top of page

Makan Apa Saja dengan Sayur Kol

Oleh Fransiskus Denny Pratama & Nur Muhammad Swastika Ardhi


Ilustrasi binatang peliharaan. Sumber: Pinterest

...

Makan daging anjing dengan sayur kol,

Sayur kol.. sayur kol..

Makan daging anjing dengan sayur kol..


Kami yakin sebagian besar dari pembaca langsung memutar sebuah lagu di kepalanya setelah membaca penggalan lirik lagu di atas. Akhir-akhir ini media sosial sedang diramaikan dengan video seorang anak kecil yang menyanyikan lagu makan “daging anjing dengan sayur kol”. Video ini mengundang banyak reaksi, mulai dari pujian, tawa, hingga kritik dan kecaman. Lirik lagu yang tidak biasa, serta mimik wajah anak kecil yang lugu membuat sebagian orang merasa unggahan ini adalah komedi yang sangat menggelitik. Namun, sebagian lagi merasa bahwa lagu ini merupakan bentuk kekerasan terhadap binatang. Memakan daging anjing adalah kegiatan yang dianggap tidak lazim, mengingat bahwa anjing selama ini dianggap sebagai teman manusia, man’s best friend.


Video viral lagu Sayur Kol. Sumber: Youtube



Nyatanya, anjing adalah binatang yang juga dikonsumsi oleh manusia. Di Sumatera Utara misalnya, daging anjing seringkali dihidangkan di hampir setiap lapo yang tersebar di sini. Berdasarkan jurnal yang diunggah di kompas.com, daging anjing diolah dengan beberapa metode memasak, mulai dari dipanggang, digoreng, atau dijadikan sup. Daging anjing merupakan makanan yang umum dijumpai di sana. Jika kita bergeser sedikit ke negara tetangga, setiap tahun digelar festival daging anjing yang cukup besar di Yulin, Cina. Dari film dokumenter singkat yang diunggah Vice Indonesia di YouTube, festival ini tetap rutin digelar walau banyak kecaman dan penolakan dari pemerintah dan pecinta binatang.


Bagi kami, fenomena ini cukup dilematis. Kami sendiri merasa mengonsumsi daging anjing adalah kegiatan yang kejam. Selama ini, anjing adalah binatang yang dikenal dekat dan setia dengan manusia. Namun, kami juga tidak sepenuhnya merasa mengonsumsi daging anjing adalah sebuah kesalahan. Ternyata tidak semua orang menganggap anjing sebagai teman dekat manusia. Bagi sebagian orang, anjing bisa saja dilihat sebagai binatang ternak seperti halnya sapi dan domba dan mengonsumsi daging anjing bisa saja dinilai sebagai hal yang lazim dan wajar. Namun bagi sebagian orang, memakan daging anjing bisa saja sudah menjadi sebuah tradisi dan sudah menjadi kultur. Lantas, apakah mengonsumsi daging anjing adalah sebuah kegiatan yang salah dan keji?


Anjing yang Diperdagangkan untuk Dikonsumsi. Sumber: www.worlddogalliance.org

Berangkat dari fenomena yang sedang hangat dibicarakan ini, kami berdua berniat untuk mengkaji lebih dalam konsep ‘binatang’ ini. Kami berkesempatan untuk berbincang bersama kedua teman dari Fakultas Kedokteran Binatang dan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Dari perbincangan yang kami lakukan dengan kedua teman ini, kami akan berusaha mengkaji fenomena ini dari sudut pandang antropologi, kedokteran hewan, dan peternakan.


Simbol, Materi, dan Teman Hidup.

Dalam ilmu antropologi, relasi manusia dengan binatang sudah cukup lama dipelajari. Di abad ke-19, dua gagasan tentang binatang dan manusia muncul melalui totemisme dan animisme. Dalam artikel soal konsep binatang dalam the Cambridge Encyclopedia of Anthropology, White dan Candea menuliskan:


Totemism (derived from an Ojibwa term totam or totem) was used to describe the association of a species of animal or plant with a clan or subsection of society. Animism described the broader worldviews in which nonhuman entities, including objects, plants, and animals, were considered to have souls akin to those of humans. (White and Candea, 2018:2).


