-jauh dari unsur masyarakat, maka pada kesempatan ini kami memilih komunitas, yang merupakan unsur masyarakat yang secara umum didefinisikan sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan yang umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Namun, dari definisi umum tersebut, akan dipaparkan secara lebih mendalam bagaimana Sosiologi dan Antropologi memandang konsep komunitas.
Konsep Komunitas dalam Pandangan Sosiologi
Menurut Ignatia Ratna[1], konsep komunitas adalah sekumpulan orang yang terbentuk berdasarkan sesuatu embedded (terlekat) dengan mereka. Contohnya komunitas berdasarkan hobi, berdasarkan idola mereka, atau berdasarkan daerah asal (seperti mahasiswa luar daerah yg tinggal di jogja). Meskipun komunitas ini bukan kelompok yang dibentuk berdasarkan ikatan darah/keluarga, tapi terkadang hubungan satu dengan yang lain bisa lebih dari hubungan kekeluargaan (yang sangat erat atau memiliki rasa senasib sepenanggungan). Pemahaman itu, Ia dapatkan dari 3 semester perkuliahan yang disampaikan oleh dosen Sosiologinya. Namun, Ia tidak hanya memegang konsep komunitas yang diperoleh dari hasil ajar dosennya saja, tetapi juga memahami konsep komunitas dari para Sosiolog.
Konsep komunitas yang Ia pahami adalah konsep menurut Karl Marx & Fredrich Engel dalam buku yang berjudul Urban Sociology Theories, Gemeinschaft disebut sebagai komunitas, ciri-cirinya yaitu desa desa yang memiliki ciri khas, memiliki kesatuan tujuan yang penting, bekerja bersama demi kebaikan bersama, disatukan oleh ikatan keluarga (kekerabatan) dan lingkungan, tanah yang dikerjakan secara komunal oleh penduduk, kehidupan sosial yang dicirikan oleh hidup bersama, pribadi dan eksklusif bersama-sama, anggota terikat oleh bahasa dan tradisi umum, memiliki teman-teman dan musuh-musuh umum, dan memiliki rasa kebersamaan. Paparnya, ada tiga jenis hubungan Gemeinschaft yakni kekerabatan, persahabatan, dan lingkungan atau lokalitas. Yang pertama, kekerabatan Gemeinschaft didasarkan pada Keluarga, yakni hubungan terkuat antara ibu dan anak, kemudian suami dan istri, dan kemudian saudara kandung. Gemeinschaft juga ada antara ayah dan anak, tetapi hubungan ini kurang adanya insting dari ibu dan anak. Namun, hubungan ayah-anak adalah manifestasi asli otoritas dalam Gemeinschaft. Kedua, kekeluargaan berkembang dan berdiferensiasi menjadi Gemeinschaft of Locality, yang didasarkan pada habitat umum. Dan yang ketiga, ada juga Persahabatan, atau Gemeinschaft pikiran, yang membutuhkan komunitas mental umum (misalnya: agama).
Kemudian, menurut NL[2], konsep komunitas dalam Sosiologi adalah kesatuan hidup manusia secara bersama-sama dimana mereka memilih untuk menempati wilayah tertentu, dalam rentang waktu tertentu. Biasanya di definisi ini merujuk pada perkumpulan masyarakat, yang harus mensyaratkan kehidupan bersama tanpa adanya perbedaan pandangan yang menonjol dari suatu masyarakat yang interaksinya kebanyakan antar individu ke individu.
Sementara, komunitas merupakan unit yang terorganisasikan di dalam kelompok - kelompok yang biasanya terbentuk dari kepentingan bersama. Sedangkan di Sosiologi, organisasi sosial disebutnya lebih kepada kelompok sosial dimana kelompok sosial biasanya terbentuk melalui proses interaksi dan proses sosial yang biasanya individu harus menyesuaikan diri antara satu dengan yang lainnya. Kemudian lama kelamaan menjurus kepada proses sosialisasi yang mengarah kepada individu dalam anggota kelompok itu yang bersedia melakukan beberapa kompromi terhadap tuntutan yg diberikan kelompok. Dasar terbentuknya suatu komunitas itu sendiri adalah dengan hadirnya simbol, anggota, ketua, norma, dan aturan yang bisa diikuti anggota dalam komunitas itu.
