top of page

Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota

Oleh Adam Sediyoadi Putra

Abstrak

Komuter adalah kegiatan mobilitas pulang-pergi yang dilakukan secara harian atau mingguan oleh seseorang untuk melakukan aktivitas di luar kota atau daerah yang jauh. Seseorang yang melakukan mobilitas tersebut adalah seseorang yang terpaksa karena keadaan yang mengharuskan dia untuk mencari sumber daya di daerah yang jauh dari daerah asalnya. Perilaku komuter ini muncul akibat adanya kota besar yang menjadi senter disertai dengan pembangunan yang tidak merata di daerah pinggiran kota atau kota lainnya. Kota besar memiliki berbagai macam fasilitas dan kesempatan hidup yang lebih tinggi telah menarik orang dari daerah yang kekurangan fasilitas dan kesempatan hidup untuk datang. Dari analisis yang dilakukan, hal tersebut mengakibatkan penyerapan tenaga kerja yang timpang di salah satu daerah. Jumlah tenaga kerja yang banyak akhirnya mengakibatkan laju percepatan pembangunan yang tinggi karena tenaga kerja yang datang juga membutuhkan fasilitas seperti jalan dan tempat tinggal yang memadai. Otomatis dengan penyerapan tenaga kerja tersebut, populasi daerah asal dari komuter akan berkurang dan mengakibatkan lambatnya laju pembangunan di daerah asal. Ketimpangan pembangunan terasa nyata dan akan semakin tinggi jika pemerintah tidak melakukan pemerataan pembangunan untuk menampung tenaga kerja di daerah masing-masing.


Kata Kunci: Komuter, Pembangunan Kota, Ketimpangan


Pendahuluan

Kota besar memiliki percepatan pembangunan dalam berbagai macam sektor, seperti Institusi pendidikan, lapangan pekerjaan, pariwisata, pemerintahan, dan lain sebagainya. Pembangunan tersebut mengundang penduduk kawasan pinggiran di sekitarnya karena memiliki daya tarik tersendiri. Kota Yogyakarta merupakan kota besar yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten (Sleman, Bantul, Kalasan, Kulonprogo, Klaten, Magelang, Wates, Dll), bahkan bersinggungan dengan provinsi Jawa Tengah. Pastinya antara kota Yogyakarta dan kabupaten di sekitarnya memiliki kesenjangan dalam bidang pembangunan. Akibatnya, banyak orang yang melakukan mobilitas dari berbagai kabupaten menuju ke kota Yogyakarta untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan di kabupaten mereka. Seperti contohnya bekerja, bersekolah, berbelanja, berwisata, mengurus sesuatu, bertemu, dan lain sebagainya. Mobilitas yang bersifat sementara (karena akan kembali lagi setelah aktivitasnya selesai) tersebut dijuluki sebagai komuter. [1]


Jarak antara Yogyakarta dan Klaten yang masih terjangkau membuat banyak orang memilih untuk melakukan komuter. Biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk melakukan komuter juga terlalu besar dan bahkan jauh lebih kecil dari pada harus menyewa kost. Beberapa faktor tersebut adalah salah satu faktor penyebab kemunculan komuter. Tindakan komuter akibat mobilitas antar kota akan memberikan dampak terhadap kota tujuan dan kota asal, khususnya dalam hal pembangunan kota yang semakin lama semakin timpang. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana komuter dapat menyebabkan ketimpangan pembangunan kota menjadi lebih tinggi?


Konsep Komuter

Menurut Rusli (1995) dalam Yuliarti (2008) Penglaju (komuter) adalah seseorang yang melakukan gerak (mobilitas) berulang dari tempat tinggalnya menuju ke tempat kerja pada pagi hari dan akan kembali ke tempat tinggalnya pada sore/malam hari di hari yang sama dengan melewati batas administrasi tertentu. Sejalan dengan pendapat Mantra (1981) dalam Siahaan (2012) bahwasannya komuter adalah pergerakan yang dilakukan dalam waktu satu hari dengan melintas batas wilayah dan kembali ketempat asal.


Menurut Siahaan (2012) ada dua jenis komuter yang dibedakan berdasarkan motivasi seseorang yang melakukannya. Pertama, Autochthonous Commuters adalah penduduk asli luar kota yang melakukan komuter ke kota untuk bekerja namun mereka enggan jauh dari keluarga padahal mereka membutuhkan kota sebagai sumber kehidupan mereka (Siahaan, 2012). Kedua, yang juga menjadi proses suburbanisasi, Allochthonous Commuters adalah penduduk kota yang memilih pindah ke daerah yang lebih pinggir karena alasan tertentu dan tetap melakukan komuter (Siahaan, 2012). Siahaan juga menambahkan bahwa kondisi ini disebabkan juga oleh akses yang sudah semakin mudah dan biaya komuter yang murah.


Tindakan komuter sebenarnya adalah hasil dari adaptasi manusia terhadap masalah praktis yang ada di dunianya untuk memenuhi segala kebutuhan yang manusia butuhkan. Seperti yang dikatakan oleh Moore (2012) dalam bukunya “Vision of Culture” mengenai ekologi budaya. Menurutnya masyarakat beradaptasi dengan berbagai keterbatasan lingkungan yang ada. Bagaimanapun ekologi budaya termasuk dalam strategi materialis (cultural materialism) karena didasarkan pada premis sederhana bahwa kehidupan sosial manusia adalah tanggapan terhadap masalah praktis keberadaan duniawi (Marvin Harris, 1979 :ix dalam Moore, 2012).


Konsep Pembangunan Kota

Salah satu konsep pembangunan, menurut Ariyanto (2017), adalah menghadirkan kota-kota satelit[2] untuk mencapai suatu pelayanan sistem dalam pelayanan penduduk metropolitan untuk menciptakan sebuah ruang yang dinamis dan proporsional dalam konsep ruang yang terpadu, berhirarki, dan harmonis sehingga mempermudah pengembangan suatu wilayah. Dalam konsep pembangunan ini, Friedman (1984) dalam Ariyanto (2017) berasumsi bahwa pusat pertumbuhan akan mempermudah dalam pembangunan yang lebih terencana dan diharapkan dapat menjadi kantong pemukiman akibat pertumbuhan penduduk jangka panjang.


Berkebalikan dengan Riyadi (2000) yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan kota bertujuan untuk mencapai suatu keserasian dan keseimbangan pembangunan antar daerah sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah dengan memanfaatkan potensi tersebut dengan efisien, tertib dan aman. Oleh karena itu, menurutnya dalam pembangunan kota, diperlukan perencanaan wilayah untuk mengatur keharmonisan antar sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah demi kesejahteraan rakyat.

Pada kenyataannya, menurut Hadjisarosa (1974) dalam Lutfi (2007), pembangunan kota terjadi karena adanya pertumbuhan modal yang bertumpu pada sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Menurutnya pembangunan kedua sumber daya tersebut berlangsung sedemikian rupa sehingga menyebabkan pergerakan ekonomi ‘arus balik’ karena merupakan wujud fisik perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar negara melalui jasa distribusi.


Metode Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menjelaskan berbagai macam gejala, fenomena, dan kasus terkait dengan budaya dalam masyarakat sehingga dalam pengumpulan data menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan observasi partisipan, wawancara secara sambi lalu, dan studi literatur untuk menguatkan argumen. Observasi partisipan dilakukan dengan melakukan kegiatan komuter (Klaten-Jogja) selama beberapa tahun terakhir sehingga dapat melihat perkembangan perilaku komuter dari tahun ke tahun.


Etnografi Wilayah Pinggiran

Salah satu kabupaten kecil yang berdekatan dengan kota Yogyakarta adalah Kabupaten Klaten. Selain berdekatan dengan Yogyakarta, Klaten juga berdekatan dengan kota besar lainnya yaitu Surakarta. Karena berdekatan dengan kedua kota besar tersebut, Klaten menjadi kabupaten penghubung kedua kota itu. Banyak kendaraan besar seperti truk dan bus yang lalu lalang melewati Klaten. Karena kondisinya yang seperti itu, saya memiliki julukan untuk kabupaten tersebut, yaitu “Daerah Pinggiran Di Antara Kota Besar”.


Selama saya tinggal di Klaten (tempat saya dibesarkan hingga sekarang), saya merasa tempat itu tertinggal jauh dengan dua kota yang menghimpitnya. Pusat kabupaten hanya terdapat pada satu jalan lurus (jalan Pemuda). Di sana masih minim dengan gedung-gedung bertingkat, mungkin bangunan tertinggi tidak lebih dari 4 lantai. Bahkan shopping center pun hanya terdapat satu bangunan di samping Masjid Raya Klaten dan Alun-alun Klaten. Di beberapa desa di kabupaten Klaten masih banyak orang yang bergantung pada sektor pertanian (Okysari & Muta’ali, 2015). Jarang terjadi kemacetan karena mungkin belum padat penduduk.