Dalam totemisme, binatang dan tumbuhan tertentu dijadikan suatu simbol yang menggambarkan kepribadian suatu masyarakat. Binatang dan tumbuhan yang dijadikan simbol ini dianggap sakral dan dihormati oleh seluruh anggota dalam masyarakat tersebut. Dalam animisme, berbagai objek bisa dianggap memiliki jiwa yang serupa dengan masyarakat tertentu. Selain binatang dan tumbuhan, objek ini juga bisa berupa benda mati dan benda non-manusia lainnya.


Menurut Thomas White dan Matei Candea, antropologi memandang binatang lewat tiga sudut pandang: binatang sebagai simbol, binatang sebagai materi, dan binatang sebagai pendamping dalam hidup. Totemisme dan animisme yang sempat disinggung di atas merupakan contoh memandang binatang sebagai sebuah simbol. Dalam kedua kebudayaan tersebut, binatang memiliki daya spiritual yang besar dan sangat disucikan. Dalam totemisme dan animisme, kita tidak melihat binatang sebagai sebuah objek yang memiliki tulang dan daging, namun sebagai suatu entitas spiritual yang dianggap memiliki kemiripan dengan suatu masyarakat.


Di masa kini, perwujudan binatang sebagai simbol cukup mudah ditemukan. Lambang negara Indonesia sendiri diwujudkan dalam sosok burung garuda yang menunjukan kekuatan dan kebesaran negara. Selain itu, banyak perusahaan ternama di dunia yang menggunakan binatang sebagai simbolnya. Sebut saja Puma, perusahaan mode Jerman ini menggunakan puma atau singa gunung sebagai logonya. Selain itu, perusahaan otomotif inggris, Jaguar, menggunakan jaguar sebagai maskot dan logonya. Binatang-binatang yang dijadikan identitas ini tentu mewakili sifat atau nilai tertentu yang dirasa cukup relevan dengan citra yang diharapkan timbul oleh perusahaan tersebut.


Binatang juga dilihat sebagai suatu sumber daya bagi manusia. Manusia sejak lama sudah mendomestifikasi berbagai macam binatang untuk keperluan produksi dan konsumsi. Manusia menciptakan berbagai macam metode dalam merawat dan memelihara binatang-binatang ini, agar pada saat tertentu dapat dimanfaatkan daging ataupun bagian tubuh lainnya. Selain sebagai sumber pangan, tenaga binatang juga dimanfaatkan manusia untuk meningkatan produktivitas dalam kerja.


Binatang sebagai sumber daya adalah perspektif yang mungkin sangat amat sering digunakan oleh banyak manusia di segala tempat. Binatang seperti sapi dan kerbau, selain dimanfaatkan dagingnya untuk konsumsi, juga dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah dan menarik gerobak. Ayam, bebek, dan unggas lainnya dimanfaatkan untuk diambil telur juga dagingnya. Mengonsumsi binatang-binatang yang didomestifikasi ini merupakan hal yang wajar dan sepatutnya dilakukan, karena memang atas tujuan itulah binatang ini dipelihara. Maka dari itu, sangat memungkinkan akan timbul kecaman dan protes ketika manusia mengonsumsi daging binatang diluar kategori ini. Banyak istilah yang muncul untuk fenomena ini, misalnya saja konsep kuliner ekstrem.


