Kotagede: Tradisi di Tengah Keramaian Kota
- Yolaninda Sehnur
- Apr 3, 2019
- 7 min read
Updated: Apr 10, 2019
Anggita Putri Sekarini,Bety Oktaviani, Veronica Phrita K.D.,Yola Ninda Dwi WDS

Kota Yogyakarta terkenal dengan kebudayaan tradisional Jawa yang masih terjaga hingga hari ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sudut yang ada di kota Yogyakarta. Mulai dari bangunan yang masih kental dengan arsitektur Jawa kuno, papan nama jalan yang ditulis dalam dua aksara yakni latin dan aksara Jawa, dan penggunaan nama jalan di beberapa kawasan tertentu yang banyak berasal dari bahasa Jawa.
Hal ini kemudian membuat Kota Yogyakarta menjadi perpaduan yang nampak indah antara modernisasi dengan kearifan lokal. Perpaduan yang serasi ini kemudian menjadikan Kota Yogyakarta menjadi kawasan pariwisata yang menarik banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Banyak ragam pariwisata yang ditawarkan oleh kota ini, terutama wisata kebudayaan Jawa yang memang masih terjaga dan menjadi ikon Kota Yogyakarta.
Salah satu kawasan wisata budaya Jawa di Kota Yogyakarta adalah daerah Kotagede. Dahulunya, Kotagede adalah pusat keprajan saat kerajaan Mataram Islam I dan II yang kemudian keprabonnya diusung Sultan Agung ke daerah Pleret (Hakim, 2018:11). Sehingga di daerah ini terdapat banyak sekali peninggalan-peninggalan dari sejarah kerajaan Mataram Islam yang kini menjadi obyek wisata sejarah kebudayaan Jawa. Salah satu obyek wisata terkenal adalah Makam Raja-raja Mataram.
Obyek wisata kompleks raja-raja Mataram terletak di desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Obyek wisata ini terdiri dari masjid Kotagede yang merupakan salah satu masjid tertua di Yogyakarta, makam (pesarean) Hastha Kitha Ageng, dan Sendang Seliran. Tempat ini tidak terlalu susah untuk dijangkau, hanya memerlukan waktu kurang lebih 45 menit dari Universitas Gadjah Mada menggunakan kendaraan pribadi. Setelah menyusuri jalan raya dan kemudian akan menuju ke pasar tradisional yang cukup ramai dengan penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari, kemudian berbelok sedikit masuk ke gang kecil dan sampailah di obyek wisata ini.
Berbanding 180 derajat dari hiruk pikuk kegiatan jual beli di pasar serta riuh kemacetan jalan raya, kompleks Makam Raja-raja Kotagede ini memiliki suasana sangat tenang dan sunyi yang membawa kedamaian di hati. Hal yang pertama dirasakan ketika menginjakkan kaki di komplek Makam Raja-raja Mataram adalah suasana Jogja beberapa puluh tahun yang lalu. Masuk ke tempat ini, kita harus memarkirkan kendaraan dan kemudian berjalan sedikit menuju gerbang utama, yakni sebuah gapura mungkin setinggi 2 meter, berwarna coklat-merah bata, dengan arsitektur khas Hindu. Setelah melewati gapura utama, di sebelah kanan terpampang denah obyek wisata ini dan di sebelah barat berdiri masjid nan kokoh, Masjid Agung Kotagede.

Masjid ini memiliki pelataran yang cukup luas, berlantai batu yang rata. Pada pelataran ini terdapat beberapa pohon besar yang rindang membuat suasan semakin sejuk. Struktur bangunan masjid merupakan akulturasi antara arsitektur Hindu dan Islam. Bentuk bangunannya juga tidak seperti masjid pada umumnya, namun lebih pada bentuk joglo dan berundak. Salah satu arsitektur Hindu yang terlihat dalam masjid ini adalah adanya parit yang mengelilingi masjid, juga gapura yang berada di sebelah Utara, Selatan, dan Timur. Pada pelataran masjid terdapat tugu jam yang mana masih digunakan. Konon, jam tersebut digunakan untuk pengingat bahwa waktu adalah uang. Panembahan Senopati sangat menghargai waktu, terutama waktu untuk belajar.
