top of page
Writer's picturerismarinnib

Mall and Market: Leburnya Batas Kebutuhan dan Keinginan

Updated: May 14, 2019

Annisa Surya, Bernarda Rismarinni, Chairina Indita


Keliling Mall: Pengamatan

Jalan-jalan di mal merupakan satu dari sekian pilihan kami ketika sedang jenuh dan buntu dengan segala urusan yang ada (walaupun kadang juga kami jadi lebih pusing ketika barang yang kami taksir sangat menarik hati tapi tak sanggup dibeli). Window shopping menjadi satu dari sekian kegiatan yang dinilai bukan hanya kami, namun banyak orang, sebagai salah satu kegiatan yang mampu sedikit mendinginkan kepala–dengan berjalan-jalan di mal itu sendiri, atau dengan mencari pemandangan yang baru (baca: outlet dan beragam isinya).


Beragam kalangan kami temui dari kunjungan ke beberapa mal di Jogja. Kami mengunjungi empat mal yang ada di Kota Jogja: Galeria, Lippo Mall, Ambarukmo Plaza, dan Malioboro Mall. Pengamatan kami beragam, mulai dari waktu sebelum puasa hingga memasuki bulan puasa. Di awal pengamatan kami mengunjungi salah satu mal yang paling dekat dengan lokasi kampus UGM, yaitu Galeria, dan mal ini termasuk salah satu mal yang sering kami kunjungi. Mal ini menjadi pilihan dari banyak kalangan untuk menghabiskan waktu untuk sekadar nongkrong cantik, membeli es krim lalu duduk di kursi mal, hingga window shopping. Dibandingkan mal lain, Galeria bisa dibilang sebagai mall dengan luas yang tidak seberapa–terlebih jika dibandingkan Hartono Mall yang kurang ramah bagi mereka yang tidak biasa berjalan jauh. Tidak sedikit pula sekolah menengah yang berada di sekitar lingkungan mal Galeria, sehingga pemandangan murid yang selepas jam sekolah masih lengkap mengenakan seragam duduk di pujasera mal bukan hal yang asing.


Dari segi visual pengunjung pun bermacam-macam, mulai seragam sekolah, pakaian pergi santai, hingga mereka yang terlihat mengeluarkan banyak effort dalam berdandan dan berbusana. Pengunjung bisa saja sendiri, berpasangan (walaupun bukan dengan pasangannya), dengan beberapa teman, atau satu keluarga komplit dengan babysitter-nya. Dengan waktu kurang dari satu jam sudah cukup bagi kami untuk menelusuri setiap lantai dan masuk ke hampir setiap outlet mal. Luas mal yang tidak besar pun juga membuat kami berpapasan dengan beberapa pengunjung lain yang kami hafali dari baju maupun ‘pasangan jalannya’ –bukan tidak mungkin juga mereka hafal dengan kami. Sedikit geli rasanya.


Lokasi kedua ada di Lippo Plaza Jogja. Saat itu kami berfokus pada pusat belanja Hypermart yang berada di lantai paling bawah. Situasi yang tampak dari depan pada Hypermart sepi dan damai karena tidak terlalu banyak orang yang sedang berbelanja kala itu. Setelah memasuki area perbelanjaan masih tidak tampak riuh konsumen dan hanya beberapa orang saja yang berada di dalamnya. Setelah kami berkeliling kami hanya menemukan konsumen dengan barang belanjaan yang tidak terlalu banyak dan ketika proses pembayaran konsumen konsumen tersebut lebih memilih untuk menggunakan transaksi non tunai.