Kedua cara pandang di atas, binatang sebagai simbol dan materi, menempatkan binatang sebagai mahkluk sekunder di bawah manusia. Hewan tidak lain hanya sebuah entitas yang dimanfaatkan manusia untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Di sini, antropologi juga menawarkan cara pandang lain, yaitu binatang sebagai pendamping hidup. Dalam perspektif ini, binatang diletakkan berdampingan dengan manusia, sebagai teman hidup. Dalam cara pandang ini, sangat penting melihat relasi manusia dengan hewan sebagai suatu proses (White and Candea 2018). Perspektif ini bisa dijelaskan lewat fenomena binatang peliharaan. Sering kita lihat banyak binatang yang dipelihara di rumah-rumah diperlakukan layaknya manusia pula. Binatang ini dimandikan ketika kotor, dibawa ke klinik ketika sakit, bahkan diberikan tempat tidur yang cukup nyaman.


Memanusiakan Binatang

Manusia tidak bisa terlepas dari hubungannya dengan binatang. Entah itu binatang sebagai sumber makanan, binatang sebagai peliharaan, maupun binatang sebagai pembantu kegiatan manusia. Secara biologis pun masuk dalam kategori primata dari golongan mamalia. Secara tidak langsung, manusia dan binatang sebenarnya sama saja.


Terkadang, manusia justru lebih percaya dengan binatang dibandingkan dengan manusia lain karena binatang dinilai lebih “manusia” daripada manusia itu sendiri. Tingkah laku antar binatang satu dengan binatang lain sering membuat manusia merasa bahwa binatang juga punya hati nurani maupun akal, sama dan sejajar dengan manusia. Untuk membahas lebih lanjut mengenai konsep binatang, kami mewawancarai dua narasumber yang memiliki latar belakang berbeda yaitu kedokteran hewan dan peternakan.


Beberepa Dokter Hewan di Konservasi. Sumber: Pinterest

Datang ketika Dibutuhkan

Untuk memahami konsep binatang dari ranah kedokteran hewan, kami mewawancarai Reshita, mahasiswi semester 3 di jurusan Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Berdasarkan pernyataan Reshita, di kedokteran hewan, hewan dibagi menjadi dua yaitu hewan kesayangan dan hewan ternak. Di kedokteran hewan sendiri, mereka fokus terhadap etika manusia terhadap binatang. Reshita mengatakan bahwa etika terhadap hewan itu penting karena di Kedokteran Hewan itu memegang konsep onehealth. Ketika lingkungannya sehat maka manusianya pun akan sehat sehingga menjadi satu kesehatan yang bagus dan di dalamnya banyak yang terlibat.


Singkatnya, dalam kedokteran hewan, binatang adalah makhluk yang harus dilindungi sama halnya dengan manusia. Kedokteran Hewan menurut Reshita tidak membahas tentang dagingnya untuk dikonsumsi, hanya fokus ke biologis hewan dan pendukungnya seperti nutrisi. Kemudian, Reshita mengatakan bahwa dokter hewan itu berprinsip ada karena dipanggil untuk mengobati hewan, entah itu hewan kesayangan, ternak, ataupun liar. Fokusnya adalah setiap hewan berhak untuk dirawat ataupun diobati. Ketika binatang itu sakit maka manusia membantu binatang tersebut untuk kembali sehat. Terlepas dari setelah binatang itu sembuh ia akan dikonsumsi, dimanfaatkan tenaganya, atau hanya sebagai peliharaan saja.


Dokter Hewan Peliharaan. Sumber: Pinterest

Lalu kembali ke kasus anjing yang dikonsumsi, menurut Reshita daging anjing seharusnya menjadi daging yang dikonsumsi ketika tidak ada daging lainnya lagi. Tetapi masalahnya adalah itu tidak etis karena anjing masuk dalam kategori hewan kesayangan dan tujuannya bukan untuk dimakan. Anjing yang sudah dipelihara lalu di ambil dagingnya itu sudah salah karena menurut Reshita tujuan awalnya adalah untuk hewan kesayangan. Mahasiswa FKH sendiri tidak ada yang mau mengonsumsi daging anjing dan tidak ada yang tega. Selain itu, yang dipermasalahkan adalah ketika daging yang diambil merupakan daging anjing liar dan cara membunuhnya sadis. Menurut Reshita, ketika binatang tersebut dirawat akan berbeda kualitasnya dengan yang tidak dirawat. Intinya tetap pada etika manusia terhadap binatang tersebut. Menurut Reshita, hewan kesayangan memang tidak ada patennya, tetapi biasanya adalah anjing dan kucing.


