top of page

Literally sangat Which is: Gaya Berbahasa “Anak Jaksel” sebagai Fenomena Code Mixing Kekinian

Updated: Dec 9, 2018

By: Muhammad Dian Saputra Taher

Fenomena 'Which Is' dan 'Literally' Anak Jaksel

“Even gue jadi warga di warewaolf pun gue die. It’s like wwnya itu basically jahat banget. Gak like bgt si sama how to playnya mereka”#AnakJaksel #mainwerewolf

@cantbeyourlast – 13 September 2018

Bukan kata-kata yang terlihat asing lagi bagi banyak orang. Gaya berbahasa seperti ini telah viral di kalangan anak-anak muda yang dilabeli oleh masyarakat banyak dengan sebutan “anak Jaksel”. Gaya bahasa “anak Jaksel” merupakan penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris. Putri (2018) mengatakan bahwa profil Jakarta Selatan sejak dulu memang sudah dikenal sebagai kawasan kelas menengah dan ketimpangan sosialnya yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah Jakarta yang lain. Jakarta selatan juga justru bukan kawasan yang menjadi pusat ekonomi, melainkan kawasan yang konsumtif. Tidak heran bila kemudian hasilnya menjadi gaya bahasa “gado-gado”, karena paparan dari berbagai interaksi sosial kekinian yang berkembang di sana dari transaksi-transaksi berlabel internasional. Sebenarnya model penggunaan bahasa seperti itu tidak hanya terjadi pada mereka yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Namun, di bagian lain bahkan luar daerah juga menggunakan gaya berbahasa ini. Dalam istilah linguistik, gaya berbahasa “anak Jaksel” dikenal dengan istilah code mixing atau campur kode. Sumarsono (2002) mengatakan bahwa campur kode ialah penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Fenomena ini terjadi disebabkan banyak faktor pembentuknya di dalam masyarakat.


Mencampur bahasa merupakan lambang hierarki yang menunjukkan status sosial, pendidikan, dan kehormatan (Nurdiarsih, 2018). Berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Setiap orang dituntut untuk bisa berbahasa internasional agar dapat berhubungan dan bernegosiasi dengan siapa saja di seluruh dunia. Dalam konteks di Indonesia, yang paling menarik adalah manifestasinya dalam bentuk bahasa “campur sari” atau “ganda campuran” antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggabungan dua bahasa ini kemudian menarik perhatian, lantaran dianggap berbeda dari bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Antara Menaikkan Prestise atau Saling Mengakrabkan?

Gaya berkomunikasi yang menggunakan lebih dari satu bahasa dalam satu kalimat cenderung dilakukan untuk membedakan diri dengan lingkungan dan orang lain. Ditambah juga menurut beberapa orang merasa bahwa dengan mencampur bahasa itu kelihatan lebih keren. Terdapat prestise tersendiri saat menggunakan kata dalam bahasa Inggris ketika melakukan percakapan sehari-hari. Pencampuran bahasa ini juga terjadi karena ada faktor jarak kekuasaan atau dalam istilah komunikasi dikenal dengan power distance (CNN Indonesia, 2018). Budaya dan masyarakat Indonesia menganggap bahasa Inggris merupakan bahasa yang lebih tinggi dibandingkan bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia terbiasa dengan struktur sosial herarkis. Jadi, ada status sosial tertentu yang bila digunakan akan mendapatkan penghormatan atau prestise yang lebih tinggi. Bahasa Inggris dianggap mewakili simbol itu (Azanella, 2018).

Penggunaan bahasa Inggris di dalam bahasa Indonesia dianggap bisa mengangkat derajat seseorang yang memakainya (Akbar, 2018). Bukan hanya untuk berhubungan saja, namun terdapat unsur simbolik di dalamnya. Dengan berbicara bahasa Indonesia yang diselipkan bahasa Inggris, dilihat lebih keren, lebih oke, lebih dari yang lain karena konsep hierarkis sudah tertanam kuat di dalam struktur masyarakat Indonesia. Sebenarnya, bukan anak Jakarta Selatan saja yang gemar mencampur bahasa. Namun, mengapa code mixing atau campur kode bahasa ini menjadi identik dengan anak Jaksel? CNN Indonesia (2018) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena Jakarta Selatan diasosiasikan sebagai wilayah dengan kelompok ekonomi lebih tinggi sehingga relevan dengan kode bahasa tersebut dan dalam tanda kutip sah-sah saja jika dikaitkan dengan Jaksel.

