Oleh Fransiskus Denny Pratama & Nur Muhammad Swastika Ardhi
Satu ruang putih bersih yang luas, berhiaskan foto-foto yang berbaris di tengah-tengah dindingnya, mengelilingi ruangan yang ramai dengan pengunjung, menarik perhatian kami ketika masuk ke dalam pameran foto dan kain dalam acara Festival Sumba, di Bentara Budaya Yogyakarta.
Foto-foto yang dipamerkan disusun menurut tema besarnya. Ada bagian foto tentang keseharian hidup warga Sumba, rumah ibadat, pemandangan, dll. Barisan foto yang dipamerkan mengelilingi ruangan itu dipenuhi dengan desakkan pengunjung yang mengamati, mengambil gambar, juga berdiskusi dengan teman-temannya. Walau ramai dengan pengunjung, tidak terlalu sulit buat kami untuk mengamati rangkaian foto-foto itu. Foto-foto ini dicetak dalam ukuran yang cukup besar, ditempel di sebuah lapisan plastik tipis dan gabus. Cukup besar untuk diamati orang banyak. Foto-foto ini menampilkan potret warga Sumba, keseharian mereka, sarana-sarana yang mereka gunakan dalam bekerja, tempat-tempat ibadah, juga dinamika kehidupan warga di perkampungan Sumba.
Selain foto, di ruang pameran ini juga disediakan dua layar televisi. Satu memutarkan lagu yang berjudul Humba, yang dibuat oleh grup musik bernama Humbacustik, yang diiringi dengan video bernuansa pantai, ladang luas, kuda-kuda yang berlarian, juga sabana yang luas. Video dan lagu yang diputar ini membuat pengunjung merasakan suasana alam Sumba. Layar ini mengajak pengunjung untuk merasakan betapa indahnya Sumba, betapa dicintainya Sumba, dan betapa dikaminginya Sumba. Layar yang lain menampilkan laman instagram seorang fotografer yang berisikan foto-foto seputar Sumba. Masing-masing foto diperlihatkan secara bergantian, juga dengan keterangan dan komentar dari khalayak ramai yang bisa disaksikan oleh pengunjung pameran. Foto-foto yang diperlihatkan memang tidak jauh berbeda dengan foto-foto yang dipamerkan di sepanjang tembok ruang ini. Namun, foto-foto dari laman instagram ini terasa lebih interaktif dan menarik karena kita bisa melihat respon orang-orang tentang foto-foto itu dalam bentuk komentar melalui akun pribadi instagram mereka.
Pameran ini juga menghadirkan beberapa peralatan kerja sehari-hari warga Sumba, disusun di atas etalase putih terbuka, tersusun rapi dengan deskripsinya masing-masing. Di baris paling atas etalase dipajang sebuah anyaman wadah (seperti tas), sebuah alat untuk berkebun yang biasa digunakan warga Sumba. Di sampingnya terdapat sebuah botol kecil yang dililit sebuah kalung bertali oranye. Tidak ada deskripsi di bawahnya, namun sepertinya botol ini juga sebuah wadah tempat warga Sumba meletakan obat-obatan atau minuman tertentu. Di samping botol, terdapat tas yang terbuat dari kain berwarna kecoklatan tua, dengan pita merah menghiasi bagian atas tas situ. Tas ini digunakan warga Sumba untuk beraktivitas di luar rumah. Di bagian bawah etalase juga dipamerkan beberapa peralatan seperti pisau besar (semacam golok), juga perisai kecil yang terbuat dari kayu yang diukir membentuk pola-pola khas Sumba. Selain untuk berperang, peralatan ini juga digunakan untuk berkebun dan berburu.
Di dekat pintu utama pameran, juga diperlihatkan beberapa koleksi kain asli Sumba. Ada sekitar tujuh kain, dengan warna yang berbeda-beda, dibalutkan di tiga penyangga berbentuk kerucut, yang disatukan dengan satu kain bewarna coklat kehijauan di atasnya. Kain-kain yang dipamerkan juga bermacam-macam, ada kain yang berpola, juga ada kain yang polos. Di Sumba, kain-kain ini masih diproduksi secara tradisional menggunakan pewarna alami memanfaatkan tanaman dan buah-buahan yang ada. Mungkin karena pewarna yang digunakan masih alami, warna yang dihasilkan tidak secerah kain-kain yang menggunakan pewarna tekstil. Walaupun begitu, kain-kain ini tetap terlihat indah dan menarik. Selain pewarnaan yang masih alami, warga Sumba juga merajut benang demi benang hingga menjadi kain dengan alat tenun sederhana. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang sangat lama, hal ini terlihat dari detilnya pola yang dihasilkan.