Dari arah pintu masuk kita menuju ke kiri dan akan disambut lagi oleh gapura kedua, yang memisahkan pelataran masjid dengan bagian dalam. Di bagian ini terdapat taman-taman kecil dan toko souvenir khas Yogyakarta yakni blangkon dan beberapa pernak-pernik seperti gelang, patung-patung kecil, dan hiasan dinding. Menghadap ke arah barat, kita akan disambut dengan gapura ketiga. Gapura ini memisahkan taman-taman kecil tadi dengan bangunan utama dari obyek wisata ini. Gapura ini memiliki struktur bangunan yang sama, namun bedanya gapura ini memiliki dua sisi pintu yang terbuat dari kayu dan diukir sedemikian detail. Ukirannya pun sangat khas dengan ukiran relief yang terdapat pada candi atau keraton Yogyakarta.
Desain ruangnya pun menurut kami sangat unik karena di balik gapura, pasti di dalamnya ada dinding yang terbuat dari batu bata berukuran kurang lebih dua meter sehingga ketika pengunjung memasuki gapura, pengunjung tidak dapat langsung melihat di dalamnya, dan perlu berjalan lagi sekitar dua atau tiga meter dari gapura agar dapat melihat isi di balik gapura tersebut. Sepemahaman kami, dinding tersebut sangat menggambarkan sifat dari orang Jawa yang mana mereka mempunyai tingkatan privasi dalam kehidupannya. Tidak sembarang orang dapat melihat apa yang ada di dalam diri mereka kecuali orang tersebut telah melewati lapisan-lapisan luarnya yang mana di sini digambarkan oleh banyaknya gapura dan bagian-bagian yang ada di dalamnya.
Setelah melewati gapura dan berjalan menuju balik dinding di depan gapura, ada dua rumah khas Jawa, yang berada di sebelah kiri dan kanan atau sebelah selatan dan utara dari halaman tersebut. Pelataran yang luas dengan tanah dan rerumputan membuat suasana sangat natural, persis seperti tempat tanpa sentuhan modernitas. Di sebelah barat dua rumah joglo, terdapat dua Bangsal Pengapit yang keduanya juga terpisah oleh pelataran. Keduanya juga berada di sisi sebelah selatan dan utara. Pelataran yang luas mempunyai arah lurus ke barat yang mana jalan tersebut menuju ke sebuah gapura lagi namun berpintu besar. Di balik gapura itulah terdapat makam Raja-raja Mataram. Kedua rumah joglo dan Bangsal Pengapit tersebut masing-masing mempunyai tulisan yang membuat kami tau apa maknanya.
Pada Bangsal Pengapit Ler di sebelah utara terdapat tulisan untuk Putri, sedangkan Bangsal Pengapit Kidul di sebelah selatan terdapat tulisan untuk Putra. Bangsal pengapit ini digunakan sebagai tempat menaurh barang-barang yang ditinggalkan saat akan masuk ke dalam makam. Sedangkan untuk rumah joglo digunakan untuk tempat berganti pakaian antara putri dan putra. Putri di sebelah utara dan putra di sebelah selatan. Konon katanya, orang-orang yang akan masuk ke dalam makam diharuskan dalam keadaan suci, suci hati; suci pikiran; dan tidak boleh berkata kotor.
Bagi mereka yang ingin masuk kedalam makam juga harus mengganti pakaian yang biasa dikenakan dengan pakaian adat Jawa, dimana perempuan harus memakai kemben dari jarik atau kain batik, sedangkan laki-lagi memakai surjan, dan atribut Jawa lainnya. Bagi perempuan yang berjilbab pun juga diwajibkan untuk melepas jilbabnya. Dalam ritual ziarahnya, tidak sembarang orang bisa masuk, tetapi harus didampingi oleh abdi dalem yang berjaga di sana.
