Kurikulum 2013: Antara Harapan dengan Kenyataan
- Anugerah Rinaldi
- Dec 7, 2018
- 8 min read
Saat ini sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia memiliki kurikulum yang bernama Kurikulum 2013 (K-13). Kurikulum 2013 sendiri ditetapkan oleh pemerintah sebagai pengganti kurikulum yang telah ada sebelumnya, yakni Kurikulum 2006 (yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP). Kurikulum 2013 mulai diimplementasikan secara terbatas pada sekolah-sekolah tertentu yang sudah siap atau yang menjadi pilot project mulai tahun ajaran 2013/2014. Ada hal-hal yang diunggulkan melalui K-13 ini, misalnya diterapkannya pendekatan saintifik (scientific approach) pada proses pembelajaran dengan model-model pembelajarannya seperti problem-based learning, inquiry-based learning, discovery learning, project-based learning, dan sebagainya, yang diklaim sebagai pembelajaran yang menyiapkan peserta didik yang unggul. Melalui model-model pembelajaran ini disertakanlah berbagai konsep dan perangkat yang diyakini menjadikan pembelajaran itu ideal dan sempurna, antara lain higher order thinking skills atau disingkat HOTS, penguatan pendidikan karakter, literasi, penilaian yang mencakup empat dimensi (sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan), dan teknik-teknik penilaian serta pengolahannya. Pendek kata, K-13 hadir sebagai upaya pemerintah untuk membawa peserta didik siap bersaing di dunia internasional.
Pada kenyataannya, upaya pemerintah untuk dapat menerapkan K-13 sesuai dengan konsep dan idealismenya rupanya memiliki hambatan dan tantangan tersendiri dalam pelaksanannya. Pada akhir tahun 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan menyatakan bahwa Kurikulum 2013 akan dihentikan pada semester genap.[1] Praktis, K-13 hanya berumur sekitar tiga semester pada sekolah-sekolah yang telah menerapkannya. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menyebabkan munculnya kebijakan baru tersebut. Belum lagi sekolah-sekolah tersebut memahami secara baik konsepsi K-13 yang dilaksanakan bersamaan dengan KTSP (otomatis dalam satu sekolah terdapat dua kurikulum), tiba-tiba muncul kebijakan yang membuat tanda tanya tersebut.
Dalam esai ini, saya akan mendiskusikan penerapan K-13 sebagai upaya pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang baik bagi Indonesia, beserta kendala dan tantangan dalam pelaksanaannya. Sebagai pengantar, saya akan memberikan gambaran mengenai keberagaman yang ada di Indonesia berkaitan dengan kendala dan tantangan yang dihadapi dengan kurikulum nasional, kemudian mencoba untuk membahas sekolah sebagai salah satu tempat untuk dapat memperoleh pendidikan. Pada bagian selanjutnya saya akan mengkritisi pelaksanaan K-13 atas dasar pengalaman dan pengamatan saya sebagai siswa SMA di wilayah kota Yogyakarta yang sedikit banyak pada saat itu terlibat, menghadapi dan menjalani sistem pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah. Pada bagian akhir saya akan menutupnya dengan beberapa pertanyaan yang mendorong dilakukannya tulisan-tulisan kritis berikutnya.
Keberagaman di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentuk dari berbagai macam latar belakang suku bangsa, agama, adat, dan budaya. Gina Lestari (2015:31) mengatakan bahwa negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. Menjadi sebuah negara yang multikultur tentu saja memiliki potensi keberhasilan dan kegagalan tersendiri dalam mengelolanya. Amirsyah (dalam Lestari, 2015:33) memandang bahwa kemajemukan masyarakat sebagaimana yang ada di Indonesia adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin disangkal. Sebelumnya, Hidayat (2004:90) juga menyatakan bahwa pluralitas adalah fakta yang melekat, yang kehadirannya di luar kehendak manusia, bahkan manusia hadir sudah dalam jemputan dan pelukannya yang tidak mungkin diingkari. Berbagai latar belakang adanya perbedaan tersebut di dalam negara ini telah diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan dasar negara Pancasila.