Pada saat itu kami tidak sempat untuk mewawancarai konsumen tersebut, namun di lain kesempatan dengan konsumen yang berbeda kami menanyakan mengapa lebih memilih untuk menggunakan transaksi non-tunai, dan konsumen tersebut menjawab bahwa pembayaran non-tunai sangat mudah dan sederhana, karena tidak perlu membawa cash berlebih dan untuk meminimalisasi hilangnya uang jika terjadi tindak pencopetan. Alasan kedua ketika menggunakan transaksi non-tunai terdapat tawaran-tawaran menarik dari bank-bank yang digunakan dan juga mendapatkan penawaran khusus dari pihak toko, sehingga membuat konsumen tersebut memilih menggunakan transaksi non-tunai. Pada saat yang sama menemui konsumen berbelanja bersama keluarga besar, karena rasa ingin tahu kami mulai mendekati dan mulai berbincang. Konsumen tersebut membawa serta keluarga besar untuk berbelanja di Hypermart karena ingin menghabiskan waktu bersama sekaligus memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dengan berbelanja di Hypermart yang berada di dalam Lippo Plaza Mall sangat memungkinkan untuk menghabiskan waktu di dalam mall tersebut bukan hanya untuk sekedar berbelanja kebutuhan rumah tangga. Sehabis berbelanja kebutuhan, langsung berlanjut ke tempat makan dan makan bersama keluarga besar. Hal ini membuat mall bukan sekedar tempat berbelanja saja namun bisa sebagai sarana berkumpul keluarga dikala memiliki waktu luang walau hanya sekedar dengan makan bersama.


Kemudian pengamatan kami berlanjut ke Ambarukmo Plaza. Fokus kami tetap pada pusat perbelanjaan kebutuhan sehari-hari yaitu Carrefour. Pengamatan ini dilakukan pada H-1 bulan Ramadhan yaitu tanggal 5 Mei 2019, yang mana keadaan sangat jauh berbeda dengan keadaan di Hypermart yang ada di Lippo Plaza. Sangat banyak orang yang berbelanja bahkan sepasang suami istri bisa menggunakan dua troli untuk membeli kebutuhan untuk bulan puasa. Orang berbondong-bondong belanja di Carrefour dan memborong berbagai bahan pokok dan barang-barang lainnya. Di samping mereka ingin memenuhi kebutuhan selama sebulan, terlihat ada promo menarik jika membeli salah satu barang, tanpa pikir panjang langsung mengambilnya tanpa melihat sisi kebutuhan karena tergiur oleh promo menarik yang ditawarkan. Hal tersebut merupakan strategi dari pihak toko untuk menarik minat konsumen agar membeli barang tersebut. Dan biasanya yang menjadi sasaran adalah konsumen yang memiliki uang lebih dan tidak terlalu mementingkan prioritas, sehingga dapat tergiur oleh promo-promo tersebut.


Memasuki area pembayaran terlihat antrian yang cukup panjang dan lagi-lagi kami mengamati transaksi non-tunai yang dilakukan oleh konsumen. Banyak konsumen yang menggunakan transaksi non-tunai di Carrefour, namun ada juga yang masih menggunakan transaksi tunai. Seperti Ibu Parti (nama samaran), ia selalu rutin berbelanja bahan-bahan pokok di Carrefour setiap bulan demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ia memilih berbelanja di sana karena murah dan semua barang yang diinginkan ada, mulai dari sayur, daging, perlengkapan rumah tangga dan lain sebagainya dan juga rumah Ibu Parti dekat dengan Ambarukmo Plaza sehingga lebih memudahkan akomodasi ketika membawa barang belanjaan yang begitu banyak. Namun hal yang kami amati selanjutnya adalah walaupun Ibu Parti berbelanja sangat banyak ternyata ia masih tetap menggunakan transaksi  tunai atau cash daripada menggunakan transaksi non-tunai. Hal tersebut karena ia masih berpegang teguh pada prinsip hidup dimana penggunaan tunai lebih memudahkan dan menguntungkan daripada non-tunai. Ia beranggapan bahwa jika menggunakan transaksi non-tunai akan merugikan dirinya sebagai konsumen.