Candaan, Kritikan, hingga Apresiasi: Sebuah Tanggapan Masyarakat

Fenomena ini terus berkembang hingga banyak ditiru oleh kalangan remaja di berbagai wilayah Indonesia. Namun, dalam rangka peniruan ini adalah banyak dari mereka melakukan kritikan atau hanya sekedar bercanda bahkan tidak sedikit juga yang berkomentar positif terhadap fenomena ini. Penggunaan kalimat yang melibatkan lebih dari satu bahasa merupakan sesuatu yang wajar dan sudah biasa terjadi dalam dunia linguistik. Hal seperti ini biasanya terjadi karena seseorang sedang mempelajari sebuah bahasa baru sehingga belum menguasai seluruh kosakata dalam bahasa itu (Azanella, 2018). Jika merujuk pada fenomena “anak Jaksel”, kosakata yang mereka gunakan untuk dicampur itu bukan kosakata yang sulit jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti which is dan literally. Jadi, jika dikaitkan dengan konsep linguistik yang ada, terdapat “cross reaction” dalam fenomena ini. Selain itu, untuk penyebutan istilah-istilah teknis, bahasa asing terutama bahasa Inggris, banyak digunakan karena lebih populer dan lebih dulu ada. Untuk kasus-kasus seperti ini, penggunaan kata asing biasa disebut sebagai kata pinjaman yang bersifat sementara, sembari menunggu ada kata pengganti yang sesuai dalam bahasa yang biasa digunakan dan penggunaannya dianggap lebih nyaman bagi masyarakat luas (Azanella, 2018).

Pendidikan tentang bahasa juga harus membicarakan soal kesantunan, cara menyampaikan pendapat yang runut dan sebagainya. Dalam keadaan informal kalau terlalu menggunakan bahasa yang formal akan terlihat aneh. Menggunakan bahasa gaul seperti ini dianggap bisa mengakrabkan walaupun lebih besar tujuannya mengarah pada prestise tadi. Munculnya banyak pemberitaan di masyarakat mengenai tren mencampurkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia saat berbicara menghadirkan berbagai sudut pandang. Banyak yang beranggapan bahwa hal ini merupakan dampak globalisasi sehingga penguasaan bahasa Inggris menjadi sangat penting dan memunculkan fenomena bahasa “anak Jaksel” dan ada pula yang menganggap bahwa ini bisa menjadi sebuah keresahan terkait dampaknya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang menjadi tidak baik, cenderung hanya sebagai gaya saja. Munculnya fenomena ini tidak berpengaruh secara signifikan mengenai motivasi seseorang dalam menggunakan bahasa Inggris di percakapan sehari-hari (Akbar, 2018). Mengenai kontroversi dari fenomena ini, kembali lagi bagaimana setiap individu menyikapi hal tersebut. Intinya gunakanlah bahasa dengan bijak, mengerti serta memahami konteks dari penggunaan bahasa sehingga tidak memunculkan kekeliruan berbahasa baik Indonesia maupun Inggris.


Kompilasi Twit Kocak Guyonan Warganet Soal Bahasa Gaul Anak

Risiko Kontak Bahasa

Fenomena campur kode ini merupakan risiko dari kontak bahasa. Di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tetapi di sisi lain, bahasa juga mempunyai fungsi. Kalau terlalu formal, maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing. Seharusnya, anak muda memiliki kemampuan membedakan konteks pemakaian bahasa. Pada konteks apa seseorang harus menggunakan bahasa baku, dan kapan boleh menggunakan bahasa gaul yang dicampur dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Menurut saya, mencampur dua bahasa ini akan meningkatkan keberanian untuk berbicara bahasa Inggris. Tak dipungkiri, keberanian untuk berbicara bahasa asing dengan orang asing masih menjadi kendala utama bagi sebagian warga. Kebanyakan mereka takut dengan tata bahasa salah satu kosa kata yang terbatas. Selain itu, penggunaan dua bahasa ini menunjukkan kemampuan bahasa yang baik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa menunjukkan kemampuan multitasking atau mengerjakan banyak hal dalam satu waktu (CNN Indonesia, 2018). Penelitian lain juga menemukan kemampuan lebih dari satu bahasa membuat seseorang dapat memutuskan pilihan dengan lebih rasional. Studi lain pun mengungkap menguasai lebih dari satu bahasa membuat seseorang lebih sensitif terhadap lingkungan. Namun, fenomena ini bisa jadi dianggap bahwa di masyarakat Indonesia malas belajar bahasa Indonesia bagi orang asing.