Jika disandingkan dengan dua kota yang menghimpitnya, Klaten akan terlihat sangat kontras. Yogyakarta dan Surakarta sudah memiliki banyak gedung bertingkat dan bangunan megah seperti hotel, kantor, apartemen, shopping center, sekolah, universitas dan lain sebagainya. Kemacetan dan polusi di mana-mana akibat padatnya penduduk. Mulai muncul slum area.l[3] Mungkin juga sudah sangat sedikit, bahkan tidak ada lagi lahan kosong yang dijadikan tempat untuk bercocok tanam (sawah).


Di sana masih minim dengan gedung-gedung bertingkat, mungkin bangunan tertinggi tidak lebih dari 4 lantai. Bahkan shopping center pun hanya terdapat satu bangunan di samping Masjid Raya Klaten dan Alun-alun Klaten. Di beberapa desa di kabupaten Klaten masih banyak orang yang bergantung pada sektor pertanian (Okysari & Muta’ali, 2015). Jarang terjadi kemacetan karena mungkin belum padat penduduk.


Kurangnya pembangunan membuat penduduk Klaten berbondong-bondong menuju Kota sebelah yang lebih maju pembangunannya. Kurangnya lahan pekerjaan, tempat perbelanjaan, institusi pendidikan, adalah beberapa motif orang melakukan mobilitas karena di kabupaten Klaten tidak menyediakan fasilitas yang cukup untuk warganya. Kota dinilai mampu menyediakan lahan pekerjaan, masa depan yang cerah, menjanjikan kehidupan yang lebih baik, dengan ditunjangnya berbagai macam fasilitas umum dan fasilitas sosial yang memadai (Surya, 2006: 84). Akibatnya penduduk Klaten mulai menjadi komuter karena kesenjangan pembangunan.


Ada beberapa alasan mengapa mereka menjadi komuter. Pertama, Jumlah lapangan kerja di Klaten lebih sedikit daripada Yogyakarta. Untuk perbandingannya, pada bidang industri Yogyakarta pada tahun 2016 terdapat 35.000 lapangan kerja,[4] sedangkan Klaten hanya terdapat sekitar 4.609 lapangan kerja.[5] Itu baru di sektor formal, belum pada sektor usaha non-formal. Terlebih, Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) kota Yogyakarta, pada tahun 2019, lebih besar yaitu sebesar Rp. 1.846.400,[6] sedangkan UMK yang ditetapkan kabupaten Klaten pada tahun 2019 hanya sebesar Rp 1.795.061.[7]


Kedua, sangat minim perguruan tinggi di Klaten dan tidak sebanding dengan Yogyakarta. Banyak orang ingin mendapatkan pendidikan yang baik agar dapat menunjang masa depan mereka. Yogyakarta memiliki sebutan “Kota Pelajar” karena memiliki 132 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, yang salah satunya adalah terbaik di Indonesia (UGM).[8] Sedangkan Klaten, sebagai daerah pinggiran, hanya terdapat 8 perguruan tinggi.[9]s Perbedaan jumlah dan kualitas perguruan tinggi, akhirnya menyebabkan pelajar yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi memilih untuk kuliah di Yogyakarta.


Ketiga, banyak pedagang yang memilih berbelanja di Yogyakarta. minimnya pusat perbelanjaan dan toko grosir membuat beberapa barang harus dicari di kota-kota besar seperti Yogyakarta. Akibatnya banyak di antara pedagang yang harus kulakan di Yogyakarta demi mendapatkan suatu barang tertentu atau mendapatkan suatu barang dengan harga yang lebih murah dibanding jika harus mencarinya di Klaten. Seperti tetangga saya, yang tinggal di Klaten, untuk mendapatkan untung yang lebih banyak, hampir setiap hari dia kulakan barang tertentu di swalayan-swalayan di Yogyakarta.


Ketimpangan Yang Semakin Tinggi

Komuter muncul atas ketimpangan pembangunan infrastruktur antar kota. Ketimpangan tersebut terjadi karena sejarah yang panjang yang membuat dinamika antar kota berbeda. Kegiatan komuter yang terus dilakukan membuat ketimpangan antar kota semakin tinggi. Seperti yang disampaikan oleh Surya (2006) bahwa arus penglaju (komuter) memberikan kontribusi berupa pembangunan dan pertumbuhan ekonom Indonesia, khususnya pada pelayanan moda transportasi darat seperti pembangunan tol yang memberikan kemudahan akses antar wilayah. Tak hanya itu, komuter juga berkontribusi pada pertumbuhan fasilitas yang pendukung seperti pusat perbelanjaan, hotel, institusi pendidikan, tempat kerja yang semakin bertambah guna memenuhi kebutuhan komuter.


Karena banyak orang dari daerah pinggiran memutuskan menjadi komuter, Klaten sebagai daerah asal dari komuter menjadi relatif tidak padat karena mereka terserap ke Yogyakarta sebagai kota satelit terdekat. Dampak yang ditimbulkan adalah pembangunan Klaten yang relatif lebih lambat dari pada Yogyakarta yang selalu membutuhkan infrastruktur pendukung karena jumlah populasi sementara yang terus bertambah. Seperti yang dikatakan oleh Hadjisarosa, Pembangunan Klaten relatif lebih lambat karena kurangnya sumber daya manusia yang terserap ke Yogyakarta. Jadi komuter memiliki pengaruh bagi peningkatan ketimpangan antar kota karena mempengaruhi jumlah sumber daya manusia yang memiliki korelasi dengan faktor pembangunan kota.


Kesimpulan

Komuter adalah seseorang yang melakukan aktivitas mobilitas yang rutin dari satu kota ke kota lainnya untuk melakukan aktivitas tertentu. Barangkali aktivitas tersebut dapat berupa bekerja, belajar, berbelanja, atau berwisata. Tindakan tersebut disebabkan oleh perbedaan pembangunan yang terjadi di masing-masing daerah perkotaan. Kota besar sebagai penyedia berbagai sumber daya telah menari orang-orang untuk datang dan memenuhi kebutuhannya masing masing. Minimnya sumber daya yang ada di kota pinggiran membuat penduduknya pergi ke kota yang memiliki sumber daya yang lebih lengkap. Kondisi tersebut adalah respon manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tindakan komuter adalah sebuah keterpaksaan seseorang dalam upayanya untuk bertahan hidup.


Tindakan komuter sebagai bentuk bertahan hidup ternyata berpengaruh pada ketimpangan pembangunan antar kota. Sumber daya manusia yang terserap ke kota satelit membuat kota-kota di pinggirnya seperti Klaten mengalami pembangunan yang relatif lebih lambat. Hal tersebut bisa terjadi karena sumber daya manusia adalah salah satu penyebab pembangunan kota dapat berlangsung.



 

Tanggapan 1 Esai Utama

Oleh: Rayhan Wildan Ramadhani (17/413284/SA/18866)


Dalam esai tersebut, penulis berusaha untuk melihat fenomena komuter dalam kaitannya dengan studi pembangunan wilayah. Penulis mengutip Rusli (1995 dalam Yuliarti, 2008) yang mendefinisikan Pelaju atau komuter adalah seseorang yang melakukan mobilitas berulang dari tempat tinggalnya menuju ke tempat kerja pada pagi hari dan akan kembali ke tempat tinggalnya pada sore atau malam hari di hari yang sama dengan melewati batas administrasi tertentu. Penulis mengungkapkan bahwa perilaku komuter ini muncul akibat adanya kota besar yang menjadi senter disertai dengan pembangunan yang tidak merata di daerah pinggiran kota atau kota lainnya.


Kota besar memiliki berbagai macam fasilitas dan kesempatan hidup yang lebih tinggi telah menarik orang dari daerah yang kekurangan fasilitas dan kesempatan hidup untuk datang. Jumlah tenaga kerja yang banyak akhirnya mengakibatkan laju percepatan pembangunan yang tinggi karena tenaga kerja yang datang juga membutuhkan fasilitas seperti jalan dan tempat tinggal yang memadai. Penulis kemudian berargumentasi bahwa dengan penyerapan tenaga kerja tersebut, populasi di daerah asal dari komuter akan berkurang serta mengakibatkan lambatnya laju pembangunan.


Daya Tarik Kota Besar dan Mobilitas Harian

Dalam pembahasan mengenai daya tarik kota Yogyakarta, penulis menyebutkan bahwa lengkapnya sarana pendidikan, pusat perbelanjaan hingga banyaknya lepangan kerja yang tersedia membuat banyak luar berbondong-bondong untuk pergi ke sana. Selanjutnya, penulis menyebutkan bahwa:


“Kota Yogyakarta merupakan kota besar yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten (Sleman, Bantul, Kalasan, Kulonprogo, Klaten, Magelang, Wates, Dll), bahkan bersinggungan dengan provinsi Jawa Tengah. Pastinya antara kota Yogyakarta dan kabupaten di sekitarnya memiliki kesenjangan dalam bidang pembangunan. Akibatnya, banyak orang yang melakukan mobilitas dari berbagai kabupaten menuju ke kota Yogyakarta untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan di kabupaten mereka.”