Saat mengamati dan menikmati pameran, terlihat pengunjung sangat antusias memperhatikan barang-barang yang dipajang. Tercium aroma parfum yang berbeda-beda, juga bau ruang pameran yang cukup pekat, membuat kami semakin menikmati pameran ini. Wewangian yang bersatu dalam pekatnya aroma ruangan pameran ini secara tidak langsung menunjukkan antusiasme bermacam-macam ‘perbedaan’ pada Sumba. Selain bising pengunjung, ruang pameran juga dipenuhi dengan lagu-lagu bernuansa Sumba. Terdengar juga oleh kami suara teknisi yang sedang mengecek pengeras suara untuk memberikan pengumuman tertentu. Terlihat juga oleh kami pengunjung yang bertransaksi membeli beberapa jurnal dan aksesoris yang tersedia di ruang pameran. Selain itu, juga banyak pengunjung yang menyempatkan foto dengan kain dan pajangan-pajangan lain sebagai latar belakangnya.
Beberapa foto yang menarik menurut kami adalah foto-foto kegiatan masyarakat yang ada di Sumba yang jarang sekali diperlihatkan di masyarakat. Foto-foto tanduk kerbau dan interaksi yang terjadi dalam masyarakat Sumba membuka pandangan kami akan indahnya Sumba tidak hanya melalui alamnya saja melainkan juga melalui budaya yang ada di masyarakatnya. Kemudian dipamerkannya beberapa puisi tentang sumba yang secara tersirat menjelaskan tentang keindahan sumba juga membuat kami semakin “merasakan” Sumba itu. Kehidupan di Sumba terasa sangat menenangkan, dan menjernihkan pikiran kami. Hal ini karena ketika kami membaca, kami harus membuat sendiri bayangan akan apa yang ingin disampaikan oleh penulis puisi tersebut.
Foto seperti di samping, menurut kami merupakan salah satu foto yang juga mengangkat pemahaman kami mengenai Sumba sampai ke hal-hal terkecilnya. Mungkin jika foto itu diambil di Yogyakarta tidak akan ada yang spesial dari foto tersebut. Namun ketika foto itu diambil di Sumba, ada rasa yang berbeda ketika melihat foto itu. Kami menjadi berangan-angan memikirkan apa sebenarnya yang sedang dilakukan mereka.
Kami rasa, sangat wajar dan sudah seharusnya pameran ini mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang. Selama ini, pesona Sumba lebih banyak kami saksikan dari layar televisi dan laman serta video di internet, yang tentunya tidak menyediakan informasi sekaya pameran ini, walaupun sebenarnya akan lebih baik bila kita pergi ke Sumba dan melihat semuanya secara langsung. Memang untuk pergi ke Sumba, kita membutuhkan ongkos yang lumayan banyak. Selain menabung uang untuk ongkos perjalanan ke Sumba, menghadiri pameran semacam ini juga secara tidak langsung menambah ‘bekal’ kita seputar pengetahuan tentang Sumba, tentu ini juga bisa disebut sebagai menabung, menabung ilmu pengetahuan.
Ketika menghadiri pameran ini, kami merasa diri kami terbawa ke Sumba. Memang jika hanya melihat foto-foto misalnya, bisa dilakukan tanpa perlu menghadiri pameran ini. Untuk melihat Sumba bisa dengan menggunakan aplikasi media sosial Instagram contohnya. Lalu hanya dengan menggunakan Google saja kita sudah bisa mengetahui Sumba karena sudah banyak orang-orang seperti traveler atau sejenisnya yang memberikan review tentang Sumba baik melalui tulisan maupun video. Namun dengan adanya pameran ini, khusunya kehadiran kain asli Sumba dalam bentuk fisik tersebut membuat kami bisa ikut “merasakan” secara langsung Sumba itu.
Dengan adanya kain tersebut, kami bisa melihat dan menyentuhnya. Menurut kami, menyentuh kain seperti ini meningkatkan empati kami dalam memunculkan “Sumba” dalam pikiran kami. Karena biasanya, ketika seseorang ingin mengetahui tempat lain tanpa adanya pameran tertentu, hanya visual dan audio saja yang didapat oleh seseorang itu. Namun ketika ada sesuatu asli yang didatangkan melalui pameran seperti ini, tidak hanya visual dan audio yang didapat melainkan juga memunculkan pemikiran-pemikiran bayangan akan bagaimana benda tersebut dibuat di tempat asalnya. Bisa dibilang bahwa sesuatu yang asli tersebut merangsang empati kita untuk merasakan budaya lain seperti budaya Sumba ini.
Comments