Negara sebagai pemegang kuasa atas rakyatnya menyandang peran sentral sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan. Salah satu unsur penting dalam sebuah negara adalah unsur pendidikan, yang merupakan modal dasar dari pembangunan negara. Pendidikan merupakan sebuah “kultur” yang dibentuk oleh siapa pun yang hidup dan terlibat di dalamnya, yang dalam hal ini dikelola dan diregulasikan oleh pemerintah dari negara seperti di Indonesia. Di dalam pendidikan terjadi interaksi dalam berbagai bentuk, dan setiap pelaku interaksi ini melakukan konstruksi sistem nilai bersama dalam segala aspek. Dengan demikian, pendidikan menawarkan sebuah ruang sekaligus sebuah proses kulturalisasi yang dijalani melalui proses belajar bersama antara pelaku yang ada di dalamnya.

Dalam konteks negara multikultural seperti di Indonesia ini, masalah pendidikan nasional menjadi sebuah hal yang kompleks ketika kultur itu dibentuk tanpa mengindahkan keberagaman yang merupakan fakta yang melekat dalam tubuh negara ini. Ketika kurikulum pendidikan itu hanya dilandasi oleh kompetensi saja (ingat bahwa K-13 di Indonesia adalah juga kurikulum berbasis kompetensi), maka ada kemungkinan bahwa pendidikan ini hanya bermuatan dan berfokus pada pencapaian kompetensi yang dapat dan harus diukur semata-mata atas dasar standar-standar nasional yang rigid. Terlebih lagi, apabila K-13 dinyatakan sebagai kurikulum nasional dengan sistem yang sentralistik dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia yang tersebar dengan keragaman yang dimilikinya, maka tantangan pencapaian tujuan perubahan kurikulum menjadi semakin banyak.
Sekolah di Indonesia: Sebuah Tempat Pendidikan
Sekolah merupakan salah satu tempat di mana seseorang dapat memperoleh pendidikan. Di Indonesia, sistem kebijakan pendidikan yang diterapkan di dalam lingkungan sekolah dibuat oleh Pemerintah. Pendidikan nasional di Indonesia didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[2] Dalam ruang kelas, guru merupakan pendidik dan siswa merupakan peserta didik, yakni orang yang menerima pendidikan. Pemerintah mendefinisikan pendidikan dengan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara .”[3]
Indonesia sebagai negara sedang berkembang kemudian mempelajari cara-cara dari negara maju untuk dapat bersaing di dalam pasar internasional. Christhoper Bjork (2006:133) menuliskan bahwa, “...Indonesian teachers attach themselves to the education system according to a set of values and expectations that contrast in some key respects with those common to school systems in developed nations.” Melalui pendidikan, negara diharapkan dapat menunjukkan persaingannya dengan negara-negara lain. Budi Satiawan (2015:27) dalam P.M Laksono, dkk, mengatakan bahwa pendidikan sangat penting demi kemajuan dan perubahan suatu bangsa. Kebijakan pendidikan pun kemudian mengarah kepada orientasi pasar internasional sebagai usaha negara untuk dapat menunjukkan kemampuannya di hadapan negara-negara lain. Martha C. Nussbaum (2009:6) menuliskan bahwa, “Education for economic enrichment needs basic skills, literacy, and numeracy. It also needs some people to have more advanced skills in computer science and technology,...” Indonesia pun memasukkan muatan yang berbau keterampilan abad 21 ini dalam Kurikulum 2013 sebagai usaha pembaharuan untuk dapat bersaing di lingkungan internasional.

Sistem Pendidikan dalam Kurikulum 2013: Suatu Usaha Perubahan (yang gagal?)
Saya berkenalan dengan Kurikulum 2013 pada saat saya pertama kali masuk ke jenjang Sekolah Menengah Atas, pada pertengahan tahun 2014 (tahun ajaran 2014/2015) di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Pada saat dinyatakan resmi diterima di sekolah tersebut, pada minggu pertama saya dihadapkan pada dua pilihan untuk studi saya di jenjang ini, yakni: memilih jurusan IPA atau IPS. Saya sebagai siswa baru, yang buta tentang hal-hal apa yang akan dipelajari di jenjang ini, pun menemui kesulitan tersendiri di dalam menentukan pilihan di antara dua kelas tersebut. Di dalam masyarakat sendiri, stigma yang sering muncul adalah bahwa anak-anak jurusan IPA lebih “pintar”, unggul dan superior ketimbang IPS. Mereka yang memilih jurusan IPS kemudian dianggap sebagai kelas residu dan “buangan” dari kelas IPA.