Masih di tempat yang sama, kami mengamati penggunakan kantong plastik untuk belanja. Walaupun sudah banyak petisi dan gerakan untuk mengurangi kantong-kantong plastik saat berbelanja nyatanya masih banyak konsumen yang memilih untuk menggunakan kantong plastik dari toko tersebut, dan sangat sedikit konsumen yang membawa tas untuk membawa barang belanjaannya, walaupun disediakan kardus untuk menggantikan kantong plastik, namun hal tersebut dirasa masih kurang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran manusia untuk mengurangi penggunaan kantong plastik yang sulit terurai di tanah dan memerlukan waktu lama untuk terurai. Apalagi dengan membeli barang-barang dengan bungkus sekali pakai, mereka berpikir jika sudah terbuang akan selesai sampai situ, namun kenyataannya tidak. Bungkus-bungkus makanan sekali pakai bisa sampai ke laut dan membahayakan kehidupan yang ada di laut.


Setelah menjajaki Galeria, Lippo Mall, dan Amplaz, pengamatan kami pun berlanjut yaitu di Mall Malioboro dan supermarket Hero. Ketika pengamatan dilakukan, bulan suci Ramadhan telah dimulai. Hal ini cukup mempengaruhi suasana mal yang biasanya ramai menjadi sepi. Restoran cepat saji dan supermarket di Mall Malioboro yang biasanya dipenuhi rombongan wisatawan dan keluarga menjadi lengang dan hanya dihiasi segelintir orang-orang yang menyempatkan ke mall tersebut. Namun, bulan puasa bukan berarti menghalangi masyarakat untuk tidak berjalan-jalan dan berbelanja di mall tersebut. Justru berjalan-jalan dan berbelanja di mal menjadi salah satu alternatif untuk mengisi waktu hingga waktu berbuka tiba. Hal ini semakin terbukti saat waktu menjelang berbuka, Mall Malioboro kembali penuh dengan orang-orang dari berbagai kalangan. Ada beberapa orang yang sudah siap di restoran, ada yang berburu roti di gerai roti ternama, dan ada yang berbelanja di supermarket di sana.


Rata-rata pengunjung yang kami jumpai di malini tidak datang sendirian, melainkan bersama teman, pacar, keluarga, dan rombongan wisatawan. Kegiatan yang dilakukan para pengunjung ini bervariasi. Di lantai satu dan dua kami mendapati keluarga yang sedang asyik berfoto ria di salah satu sudut mal. Kemudian ada yang terlihat hanya sekedar window shopping. Ada juga yang datang untuk berbelanja di gerai kecantikan, toko sepatu, dan toko baju yang sedang diskon hingga 70%. Pengunjung yang paling mencolok bagi kami adalah rombongan wisatawan. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan pakaian yang sama yaitu kaos berkerah berwarna hitam bergaris kuning dan mereka cenderung berpencar di mal secara bergerombol. Setelah memutari Mall Malioboro ini, kami merasa bahwa pengunjung pada siang hari itu adalah golongan kaum muda. Beberapa pasangan suami istri yang berpapasan masih tergolong keluarga muda. Apalagi pengunjung rombongan wisatawan yang masih remaja. Sedangkan dilihat dari gaya bahasa para pengunjung ini terlihat beberapa di antaranya bukan orang setempat. Rata-rata pengunjung juga menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa asalnya. Lalu dari segi penampilan, para pengunjung ini dapat dikategorikan termasuk orang mampu, berkecukupan, atau menengah ke atas.


Window shopping menjadi perilaku yang paling terlihat di lantai satu dan lantai berikutnya di mall tersebut. Berbeda dengan lantai-lantai di atas, bagian mal di lantai paling bawah yang terdapat supermarket, Hero, terlihat beberapa orang yang sedang berbelanja. Menariknya, ketika lantai atas penuh dengan kaum muda yang sedang berjalan-jalan dan berbelanja, supermarket Hero ini justru lebih banyak dikunjungi oleh golongan paruh baya yang mencari kebutuhan pangan keluarga. Hal ini terlihat dari keranjang belanja mereka dipenuhi oleh bahan-bahan makanan. Di sudut kanan dekat dengan buah-buahan, ada sepasang kakek dan nenek yang sedang meletakkan buah pilihannya. Sang kakek yang mendorong troli, sedangkan nenek itu yang memilih bahan-bahan makanan. Lalu di lorong bagian snack ringan, terdapat seorang bapak sendirian memilih makanan. Di bagian kasir, ada seorang bapak juga yang membeli cukup banyak barang hingga dibungkus kardus. Selain itu, ada juga kaum muda yang terdiri dari satu perempuan dan tiga laki-laki sedang sibuk berbelanja. Terdengar sedikit pembicaraan mereka sepertinya sedang menyiapkan bahan untuk berbuka. Bagi kami, pengunjung yang kami lihat di Hero ini dari segi penampilan tergolong orang yang berkecukupan. Pakaian mereka terlihat rapi dan fashionable.


