top of page
Writer's pictureSarah Amany Wisista

Lebih Rekat dengan Sumba Melalui Pameran Foto

Ditulis oleh Ilona Cecilia dan Sarah Amany Wisista


Sumba sebelumnya tidak pernah benar-benar menjadi sesuatu yang menarik dan mengusik keingintahuan, setidaknya bagi kami berdua. Di satu sisi, kami memahami Sumba sebagai sekadar pulau kecil nan indah di Nusa Tenggara Timur tempat salah satu resor termahal di dunia berada, sebuah tanah yang “dibumbui” keindahan untuk tujuan pariwisata. Di sisi lain, terutama setelah film Marlina—yang menggambarkan seorang perempuan Sumba dengan berani membunuh sekelompok laki-laki yang berusaha mencuri ternak dan memperkosanya—dirilis, kami jadi mendapat gambaran yang begitu jauh berbeda. Kedua ekstrimitas dalam narasi penggambaran Sumba ini membuat kami sempat bertanya-tanya, namun tidak pernah benar-benar kami gali konteks di belakangnya.


Tak kami sangka, di ladang ilmu yang kami sebut universitas ini kami dapat juga memanen pengetahuan tentang tanah yang sebelumnya hanya kami ketahui namanya itu melalui Festival Sumba. Festival yang diselenggarakan oleh Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA) Departemen Antropologi Budaya UGM ini diselenggarakan mulai Selasa, 23 Oktober 2018 dan berakhir pada Rabu, 31 Oktober 2018 lalu di Fakultas Ilmu Budaya dengan beragam pengetahuan yang berhasil dibagi dan cerita yang terjadi di dalamnya.


Festival Sumba memberi kami pengalaman dan pengetahuan baru melalui berbagai rangkaian acaranya, yaitu workshop dan diskusi, pemutaran film, pameran foto dan kain Sumba, dan dua kegiatan utama yaitu simposium dan pagelaran budaya. Dari setiap acara, kami diajak untuk melihat Sumba lebih dalam dengan cara dan dari sisi yang berbeda, membuat perjalanan mengenal Sumba menjadi lebih menarik dan menyeluruh. Contohnya pada pameran foto dan kain Sumba yang dihelat di Bentara Budaya Yogjakarta, kami dapat melihat keindahan kehidupan Sumba secara nyata, meskipun hanya melalui foto-foto dan kain. Melalui foto, semua cerita pada rangkaian acara lain di Festival Sumba menjadi sangat nyata, membuat yang melihat merasa dekat dan luar biasa bertambah pengetahuannya.


Kesan Awal Mengenai Pameran

Di satu hari Minggu kota Yogyakarta yang baru saja gelap, kami datang ke Bentara Budaya Yogyakarta untuk hadir di pameran foto dan kain Festival Sumba. Bentara Budaya Yogyakarta, jauh dari ekspektasi awal kami yang belum pernah berkunjung sebelumnya, ternyata merupakan gedung satu ruang dengan ukuran sedang dari luar. Dilengkapi dengan panggung berukuran kecil di sisi kanan gerbang dan halaman kecil yang hanya terdiri dari beberapa sepeda motor yang parkir, terlihat bahwa pameran foto dan kain Sumba sedang sepi.


Menaiki beberapa anak tangga, kami pun masuk ke pameran foto dan kain Sumba dengan berbagai harapan. Tenang, itulah satu-satunya kata yang dapat menggambarkan suasana hati kami ketika memasuki pameran foto dan kain Sumba ini. Kami disambut dengan udara yang nyaman, seakan memeluk kami dan mengantarkan kami untuk melihat Sumba lebih dalam melalui foto-foto dan kain yang terpajang.


Kesan nyaman ketika memasuki ruang pameran foto dan kain Sumba juga hadir berkat nyanyian lokal Sumba yang diputar di ruangan. Melodinya lembut ditambah dengan volume yang pas sebagai musik latar membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi tenang. Lirik yang tidak dimengerti karena menggunakan bahasa Sumba pun jadi tidak masalah karena kami sudah mendapat suasana dari melodi yang terdengar.