Ketika ditanya mengenai bagaimana bentuk, jenis dan ciri komunitas, NL mengatakan karena Sosiologi merujuk pada masyarakat, bentuk dan jenisnya juga lebih kepada komunitas, dimana komunitas yang "memasyarakatkan" masyarakat itu sendiri. Contohnya ada komunitas anak jalanan, komunitas perpustakaan, dll. Macam macamnya ada komunitas yang bisa dibentuk dari kesamaan hobi, wilayah/geografi, komuni (berdasarkan keinginan dan kepentingan), sama subkultur.
Menurut NL, kita dapat dianggap sebagai anggota komunitas tertentu ketika kita sudah mendaftar menjadi bagian dari komunitas itu sendiri atau melakukan registrasi. Contoh tadi sesuai prespektif dalam komunitas, dimana saat sudah terdaftar dalam suatu komunitas, komitmen adalah yang paling utama. Komunitas yang ideal bagi NL, tentu ketika kita bisa memberi manfaat bagi orang sekitar.
[1] Mahasiswi semester 3 di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada.
[2] Mahasiswi Sosiologi semester 5 di Jurusan Sosiologi.
Konsep Komunitas dalam Pandangan Antropologi
Setelah memahami pandangan Sosiologi terhadap komunitas, kita dihadapkan dengan konsep dari perspektif yang berbeda yakni Antropologi. Konsep komunitas menurut Antropologi, ditemukan dalam ensiklopedia yang ditulis oleh Spencer dan Barnard dimana konsep komunitas telah menjadi salah satu yang terluas dan paling sering digunakan di dalam ilmu sosial.Pemeriksaannya telah menjadi fokus perhatian setidaknya selama 200 tahun terakhir. Di saat yang sama definisi yang tepat dari istilah tersebut dikatakan terbukti sulit dipahami. Dalam ensiklopedia tersebut, Warner (1941) memaparkan (dalam Spencer dan Barnard,2002) sebuah komunitas pada dasarnya berfungsi secara keseluruhan sosial, yakni tubuh orang terikat pada struktur sosial umum yang berfungsi sebagai organisme tertentu, dan yang dapat dibedakan dari organisme lain seperti itu. Kesadaran akan perbedaan ini (fakta bahwa mereka hidup dengan norma-norma yang sama dan dalam organisasi sosial yang sama) kemudian memberi anggota masyarakat suatu rasa memiliki. Begitu selama bagian dari keseluruhan yang berfungsi (keluarga, usia, kelompok status, atau apa pun) yang bekerja dengan baik bersama-sama, dimana struktur komunitas itu dapat diharapkan terus ada seiring waktu. Spencer dan Barnard juga menyebutkan bahwa di dalam bahasan komunitas, terdapat poin-poin penting salah satunya adalah pendekatan simbolik, yakni sesuatu dapat direformasi, esensial dan tunggal yang telah digantikan oleh fokus pada bagaimana 'komunitas' ditimbulkan sebagai ciri kehidupan sosial, kemudian tentang bagaimana keanggotaan komunitas ditandai dan dikaitkan,dan pada bagaimana gagasan masyarakat diberi makna budaya yang kemudian makna tersebut berhubungan dengan orang lain.
Sementara, definisi komunitas dalam buku Koentjaraningrat berjudul Pengantar Ilmu Antropologi adalah sebagai berikut:
“Suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.”
Dalam Antropologi, istilah masyarakat dengan komunitas saling tumpang-tindih, akan tetapi istilah masyarakat adalah istilah umum bagi suatu kesatuan hidup manusia dan bersifat lebih luas dari komunitas. Masyarakat adalah suatu kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap dan terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa identitas bersama, tetapi komunitas bersifat khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah tadi.
Selain itu, komunitas dalam Antropologi membedakan tiga varian pendekatan tradisional. Yakni komunitas harus dicirikan dalam minat bersama antara orang-orang, ekologi dan lokalitas umum, maupun sistem atau struktur sosial umum. Pengambilan ini (secara singkat) pada gilirannya, dikatakan oleh Frankenberg (1966) bahwa komunitas adalah kepentingan bersama terhadap hal-hal yang dapat dicapai seperti ekonomi, agama, atau apa pun yang memberi anggota komunitas kepentingan bersama satu sama lain, tinggal berhadap-hadapan, dalam sekelompok kecil orang, dengan kepentingan umum dalam pikiran yang muncul dalam anggota komunitas dengan berbagi banyak atau terdampar pada hubungan multipleks dengan satu sama lain. Selain itu, juga berbagi sentimen terhadap lokalitas dan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu, komunitas mulai ditandai dengan tingkat koherensi sosial yang adil.