Reshita menambahkan bahwa hewan seperti kelinci yang bisa dibilang hewan kesayangan ketika dimakan itu sebenarnya biasa saja. Selama cara memotongnya masih wajar dan sumbernya jelas. Namun masih ada perasaan khawatir dalam diri Reshita karena hewan tersebut tidak biasa dikonsumsi seperti ayam maupun sapi. Lalu sehuubungan dengan hewan kesayangan, ada yang disebut dengan adopsi. Reshita mengatakan bahwa adopsi adalah tanggung jawab penuh pada adopter, sehingga ketika ada yang memberikan biaya untuk adopsi itu sebenarnya sebagai bentuk tanggung jawab dan sense of belonging.


Beberapa Binatang yang "Dipelihara". Sumber: Pinterest

Mendatangkan karena Butuh

Untuk memahami konsep hewan dalam ranah peternakan, kami mewawancarai Kezia, mahasiswi semester tiga jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, UGM. Kezia mengatakan bahwa ranah peternakan membahas binatang mulai dari embrio sampai dewasa. Berbeda dengan kedokteran hewan, di peternakan, binatang dibagi menjadi tiga yaitu ternak potong, ternak kerja, dan ternak kesayangan.


Ternak potong menurut Kezia merupakan hewan yang dipelihara untuk dipotong seperti binatang yang sering kita makan sehari-hari. Tetapi terkadang ada kelinci dengan ras tertentu yang masuk ke jenis ternak ini. Kezia mengatakan hal tersebut bisa terjadi karena ada double standard dalam beberapa binatang. Contohnya adalah kambing etawa yang mulanya ternak kesayangan untuk kontes dan ketika sudah tua menjadi ternak potong.


Kemudian Kezia mengatakan bahwa ternak kerja merupakan hewan yang dipelihara untuk dimanfaatkan tenaganya seperti kuda. Untuk ternak kerja seperti kuda, itu diternakkan untuk dilombakan. Tetapi kalau performanya sudah berkurang, produksinya berkurang, nanti biasanya akan dipotong daripada sia-sia masa afkirnya. Kezia mengatakan bahwa semua hewan itu punya fase afkir atau fase tua. Daripada fase afkirnya sia-sia, akhirnya dimanfaatkan dengan dipotong misalnya. Di Jogja sendiri ada tempat untuk pemotongan kuda, kemudian di sisi lain, kuda juga digunakan untuk riset karena di darah kuda banyak kesamaan dengan binatang besar lainnya.


Kuda di Peternakan. Sumber: Pinterest

Terakhir, ternak kesayangan merupakan hewan yang dipelihara karena kesukaan sepeti kucing atau anjing. Kalau untuk ternak kesayangan seperti anjing dan kucing ketika sudah afkir akan dibiarkan saja dia mati dengan sendirinya (bukan karena keinginan manusia). Afkir juga ada aturannya sendiri untuk setiap hewan, seperti ayam contohnya, 72 minggu, kemudian bisa dipilih untuk diremajakan (diproduktifkan lagi) atau dipotong untuk dikonsumsi.