Azanella (2018) mengatakan bahwa pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing belum memasuki tahap yang mengkhawatirkan jika masih dipakai dalam tataran percakapan sehari-hari . Lingkungan dan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia apalagi pada tahap Masyarakat Ekonomi ASEAN seperti sekarang banyak mengundang perhatian untuk menyelaraskan kemampuan berbicara dengan masyarakat luas. Faktor adanya bahasa-bahasa yang berdampingan dan digunakan secara simultan, membuat pencampuran bahasa sangat mungkin terjadi. Dalam otak seseorang, ada tempat-tempat tertentu di mana kita menyimpan memori tentang kata-kata tersebut. Penggunaan lebih dari satu bahasa membuat seseorang punya pemahaman dengan kata yang sama namun maknanya bisa berbeda atau sebaliknya, makna sama namun kata-katanya yang berbeda.

Banyak kalangan yang mencibir gaya berbahasa “anak Jaksel” yang dianggap melecehkan bahasa negara dan tidak mencerminkan nasionalisme. Salah satu anggapan yang lazim dipakai para ahli bahasa dan pecinta bahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa yang dicampur semacam ini menandakan kusutnya pikiran si penutur bahasa dan ketidakmampuan dalam menyusun kalimat. Padahal, seruan untuk tidak menggunakan bahasa “campur-campur” ini bukanlah sikap kefanatikan terhadap bahasa Indonesia, melainkan sikap untuk menghargai bahasa sebagai identitas dan jati diri bangsa. Di zaman yang hampir tidak ada sekat dan batas-batas antar negara, penggunaan campur kode menjadi sangat umum terjadi (Nurdiarsih, 2018). Tidak hanya dengan bahasa Inggris, lihat saja bagaimana bahasa Belanda dulu sangat merasuk ke dalam percakapan sehari-hari, hingga akhirnya beberapa kosakata pun diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Sebenarnya, campur kode tidak melulu merupakan gejala yang buruk dan haram untuk terjadi. Pemakaian campur kode mencerminkan pikiran penutur dengan kemampuan intelektual dan penyerapan luas, sepanjang dipakai dalam struktur tata bahasa yang benar. Bahkan bagi sebagian yang lain, campur kode menjadi semacam tanda untuk mendobrak batas-batas yang dirasa mengungkung, termasuk dalam soal berbahasa. Akan tetapi, sebagai anak milenial, bisa berbahasa Inggris dengan baik memang menjadi nilai plus, tetapi akan lebih baik lagi jika kita jangan sampai merusak bahasa Indonesia itu sendiri, jangan sampai kebiasaan mencampur adukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa ibu kita lama-lama tergerus dan terlupakan. Pada akhirnya, kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar didasarkan pada kemauan masing-masing individu. Sebab, banyak orang yang nyatanya bisa menyesuaikan lidahnya untuk berbicara menggunakan bahasa baru yang notabene bukan merupakan bahasa ibunya.


Referensi:

(1) Akbar, Q. A. 2018. Tren Berbahasa “Anak Jaksel”: Masih Percaya Dirikah Kamu?. Diakses dari https://www.kompasiana.com/qodriaziziakbar1782/5b9cb7c7677ffb5f7f7502d8/tren-berbahasa-anak-jaksel-masih-percaya-dirikah-kamu, pada tanggal 27 September 2018.

(2) Azanella, L.A. 2018. Candaan Gaya Berbahasa “Anak Jaksel”, Mengapa Fenomena ini Terjadi?. Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2018/09/14/07185141/candaan-gaya-berbahasa-anak-jaksel-mengapa-fenomena-ini-terjadi, pada tanggal 27 September 2018.

(3) CNN Indonesia. 2018. Fenomena Campur Aduk ‘Bahasa Anak Jaksel’. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180919154522-282-331461/fenomena-campur-aduk-bahasa-anak-jaksel, pada tanggal 27 September 2018.

(4) Nurdiarsih. F. 2018. Kolom Bahasa: Gaya Bahasa Anak Jaksel, Cuma Tren atau Keruwetan Berpikir?. Dikases dari https://www.liputan6.com/citizen6/read/3643014/kolom-bahasa-gaya-bahasa-anak-jaksel-cuma-tren-atau-keruwetan-berpikir, pada tanggal 28 September 2018.

(5) Putri, L. N. 2018. Fenomena Gaya Bahasa Anak Jaksel: Apakah Mengancam Bahasa Indonesia. Diakses dari http://nationalgeographic.grid.id/read/13940384/fenomena-gaya-bahasa-anak-jaksel-apakah-mengancam-bahasa-indonesia?page=2, pada tanggal 12 Oktober 2018.

(6) Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page