Berkaca pada pembelajaran yang kami dapatkan selama 3 semester, komunitas sering menjadi bahasan yang disebutkan oleh Laksono (2009) sebagai hal yang esensial dalam studi Antropologi. Pada pidato pengukuhannya, Ia merujuk kepada konsep komunitas milik Victor Turner (2002:360), dimana komunitas itu berisi para individu (di luar struktur) yang berjuang dan seringkali melawan otoritas umum masyarakat (terstruktur). Namun, Turner juga mengatakan bahwa Komunitas adalah tempat penyimpanan keseluruhan nilai budaya, norma, sikap, sentimen, dan hubungan. Yang perwakilannya dalam ritus tertentu mungkin berbeda dari ritual ke ritual yang mewakili otoritas generik dari tradisi.
Persamaan Konsep komunitas dalam Antropologi-Sosiologi
Dari adanya definisi-definisi konsep dari perspektif Sosiologi dan Antropologi, kami tetap bisa menemukan banyak kesamaan diantara keduanya. Dimana komunitas tetap mengaitkan hal yang melekat atau melibatkan emosionalitas di dalamnya.
Dalam pandangan Hoult (1969), Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat, merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, karena sosiologi adalah disiplin intelektual yang secara khusus, sistematis, dan terandalkan mengembangkan pengetahuan tentang hubungan sosial manusia pada umumnya dan tentang produk dari hubungan tersebut. Fokus pembahasannya adalah interaksi manusia, yakni pada pengaruh timbal balik diantara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap dan tindakan.
Sosiolog Max Weber dalam teorinya selalu menekankan bahwa landasan asumsi dari studi masyarakat adalah memusatkan perhatian pada kepercayaan dan pandangan hidup (beliefs concerning). Lalu beranjak pada perilaku sukarela ( voluntarism) yang menimbulkan tipe ideal. Kemudian menimbulkan kesan individual (the image of individual) berupa hal-hal yang positif sehingga tercipta relasi pada kesan masyarakatnya (the image of society). Relasi tersebut adalah makna dari sekumpulan jaringan (a network meaning) yang terbentuk melalui komunitas. Relasionalitas ini berada diantara tindakan sosial, struktur sosial, dan institusi-institusi kapital (Weber, 2000: 55). Maka output dari landasan teoritis Max Weber adalah usaha memahami dan mengerti (verstehen) dengan narasi interpretasi yang empatik, dampak positif bagi anggota dan juga yang ada di dalam komunitas tersebut.
Hal itu diperkuat oleh satu kesamaan konsep di Sosiologi milik Karl Marx dan Fredrich Engel ataupun konsep Antropologi milik Warner yang terdapat hubungan emosionalitas (yakni rasa saling memiliki) di dalam suatu komunitas. Konsep tersebut juga semakin diperkuat dengan apa yang diterima Ratna di kelasnya, bahwa di dalam komunitas terdapat hubungan satu dengan yang lain yang bisa lebih dari hubungan kekeluargaan (sangat erat atau memiliki rasa senasib sepenanggungan yang tidak lain merupakan narasi interpretasi empati sebagaimana kata Max Weber).
Hal itu sejalan dengan komunitas yang berkaitan dengan rasa senasib sepenanggungan, dimana komunitas anak jalanan merepresentasikan konsep “rasa senasib sepenanggungan” yang mana mereka membentuk komunitas terhadap kesamaan hal yang mereka rasakan. Selain itu, rasa senasib sepenanggungan juga merepresentasikan proses ritual inisiasi pada mahasiswa baru di jurusan Antropologi. Dimana konsep liminalitas milik Victor Turner diadaptasi untuk diterapkan pada pos-pos inisiasi sebagai tahapan ritualnya yang terdapat 3 proses pemisahan-liminal-penyatuan. Van Gennep menjelaskan (Dalam Turner, 2000) lebih detail bagian-bagian tersebut dimana ada bagian transisi yang ditandai dengan tiga fase. Yakni separation atau pemisahan yang mengandung perilaku simbolik yang ditandai dengan “detachment” individu atau kelompok dalam struktur sosial dari kondisi kultural atau keduanya. Kemudian, margin atau limen yang menjadi karakteristik dari subjek ritual “the passanger” yang ambigu melalui “cultural realm” yang memiliki sedikit atau tidak ada atribut dari keadaan yang sebelum maupun yang akan datang. Dan terakhir, agregasi atau penyatuan yang terwujud.