Sayangnya, penulis tidak menyertakan data pembangunan secara kronologis di wilayah kabupaten Klaten. Akibatnya, pembaca tidak dapat memahami konteks kesenjangan atau ketertingalan pembangunan sebagaimana yang penulis maksudkan. Selain itu, menurut saya penulis juga kurang tepat jika melakukan perbandingan tingkat pembangunan di kota Yogyakarta. Seharusnya, penulis melakukan komparasi tingkat pembangunan di wilayah Klaten dengan wilayah lain seperti Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen. Beberapa wilayah tersebut merupakan merupakan wilayah Eks-Karesidenan Surakarta, di mana memiliki kedekatan secara geografis dengan Klaten.


Selanjutnya, penulis juga kembali melakukan kekeliruan dengan meletakkan Sleman sebagai wilayah yang masyarakatnya banyak merantau ke kota Yogyakarta. Faktanya, wilayah Sleman sendiri terutama di Kawasan Tengah yaitu wilayah aglomerasi Perkotaan Yogyakarta yan meliputi Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok, dan Gamping. Wilayah ini cepat berkembang karena merupakan pusat pendidikan, industri, perdagangan, dan jasa.


Wilayah tersebut mengalami perubahan kenampakan dari pedesaan menjadi perkotaan atau yang dikenal sebagai konsep urban sprawl. Ada beberapa faktor menurut Tommy Firman yang mendorong terjadinya urban sprawl di Indonesia. Studinya di Jakarta menunjukkan bahwa liberalisasi perekonomian negara pada tahun 1980-an mempermudah investasi dan bisnis, terutama pada sektor properti. Mudahnya peluang bisnis mendorong pengembang properti untuk memilih membangun kawasan perumahan di daerah pinggiran karena harga tanahnya yang masih rendah (Winarso & Firman, 2002). Tidak adanya kontrol terhadap pembangunan menyebabkan masifnya alih fungsi lahan pertanian di daerah pinggiran untuk disulap oleh pengembang menjadi kawasan perumahan. Menjamurnya permukiman di daerah pinggiran akan berdampak pada peningkatan jumlah pelaju yang harus bolak-balik ke pusat kota sehingga menimbulkan kemacetan (Firman, 2002).


Untuk kasus di Yogyakarta, urban sprawl muncul ketika pembangunan ruas jalan baru mempermudah akses. Adanya kemudahan akses jalan menjadi faktor utama dari banyaknya alih fungsi lahan pertanian di daerah pinggiran menjadi lahan perkotaan seperti pertokoan, perumahan dan pusat perbelanjaan (Giyarsih, 2010). Daerah Yogyakarta-Solo yang mempunyai akses jalan utama mengalami intensitas transformasi lebih besar daripada daerah pedesaan yang jauh dari jalan utama dan area pertumbuhan. Contohnya adalah daerah Maguwoharjo yang mulai berubah setelah terdapat jalan provinsi atau ring road tahun 1982-1983 (Giyarsih, 2010).

Urban sprawl yang terjadi di Yogyakarta antara tahun 2002 dan 2013 menyebabkan alih fungsi lahan di daerah pinggiran yang begitu masif (Divigalpitiya & Handayani, 2015). Daerah pinggiran kota dianggap sebagai tempat yang cocok untuk tempat tinggal. Penelitian yang dilakukan oleh Jauhari dan Ritohardoyo (2013) menunjukkan pembangunan yang pesat dengan munculnya 68 kompleks perumahan di Kecamatan Mlati pada tahun 2004 -2011. Pembangunan itu terpusat di dua desa yaitu Desa Sinduadi (18,39 Ha/tahun) dan Desa Sumberadi (5,52 Ha/tahun). Dari penjelasan di atas, maka kurang tepat rasanya jika penulis tetap memasukkan Sleman sebagai contoh wilayah yang mengalami kesenjangan dengan kota Yogyakarta.


Berikutnya, penulis mengeluarkan pernyataan bahwa “biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk melakukan komuter juga terlalu besar dan bahkan jauh lebih kecil dari pada harus menyewa kost”. Menurut hemat saya, di sini penulis hanya berfokus pada kegiatan komuter saja dan tidak menjelaskan tentang ragam moda transportasi yang biasa digunakan oleh para komuter. Penulis seharusnya juga menaruh perhatian pada moda transportasi lain seperti bus antar kota atau kereta Prambanan Ekspress (PRAMEKS). Nantinya,jumlah penumpang dari kedua moda transportasi tersebut dapat kita komparasi dengan jumlah para komuter yang menggunakan kendaraan pribadi untuk melaju. Dari data perbandingan tersebut, kita dapat melihat masalah lain dari adanya ketimpangan wilayah, yakni kemacetan. Penulis bahkan melupakan data paling mendasar, yakni jarak antara Yogyakarta dengan Klaten.


Pada bahasan selanjutnya, penulis menyebutkan bahwa tindakan komuter akibat mobilitas antar kota akan memberikan dampak terhadap kota tujuan dan kota asal, khususnya dalam hal pembangunan kota yang semakin lama semakin timpang. Dalam mengemukakan argumennya ini, penulis tidak mencantumkan informasi yang dapat menjadi data pendukung. Seharusnya penulis menggunakan data tingkat pendidikan dari tenaga kerja yang ada di Klaten. Menurut data profil ketenagakerjaan yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Klaten (2017) disebutkan bahwa jumlah angkatan kerja di Klaten berada pada angka 613.345 orang. Jika dilihat menurut tingkat pendidikannya, maka akan didapatkan komposisi sebagai berikut: 19,28 persen angkatan kerja menamatkan SLTA kejuruan, sebanyak 18,63 persen tamat SD dan sebanyak 17,91 persen tamat SLTA umum, sebanyak 15,90 persen SLTP, 15,05 persen tidak atau belum pernah  sekolah dan tidak tamat SD, sisanya sebanyak 13,23 persen menamatkan diploma atau sarjana.


Penulis memang sudah menampilkan jumlah lapangan kerja di Klaten yang lebih sedikit daripada Yogyakarta. Untuk perbandingannya, pada bidang industri Yogyakarta pada tahun 2016 terdapat 35.000 lapangan kerja,[10]zo sedangkan Klaten hanya terdapat sekitar 4.609 lapangan kerja. Namun, data tersebut menjadi mentah karena penulis tidak dapat mencari korelasinya dengan fenomena komuter. Selain itu, penulis dalam penjabarannya juga seolah menegasikan peran pemerintah daerah Klaten. Penulis seharusnya dapat menampilkan kondisi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah terkait pembangunan di Klaten. Dari data tersebut, pembaca akan dapat memahami konteks ketimpangan yang penulis maksud.


Daya tarik kota Yogyakarta , atau lebih tepat jika kita tambahkan sebagian dari wilayah kabupaten sleman dan bantul, yang membuat masyarakat dari wilayah di sekitar rela bolak-balik setiap hari untuk bekerja atau sekolah mengingatkan saya pada kondisi di Jakarta. Para komuter yang tiap hari melaju ke Jakarta berasal dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Para pekerja ini adalah kelas menengah yang tidak mampu membeli hunian di dalam kota, sehingga memilih untuk tinggal di wilayah pinggiran Jakarta. Setiap harinya, mereka menggunakan moda transportasi umum atau pun kendaraan pribadi. Wilayah Jakarta dan sekitarnya beruntung karena sudah memiliki sistem transportasi yang sudah terintegrasi, mulai dari angkutan kota (angkot), transjakarta hingga kereta rel listrik commuter line. Namun, kondisi tersebut tidak menjadikan Jakarta sebagai kota yang terbebas dari bebas macet. Alih-alih, kepadatan tidak hanya berlangsung di jalanan, namun juga di dalam halte maupun stasiun.


Kemajuan Pembangunan dan Koordinasi Antar Daerah

Ada satu bagian pembahasan dari penulis yang cukup saya soroti, yakni ketika penulis mengemukakan bahwa:


“Di sana masih minim dengan gedung-gedung bertingkat, mungkin bangunan tertinggi tidak lebih dari 4 lantai. Bahkan pusat perbelanjaan pun hanya terdapat satu bangunan di samping Masjid Raya Klaten dan Alun-alun Klaten. Di beberapa desa di kabupaten Klaten masih banyak orang yang bergantung pada sektor pertanian (Okysari & Muta’ali, 2015). Jarang terjadi kemacetan karena mungkin belum padat penduduk.”