Kezia mengatakan bahwa di peternakan, hewan yang dimanfaatkan dengan dipotong dan diambil dagingnya itu tidak terbatas, termasuk anjing. Tetapi di peternakan memiliki prinsip animal welfare. Prinsip itu adalah yang pertama hewan bebas dari rasa lapar dan haus, kedua hewan bebas untuk mengekspresikan dirinya, ketiga bebas dari rasa sakit, keempat bebas dari stres, dan kelima selama pemeliharan tidak boleh tersakiti. Disini meskipun nantinya binatang tersebut akan dipotong, ia tetap harus memiliki kualitas hidup yang bagus sebelumnya. Kezia mengatakan bahwa karena kita terbantu dengan mengonsumsi binatang tersebut, sudah seharusnya kita juga membantu binatang tersebut agar melewati masa hidup yang baik. Lalu, di peternakan juga memiliki prinsip pemotongan Western method dan halal. Kedua metode pemotongan ini punya cara yang sama dengan berpedoman supaya hewan tidak merasakan sakit atau langsung mati ketika dipotong.


Kezia mengatakan bahwa hewan itu punya hak hidup, di fakultas peternakan kalau hewan itu boleh dimakan maka mereka (peternakan) akan memfasilitasi hal itu. Bagaimana cara merawat hewan itu, bagaimana nutrisinya dan lain-lainnya. Karena memang tujuannya untuk diternakkan dan ada outputnya untuk manusia maka dari itu peternakan akan memfasilitasi. Apapun yang diternakkan di peternakan bertujuan untuk mencari profit. Bisa dibilang di sini manusia mendatangkan binatang karena manusia membutuhkan binatang.


Lalu, meskipun hewan itu kehidupannya bisa kita optimalkan, menurut Kezia, kalau untuk perkawinan silang kita tetap harus memperhstikan bangsa-bangsa mereka. Jangan sampai mempengaruhi bangsanya. Di Indonesia sendiri peternak-peternak rakyat sering kali tidak peduli dengan bangsa binatangnya. Padahal di setiap bangsa memiliki cara merawat yang berbeda.


Untuk masalah anjing sebagai ternak kesayangan yang dimakan, menurut Kezia, kita tidak bisa membatasi orang mau mengonsumsi daging apa, itu tetap harus sesuai dengan animal welfare dan sudah memenuhi persyaratan untuk dipotong. Di peternakan tidak membenarkan adanya konsumsi daging dengan tidak sesuai dua prinsip tadi. Lalu untuk daging anjing menurut Kezia itu budaya, dan di budaya itu ada yang sesuai dengan prinsip itu dan ada yang tidak. Kalau dipeternakan karena tidak membatasi mau konsumsi daging apa, yang pasti harus ada normanya karena sama-sama makhluk hidup dan kita diuntungkan oleh hewan tersebut.


Hubungannya dengan prinsip, Kezia mengatakan bahwa ketika seseorang mengatakan dogs are not food itu karena orang tersebut memellihara anjing atau sayang dengan anjing. Sebenarnya itu juga sama halnya dengan orang yang sayang sapi tetapi dia tidak mengonsumsi sapi. Seperti di India misalnya yang mayoritas tidak mengonsumsi sapi tetapi sapi tersebut pada akhirnya di ekspor ke negara lain. Kalau tentang hal itu pada dasarnya itu budaya. Karena di luar negeri (eropa yang menjadi kiblat jurusan peternakan) itu mayoritas tidak mengonsumsi anjing.

Menurut Kezia siapapun boleh memiliki prinsip sesuai yang dia inginkan. Anjing maupun sapi itu sama-sama hewan. Ketika seseorang boleh memotong hewan ini (sapi) maka seseorang tersebut juga diperbolehkan memotong hewan itu (anjing). Tetapi karena kita sudah memiliki border atau batasan tiga jenis bitang tadi maka seharusnya kita bisa menyesuaikan hal tersebut.