Disitu, konsep liminal yang ada merekonstruksi “rasa senasib sepenanggungan” sehingga mereka merasa berada dalam satu kesatuan untuk saling menjaga dan melindungi, hingga menegakkan identitas mereka di akhir sebagai komunitas mahasiswa Antropologi. Dari inisiasi tersebut, tidak hanya ada keterkaitan rasa yang sama atas proses ritual yang sedang mereka hadapi, namun juga konstruksi identitas yang dibangun bahwa mereka merupakan bagian dari komunitas tersebut. Konstruksi identitas dalam komunitas Antropologi tersebut, dikatakan dalam Cohen’s book on the Symbolic Construction of Community, bahwa komunitas secara simbolis dibangun, sebagai sistem nilai, norma, dan kode moral yang memberikan rasa identitas dalam suatu kesatuan yang terbatas kepada anggotanya.
Rasa dan ikatan emosionalitas di dalam komunitas itu juga dikemukakan oleh Syarbaini, et al, (2012) bahwa di dalam konsep masyarakat terdapat istilah yang muncul seperti komunitas, kelompok, dan perkumpulan yang mana aspek-aspek tersebut merupakan kesatuan sosial yang biasanya menunjukan ikatan psikologis, yakni kasih sayang yang erat antara satu sama lain. Yang kemudian, J.L Gilin dan J.P gilin mengkategorikan masyarakat sebagai bentuk komunitas terbesar dimana adat istiadat, tradisi, tingkah laku, dan perasaan-perasaan kebersamaan atau menjadi satu kesatuan dijalankan “…society is the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative… “.
Disitu, kebersamaan memang merupakan bagian penting karena sebagai pondasi untuk mewujudkan masyarakat. Namun demikian, kebersamaan saja tanpa diikuti dengan interaksi, keberadaan adat istiadat, norma tertentu sebagai pengikat, dan perasaan senasib sepenanggunangan, maka kumpulan manusia belum bisa dikatakan sebagai masyarakat (Syarbaini, et al, 2012).
Ferdinand Tonnies sebagai seorang Sosiolog klasik pernah memaparkan suatu refleksi teoritis dengan mempertanyakan “apakah lingkungan sosial mampu mempengaruhi individu atau sebaliknya dengan individu mampu mempengaruhi lingkungan sosialnya“. Refleksi ini ditulis oleh Tonnies dalam Gemeinschaft and Gesellschaft (1887). Pada akhirnya individu yang menjadi suatu tokoh (primus interpares) akan membentuk suatu komunitas (paguyuban). Suatu komunitas dalam tinjauan Sosiologis dibentuk melalui solidaritas dan tatanan moralitas yang secara tidak langsung telah disepakati bersama ( Harris, 2001 : xxiii). Rasa guyub rukun ini sejalan dengan kedua konsep komunitas, baik dari sudut pandang Antropologi maupun dari sudut pandang Sosiologi.
Perbedaan Konsep Komunitas dalam Antropologi-Sosiologi
Namun, dari adanya kesamaan dalam perspektif Sosiologi dan Antropologi terhadap konsep komunitas, konsep tersebut tetap memiliki perbedaan yang sangat fundamental atau mendasar. Sebelum membahas lebih dalam lagi mengenai konsep komunitas dengan dua ilmu yang terdengar begitu mirip ini, mari kita menilik lebih dahulu hubungan antara Antropologi yang mengkaji tentang sosial dan Sosiologi. Yang menjadi persamaan ilmu Antropologi dan Sosiologi adalah tujuannya. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari:
1.Kedua ilmu itu masing-masing mempunyai asal-mula dan sejarah perkembangannya yang berbeda.
2.Asal mula sejarah yang berbeda menyebabkan adanya suatu perbedaan pengkhususan pada pokok dan bahan penelitian dari kedua ilmu tersebut.