Saya mengkritisi bagaimana penulis menarasikan seolah masih banyaknya area persawahan menunjukkan bahwa suatu daerah belum maju atau mengalami modernitas. Pola pikir ini jelas sangat berorientasi profit dan menegasikan pentingnya area persawahan sebagai lumbung ketahanan pangan. Apakah semua wilayah yang maju dan modern harus dipahami sebagai wilayah yang dipenuhi oleh gedung tinggi dengan kerapatan bangunan yang padat? Apakah suatu daerah yang mengandalkan pada sektor agraris dapat selalu kita definisikan sebagai daerah yang tertinggal? Hal ini jelas sangat keliru.


Ada baiknya penulis melengkapi pembahasan tersebut dengan data persentase penggunaan ruang yang ada di Klaten untuk menunjukkan data perbandingan lahan pertanian dan nonpertanian. Itu pun sebaiknya tidak dijadikan sebagai dasar argumen untuk mengatakan jika Klaten merupakan wilayah yang masih kurang pembangunannya. Di sini lah menurut saya perspektif antropologi diperlukan. Kita tidak hanya menempatkan kondisi atau kenampakan suatu wilayah saat melakukan pengkajian, melainkan juga harus memasukkan unsur manusia dan pola sosialnya. Kemudian penulis lagi-lagi melupakan hal yang sangat mendasar dalam usahanya menuliskan etnografi, yaitu dengan melupakan pencantuman jumlah penduduk. Hal itu kita perlukan untuk melihat konteks demografi suatu wilayah yang hendak digambarkan.

Seperti yang sudah saya singgung pada pembahasan sebelumnya, ada baiknya jika penulis melakukan komparasi kondisi perkembangan wilayah di Klaten dengan wilayah lain yang termasuk dalam eks-Karesidenan Surakarta. Wilayah tersebut di antaranya adalah: Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Febrianto (2016) menyebutkan bahwa faktor sejarah, kesamaan budaya serta kedekatan lokasi menyebabkan terbentuknya wilayah aglomerasi Subosukawonosraten.


Untuk mengatasi permasalahan ekonomi pada Indonesia, wilayah Subosukawonosraten lebih dulu mencegahnya salah satunya dengan otonomi daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah Subosukawonosraten. Pada tanggal 30 Oktober 2001 kerjasama antar daerah Subosukawonosraten telah ditandatangani bersama dengan terbentuknya Forum Pengembangan Ekonomi Wilayah (FPEW), forum ini menciptakan suatu pembentukan kluster usaha mikro terwujudnya pengembangan produk unggulan daerah berbasis One Village One Product (OVOP) dan Klaster dalam kerangka manajemen rantai pasokan secara optimal dan berkelanjutan agar terjadi peningkatan daya saing, kemandirian ekonomi daerah, dan perwujudan kesejahteraan masyarakat (Febrianto, 2016).


Namun, tingkat pembangunan antar wilayah dalam aglomerasi tersebut tentu tidak lah sama. Masalah kesenjangan pemerintah pada strata sosial (social stratification-government inequality/SSGI) yang dikemukakan oleh Hill (1974 dalam Sadewo dan Syabri, 2018). Institusi yang terfragmentasi dipandang justru mendorong terciptanya kesenjangan pendapatan antar wilayah dalam kawasan metropolitan melalui ketidaksesuaian antara sumber daya dan kebutuhan yang berlangsung secara sistematis. Permasalahan berikutnya dimunculkan oleh kalangan regionalisme baru yang berpendapat bahwa pemerintah lokal yang terfragmentasi memiliki posisi yang kurang baik dalam mengatasi masalah perumahan, lingkungan, dan transportasi yang berkaitan dengan urban sprawl (Rusk, 1995 dalam Sadewo dan Syabri, 2018).

Menurut Sellers dan Hoffmann-Martinot (2008 dalam Sadewo dan Syabri, 2018), beberapa permasalahan tersebut terjadi karena: 


1. Ketidakhadiran panduan dan kontrol teritorial sebaran perkotaan dapat dibatasi hanya melalui tindakan kerjasama antara wilayah perkotaaan yang terdampak; 


2. Kurangnya konsultasi struktural untuk memecahkan permasalahan bersama ketika struktur ekonomi dalam wilayah metropolitan saling terhubung, maka suatu keputusan yang diambil oleh tata kelola yang terfragmentasi akan mempengaruhi daerah sekitarnya. Untuk itu, tata kelola metropolitan tidak hanya melalui tindakan kolektif secara horizontal namun juga memerlukan hubungan secara vertikal.


Kesimpulan

Dari tanggapan yang sudah saya berikan atas tulisan dari penulis pertama, kita dapat melihat bahwa ketimpangan menghadirkan beragam hal. Mulai dari urban sprawl, fenomena pelaju hingga kemacetan. Hal tersebut jelas dapat membantah logika dari penulis pertama yang justru mengatakan bahwa komuter adalah penyebab dari ketimpangan. Karena sejatinya, para komuter ini ada karena adanya ketimpangan yang terjadi antara dua wilayah, yang menyebabkan mereka rela bolak-balik puluhan kilometer untuk mencari nafkah atau ilmu.

Mungkin saja, argumen penulis terkait hal tersebut dapat dibenarkan jika kita hanya melihat pada fakta bahwa banyaknya tenaga kerja potensial di Klaten yang bekerja di kota Yogyakarta dan sekitarnya sehingga mengurangi ketersediaan tenaga kerja di sana. Namun, seperti yang penulis sebutkan sendiri pada bagian Etnografi Wilayah Pinggiran, jumlah lapangan kerja yang tersedia di Klaten sangat timpang jumlahnya dengan yang tersedia di Yogyakarta. Hal itu membantah sendiri hipotesis dari penulis pertama. Jadi, apakah ketimpangan terjadi karena banyaknya orang yang melaju? Atau ketimpangan tersebut lah yang membuat banyak orang melaju? Substansi tersebut gagal dijelaskan oleh penulis pertama yang justru membahas secara acak bagaimana kaitan antara ketimpangan di Klaten dengan fenomena komuter.



 

Tanggapan 2 Esai Utama

Oleh: Tigar Brilyan Sugijarta (17/414979/SA/19029)


Keunggulan dan Kelemahan Esai Utama

Pada esai utama yang dituliskan oleh Adam mengenai komuter, menurut saya sudah dituliskan dengan baik dan cukup runtut dijelaskan olehnya. Mulai dari pengertian komuter yang menurutnya adalah kegiatan mobilitas pulang-pergi yang dilakukan secara harian atau mingguan oleh seseorang untuk melakukan aktivitas di luar kota atau daerah yang jauh. Tentulah penjelasan pada bagian abstarak tersebut sudah cukup memberikan gambaran tentang apakah komuter itu, dan kegiatan apa yang dilakukan oleh pelaku komuter. Selain itu Adam juga memberikan pemaparan tentang kota yang dianggap dapat menjadi sebuah tujuan pelaku komuter untuk melakukan kegiatan seperti bekerja dengan memunculkan kota-kota besar yang dianggap senter sebagai pelaku komuter untuk melakukan mobilitas seseorang. Pemaparan tersebut dibarengi dengan penjelasan fasilitas publik yang diberikan oleh kota besar di mana terdapat kesenjangan antara kota besar dan daerah asal (daerah pinggiran kota) pelaku komuter yang menganggap jika pemerintah tidak melakukan pemerataan pembangunan untuk menampung tenaga kerja yang berasal dari daerah masing-masing. Hasilnya banyak orang yang ingin merasakan dan ingin memiliki kesempatan untuk hidup yang lebih baik dan sejahtera dengan melakukan kegiatan komuter.


Pada esainya kali ini, Adam mencoba memunculkan gambaran perilaku komuter yang dilakukan di Kota Klaten ke Yogyakarta yang merupakan kota besar dan dikelilingi oleh beberapa kabupaten yang ada. Kota diwujudkan dengan sebuah pembangunan yang merata pada setiap sektornya seperti lapangan pekerjaan, infrastruktur, pembangunan kota dan lain sebagainya. Akibatnya para masyarakat yang hidup dan tinggal disekitar Kota Yogyakarta atau bisa dikatakan daerah pinggiran yang tentunya belum memiliki pembanguanan yang merata serta terjadinya kesenjangan antara kota besar dan daerah pinggiran, memicu fenomena komuter muncul. Seperti yang sudah dibahas oleh Adam, komuter menjadi salah satu perilaku yang pasti dilakukan oleh masyarakat yang tidak tinggal di kota besar yang ingin merasakan perubahan pada diri mereka. Seperti yang telah ditulisakan oleh adam dengan memberi contoh bagaimana warga Klaten yang melakukan komuter ke Yogyakarta sebagai upaya untuk bertahan hidup. Menurutnya ada beberapa contoh yang menurut saya sangat realistis dengan keadaan yang ada, seperti jumlah lapangan pekerjaan yang lebih sedikit di Klaten daripada Yogyakarta, minimnya perguruan tinggi di Klaten, dan minimnya pusat perbelanjaan yang mengakibatkan banyak pedaganag yang rela melakukan kegiatan komuter agar dapat memenuhi kebutuhan dagangnya. Sangat menarik contoh yang diberikan oleh teman kami Adam.