Makam Kotagede adalah tempat dikebumikannya raja pertama Mataram Islam, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Raja kedua, yakni Raden Mas Jolang atau Panembahan Hanyakrawati. Di sini pula dikebumikan ayah Panembahan Senopati, yaitu Ki Ageng Pemanangan. Sementara itu Raja Pajang, Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, serta Sri Sultan Hamengku Buwono II. Hanya Sultan Hamengku Buwono yang dimakamkan di Kotagede ini.
Meskipun aturan Keraton Yogyakarta mengharuskan memakamkan raja-raja Keraton Yogyakarta di Imogiri, namun karena pada saat beliau meninggal yakni 3 Januari 1828 sedang berkecamuk Perang Jawa sehingga tidak memungkinkan untuk diadakan prosesi hingga Makam Raja-raja Imogiri.
Selain masjid dan makam, terdapat sebuah pemandian yang disebut dengan Sendang Seliran. Di dalam Sendang Seliran terdapat dua buah sendang, yaitu Sendang Seliran Kakung untuk tempat pemandian pria dan Sendang Seliran Putri untuk tempat pemandian wanita. Dalam bahasa Jawa, seliran berasal dari kata slira yang artinya “diri kita sendiri”, kemudian sendang ini disebut dengan Sendang Seliran karena dikerjakan sendiri oleh Panembahan Senopati.
Kita akan melewati anak tangga yang tidak terlalu banyak untuk mencapai di pemandian ini. Ketika melintasi anak tangga, bau bunga Kenanga semakin menyengat menambah kesan-kesan mistik di tempat ini. Pemandian ini tidak lagi benar-benar digunakan untuk “mandi”, melainkan hanya untuk cuci muka atau berwudhu bagi mereka yang hendak melakukan tirakat di Makam Raja-raja Mataram Kotagede. Menurut kepercayaan, apabila saat kita berada dalam sendang seliran dan melihat lele yang hanya terdiri dari kepala dan tulang, maka permohonan kita akan terwujud dan hidupnya akan dilimpahi keberuntungan.
Pada kunjungan kami yang kedua, suasana yang ada disana berbeda dengan kunjungan kami yang pertama. Dari parkiran, kami melihat ada beberapa mobil dari luar Yogyakarta. Mereka berdandan rapi, lengkap dengan sanggul dan pakaian khas Jawa. Mereka menuju ke dalam makam. Kami kemudian mengikutinya dari belakang. Usut punya usut, ternyata mereka adalah salah satu keluarga Kraton Solo yang ingin berziarah ke makam di Kotagede ini. Menurut salah satu abdi dalem, mereka berziarah ke makam karena saat ini sudah mendekai bulan Ruwah, yang mana bulan ini adalah bulan yang mendekati bulan Ramadhan.
Kami melihat bahwa dengan adanya kunjungan dari Kraton Solo tersebut, persiapan ritualnya sangat rapi dan sudah dipersiapkan secara matang. Abdi dalem berbusana adat Solo, penyalaan kemenyan atau dupa, hingga wangi-wangi khas kraton ada di sana. Tidak hanya itu, walaupun sedang diadakan ritual oleh keluarga Kraton Solo, komplek pemakaman tetap dibuka untuk umum. Alhasil, dua sisi yang berbeda tergambar di situasi tersebut.
Ada sekelompok orang yang datang dengan membawa kamera dan dua orang dari kelompok tersebut berbusana adat Yogyakarta. Ya, mereka melakukan sesi foto untuk kepentingan pre-wedding. Di sini, konsep modernis kota dan sakralnya ritual Jawa saling bersisihan. Hal ini menurut kami menjadi fenomena budaya di era seperti ini, dimana budaya tradisional dan modern ada dalam satu tempat yang sama, namun dengan sikap dan perilaku yang berbeda. Menurut kami ini unik. Apakah ini yang disebut budaya di tengah kota? Kami rasa seperti itu.
Tidak hanya itu, di tengah nuansa adat yang kental modernisasi sebagai salah satu yang identik dengan perkotaan merasuki ritual yang sakral. Setiap malam Jumat Pon yang berulang setiap 35 hari, akan diadakan tahlilan yang ditujukan untuk para Raja Mataram terdahulu. Pada ritual tersebut nampak makanan diatur sedemikian rupa di atas meja yang terletak di depan masyarakat yang berkumpul, bersama-sama menghaturkan doa pada mendiang Raja.