3.Asal mula dan sejarah yang berbeda juga telah menyebabkan berkembangnya metode dan masalah yang khusus dari ilmu tersebut.
Dari pengetahuan yang kami miliki selama perkuliahan, ada hal yang membedakan antara keduanya yakni Sosiologi, memandang komunitas sebagai bentuk unit sosial. Disitu, Sosiologi lebih melihat kepada relasi dan struktur sosial di dalamnya. Sementara, Antropologi melihat komunitas sebagai unit budaya yang melihat hal tersebut dari nilai, adat, dan budaya di dalamnya. Dimana menurut Schwartz (1975) “This intimate relationship between community and identity has been described as ‘cultural totemism’ or ‘ethnognomony’” (dalam Cohen, 1985). Kemudian, Antropologi juga banyak membahas hal-hal dan pendekatan simbolik di dalam komunitas yang ditulis oleh Cohen (1985) bahwa komunitas itu penting sebagai repositori simbol, baik dalam bentuk totem, tim sepak bola atau peringatan perang. Semua ini seperti kategori sistem kekerabatan yang mana mereka adalah penanda simbolik dari komunitas yang membedakannya dari komunitas yang lain. Namun, argumen yang diajukan di sini pun cukup berbeda. Yakni komunitas itu sendiri dan semua yang ada di dalamnya, konseptual maupun material, yang memiliki dimensi simbolis, dan lebih jauh lagi dimensi ini tidak ada sebagai semacam konsensus sentimen. Sebaliknya, itu ada sebagai sesuatu ‘to think with’. Simbol dari komunitas adalah konstruksi mental yang mana mereka menyediakan sarana bagi orang-orang dengan membuat makna. Dengan itu, mereka juga menyediakan sarana sebagai ungkapkan arti khusus yang dimiliki komunitas untuk mereka.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa Antropologi melihat komunitas dalam hal yang sangat kecil dan bahkan implisit seperti makna dan simbolik dibaliknya. Sementara Sosiologi melihat hal yang lebih tampak dan besar seperti hubungan sosial dan tingkatan-tingkatan sosialnya.
Penutup
Setelah kita melihat bagaimana konsepsi komunitas dari perspektif Sosiologi dengan konsepsi komunitas dari perspektif Antropologi, kita dapat melihat ada persamaan diantara keduanya dimana kedua perspektif sama-sama melihat ada keterkaitan dan ikatan emosionalitas di dalam komunitas. Akan tetapi, di Antropologi itu sendiri, lebih banyak berbicara mengenai konstruksi identitas seperti yang dikatakan bahwa “This intimate relationship between community and identity has been described as ‘cultural totemism’ or ‘ethnognomony” (Schwartz, 1975).
Perbedaan mendasar dari keduanya adalah bagaimana mereka membahas komunitas itu sendiri, dimana dalam Sosiologi, komunitas dibahas dalam struktur, relasi, dan stratifikasinya seperti contoh adalah hadirnya istilah patembayan dan paguyuban. Sementara dalam Antropologi, apa yang ada di dalam komunitas itulah yang dibahas secara lebih mendalam. Misalnya, ikatan-ikatan yang dibangun di dalamnya, dan makna-makna simbolik dari komunitas seperti yang dibahas Victor Turner melalui proses liminalitas dalam komunitas.
Referensi
Barnard, A., & Spencer, J. (2009). The Routledge encyclopedia of social and cultural anthropology : Community. Routledge.
Cohen, A. P. (2013). Symbolic construction of community. Routledge.
Harris, Jose ( ed ). 2001. Ferdinand Tonnies : Community and Civil Society. Cambridge : Cambridge University Press.
Hoult, T. F. (1969). Dictionary of modern sociology. Littlefield Adams.
Koentjaraningrat (2009), Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Laksono, P. M. (2009). PETA JALAN ANTROPOLOGI INDONESIA ABAD KEDUA PULUH SATU: MEMAHAMI INVISIBILITAS (BUDAYA) DI ERA GLOBALISASI.
Syarbaini, dkk (2012). Konsep Dasar Sosiologi dan Antropologi: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Hartomo Media Pustaka.
Tönnies, F. (1887). Gemeinschaft und Gesellschaft: Abhandlung des Communismus unddes Socialismus als empirischer Culturformen. Fues.
Turner, V. (1969). Liminality and communitas. The ritual process: Structure and anti structure, 94, 130.
Comments