Namun dari pembahasan yang telah dituliskan pada esai tersebut, penulis esai hanya melihat bagaimana pengertian dan contoh, sekaligus penjabarannya terhadap perilaku komuter. Ia juga hanya melihat perspektif dari para penulis lainnya yang menggunakan penelitian komuter. Padahal jika ia menulis dengan menambahkan pengertian dirinya sendiri, mungkin akan lebih menarik. Salah satu yang menurut saya sangat kurang dan tidak terlihat pembahasannya sama sekali pada esai tersebut adalah penggunaan infrastruktur yang tentunya telah diberikan oleh kota besar seperti moda trasportasi publik/antar kota. Esai utama tersebut sebenarnya sudah cukup bagus saat membahas tentang komuter dan contoh yang terjadi pada Klaten ke Jogja. Namun sebagai fasilitas yang pasti diberikan oleh kota besar dengan adanya moda transportasi publik, untuk menunjang jalannya para pekerja komuter yang memerlukan untuk sampai pada tempat mereka bekerja, menurut saya kurang dibahas dan disangkutkan pada esai utama tersebut. Peranan transportasi merupakan eleman yang sangat penting dalam menunjang aktivitas perubahan struktur kawasan metropolitan yang cenderung mengarah pada pembentukan struktur ruang dengan banyak pusat, terutama di sepanjang jalan penghubung pusat-pusat aktivitas dalam metropolitan dan lintas wilayah administratif (Winarso, 2006). Jika esai utama membahas tentang contoh perilaku komuter dan berbagai ketimpangan pembanguanan yang terjadi dan sebagainya, pada esai tanggapan dua kali ini akan lebih fokus membahas tentang moda transportasi yang sangat fital bagi para pelaku komuter yang tentunya memberi dampak terhadap para komuter. Karena dengan membahas moda transportasi, esai utama akan lebih menarik sehingga dengan adanya tambahan tentang moda transportasi kota, pemahaman pembaca akan lebih mengalir.


Moda Transportasi sebagai Penunjang Komuter

Pemilihan suatu moda merupakan salah satu tahapan yang dilakukan oleh pemodelan transportasi. Tidak terkecuali pada sebuah kota besar yang tentunya merupakan pusat dari penduduk yang selalu menggunakan berbagai sarana dan telah menjadi daya tarik bagi para penduduk kota yang tinggal disekitar kota besar tersebut. Dengan adanya sebuah moda transportasi yang dapat menghubungan antar kota lain disekitar kota besar, menjadikan banyak terjadinya interaksi yang ditimbulkan dengan adanya moda transportasi tersebut. Salah satu yang berdampak ialah para pekerja komuter yang tinggal pada daerah-daerah asalnya (bukan di kota besar) untuk melakukan laju atau pulang pergi setiap hari. Ansusanto & Pramarito (2010) mengatakan kota-kota besar di Indonesia mengalami pemekaran dikarenakan pertumbuhan yang sangat pesat. Akibat pertumbuhan tersebut maka lokasi tempat tinggal akan keluar dari wilayah pusat kota mengarah ke pinggir atau bahkan di luar pusat kota. Kondisi ini akan menimbulkan transportasi harian menuju tempat kerja di pusat kota pada pagi hari dan kembali ke rumah masing-masing pada sore hari. Perjalanan ulang-alik ini terjadi setiap hari, menggunakan bermacam alat transportasi. Dari sisi penyedia layanan angkutan umum, terdapat angkutan bis maupun kereta apu jarak pendek untuk melayani kebutuhan transportasi bagi para pekerja komuter ini.


Namun permasalahan dalam penggunaan alat transportasi yang berada di kota besar, tentunya membuat para komuter ini menuntut beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk menggunakan moda transportasi tersebut. Menurut Setyodhono (2017) permasalahan transportasi, selain disebababkan oleh keadaan sarana dan prasarana transportasi, juga dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku pengguna transportasi dalam memilih moda transportasi yang kurang tepat sehingga memperparah kemacetan. Jadi perlunya mode transportasi yang cepat, nyaman, praktis dan aman adalah pertimbangan yang dapat menunjang sebagain besar pekerja komuter di kota-kota besar. Karena jika para komuter tersebut menggunakan kendaraan pribadi dalam melakukan laju untuk menuju ke kota besar, maka akan menimbulkan permasalahan lain yaitu adanya kemacetan yang tinggi. Adanya kemcetan yang tinggi tersebut tentunya penambahan biaya yang dikeluarkan oleh para komuter lebih tinggi sehingga dapat berdampak pada turunnya produktifitas pekerja yang secara tidak langsung akan berakibat menurunnya kualitas. Selain itu, menurut Siti Aminah (2007), setidaknya ada tiga indikator buruk untuk melihat pelayanan transportasi publik, yaitu tingkat pelayanan rendah, tingkat aksesibilitas rendah, dan biaya yang tinggi.


Hal tersebut diperjelas oleh Brotodewo (2010), tuntutan terhadap mobilitas yang tinggi pada kawasan metropolitan tersebut, tidak diimbangi dengan pelayanan sistem transportasi yang baik dengan konsep transportasi berkelanjutan sehingga menyebabkan transportasi pada kawasan metropolitan tersebut menimbulkan eksternalitas negatif seperti tidak efisien, tidak merata dan tidak ramah lingkungan. Gustina (2015) juga mengatakan seiring dengan tingginya pergerakan tersebut, dibutuhkan sarana dan prasarana penunjang kelancaran mobilitas, salah satunya adalah dengan pengadaan alternatif moda transportasi selain kendaraan pribadi, yaitu dengan angkutan umum, baik angkutan umum masal dan angkutan umum pribadi terutama bagi penduduk yang beraktifitas di pusat kota dan memiliki tempat tinggal di pinggir kota.


Menurut Tamin (1997), sebagai suatu sistem jaringan, transportasi mempunyai dua peran utama, yaitu: (1) Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembanguanan di perkotaan, (2) Sebagai prasarana bagi pergerakan manusia di daerah perkotaan. Untuk peran yang kedua memang telah menjadi hal yang sangat pokok dan menjadi bagian yang tidak terlepaskan oleh para pelaku komuter. Dengan adanya fasilitas yang dibangun dan diberikan oleh pemerintah pada kota-kota besar, tidak menutup kemungkinan banyak masyarakat yang berasal dari daerah-daerah terpinggirkan semakin banyak yang ingin datang untuk merasakannya. Karena dari adanya pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan/atau barang membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi tersebut dapat bergerak (Wibawa, 1996). Selain itu para pekerja komuter tentunya mengharapkan adanya transportasi jarak pendek yang dapat digunakan untuk berangkat bekerja dalam sehari-hari mereka pada pagi hari untuk menuju tempat bekerja di kota besar/pusat kota, dan sore hari sebagai alat transportasi untuk kembali ke rumah/daerah mereka masing-masing. Aminah (2007), pergeseran pola perilaku masyarakat dengan adanya angkutan massal, berupa bus way, kereta api misalnya dapat dimaknai sebagai suatu perubahan yang cukup berarti dalam pemilihan moda transportasi oleh masyarakat. Bagi pengguna jasa transportasi dengan adanya angkutan massal berarti ada perubahan itu menyangkut pola mobilitas penduduk, pola perilaku bertransportasi.


Beberapa moda transportasi yang dapat digunakan dengan selang waktu berangkat dan pulang para pekerja komuter antara lain seperti kereta api dan bus. Kita ketahui bahwa kereta api sejak dulu sudah menjadi moda transportasi yang digunakan orang untuk berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya. Salah satu kereta api yang dari dulu sampai sekarang masih eksis dan digunakan para komuter yaitu kereta api prambanan ekspres atau biasa disebut Prameks. Sebenarnya kereta api Prameks ini beroperasi hanya untuk rute-rute jarak dekat seperti Jogja-Solo. Hal tersebut dijadikan sebagai salah satu moda transportasi yang ekonomis dan praktis. Para komuter pun tidak dapat terlepas dari moda transportasi yang ekonomis dan praktis tersebut. Menurut Ansusanto dan Pramarito (2010), terdapat enam bagian komunitas penumpang kereta api Prameks. Pertama, adalah pelanggan harian atau pelaju yang berprofesi sebagai dosen, dokter, pegawai pemerintah, atau pegawai swasta. Kedua, adalah pedagang. Keempat, adalah penumpang yang betul-betul baru, mereka mengisi liburan bersama keluarga sekaligus ingin menikmati perjalanan dengan kereta api Prameks. Kelima, adalah turis mancanegara yang sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju ke Solo atau sebaliknya. Keenam, adalah rombongan wisata dadakan anak-anak TK dengan tujuan Yogyakarta atau Solo, rombongan wisata siswa pelajar dari luar kota seperti Magelang dan Temanggung.


