top of page

Kreativitas dalam Bermusik: Perubahan Musik Tradisional ke Kontemporer

oleh: M. Ismail Hamsyah

Seni sangat melekat pada seluruh kehidupan manusia. Di manapun dan kapanpun kita berada, seni selalu melekat dalam keseharian kita, mulai dari pakaian yang kita kenakan, tempat tinggal yang kita tempati, makanan yang kita makan, dan masih banyak lagi. Seni tidak hanya berhubungan dengan rupa fisik, salah satunya adalah seni suara. Salah satu contoh seni suara adalah musik. Musik adalah salah satu cabang seni yang sangat diminati oleh semua orang. Mereka bisa mengekspresikan apa yang tidak bisa ia ucapkan lewat kata-kata melalui musik.


Hampir di semua kegiatan yang melibatkan komunal, sering kita jumpai musik selalu hadir dalam acara tersebut, baik acara yang berhubungan dengan ritual maupun acara santai. Dalam bermusik, para seniman selalu melakukan penggabungan maupun perubahan yang mengarah pada bentuk baru (berinovasi). Dalam semua cabang seni, memang kreativitas menjadi nomor 1 yang terus diasah untuk menciptakan hal-hal berbeda dari biasanya. Pada tulisan ini, saya ingin memaparkan beberapa pola kreativitas seniman dalam mengubah musik tradisional menjadi kontemporer.

Apa itu Musik

Musik adalah penghayatan isi hati manusia yang diungkapkan dalam bentuk bunyi yang teratur dengan melodi atau ritme serta mempunyai unsur atau keselarasan yang indah (Widhyatama, 2012:1). Istilah musik dikenal dari bahasa Yunanai yaitu Musike. Musike berasal dari perkataan muse-muse, yaitu sembilan dewa-dewa Yunani di bawah dewa Apollo yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan. Dalam metodologi Yunani Kuno mempunyai arti suatu keindahan yang terjadinya berasal dari kemurahan hati para dewa-dewa yang diwujudkan sebagai bakat (Widhyatama, 2012:1). Kemudian pengertian itu ditegaskan oleh Pythagoras, bahwa musik bukanlah sekedar hadiah (bakat) dari para dewa-dewi, tetapi musik terjadi karena akal budi manusia dalam membentuk teori-teori.


Kreatifitas dalam bermusik

Seperti yang kita ketahui bahwa musik adalah rangkaian nada dan suara yang dikeluarkan oleh instrumen-instrumen. Penyebutan istilah musik tidak hanya sampai di situ, ketika kita bertepuk tangan, memukul-mukulkan tongkat ke tiang listrik, ke meja, itu semua merupakan bentuk musik, asalkan semua itu menghasilkan suara yang terstruktur.

Musik di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan berjuta-juta keanekaragaman budaya yang menyita perhatian turis untuk mengkaji maupun sekedar mengapresiasi. Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia adalah musik tradisionalnya, musik asli yang dimiliki oleh berbagai daerah di Indonesia dan merupakan peninggalan dari nenek moyang masing-masing daerah. Dari Sabang sampai Merauke, kita bisa melihat berbagai macam bentuk variasi bermusik.

Musik menjadi salah satu komponen penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat adat. Musik merupakan salah satu komponen upacara adat di sejumlah daerah. Pada daerah-daerah tertentu, seni musik menjadi sakral, karena ada aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar (atau dalam Bahasa Jawa dinamakan pakem). Salah satu penanda bahwa musik tersebut adalah musik tradisional adalah alat musik yang digunakan tidak perlu membutuhkan tenaga listrik untuk membunyikannya. Tingkat kekerasan suara dihasilkan tergantung dari pemain musiknya dalam menabuh, memukul, ataupun memetik alat musik tersebut.

Variasi di setiap daerah dalam satu pulau juga bisa kita jumpai dalam musik tradisional ini, misalnya: Musik Batanghari Sembilan yang tumbuh dan berkembang di daerah Sumatera Selatan. Setiap daerah memiliki seniman untuk kesenian ini, dengan kekhasan masing-masing daerah. Secara musikal, belum ada data yang pasti untuk menunjukkan dari daerah mana asal kesenian ini, hampir seluruh daerah di Sumatera Selatan memiliki seniman untuk kesenian ini (Firmansyah, 2015). Tidak hanya di Sumatera Selatan, kita juga bisa menjumpai jenis-jenis musik tradisional dengan alat-alat yang serupa namun memiliki penyebutan berbeda dan cara memainkannya pun bisa dibilang berbeda, contohnya adalah Gamelan. Salah satu instrumen gamelan yakni gendang/kendang, memiliki bentuk-bentuk berbeda dan ciri khas suara berbeda pula di masing-masing daerah, misalnya: kendang kempul Banyuwangi, kendang Bali, kendang jaipong, kendang Ponorogo/kendang Reog, dan masih banyak lagi.