Makanan-makanan tersebut adalah hasil pemberian dari beberapa pihak. Menariknya, abdi dalem yang bertugas merapal doa turut memberikan harapan-harapan pada pemberi makanan demi kelancaran acara. Sang abdi dalem juga tanpa ragu mendoakan donator yang sedang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat agar terpilih menjadi pemimpin yang dipercaya masyarakat.
Tidak berhenti di sana, ketika salah seorang abdi dalem membakar sesajen, dan kami tanyakan maksud dan tujuannya, abdi dalem hanya menjawab sebagai syarat berjalannya ritual tetapi tidak menjelaskan makna sesungguhnya mengenai tindakan tersebut. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah ritual yang dilakukan benar-benar berdasarkan keinginan dan panggilan hati atau sekedar formalitas belaka?

Acara pembacaan doa-doa berlangsung relatif cepat, tidak sampai satu jam. Setelah pembacaan doa, beberapa abdi dalem yang diantaranya juga terdapat dua wanita masuk ke dalam pemakaman dengan membawa bunga berwarna merah muda dan putih. Setelahnya, para abdi dalem membagi-bagikan nasi kepada masyarakat. Di sini, hal menarik lainnya muncul. Ketika makanan dibagikan dan beberapa orang belum mendapatkan 'jatahnya', mereka tanpa sungkan meminta untuk diberi makanan tersebut.
Kami menduga meskipun tidak dapat menyimpulkan lebih jauh, apa yang memotivasi masyarakat sekitar untuk datang, apakah untuk makanan saja? Sehingga doa-doa yang mereka panjatkan mendapat 'balasan' berupa makanan? Atau ada hal lain yang membuat orang-orang tadi ingin mendapatkan makanan? Apakah berkah?

Dari pengamatan dan juga cerita dari abdi dalem dan ibu-ibu yang kami temui di sana, kami dapat menarik kesimpulan bahwa orang-orang yang datang ke makam tersebut membawa tujuan mereka masing-masing. Entah itu untuk meminta kelancaran dalam mencari rejeki, meminta agar kehidupannya lebih baik, mencari jodoh, maupun hanya sebatas nyekar, atau berziarah.
Dan, meskipun Makam Raja Mataram di Kotagede merupakan peninggalan bersejarah sebelum akhirnya menjadi sebuah wilayah perkotaan, nampaknya hal-hal yang menjadi ciri khas kota dapat masuk ke dalam kegiatan yang terbilang kuno. Seperti bergesernya makna ritual, serta longgarnya aturan yang sudah ada, jauh sebelum hiruk pikuk perkotaan lahir.
Referensi
Hakim, M. Faturrahman Nurul. 2018. Pelestarian Kotagede sebagai Pusat Pariwisata Heritage Kota Tua di Yogyakarta. Jurnal Khasanah Ilmu 9(1). Pp. 10-17.
Larasati, Theresiana Ani. Tanpa Tahun. Komplek Masjid dan Makam Kotagede Yogyakarta diakses melalui http://dpad.jogjaprov.go.id/article/library/download/komplek-masjid-dam-makam-kotagede-yogyakarta diakses pada 2 April 2019
http://jogja.tribunnews.com/2018/09/05/singgah-di-obyek-wisata-sejarah-makam-raja-raja-mataram-kuno-di-kotagede-yogyakarta diakses pada 2 April 2019
https://travel.kompas.com/read/2019/01/28/162000327/jelajah-makam-raja-di-kotagede-yogyakarta diakses pada 2 April 2019
https://www.kratonjogja.id/raja-raja/3/sri-sultan-hamengku-buwono-ii diakses pada 2 April 2019
https://www.dusunmerapi.com/artikel-detil-40-Kotagede,-Warisan-Sejarah-Kerajaan-mataram-Kuno.html diakses pada 2 April 2019
" ... bahwa orang-orang yang datang ke makam tersebut membawa tujuan mereka masing-masing." Good!!