Kesan tenang yang didapatkan kemudian sedikit berubah, ketika kami sadar bahwa sama sekali tidak ada bebauan yang hadir menyambut indra penciuman kami. Memang hal ini bukanlah hal yang buruk, namun jauh berbeda dari ekspektasi kami yang awalnya mengira pameran foto ini akan memiliki bebauan yang khas, entah dari aroma kertas, entah dari kain, atau mungkin dari debu. Namun ternyata tidak ada bebauan yang hadir, jadilah otak kami tidak teralihkan perhatiannya dari foto dan kain yang terhampar di depan mata. Akhirnya, mata kami yang kemudian bekerja, mengamati dan seketika sepakat dengan indra-indra lain yang mengatakan bahwa pameran foto dan kain Sumba ini sangat memberi ketenangan.


Satu dua kali melihat sekeliling, tempat ini terlihat sangat bersih dan memiliki komposisi yang pas. Tiga sisi dindingnya dipenuhi oleh foto-foto berukuran kecil yang berbaris rapi seperti kumpulan semut yang sedang bermigrasi. Sementara satu sisi lainnya dihiasi dengan puisi dan lirik lagu tentang Sumba yang tertulis rapi pada beberapa kertas putih berukuran besar. Pada sisi ini meja penjaga terletak, dimana kami disambut oleh dua kakak tingkat antropologi kami yang segera meminta kami untuk mengisi daftar hadir. Di meja tersebut juga terdapat beberapa tumpuk kertas tentang policy brief yang juga merupakan produk LAURA.


Mengamati sekeliling lagi, kami melihat tiga buah televisi layar datar berukuran kecil yang tersebar di berbagai sisi ruangan. Televisi-televisi ini menampilkan video alam dan kehidupan di Sumba yang tidak berhenti membuat kami kagum karena keindahannya yang memukau. Kemudian diketahui juga bahwa musik menenangkan yang kami dengar sejak kami melangkahkan kaki ke pameran foto dan kain Sumba ini berasal dari televisi di sisi kiri pintu masuk. Sementara di kanan pintu masuk, terdapat alat-alat tradisional Sumba yang diletakkan pada benda seperti tangga kecil.


Satu hal yang tidak dapat luput dari pengelihatan mata adalah kain-kain Sumba yang terletak di tengah ruangan. Tiga kain ‘diberdirikan’ pada potongan besi berbentuk kerucut, dan satu kain lainnya dibentangkan diatasnya. Sementara itu, satu kain lainnya dihamparkan pada sebuah meja pendek di ujung ruangan. Terdapat juga tempat untuk pengunjung duduk di sisi ketiga ruangan. Jadilah, kesan nyaman langsung melekat bahkan sebelum kami melihat Sumba lebih dalam.


Pameran Foto: Arsip Visual Tentang Sumba

Dalam alur pameran yang bergerak dari kiri ke kanan di dalam Bentara Budaya Yogyakarta ini, terpajang kumpulan foto yang dengan semarak menyajikan serba-serbi Sumba—mulai dari lansekap alamnya hingga fragmen-fragmen upacara adat. Tiap-tiap foto yang setema ditempatkan berdekatan, dilengkapi penjelasan agar pengamat dapat mendapatkan konteks yang menyertai foto-foto tersebut.


Keadaan yang sepi kala itu membuat kami dapat dengan leluasa berkeliling dan berlama-lama mengamati foto-foto yang ada. Deretan koleksi pertama yang kami lihat menggambarkan lansekap alam Sumba yang luas dan berbukit-bukit, mirip seperti yang pernah kami saksikan dalam film Marlina. Dalam salah satu jepretan Lena Borlinghaus, dapat terlihat sabana luas yang seolah tak berujung dengan kuda-kuda yang sedang merumput di atasnya, cahaya matahari membiaskan warna kuning yang nyaris keemasan ke seluruh padang. Sungguh indah dan dramatis.