Perubahan Musik Tradisional ke Kontemporer

Seperti yang saya sedikit paparkan pada bab sebelumnya, para seniman musik selalu melakukan inovasi-inovasi untuk memperkenalkan seni musik ke kancah universal. Beberapa komponen yang diinovasi antara lain penambahan instrumen tertentu dan pengubahan melodi. Menurut Fontain dalam Indrawan dalam Firmansyah, struktur karya musik dapat dilihat dari melodinya, sehingga melodi memiliki peranan penting dalam memahami bentuk musik (Firmansyah, 2015). Dari situ, kita dapat memberikan pernyataan bahwa ada perbedaan karakter pada melodi setiap jenis musik. Dalam perjalanan melodi akan ditemukan motif lagu, frase lagu, dan kalimat lagu. Motif merupakan sekelompok nada yang terdiri dari 3 nada atau lebih yang memiliki arti musikal sebagai suatu partikel tematik (Stein, 1979: 3 dalam Firmansyah, 2015). Dalam istilah Gamelan Jawa atau yang lebih dikenal dengan musik Karawitan, ada unsur-unsur penting dan itu sudah menjadi pakem atau aturan-aturan yang telah disepakati dan sudah menjadi acuan untuk dilakukan. Dikutip dari Humardani dan Roth (1985), mereka menuliskan dalam tulisannya bahwa “In its characteristic of laras, Javanese gamelan is usually said to have two systems -slendro and pelog - representing different scales. There are thought to be other types of tuning but this cannot be stated with certainty because there has not yet been any primary research. Pathet may be said to cover the positioning of notes when arranged melodically, that is the strong seleh (cadence) notes”, jadi, dalam karakteristik larasnya, hal utamanya adalah Gamelan Jawa memiliki dua sistem yaitu slendro dan pelog. Itu merupakan pakem yang dimiliki oleh Gamelan Jawa.


Ketika ada sebuah musik tradisional dan cara memainkannya memiliki aturan-aturan yang harus ditaati (pakem), ketika diubah menjadi bentuk yang berbeda, apakah kemudian masih dinamakan tradisional? Misalnya saja dalam kasus Supra Gamelan yang ada di Semarang, gamelan tersebut disetel ke bentuk diatonis dan dimainkan layaknya musik barat, dirancang oleh Imam Katolik Roma di Semarang. Dalam permainannya menggunakan kempul sebagai bass. Apakah itu masih representasikan musik tradisional?

Tradisi akan selalu mengikuti perkembangan zaman. Akan selalu ada perubahan-perubahan yang dilakukan namun itu semua demi keberlangsungannya sebuah tradisi seperti yang dikatakan oleh Humardani dan Roth (1985) bahwa “Tradition is certainly not a dead concept simply and solely concerned with preservation, but also has an element of change”. Definisi “masa kini” tentu menjadi acuan untuk dibedakan dari “masa lalu”, di mana masa kini selalu berhubungan dengan modernitas yang menjunjung tinggi budaya barat, seakan-akan merekalah pemilik kebudayaan tertinggi. Tidak bisa dipungkiri bahwa musik tradisional pun berkembang mengikuti aturan zaman. Kreativitas perlu diasah demi keberlangsungan seni agar kemudian bisa secara terus menerus dijual ke publik. Kreativitas bukanlah monopoli saat ini, tetapi merupakan karakteristik dari semua periode produktif sejarah (masyarakat Kediri, Majapahit, dan Mataram dalam kasus Jawa, misalnya). Penting bagi kita untuk menekankan ini karena menjadi Dasar interpretasi potensi seni tradisional - seni tradisional hidup karena potensi kreativitasnya di setiap momen, meskipun bentuk dan hasil kreativitas ini tentu akan berbeda dalam setiap periode (Humardani dan Roth, 1985).