Terlihat jelas bagaimana moda transportasi kereta api digunakan oleh beberapa orang pelaju yang tentunya dapat mempermudah mereka berpindah tempat untuk menunjang aktifitas/pekerjaan mereka setiap hari. Selain kereta api, tentunya dibanyak kota besar dengan mudah dapat ditemukan angkutan massa yaitu bus. Bus juga merupakan salah satu moda yang sering digunakan oleh banyak orang pelaju sebagai moda transportasi yang ekonomis dan praktis. Sama seperti kereta api Prameks, rute bus antar kota dengan jarak dekat juga sering ditemui. Misalnya rute Jogja-Solo selain menggunakan kereta api, perjalanan Jogja-Solo juga dapat dilayani oleh angkutan lainnya seperti bus antar kota. Selain rute Jogja-Solo, rute yang lebih dekat lagi adalah Jogja-Klaten, di mana seperti yang diuraikan pada esai utama bahwa banyak pekerja, mahasisawa, pedagang yang bersal dari Klaten memilih untuk berkomuter ke kota-kota senter seperti Yogyakarta.


Kesimpulan

Saat ini telah banyak orang yang rela melakukan kegiatan apapun demi dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan mencari sesuatu yang mereka anggap itu baik dan berguna bagi mereka, tentunya dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Salah satu kegiatan tersebut adalah komuter. Komuter merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh banyak orang sebagai kebutuhan hidup mereka. Kota-kota besar di Indonesia telah mengubah pola perilaku masyarakat pinggiran atau masyarakat yang berasal dari daerah-daerah untuk dapat bekarja dan merasakan fasilitas yang diberikan oleh kota-kota besar tersebut. Meskipun banyak orang yang tinggal agak jauh dari kota asal mereka, banyak dari mereka yang rela untuk bekerja di pusat-pusat kota. Hal tersebut yang membuat semakin tinggi jumlah orang yang rela melakukan laju dalam bekerja. Dengan hal tersebut tentu dibutuhkan moda transportasi yang dapat menunjang para pekerja komuter tersebut untuk dapat melakukan akses perjalan dari desa ke kota/dari pinggiran kota kecil ke kota besar dengan mudah. Kegiatan yang dilakukan harian dengan bekerja di pusat kota pada pagi hari dan kembali ke daerah/rumah mereka pada sore hari, tentunya moda transportasi bagi para komuter sangatlah diperlukan dan dibutuhkan dengan kondisi yang layak. Setyodhono (2017), guna memberikan pelayanan yang optimal bagi pengguna khususnya pekerja komuter, perbaikan moda transportasi lebih diarahkan untuk menyelesaikan masalah kemacetan, kenyamanan dan kepraktisan bagi penggunanya. Dari semua yang sudah dijelaskan di atas, kesempatan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan tentunya tidak dapat dilakukan dengan cara berdiam diri di rumah. Contoh adanya fenomena komuter telah menjadi bagian dari kegiatan yang dapat mengubah hidup orang yang tinggal di daerah pinggiran kota-kota besar. Komuter menjadi salah satu perilaku yang pasti dilakukan oleh masyarakat yang tidak tinggal di kota besar yang ingin merasakan perubahan pada diri mereka.



 

Tulisan Replay atas Esai

Oleh: Anugerah Rinaldi (17/409938/SA/18705)


Pengantar

Pertama, terima kasih kepada dua penanggap yang telah mencurahkan saran, kritik, serta reviewnya mengenai tulisan yang berjudul “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota”. Berbagai pandangan, saran, dan kritik dari berbagai pihak atas suatu tulisan memang dibutuhkan demi untuk membuka ruang diskusi atas suatu topik tertentu. Tanggapan dari kedua penanggap menunjukkan bahwa telah terjadi ruang diskusi yang baik demi menghasilkan suatu tulisan yang komprehensif, akuntabel, serta kredibel. Melalui tulisan ini, saya mencoba untuk menjawab serta menjelaskan mengenai berbagai saran, kritik, dan review yang diberikan oleh dua penanggap di dalam tulisan esai “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota”.


Replay atas Penanggap Pertama (Rayhan)

Berbagai saran dan kritikan yang cukup pedas dari penanggap pertama menunjukkan bagaimana topik tulisan esai yang memang seolah “tidak kuat”. Dalam tulisannya, penanggap pertama mempersoalkan data di dalam tulisan esai yang seringkali tidak diambil secara menyeluruh, yang dalam hal ini berkaitan dengan angka dan statistik. Angka dan statistik yang dimaksud ialah seperti mengenai jumlah penduduk Klaten, data tingkat pendidikan dari tenaga kerja yang ada di Klaten, serta luas atau perbandingan lahan pertanian dan non-pertanian di Klaten. Kritikan dari penanggap pertama tersebut memang saya akui menjadikan esai “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” kurang dapat menjelaskan konteks permasalahan yang ingin saya tuliskan secara menyeluruh. Sejatinya angka dan data memang saya tampilkan di dalam tulisan esai ini untuk memberi pemahaman dan gambaran konteks yang lebih baik kepada para pembaca, sekaligus sebagai tampilan eksplisit untuk penguat tulisan.


Saya sependapat dengan penanggap pertama bahwasanya pembahasan mengenai topik ini harus menggunakan data kronologi pembangunan wilayah Klaten sebagai acuan sejarah pembangunan kota. Arsip mengenai berbagai kebijakan pemerintah Klaten juga sebaiknya dicantumkan sebagai referensi tambahan. Kajian mengenai kebijakan dapat menjadi acuan dalam gambaran arah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota sekaligus untuk memasukkan konteks yang lebih detail dalam tulisan esai tersebut. Namun demikian, hasil tulisan esai-deskriptif “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota”, selain berdasarkan pengalaman pribadi serta observasi rutin, argumen atau opini yang dituliskan di dalam tulisan esai ini sejatinya tetap saja mengacu kepada pembacaan data angka dan statistik yang akurat. Data angka dan statistik tersebut kemudian dinarasikan atau dituliskan di dalam tulisan esai-deskriptif ini.


Konsep “urban sprawl” dan aglomerasi yang digunakan oleh penanggap pertama untuk mengkritisi bagaimana saya membagi tingkat pembangunan wilayah Klaten dengan berbagai wilayah lain sebagai pembandingnya memang dapat dibenarkan. Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok, dan Gamping yang secara administratif berada di kabupaten Sleman dalam kenyataannya memang merupakan aglomerasi “urban sprawl” dari kota Yogyakarta. Namun demikian, pembenaran tersebut tak berlaku secara utuh. Saya melihat bahwa konsep ”urban sprawl” dan aglomerasi tersebut hanya berlaku pada wilayah kabupaten Sleman yang terletak pada perbatasan atau tidak jauh dari perbatasan kota Yogyakarta. Berbagai wilayah kecamatan yang disebutkan di atas oleh penanggap pertama tidak keseluruhannya menjadi pusat pendidikan, industri, dan perdagangan, karena luasnya berbagai wilayah kecamatan tersebut. Di dalam tulisan esai ini, wilayah yang tidak dekat dengan batas kota tersebutlah yang dimaksudkan memiliki “kesenjangan dalam bidang pembangunan”. Penanggap pertama menunjukkan bahwa wilayah pinggiran memang menjadi daerah “urban sprawl” melalui konsep dari (Winarso & Firman, 2002) dan (Divigalpitiya & Handayani, 2015), namun keliru dalam pembacaannya karena yang sejatinya dimaksudkan “pinggiran” dalam kedua konsep tersebut ialah pinggir batas kotamadya, bukan mencakup keseluruhan wilayah.


Tangkapan dari penanggap pertama yang mengira bahwa tulisan dalam esai “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” mendiskreditkan area persawahan sebagai tanda suatu daerah belum maju atau mengalami modernitas sejatinya sah-sah saja untuk muncul. Memang perlu diakui, pilihan diksi dan penulisan kalimat dalam esai tersebut seolah memang ambigu dan dapat menimbulkan multitafsir. Sebagai contohnya ialah seperti komentar dari penanggap pertama yang melihat bahwa tulisan esai ini hanya menggunakan perspektif yang bersifat fisik semata. Perlu diketahui bahwa tidak dapat dipungkiri wilayah Klaten memang belum memiliki banyak pusat pendidikan, hiburan, perbelanjaan, perkantoran, dan lain sebagainya seperti kota Yogyakarta. Berbagai pusat penunjang aspek kehidupan masyarakat tersebut sejatinya menunjukkan bagaimana pembangunan Klaten yang belum sebanding dengan kota Yogyakarta. Luasnya lahan pertanian di Klaten tersebut menampilkan bahwa Klaten memang bukan wilayah yang digunakan sebagai tempat industri dan perkantoran. Luasnya lahan pertanian tersebut menunjukkan bahwa orientasi masyarakat Klaten masih kepada sektor agraris, yang berbeda dengan masyarakat di kota Yogyakarta.