Pengunjung yang memilih berbelanja di supermarket ini kami asumsikan merupakan orang yang berkecukupan karena mengingat harga di supermarket akan lebih mahal daripada berbelanja di pasar atau toko-toko biasa. Namun pemilihan supermarket sebagai tempat berbelanja kebutuhan hidup juga tidak terlepas dari referensi kenyamanan dan kedekatan dengan tempat tinggal. Misalnya saja, rumah mereka lebih dekat dengan supermarket daripada pasar, sehingga mereka memilih supermarket. Lalu kenyamanan dalam berbelanja juga menjadi faktor penentu. Hal ini seperti yang disampaikan Gatot Tri pada artikel beritanya bahwa supermarket memiliki kelebihan yang memberikan kenyamanan yang mungkin tidak ditemukan di pasar atau toko lain. Contohnya seperti adanya fasilitas pendingin ruangan, keranjang belanja, metode pembayaran dengan ATM, dan kenikmatan lainnya. Mungkin juga barang yang dicari pengunjung hanya tersedia di supermarket, sehingga semakin memantapkan untuk berbelanja di tempat tersebut.


Kenikmatan lainnya di supermarket adalah barang-barang dagangan ini sudah ditata dengan rapi di rak atau tempat khusus sesuai dengan jenis barangnya. Misalnya, ada bagian khusus susu dan yogurt, kapas, dan sabun cuci muka. Barang yang rapi sesuai jenisnya ini sungguh membantu para pengunjung. Hal ini terlihat membantu  rombongan muda yang kami jumpai ketika mereka saling bercakap mencari saus. Lalu begitu barangnya ditemukan salah satu langsung berkata, “ Oh, ini di bagian ini semua. Sini deh pilih saus merk apa!” Lucunya, kenikmatan untuk lebih mudah menemukan barang yang dicari ini justru cukup memanjakan pengunjungnya. Pengunjung memang jadi cepat berbelanja, tetapi pengunjung juga jadi malas untuk mengembalikan barang yang tidak jadi dibeli ke tempat semula barang itu berada. Gatot Tri di artikelnya juga menyinggung perilaku ini tanpa diketahui alasan pastinya meletakkan buah-buahan di rak minuman, coklat di rak elektronik, dan sebagainya (Tri, 2018). Ketika di Hero pun kami menemukan hal serupa. Di suatu rak yang berisi tisu dan kapas di antaranya ada menyimpil satu buah kaleng susu. Begitu pula di rak-rak lainnya ada barang-barang tak terduga yang diletakkan begitu saja karena tidak jadi dibeli.


Ketika mengamati supermarket tersebut, kami cukup heran karena pengunjungnya sedikit dan lebih didominasi oleh golongan paruh baya. Terlintas pula pemikiran apakah mungkin keberadaan supermarket saat ini sudah tidak menarik. Namun kami rasa supermarket kala itu sepi juga karena bertepatan dengan awal puasa dimana orang-orang lebih banyak berkegiatan di rumah, beribadah, dan berbelanja di tempat terdekat. Menariknya, sepinya pengunjung di supermarket sudah banyak diperhatikan oleh tokoh penting dan media. Terdapat satu alasan yang sama untuk hal tersebut yang telah dijabarkan dalam dua artikel berita berbeda. Alasan tersebut adalah adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dan persaingan.