Selain pemandangan alam, kami juga melihat-lihat koleksi yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Sumba. Dalam salah satu foto hasil jepretan Gunawan, digambarkan seorang laki-laki yang sedang mengangkut benih padi di tengah sawah. Dalam keterangan foto, dijelaskan pula pembagian tugas di antara laki-laki dan perempuan kala musim tanam padi tiba: laki-laki mengangkut benih dari persemaian, sementara perempuan bertugas menanam benihnya. Selain foto di tengah sawah, kami juga melihat foto-foto kegiatan berternak yang juga diabadikan Gunawan dan kegiatan memasak yang dijepret oleh Tarko Sudiarno.




Salah satu koleksi lain yang memantik keingintahuan dan rasa penasaran kami adalah foto-foto yang mengabadikan kegiatan masyarakat Sumba dalam memanifestasikan kepercayaan relijius mereka. Sebagian, tentu saja, dapat diamati dalam foto-foto yang diambil di tengah-tengah berlangsungnya upacara adat, sementara sebagian lagi dapat diamati dalam foto-foto yang menggambarkan bagaimana kepercayaan asli Sumba memengaruhi ajaran Katolik yang diterapkan dalam kehidupan mereka.


Salah satu upacara adat yang diabadikan dalam foto adalah beberapa jepretan hasil karya Lena Borlinghaus. Dalam dua foto yang sempat kami amati, Lena mengambil momen-momen kala masyarakat Sumba tengah menjalani upacara adat Marapu, yang merupakan nama kepercayaan lokal mereka. Dalam foto pertama digambarkan beberapa bapak-bapak dengan ikat kepala yang sedang duduk mengelilingi sebuah pohon, sementara dalam foto kedua Lena memotret beberapa mangkuk batu yang diisi nasi dan lauk pauk yang merupakan bagian dari keperluan ritual.


Selain upacara adat Marapu, ada juga foto hasil karya Gunawan yang menggambarkan ritual membaca tanda-tanda pada hati babi. Seperti yang tertera di keterangan foto, hati babi yang ditikam pada upacara adat lalu dibelah untuk dicermati tanda-tandanya, yang kemudian digunakan untuk memprediksi berbagai aspek dalam kehidupan seperti kesehatan, kematian, bencana, maupun masa panen. Lewat salah satu panel di simposium, kami juga mendapat informasi tambahan mengenai ritual ini, yaitu bahwa hati ayam juga dapat digunakan untuk membuat ramalan, dan ritual ini ternyata sangat penting sehingga digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan penting seperti pemilihan ketua baru.


Kemudian kami juga melihat foto hasil karya Gunawan yang memperlihatkan rombongan yang ikut mengiringi kerbau untuk prosesi Tebung Karebau (menyembelih kerbau). Dalam keterangan yang menyertai foto, disebutkan bahwa status sosial seseorang akan terlihat melalui seberapa besar kerbau dan seberapa banyak orang yang ikut mengiringi. Tebung Karebau ini merupakan bagian dari Upacara Kedde atau upacara kematian dalam masyarakat Sumba, yang juga berhasil diabadikan oleh Gunawan. Dalam foto berikutnya, digambarkan seperti apa berlangsungnya prosesi menyembelih kerbau tersebut, di mana beberapa orang laki-laki memegangi kerbau yang siap disembelih sementara warga lainnya berkumpul untuk menonton. Berdasarkan keterangan foto, disebutkan bahwa prosesi ini amat penting artinya bagi seorang laki-laki Sumba. Bila ia dapat menumbangkan kerbau dalam sekali tebas, maka ia akan dianggap hebat—sebaliknya, bila gagal, ia akan menjadi “bahan olok-olok seumur hidup”.