Komuter dapat dimaknai justru menjadi penyebab mengapa ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat muncul. Hal tersebut didasarkan pada orientasi masyarakat yang sudah “urban” namun tidak tersedianya sarana pendukung di wilayahnya. Hasilnya, kota yang sudah siap sedia menerima segala kebutuhan para komuter pun dapat menjalankan roda kepentingan ekonominya dengan baik. Kota tersebut kemudian semakin berkembang dan meluas secara ekonomi-sosial. Daerah asal para komuter pun tidak terlalu merasakan manfaat dari intensnya arus keluar-masuk warganya. Pusat kegiatan berkembang di kota yang sudah “maju” sebelumnya, dan para komuter memang menjalankan roda kehidupan ekonominya di sana.


Sejatinya, dalam esai-deskriptif “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota”, penulis mencoba untuk menjelaskan perspektif lain untuk melihat bagaimana ketimpangan atas suatu kota dengan wilayah lainnya dapat muncul. Melalui komuter, penulis menampilkan bahwa hal yang biasanya menjadi “akibat”, justru rupanya dapat menjadi “sebab” pula. Hubungan kausalitas tersebut pun memang mempengaruhi satu sama lainnya, dan tulisan esai ini mencoba untuk membalik pendapat atau perspektif umum yang ada pada masyarakat. Pada umumnya, komuter ialah akibat dari ketimpangan pembangunan (ekonomi) wilayah antara suatu daerah dengan daerah yang lainnya, di mana di dalam tulisan ini, penulis mencoba menjelaskan mengenai perspektif sebaliknya. Berbagai saran dan kritikan dari penanggap satu muncul karena ia menggunakan perspektif yang umum tersebut. Inilah hal mendasar yang menjadikan penanggap satu kurang dapat menangkap maksud dari penulis secara utuh. Namun demikian, segala komentar dari penanggap satu sejatinya sangat diapresiasi karena telah menyumbangkan gagasan serta ide demi memperkaya tulisan ini.


Replay atas Penanggap Kedua (Tigar)

Saran dan kritikan dari penanggap kedua memperlihatkan kelemahan lain dari esai yang berjudul “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” mengenai kedetailan tulisan. Utamanya, penanggap kedua mempermasalahkan mengapa dalam tulisan esai tersebut tidak mendeskripsikan mengenai aspek atau sektor transportasi secara utuh. Aspek atau sektor transportasi tersebut dinilai oleh penanggap kedua memberi sumbangsih atas adanya komuter masyarakat Klaten ke kota Yogyakarta. Tulisan dari penanggap pertama juga sedikit menyinggung bagaimana seharusnya transportasi massal seperti kereta Prambanan Express (Prameks) maupun bus penumpang antar kota dapat mempengaruhi laju para komuter dari Klaten menuju kota Yogyakarta.


Memang saran dan kritikan dari kedua penanggap mengenai aspek transportasi massal seharusnya diuraikan secara lebih lanjut di dalam esai “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota”. Saya menilai bahwa komuter terjadi pun karena maju dan berkembangnya sarana transportasi, entah itu pribadi ataupun umum, di Klaten serta kota Yogyakarta dan sekitarnya. Di dalam esai ini, penulis memang hanya menguraikan pengalaman yang pernah dilalui dan mencantumkan hasil observasi yang kurang dapat menyinggung moda transportasi umum seperti Prameks dan angkutan bus antar kota.


Penanggap kedua dengan baiknya menjelaskan mengenai transportasi publik di dalam tulisan tanggapannya atas esai penulis. Penanggap kedua dapat memaparkan dengan detail bagaimana konsep serta penjelasan atas transportasi publik di suatu kota. Namun demikian, tulisan dari penanggap kedua tersebut saya kira memang bukan menjadi fokus pembahasan di dalam esai ini. Dalam tulisan esai “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota”, terlihat bahwa pembahasan yang ingin disampaikan penulis lebih mengarah pada motivasi seseorang komuter dalam melakukan mobilitas dan sebab akibat yang terjadi dari tindakan tersebut. Transportasi publik hanya menjadi sarana mobilitas pendukung saja, maka dari itu hanya dibahas secara sepintas saja. Pembahasan mengenai transportasi publik sejatinya memang dapat dijadikan acuan dalam pola komuter yang dilakukan oleh masing-masing invidu, tetapi penulis juga memiliki pilihan untuk hanya membahas secara sambil lalu karena topik transportasi publik memang bukan fokus utama di dalam tulisan esai tersebut.


Aspek atau sektor transportasi publik memang tak banyak disinggung oleh penulis di dalam esai tersebut karena memang fokus dan topik tulisan bukan mengenai transportasi publik. Memang munculnya komuter salah satu penyebabnya ialah karena kemajuan dan perkembangan transportasi massal yang dapat mengangkut masyarakat dari suatu kota ke kota yang lain, tetapi hal tersebut hanya menjadi titik dasar mengapa fenomena komuter dapat terjadi. Saran dan kritikan dari penanggap kedua saya kira lebih tepat jika pembahahasan dalam esai yang berjudul “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” ini memang benar-benar memfokuskan dan menitikberatkan kepada aspek transportasi. Dalam esai ini, aspek transportasi hanya menjadi dasar semata, sehingga tidak disinggung terlalu dalam. Saya kira penanggap kedua salah untuk menangkap topik yang coba diuraikan oleh penulis. Namun tak dapat dipungkiri bahwa memang di dalam esai ini kekurangannya ialah tak menampilkan, menarasikan, atau mendeskripsikan mengenai transportasi publik, walaupun hanya secara “sambil lalu” saja.


Komentar dari penanggap kedua yang mengatakan bahwa penulis hanya melihat perspektif dari para penulis lainnya yang menggunakan penelitian komuter, saya kira tidaklah tepat. Di dalam esai ini, penulis justru berangkat dari pengalaman sehari-hari yang ia rasakan selama lebih dari tiga tahun saat menjadi komuter dari Klaten menuju kota Yogyakarta. Berbagai realitas yang ditemukan selama jangka waktu tersebut lah yang kemudian menjadikan argumen serta data pengalaman dari penulis di dalam esai ini kuat. Esai ini pun kemudian bersifat deskriptif, karena selain mengambil referensi dari para penulis lain mengenai “komuter”, penulis mendeskripsikan bagaimana realita komuter itu sendiri dari pengalamannya selama lebih dari tiga tahun. Di sini saya melihat bahwa hal yang menjadikan komentar dari penanggap kedua tersebut dapat muncul ialah karena tidak dicantumkan serta dijabarkannya metode penelitian yang digunakan dalam menyusun tulisan esai ini. Dalam bagian pendahuluan pun tak menyinggung bagaimana “pertemuan” antara penulis dengan topik mengenai komuter tersebut. Memang jika menjadi pembaca dengan tanpa dicantumkannya “cerita pengalaman” yang lebih deskriptif ataupun metode penelitian yang digunakan, tulisan di dalam esai “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” ini seolah hanya kabur dan mengawang saja. Namun demikian, pandangan yang menyebutkan bahwa tulisan esai-deskriptif ini hanya mencomot pendapat atau konsep dari para peneliti lain tentu saja salah, karena tulisan esai-deskriptif ini sendiri berawal dan bahkan memiliki fondasi dari pengalaman empiris penulis selama lebih dari tiga tahun.


Saya menyadari bahwa tanggapan dari kedua penanggap sebelumnya adalah hasil dari tulisan esai Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” yang kurang dapat fokus untuk menjelaskan suatu masalah. Menurut saya, pembahasan di esai tersebut terlalu luas dan tidak mengambil titik fokus kepada salah satu masalah kesenjangan. Barangkali penulis dapat membahas mengenai kesenjangan pendidikan, ekonomi, sosial, teknologi dan sebagainya. Dengan ditetapkannya salah satu fokus masalah kesenjangan paling tidak dalam pengambilan data juga dapat dipertajam sehingga tidak bersifat spekulatif seperti yang dirasakan oleh penanggap pertama. Sebagai contoh, saat penulis membahas mengenai hubungan komuter dengan kesenjangan eknomi, maka penulis dapat menambahkan data mengenai pendapatan tenaga kerja, tingkat konsumsi masyarakat, dan gaya hidup.