Sekolah pun “memfasilitasi” kebingungan para siswa barunya itu untuk dapat menentukan pilihannya masing-masing. Pihak sekolah mengadakan semacam “tes tertulis” untuk menentukan minat dan bakat masing-masing siswa, apakah siswa lebih condong ke jurusan IPA atau IPS. Namun demikian, keputusan untuk memilih tetap berada di tangan para siswa sendiri. Hasil “tes” tersebut menunjukkan bahwa saya lebih “cocok” untuk berada di jurusan IPA. Setelah melalui berbagai pertimbangan pribadi dan utamanya melalui diskusi dengan orangtua, saya dengan mantap memutuskan untuk memilih jurusan IPS.
Setelah kegiatan pembelajaran mulai berlangsung di kelas, saya diberi tahu bahwa kurikulum yang akan digunakan adalah Kurikulum 2013. Saya sendiri sebenarnya tidak mengetahui mengenai kurikulum tersebut dan perbedaannya dengan kurikulum sebelumnya. Saya juga tak ambil pusing dengan perubahan kurikulum itu. Saya pikir toh sekolah akan sangat tahu apa yang terbaik bagi kami.
Informasi lebih lanjut mengenai Kurikulum 2013 sendiri justru saya dapatkan dari ibu saya, bukan dari pihak sekolah. Pada waktu itu, secara sederhana saya menangkap bahwa kurikulum ini akan lebih mengedepankan peran siswa karena siswa dituntut untuk mandiri (termasuk dalam kegiatan belajar di kelas). Di kemudian hari saya mengetahui “perbedaan” dari KTSP dan Kurikulum 2013 dari para kakak kelas. Pada saat KTSP berlangsung, tahun pertama siswa mendapatkan mata pelajaran dasar dari IPA maupun IPS dan baru pada tahun kedua siswa dapat menentukan pilihan jurusan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Mata pelajaran pun berbeda, dan saya menemukan sesuatu yang unik dan lucu pada Kurikulum 2013, di mana ada dua mata pelajaran bahasa Inggris di dalam satu semester yang sama! Dan saya sampai sekarang masih tidak mengerti apa perbedaan dari kedua mata pelajaran yang bernama “Bahasa Inggris” tersebut.
Pada kurikulum ini, perubahan mencolok yang saya alami adalah sistem pengajaran di dalam kelas. Perubahan sistem pengajaran ini sangat berbeda dari masa kurikulum sebelumnya, ketika saya berada pada jenjang Sekolah Menengah Pertama. Pada saat itu, saya sempat berpikir bahwa mungkin ini adalah perbedaan antara jenjang SMP dengan SMA, namun kemudian saya menyadari bahwa perbedaan ini ternyata adalah perubahan dari penerapan kurikulum.
Di masa inilah saya juga berkenalan dengan apa yang disebut dengan presentasi. Hampir seluruh mata pelajaran di dalam kelas menuntut para siswanya untuk bekerja secara kelompok dan membuat presentasi sesuai dengan bahan ajar yang ada pada buku paket[4]. Para siswa kemudian membuat presentasi mengenai suatu pembahasan dan guru baru akan memberikan penjelasannya pada saat presentasi telah selesai, dan saya rasa upaya penjelasan dari guru itu tidak menjelaskan sama sekali. Saya merasa bahwa kami (para siswa) menjadi seperti robot, yang terbebani oleh tugas yang banyak, buku pelajaran yang berat, presentasi yang hampir setiap hari, harus belajar keras tanpa arahan dan yang tak tahu maksud dari kegiatan belajar tersebut. Belakangan saya tahu dari ibu saya, bahwa guru-guru kami sedang menerapkan pendekatan saintifik, yang di dalamnya mengorganisasikan siswa untuk melakukan pengamatan, bertanya, melakukan eksperimen atau mencari data, menganalisis, dan kemudian mengomunikasikan melalui presentasi. Saya pun tetap tidak paham apa sebetulnya esensi dari kurikulum yang baru ini.