Seperti yang sudah kami sebutkan di awal, terdapat juga koleksi foto yang menggambarkan penerapan ajaran Katolik di Sumba. Salah satu foto Tarko Sudiarno yang menggambarkan foto salib di sebuah bale disertai dengan sebuah keterangan pendek: inkulturasi. Ketika kami mencari tahu apa itu inkulturasi, kami baru tahu bahwa itu adalah istilah dalam Kristiani—terutama dalam Gereja Katolik Roma—yang maksudnya adalah semacam mengadaptasi ajaran Katolik dalam kepercayaan lokal agar lebih mudah diterima bagi masyarakat yang dahulunya sudah memiliki kepercayaan sendiri. Satu foto yang menurut kami sangat menggambarkan proses inkulturasi ini dapat terlihat dalam foto Transpiosa Riomandha di mana Yesus berdiri dalam balutan tenun Sumba di depan gereja kota Waingapu.


Foto-foto lain pun tak kalah menarik—beberapa kolosal seperti potret penunggang kuda atau orang menyembelih kerbau, beberapa yang lain jauh lebih sederhana dan intim seperti keluarga yang berkumpul di bale—dan semuanya menghadirkan suasana yang akrab dan dekat di dalam pameran foto ini.


Meredefinisikan Sumba

Ketika kami datang ke pameran foto di Bentara Budaya pada Minggu, 28 Oktober 2018, kami mendapati suasana yang begitu sepi—pada kenyataannya, hanya kami dan beberapa teman lain saja yang ada di sana pada waktu itu. Ketika mengecek daftar hadir, ternyata pengunjung yang datang juga tidak terlalu banyak. Meskipun kami jadi dapat mengamati pameran foto yang tersedia secara lebih mendalam, kami juga ingin orang-orang bisa datang dan menikmati pameran foto yang sesungguhnya menarik ini. Terlebih, pengambilan foto-foto tersebut pastilah membutuhkan usaha-usaha yang besar dan tidak mudah.

Selain publikasi yang mungkin dapat dipergencar, pemilihan venue yang terpisah dari Fakultas Ilmu Budaya di mana nyaris seluruh rangkaian acara berlangsung (seperti simposium dan workshop) menurut kami juga menjadi alasan mengapa tidak terlalu banyak orang mengetahui keberadaan pameran foto ini. Jika semakin banyak yang datang, pastilah semakin besar pula apresiasi yang diterima untuk Festival Sumba.


Terlepas dari hal-hal seperti publikasi, pameran foto ini—dan juga keseluruhan Festival Sumba, tentunya—terasa seperti tiket yang menawarkan perjalanan singkat namun padat ke dalam Sumba, mengizinkan kami mengintip ke dalam ruang-ruang sosio-kultural masyarakatnya dan bagaimana mereka bernegoisasi dengan zaman yang terus berlari. Festival Sumba tidak serta-merta menggambarkan Sumba sebagai sekadar tanah yang “eksotis” dan sepenuhnya utopis, namun lebih dari itu festival ini juga menghadirkan dinamika nyata dan problematika yang tumpang-tindih dalam kehidupan masyarakatnya.


Sumba, setidaknya bagi kami, dahulu terasa seperti sepotong tanah yang jauh dan asing yang mungkin tanpa disadari telah kami persepsikan dalam kepala sebagai bagian kecil dari “Indonesia timur”. Namun, setelah mengikuti serangkaian Festival Sumba selama kurang lebih empat hari, persepsi yang boleh jadi semena-mena itu akhirnya terbongkar habis: Indonesia timur adalah tempat yang dianugerahi banyak cerita dan pembelajaran, dan Sumba adalah tanah yang kaya akan kompleksitas yang rumit namun memikat.


Taufik Ismail pernah berkata dalam puisinya: beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba. Datang ke festival ini mungkin belum cukup untuk kami menyelami dalamnya kehidupan masyarakat Sumba, namun setidaknya cukup untuk kami merasakan sensasi berlari di “ranah tanpa pagar” itu dan melihat apa yang dulunya terasa jauh dan asing tersebut menjadi sesuatu yang rasa-rasanya akan kami rindukan.[]

72 views0 comments

コメント


bottom of page