Saat ini kita telah memasuki era leisure economy dan tren e-commerce.Leisure economy ini mengarah pada pola konsumsi yang mencari pengalaman seperti berkunjung ke tempat wisata lalu berfoto ria untuk dipamerkan di media sosial. Sedangkan konsumsi untuk kebutuhan berupa sandang, papan, pangan mengalami penurunan. Kemudian kemunculan e-commerce semakin memudahkan masyarakat untuk berbelanja kebutuhan hidup hanya dengan menggunakan jari dan internet. Dampaknya tentu supermarket semakin ditinggalkan dan tidak heran banyak kasus penutupan gerai supermarket salah satunya Hero. Selain itu, tutupnya gerai supermarket juga dipengaruhi oleh persaingan dengan minimarket. Konsumsi masyarakat mulai berubah dengan memilih berbelanja di minimarket seperti alfamart dan indomaret. Letak minimarket yang strategis dan dekat lebih menarik minat pengunjung (Reily, 2019; Rahayu, 2019). Kami pun mengakui hal tersebut, terutama di minimarket tersebut biasaya bebas biaya parkir sehingga lebih hemat dua ribu rupiah.


Konsumtivitas dalam ‘Window Shopping

Konsumsi pada masyarakat merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai dari kebutuhan fisik maupun biologis yang tetap memiliki kaitan dengan aspek-aspek sosial budaya yang ada. Dalam hal ini konsumsi memiliki hubungan dengan gaya hidup seseorang, yang mana tergantung dengan selera dan identitas individu tersebut. Webber mengatakan bahwa konsumsi terhadap suatu barang merupakan sebuah gambaran dari gaya hidup berdasarkan golongan tertentu. Konsumsi terhadap suatu barang dapat menjadi sebuah simbol pada suatu kelompok/golongan. Mengutip dari Han Peter Mueller (1989) bahwa ada empat pendekatan dalam memahami gaya hidup, yaitu:


1. Pendekatan psikolog perkembangan  yaitu tindakan seseorang tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi dan politik, tetapi juga dikarenakan perubahan nilai.

2. Pendekatan kuantitatif sosial struktural yaitu mengatur gaya hidup berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang. Pendekatan ini menggunakan sederet daftar konsumsi yang mempunyai skala nilai.

3. Pendekatan kualitatif dunia kehidupan yaitu memandang gaya hidup sebagai lingkungan pergaulan.

4. Pendekatan kelas yaitu mempunyai pandangan bahwa gaya hidup merupakan rasa budaya yang direprodiksi bagi kepentingan struktur kelas.


Berdasarkan hal tersebut, timbul dampak ekonomi dari gaya hidup seseorang dan kelompok. Seperti munculnya department store dan supermarket yang semakin memudahkan untuk berbelanja. Seiring dengan tumbuhnya tempat-tempat  berbelanja, merangsang perkembangan bank-bank yang ada di Indonesia pula. Hal tersebut dimaksud untuk memudahkan konsumen untuk berbelanja dengan promo-promo yang ditawarkan oleh bank tersebut yang bekerjasama dengan pihak toko jika bertransaksi dengan non-tunai. Dengan semakin mudahnya berbelanja di manapun dengan fasilitas non-tunai yang ditawarkan bank-bank tersebut membuat perilaku konsumtif seseorang menjadi bagian dari gaya hidupnya. Konsumtif merupakan sebuah perilaku berkonsumsi dengan berlebihan dan lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan serta tidak memiliki prioritas untuk memenuhi kebutuhan.


Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga merupakan penopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan pertumbuhan 5,08% pada tahun 2018. Dikutip dari mediaindonesia.com bahwa Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati mengatakan bahwa sektor yang berkaitan dengan leisure dan gaya hidup meningkat cukup pesat. Hal ini sejalan dengan pengamatan kami, bahwa masyarakat dengan status sosial atau golongan tertentu lebih memilih untuk berbelanja di area pusat perbelanjaan seperti mal dan supermarket yang memiliki produk lengkap di dalamnya.