Festival Kukur Tihar di Nepal. Sumber: Pinterest

Anjing dan Sayur Kol Hanyalah Sebagian Kecil Bentuk Toleransi

Setelah berdiskusi dengan teman-teman dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan UGM ini, kami menyadari bahwa ternyata fenomena ini tidaklah rumit. Fenomena ini hanyalah bentuk lain dari perbedaan perspektif, sesederhana itu. Mungkin anjing dinilai tidak pantas untuk dikonsumsi di Indonesia karena banyak orang di sini yang melihat anjing sebagai binatang kesayangan, dan bukanlah binatang untuk dikonsumsi. Sama halnya dengan ini, mengonsumsi daging sapi merupakan hal yang lumrah di sini. Namun, ketika kita mengonsumsi daging sapi di India, apakah akan banyak orang yang akan menyerbu dan mengancam untuk membunuh kita? Ketika kita adalah seorang vegetarian, apakah kita harus melarang dan mengecam orang yang mengonsumsi daging?


Dalam reportase di film dokumenter berjudul “Bersantap Anjing di Yulin” yang diunggah Vice Indonesia di YouTube, salah satu orang yang mengonsumsi daging anjing merasa hal ini bukanlah suatu kekejian. Menurutnya, mengonsumsi daging sapi atau kerbau justru lebih keji, karena sapi dan kerbau adalah hewan yang membantu manusia menyelesaikan pekerjaannya. Anjing menurut mereka tidaklah membantu pekerjaan sehari-hari, sehingga lebih pantas dikonsumsi. Menurutnya, mengonsumsi daging anjing adalah hak mereka sebagai manusia, selama tidak merugikan orang lain (contohnya dengan mencuri anjing orang lain untuk dikonsumsi).


Menurut kami, cukup egois ketika kita melarang orang lain untuk tidak melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan ideologi kita masing-masing. Nyatanya, apa yang kita yakini dan anggap benar selalu menghadirkan batas-batas dalam kehidupan sehari-hari. Kita akan selalu bersinggungan dengan idealisme yang kontras, dalam kasus ini mungkin perseteruan antara konsumen daging anjing dan pecinta binatang.


Pada akhirnya, solusi atas permasalahan ini kembali pada toleransi. Walaupun mengonsumsi daging anjing dinilai keji, kegiatan ini merupakan hak seorang manusia pula. Setidaknya, kita yang tidak setuju dengan kegiatan ini tidak mengonsumsi juga daging anjing. Selalu ada hal yang tidak bisa kita lakukan, hal-hal yang diluar jangkauan kita sebagai manusia. Salah satunya adalah fenomena daging anjing dengan sayur kol ini.


Manusia yang bisa dibilang berada di puncak rantai makanan, memiliki peran besar dalam menyeimbangkan ekosistem di dunia ini. Jarang sekali binatang merusak wilayah permukiman manusia secara masal, sebagian kasus binatang yang merusak biasanya karena wilayahnya yang bergesekan dengan manusi sehingga menimbulkan konflik tertentu. Namun di sisi lain, manusia dengan mudahnya merusak wilayah dan ekosistem dari binatang-binatang tersebut dan sedikit yang berupaya untuk memperbaikinya. Ironisnya, ketika manusia merusak ekosistem, wilayah, ataupun menyakiti binatang, sebenarnya manusia menyakiti manusia itu sendiri karena pada dasarnya manusia adalah “binatang”.


Referensi


Mei Leandha. (22 Febuari 2018). " Perjalanan Daging Anjing di Medan, dari Pasar hingga Piring Makan" dalam https://regional.kompas.com/read/2018/02/22/09123491/perjalanan-daging-anjing-di-medan-dari-pasar-hingga-piring-makan-1?page=all diakses pada 26 Desember 2018


White, T. & M. Candea. (2018). Animals. In The Cambridge Encyclopedia of Anthropology (eds) F. Stein, S. Lazar, M. Candea, H. Diemberger, J. Robbins, A. Sanchez & R. Stasch. http://doi.org/10.29164/18animals


Film Dokumenter VICE Indonesia "Bersantap Anjing di Yulin" dalam https://youtu.be/MX0zV40ovMQ diakses pada 26 Desember 2018


Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page