Oleh Alfian Aulia dan Muhammad Fathi Mujadidi
Kesan pertama kami ketika melihat rel kereta api yaitu “panjang dan rapih, jalurnya kecil tapi kok kereta yang gede gitu jarang jatoh”. Jalur yang kuat ini dikarenakan, rel dibuat dengan logam yang bermacam-macam jenis sesuai berat dan medan yang dihadapi, dilengkapi dengan pasukan batu krikil yang dikenal sebagai balast. Balast berfungsi pada rel kereta api untuk meredam getaran dan lenturan rel akibat beratnya kereta api, selain itu berfungsi juga sebagai penahan kikisan tanah ketika terjadinya hujan atau masuknya air ke rel. Pembangunan stasiun dan segala hal mengenai kereta api di Jakarta sendiri dikarenakan, Jakarta sebagai pusat ekonomi bagi daerah daerah pinggiran seperti Depok, Bekasi, Tanggerang, dan Bogor. Para pekerja yang berdomisili di pinggiran ini setiap hari berdatangan secara masif. Selain pekerja adapun hal lain seperti ingin liburan, sekolah, dan sekadar ingin berkunjung. Menilik dari sejarah, bahwasanya pembangunan infrastruktur terkait ketersediaan trasnportasi ini pada zaman belanda sudah membahas mengenai dampak ekonomi mikro yang menuai positif jika di adakan. Pada jaman itu alat transportasi yang ada pun terbatas. Untuk mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke pabrik atau pelabuhan hanya mengandalkan tenaga manusia atau pedati. Dampaknya pengangkutan jadi lambat dan kapasitasnya terbatas.
Secara sadar bahwasanya pembangunan stasiun ini dikarenakan kekhawatiran dalam hal distribusi barang untuk pertumbuhan ekonomi. Pada masa sekarang, hal ini menarik untuk dilihat bagaimana transformasi pembangunan stasiun dan juga pelebaran jalur rel untuk banyak kepentingan. Dalam tulsan kali ini kami menganalisa fenomena masyarakat Jakarta dengan ada nya Commuter-Line dengan menggunakan perspektif Global City Sassen.
Mesin Penjelajah Jakarta
Pagi hari sekitar jam 8 pagi di Tanah Abang Jakarta Pusat kami mengawali perjalanan. Keadaan stasiun sudah di padati dengan orang-orang berkemeja dan berdasi. Kemudian, kami membeli tiket tujuan Universitas Indonesia untuk bertemu dengan teman kami. Ketika kami bergegas kebawah untuk menunggu kereta, kami melihat ada bangku tapi tidak seperti bangku. Bentuknya seperti besi yang berbentuk atas bawah tingginya setinggi pinggang. Bangku ini ternyata hanya sebagai senderan orang-orang untuk menunggu kereta yang cepat. Bangku ini menurut perkiraan kami baru 1-2 tahun di pasang dan masih terasa asing bagi masyarakat yang menunggu kereta. Setelah kereta datang, kami pun masuk dengan terdorong-dorong oleh yang di belakang maupun yang di depan. Kami melihat ketika pintu kereta terbuka, orang yang mau keluar tidak diberi kesempatan oleh orang yang mau masuk, hal ini pun menarik bagi kami karena kejadian ini pun menunjukan bahwa waktu membuat manusia melakukan tindakan tanpa melihat apa yang ada di depannya. Untung saja ada satpam yang membantu untuk mengingatkan bahwa orang yang keluar dari kereta dahulu, kemudian barulah masuk. Kemudian setelah kami masuk, kami tidak kebagian tempat duduk dan berdiri sambil ngobrol menikmati pagi hari di kereta dengan bau udang yang menusuk. Tempat duduk pun sudah full dengan para pekerja dan juga beberapa orang tua dengan tempat duduk khususnya. Setelah berlalu lalang melewati banyak stasiun, kami melihat beberapa kondisi yang berbeda di setiap stasiun, khususnya wilayah dekat depok, sudah banyak mahasiswa mahasiswi yang memadati gerbong, dan benar saja seketika bau udang tadi pun juga hilang secara bersamaan.
Menurut kami, KRL ini sebagai angkutan umum dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu captive dan choice riders. Kelompok captive merupakan kelompok yang tergantung pada keberadaan angkutan umum karena mereka tidak mempunyai kendaraan pribadi, sedangkan choice riders umumnya menggunakan angkutan umum karena lebih murah, cepat dan lebih mudah dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Keduanya sama-sama mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga fenomena stasiun padat dari pagi ini sudah biasa terjadi. Selain itu faktor yang membuat KRL ini laku yaitu harganya yang sangat murah, dengan kartu yang bisa dibawa kemana saja membuat hal ini semakin instan untuk dilakukan. Kami melihat rata-rata stasiun di Jakarta sudah mulai di lakukan renovasi dan ada juga beberapa penambahan rel, setiap stasiun pun juga sudah ada toko-toko seperti alfamart dan sejenisnya. Sudah hampir 10 tahun kebelakang, keadaan yang kami lihat ini sudah cepat berubah seiring bertambahnya kepentingan yang masuk di Jakarta. Pembangunan yang dilakukan besar-besar sejak tahun 2009, PT KAI membentuk anak perusahaan yang khusus mengoperasikan KRL AC. Anak perusahaan ini diberi nama PT KAI Commuter Jabodetabek atau KCJ. Tahun 2017, KCJ berganti nama menjadi PT KAI Commuter Indonesia (PT KCI). Kemudian, di tahun 2011 Pola single operation mulai diterapkan. Pada pola ini, semua KRL AC, termasuk KRL ekspress mulai dilebur menjadi satu layanan yang diberi nama KRL commuter line. KRL commuter line wajib berhenti di setiap stasiun. Sebelum pola ini diterapkan, KRL ekspress hanya berhenti di beberapa stasiun. Hal ini yang membuat para pedagang yang pada zaman 2012 kebawah sudah tidak lagi berkeliaran, diganti dengan setiap stasiun yang sudah ada kios-kios. Kebijakan ini sangat membantu, karena membuat KRL sangat bersih dan membuat nyaman para penumpang yang masif ini.
Penyambung Kepentingan
Fenomena ini kemudian kami kaitkan dengan pandangan Sassen yang menyatakan bahwa Global City membuat kota yang memiliki batas-batas ini, ternyata sangat terkoneksi dengan wilayah yang ada disekitarnya. KRL sebagai penyambung antar wilayah ini membuktikan bahwa ada ruang kota dengan wilayah sekitarnya terdapat interaksi investasti, perdagangan, dan segala macam dinamika ekonomi beroperasi. Global City kemudian menjadi strategis bagi pengembangan aspek ekonomi. Baik yang besar maupun kecil, dinamika ini adalah simpul-simpul yang menghubungkan jaringan lintar geografis. Banyak nya orang yang masuk dan pergi adalah contoh yang konkrit.
Comments