Mungkin apa yang diinginkan penulis saat menulis esai-deskriptif “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” memang lebih mengarah pada kesenjangan pembangunan infrastruktur. Jika benar demikian, seharusnya penulis menggunakan data mengenai sejarah berdirinya kota dan kebijakan masing-masing yang diterapkan untuk masing-masing kota. Terlebih saya pernah mendengar bahwa yang mengatur kebijakan zona[11] bukan dari pemerintah daerah, tapi datang dari rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Pemberian aspek kesajarahan dan kedaerahan dapat menjadi pengantar tulisan atau pemberi konteks yang baik agar tulisan esai-deskriptif tersebut dapat dipahami oleh para pembaca secara utuh. Bisa jadi atas pemberian dua aspek tersebut, hasil data yang mengatakan Klaten mengalami pembangunan yang relatif lebih lambat lebih dapat diterima, dipahami, dan tidak dianggap spekulatif oleh para pembaca karena pemerintah provinsi atau pusat menetapkan klaten bukan menjadi kota industri namun lebih kepada penghasil pangan melalui daerah persawahannya, seperti yang dikatakan oleh penanggap pertama. Jika benar demikian, penulis pun dapat memasukkan fungsi ilmu antropologi sebagai pemberi saran dan masukan kepada para pembuat kebijakan.


Penutup

Berbagai saran, kritik, dan review dari dua penangap mengenai esai-deskriptif yang berjudul “Komuter: Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Kota” telah membuka ruang diskusi yang sangat baik demi menunjang aspek komprehensif, akuntabel, serta kredibel dalam tulisan esai-deskriptif tersebut. Tulisan di dalam bagian replay ini sejatinya ialah untuk mengakui beberapa kekurangan yang memang ditemukan dalam tulisan esai-deskriptif tersebut, namun juga untuk menjawab berbagai kritikan yang kurang tepat untuk disematkan dalam tulisan ini. Tulisan replay ini diharapkan juga menjelaskan beberapa poin atau pokok yang miss-interpretasi dari kedua penanggap. Akhir kata, terima kasih kepada penulis serta dua penanggap yang telah mencurahkan tenaga serta pemikirannya demi mewujudkan suatu diskusi yang bermanfaat mengenai topik komuter ini.


Daftar Pustaka


Esai Utama

Ariyanto (2017). Determinan Pembangunan Kawasan Kota Baru Moncongloe-Pattallassang Metropolitan Mamminasata. Jurnal Plano Madani 6(1), 73-84.


Lutfi. (2007). Pengembangan Wilayah Sebagai Konsep Kota Baru. Jurnal SMARTek 5(1), 30-39.

Moore, J. D. (2012). Vision of Culture. New York: Altamira Press.


Okysari, H., & Muta’ali, L. (2015). Pengembangan Wilayah Tertinggal di Kabupaten Klaten. Jurnal Bumi Indonesia 4(3), 1-9.


Riyadi, D. M. M. (2000). Pembangunan Daerah Melalui Pembangunan Wilayah. Disampaikan pada Acara Diseminasi dan Diskusi Program-Program Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah, Hotel Novotel, Bogor, 15-16 Mei 2000.


Siahaan, G. I. P. (2012). Analisis Pengaruh Fenomena Suburbanisasi Terhadap Pdrb Bekasi. Thesis. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Program Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia.


Surya, A. (2006). Arus Penglaju dan Moda Angkutan Darat Di Kota Metropolitan Indonesia. WAHANA HIJAU: Jurnal Perencanaan & Pembangunan Wilayah 1(3), 1-5.


Yuliarti, R. (2008). Karakteristik Penglaju PNS Pemerintahan Kota Bekasi. Skripsi. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Geografi, Universitas Indonesia.


Tanggapan Pertama

Aminah, S. (2007). Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan. Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. 20(1): 35-52.


BPS Kabupaten Klaten. (2018). Profil Ketenagakerjaan Kabupaten Klaten 2017. Klaten: BPS Kabupaten Klaten.


Divigalpitiya, P. & Handayani, K. N. (2015). Measuring the Urban Expansion Process of Yogyakarta City in Indonesia.International Review for Spatial Planning and Sustainable Development. 3(4): 18-32.


Febrianto, R. (2016) Subosukawonosraten Eco-Warehouse. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.


Firman, T. (2002). Urban development in Indonesia, 1990–2001: from the boom to the early reform era through the crisis. Habitat International. 26(2): 229-249.


Giyarsih, S. R. (2010). Urban Sprawl of the City of Yogyakarta, Special Reference to the Stage of Spatial Transformation.Indonesian Journal of Geography. 42(1): 49-60.


Sadewo, E., Syabri, I. (2018). PERBANDINGAN PENDEKATAN REFORMASI METROPOLITAN DALAM MENYELESAIKAN ISU KOMUTER DI JAKARTA METROPOLITAN AREA. PLANO MADANI Vol 7 (1), Hal. 89-105.


Winarso, H., & Firman, T. (2002). Residential land development in Jabotabek, Indonesia: triggering economic crisis? Habitat International 26, 487-506.


Tanggapan Kedua

Aminah, S. (2007). Transportasi Publik dan Aksesbilitas Masyarakat Perkotaan. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 20(1): 35-52.


Ansusanto, J. D. & Pramarito, A. A. (2010). Persaingan Moda Transportasi Darat Jarak Pendek (Kereta Api Komuter dengan Bus Ekonomi), Konferensi Nasional Teknik Sipil 4, Bali.


Brotodewo, Nicolas (2010). Penilaian Indikator Transportasi Berkelanjutan Pada Kawasan Metropolitan di Indonesia, Perencanaan Wilayah dan Kota, 21(3): 165-182.


Gustina, S. B. (2015). Kajian Angkutan Umum yang Baik terkait Korespondensi Lokasi Tempat Tinggal dan Profesi Komuter, Prosiding Temu Ilmiah IPLBI, 7-12.


Setyodhono, Sapto (2017). Faktor yang mempengaruhi Pekerja Komuter di Jabodetabek Menggunakan Moda Transportasi Utama, Warta Penelitian Perhubungan, 29(1): 21-32.


Tamin, O. Z. (1997). Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit: ITB, Bandung.

Wibawa, B. A. (1996). Tata Guna Lahan dan Transportasi dalam Pembangunan Berkelanjutan, Sumber, 7(1).


Winasro, Haryo, et al (2006). Metropolitan Di Indonesia: Kenyataan Dan Tantangan Dalam Penataan Ruang, Jakarta: Dikrektorat Jendral Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.



Catatan Kaki

[1] Biasanya definisi ini diberikan untuk pekerja yang melakukan mobilitas jauh secara rutin setiap hari atau minggu. Namun dalam tulisan ini, komuter saya definisikan untuk menyebut semua orang yang pergi dari satu kota ke kota lainnya untuk melakukan suatu aktivitas dan kembali lagi setelah aktivitas itu selesai.


[2] Kota Satelit adalah kota besar yang menyangga kota-kota kecil disekitarnya.


[3] Daerah kumuh yang dihuni oleh golongan kelas bawah yang memiliki struktur pemukiman yang tidak beraturan di suatu kota besar.


[4] Anon, “Lapangan Kerja di Jogja Capai 35.000 Orang”, http://www.jogja.co/lapangan-kerja-di-jogja-capai-35-000-orang/ (diakses 20 Juni 2019, 17.10)


[5] Rini Yustiningsih, “Lapangan Kerja Klaten : 9 Perusahaan Butuh 4.609 Tenaga Kerja”, http://soloraya.solopos.com/read/20160325/493/704345/lapangan-kerja-klaten-9-perusahaan-butuh-4-609-tenaga-kerja (diakses 20 Juni 2019, 17.16)


[6] Agus, “Daftar Gaji Umr Jogja Yogyakarta 2019, Daftar Lengkap Umk Kota Dan Kabupaten Di Jogja Tahun 2019 – 2016”, http://www.gajiumr.com/gaji-umr-jojga-yogyakarta/ (diakses 20 Juni 2019, 17.27)


[7] Suci Rahayu, “UMK 2019 Kabupaten Klaten, Perubahan Terbaru UMK Klaten”, http://jateng.tribunnews.com/2018/11/24/umk-2019-kabupaten-klaten-perubahan-terbaru-umk-klaten (diakses 20 Juni 2019, 17.31)


[8] Bernas.id, “Yogyakarta Disebut Kota Pelajar? Apa Alasannya?”, https://www.bernas.id/58911-yogyakarta-disebut-kota-pelajar-apa-alasannya-.html (diakses 20 Juni 2019, 17.53)


[9] Anon, “Daftar List Kampus yang Ada di Klaten”, http://akreditasi.net/category/jawa-tengah/klaten/ (diakses 20 Juni 2019, 18.26)


[10] Anon, “Lapangan Kerja di Jogja Capai 35.000 Orang”, http://www.jogja.co/lapangan-kerja-di-jogja-capai-35-000-orang/ (diakses 20 Juni 2019, 17.10)


[11] Peraturan yang membahas mengenai rancangan pembangunan berdasarkan jenis lahan menurut zonasi. Zona hijau untuk pertanian, zona kuning untuk pemukiman, zona merah untuk wilayah industri.

49 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page