Pembahasan dan Kesimpulan

Dari tulisan-tulisan di atas, kita dapat mengatakan bahwa perubahan musik tradisional ke kontemporer (kekinian) menjadi penting adanya demi keberlangsungan suatu seni untuk bisa dijual ke khalayak umum. Saya sendiri berpendapat, mungkin ketika kita memperdengarkan musik karawitan yang masih pakem di kancah Internasional terutama di daerah Barat, mereka mungkin akan bingung dengan bentuk nada yang aneh (tidak seperti milik mereka) dan ujung-ujungnya mereka tidak dapat menikmati permainan karawitan tersebut. Oleh karena itu, para seniman musik karawitan mengubah laras (komposisi nada) gamelannya menjadi diatonis agar lebih mudah untuk dinikmati bagi orang awam yang baru mendengar karawitan di negara-negara Barat. Namun ketika sebuah pola dalam karawitan diubah dan kemudian mereka seiring berjalannya waktu melupakan yang asli, tentu akan menjadi problem baru. Secara bertahap mereka mengubah struktur asli dari karawitan, dan apakah masih layak dinamakan karawitan? Ataukah pantas diberi nama baru? Karena yang mereka pertontonkan itu bukan karawitan yang sering kita jumpai di Jawa pada umumnya. Untuk mengatasi itu, dikutip dari Humardani dan Roth (1985), mereka mengatakan bahwa “Creativity in kavawitan may represent the creation of new works as a continuation of traditional forms along with their rules. There are not many new works of kavawitan however which can truly be felt to be new (:such as for example Bedayan telu, Subokastowo binangun, Jineman Gendro, compositions of Pak Martopangrawit), which do not feel like additions to or continuations of those already in existence (like for example Bedayan Lata, Cikar bobrok, also compositions of Pak Martopangrawit). This is probably for several reasons, such as limited compositional forms, the concept of gatra (four-note melodic unit of the balungan) the arrangement of which is limited by considerations of pathet, garap which does not change, so that there is a kind of satiation”. Dalam penggalan kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa ada seniman-seniman yang mengubah pola struktur gamelan namun ketika itu dipentaskan, terasa tidak ada yang berubah. Mengapa demikian? Karena seniman tersebut tidak mengubah secara frontal pola struktur alat musik dan permainan gamelan tersebut. Ia hanya memberikan satu-dua sentuhan saja agar dirasa pola permainan karawitan tersebut sedikit berbeda. “As long as the rules of laras, pathet, and the like may not be violated then present-day karawitan is not a product of the creativity of the present, but a product of the creativity of the past - meaning that it is not the karawitan we can call our own, but "old" karawitan”, selama peraturan laras, pathet, dan aturan serupa lainnya tidak dilanggar, maka karawitan tersebut tidak bisa dikatakan “karawitan kekinian”, namun tetap karawitan asli yang kita kenal sejak dulu.

Mulai sekarang, selayaknya kita tidak menganggap bahwa tradisional adalah kuno, jadul, tidak mengikuti zaman. Musikalitas seseorang tentu dipengaruhi oleh adat kebiasaan di daerahnya, begitu juga ketika kita menengok musik-musik tradisional di seluruh Nusantara. Memiliki kekhasan tersendiri, perubahan-perubahan pola struktur yang dilakukan para seniman musik tradisional Indonesia hanya semata-mata agar musik tersebut dapat didengar oleh masyarakat luas di seluruh dunia. Sebenarnya, tiap daerah memiliki kecerdasan musikalitas masing-masing di mana kita tidak dapat menjustifikasi suatu kaum bahwa mereka tidak bisa bermusik, atau mereka buruk dalam musik. Karena musik sendiri berasal dari hati, tidak dari apa yang ia dengar kemudian ia tirukan begitu saja. Dimitrin (2009), mengatakan “An ability of the human psyche to be affected by music is an advantage. Without this ability all of us would not be the way we are. Music is necessary for evolution of human consciousness. The review, as I see it, attempts to uncover what is considered a mystery of music, and achieves a significant degree of persuasiveness. Its important conclusion is that music enables human’s capability to unify the opposite but inalienable psychological needs: to understand the world in its manifold while keeping internal psychological unity. The author calls this a synthesis of a differentiated consciousness. Possibly this is the ancient secret of how music seizes people’s hearts”. Inilah yang dinamakan misteri musik, seseorang mungkin tidak bisa menjelaskan apa yang ada di hatinya dengan kata-kata, namun dengan musik, semua itu bisa terjadi. Inilah yang para seniman-seniman sebut bahwa musik adalah bahasa universal.

Daftar Pustaka

Dimitrin, Y. (2009). Cognition and Contemporary Music: Comentary on Musical Emotions by L. Perlovsky. Physics of Life Review , 1.

Firmansyah, F. (2015). Bentuk dan Struktur Musik Batanghari Sembilan. Jurnal Ekspresi Seni, 83-102.

Humardani, S. D., & Roth, A. R. (1985). The Problem of Development in Javanese Karawitan Today. Indonesia Circle, 7-13.

Widhyatama, S. (2012). Sejarah Musik dan Apresiasi Seni. Jakarta Timur: PT Balai Pustaka (Persero).

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page