Kurikulum 2013 pada akhirnya hanya bertahan selama satu semester saja. “Doa” para siswa akan beban yang ditimbulkan dari kurikulum tersebut rupanya terkabul. Dengan sekejap, pada semester selanjutnya kurikulum berganti dan kembali lagi ke KTSP. Sistem pengajaran di dalam kelas pun berlangsung seperti yang saya alami ketika berada di jenjang SMP. Kelas kembali menjadi ruang bagi guru dan siswa dengan sistem hierarki, bukan siswa “mandiri” yang kebingungan lagi.

Harapan atas Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang diharapkan mampu untuk menjawab tantangan dan persoalan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia ke depan (Sinambela, 2013:17). Meskipun kebijakan kurikulum pendidikan itu diklaim oleh pemerintah sebagai usaha untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik, pengalaman yang saya alami sebagai siswa menyisakan banyak pertanyaan dan keingintahuan yang perlu untuk dikupas, terutama yang berkaitan dengan situasi keberagaman Indonesia yang dibahas di bagian awal. Dengan standar-standar nasional yang diregulasikan pada pelaksanaan Kurikulum 2013 (standar kompetensi lulusan, standar kompetensi inti dan kompetensi dasar, standar isi, standar proses, standar penilaian), masih adakah ruang yang mengakui berbagai perbedaan di seluruh wilayah Indonesia dan yang mendorong agar perbedaan ini tetap ada? Sekolah dan lembaga pendidikan seyogyanya tidak hanya bermuatan kompetensi-kompetensi dasar yang distandarkan, tetapi seharusnya juga menjadi ruang pendidikan multikultural, yaitu ruang kulturalisasi pendidikan yang bermuatan inklusif bagi semua siswa di belahan bumi Indonesia.
Keterangan
[1] Lihat Andri Donnal Putra, “Mulai Semester Genap, Kurikulum 2013 Dihentikan”, https://edukasi.kompas.com/read/2014/12/05/20042411/Mulai.Semester.Genap.Kurikulum.2013.Dihentikan.
[2] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
[3]. Ibid.
[4] Buku penunjang kegiatan sekolah
Sumber Foto
Foto-1: Anak-anak SD di Papua Setelah Upacara Bendera.
http://fotokita.net/foto/131435341510_0038345/aku-anak-papua (diunduh tanggal 22 Oktober 2018).
Foto-2: Suasana Proses Pembelajaran di Sebuah Sekolah.
http://pemerintah.net/wp-content/uploads/2015/01/pendidikan.jpg (diunduh tanggal 22 Oktober 2018).
Foto-3: Pelatihan Kurikulum 2013 bagi Guru Mata Pelajaran SMP.
Koleksi Pribadi dari Rin Surtantini pada Pelatihan Kurikulum 2013 bagi Guru Mata Pelajaran SMP di SMPN 2 Mertoyudan, Magelang tanggal 6 Juni 2018.
Referensi
Bjork, Christopher. 2006. Transferring Authority to Local School Communities in Indonesia: Ambitious Plans, Mixed Results, in Christopher Bjork (ed.), Educational Decentralization, the Netherlands: Springer, 129-147.
Hidayat, Komaruddin. 2004. “Merawat Keragaman Budaya”, dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Tonny D. Widiastono (Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Lestari, Gina. 2015. “Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28 (1), 31-37.
Martha C. Nussbaum. 2009. “Education for Profit, Education for Freedom” in Liberal Education Summer.
Satriawan, Budi. 2015. “Mencari Pendidikan Berkarakter: Menapaki Pendidikan Indonesia dari Tamansiswa”, Antropologi Pendidikan “Aneh: Biasanya Tidak Apa-Apa”: Yogyakarta: Antropologi FIB UGM.
Sinambela, Pardomuan N.J.M. 2013. “Kurikulum 2013 dan Implementasinya dalam Pembelakaran”, Generasi Kampus, 6 (2), 17-29.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Comments