Akan menjadi sebuah masalah ketika window shopping yang diniati hanya untuk melihat-lihat barang saja terkadang kalah dengan keinginan untuk beli sesuatu. Kami menyebutnya “window shopping yang nggak window-window amat” alias akhirnya juga membeli sesuatu. Tidak membela diri, kami pun merasa bahwa dari sekian kali kunjungan kami ke mal yang tujuan awalnya untuk menghibur diri dengan window shopping seringkali berakhir dengan membeli sesuatu, sekadar es krim murah atau aksesoris lima ribuan. Weinberg & Gottwald (1982) menekankan bahwa pembeli impulsif memiliki dorongan emosional yang kuat seperti merasa terhibur dengan belanja, menjadikan belanja sebagai sebuah hiburan dan merasa lebih senang ketika mampu membeli barang yang tidak direncanakan atau dianggarkan sebelumnya. Entah mengapa mal selalu menjadi salah satu tempat yang paling menggoda bagi para pengunjungnya untuk membeli sesuatu secara mendadak, impulsif, dan tanpa anggaran belanja yang dipikirkan, seolah kontrol diri atas dompet (dan uang makan esok hari) jadi hilang begitu saja ketika sudah masuk ke sebuah tempat bernama mal. Para konsumer mal di Indonesia merasa lebih nyaman ketika berbelanja di mal dibandingkan dengan outlet atau toko di luar mal, karena bagi konsumer mal di Indonesia mal bukan hanya tempat untuk berbelanja namun juga tempat untuk relaks (Putra et.al, 2017). “Pencuri isi dompet” yang dibeli secara impulsif oleh para pengunjung mal di Indonesia diantaranya adalah pakaian (55.3%), makanan atau minuman (47.1%), parfum, tas, sepatu (33.3%), aksesoris (23.4%), di mana wanita cenderung menjadi impulsif terhadap barang-barang dia atas dibandingkan pria. Menarik ketika Putra dkk (2017) juga menyebutkan bahwa wanita lebih memiliki kecenderungan self-actualization sementara pria lebih ke self-satisfaction.


Referensi

1. Paramitha, Tasya., Rintan Puspitasari. 2019. “Pola Belanja Masyarakat Semakin Konsumtif saat Ramadhan”. https://www.viva.co.id/gaya-hidup/inspirasi-unik/1146753-pola- belanja-masyara kat-semakin-konsumtif-saat-ramadan.Diakses pada 8 Mei 2019.

2. Putra, A. H. P., Said S., Hasan S. 2017 “Implication of External and Internal Factors of Mall Consumer in Indonesia to Impulsive Buying Behavior”. International Journal of Business Accounting and Management Vol 2, Issue 4, September, ISSN 2527– 3531.

3. Rahayu, Isna Rifka Sri. 2019, “Penyebab Ritel Tutup, Konsumsi Rumah Tangga hingga Gaya Hidup Milenial”. Jakarta: iNews.id. https://www.inews.id/finance/makro/penyebab-ritel-tutup-konsumsi-rumah-tangga-hingga-gaya-hidup-milenial/435437 (Diakses pada 7 Mei 2019).

4. Reily, Michael. 2019. "Marak Penutupan Gerai Retail, Darmin: Ada Perubahan Pola Konsumsi". Jakarta: Katadata.https://katadata.co.id/berita/2019/01/18/marak- penutupan-gerai-retail-darmin-ada-perubahan-pola-konsumsi (Diakses pada 7 Mei 2019).

5. Safitri, Yaya. 2017. “Konsumsi Dan Gaya Hidup”.

6. Tri, Gatot. 2018.“Beberapa Perilaku Negatif Pengunjung Toko Swalayan”. Jakarta: Kompasiana.https://www.kompasiana.com/gatot_tri/5c2466926ddcae60e950d703 /beberapa-perilaku-negatif-pengunjung-toko-swalayan?page=all (Diakses pada 7 Mei 2019).

7. Weinberg, Peter and Wolfgang Gottwald. 1982, “Impulsive Consumer Buying as a Result of Emotions,” Journal of Bussiness Research, 10 March, 43-57.

8. Wuryasti, Fetri. 2019. “Gaya Hidup Ubah Pola Konsumsi”. https://mediaindonesia.com/read/detail/215291-gaya-hidup-ubah-pola-konsumsi. Diakses pada 6 Mei 2019.

34 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page