top of page

Mapala Kehilangan Jiwa dan Arahnya

Updated: Dec 25, 2018



Mapala(mahasiswa pencinta alam), akronim yang dicetuskan oleh seorang mahasiwa Universitas Indonesia pada era menuju runtuhnya rejim Orde Baru, Soe Hok Gie, menjadi begitu terkenal dan dikenang. Namun akronim tersebut belakangan terasa kehilangan entitasnya, kehilangan arahnya, kiblatnya terkaburkan, jiwanya terkikis dari jiwa Soe Hok Gie, kakek moyang mapala seorang aktivis sejati.


Bertanya tentang mahasiswa yang rajin naik gunung, memanjat tebing-tebing, menelusuri gua-gua yang dingin dan gelap, mengarungi derasnya hulu-hilir sungai, untuk apa mereka melakukannya? Untuk kesekian kalinya, saya yang diberi label pencinta alam (mapala) merasa malu akan label tersebut yang telah tersemat sekitar dua tahun lalu.


Saya yang bisa dibilang sering naik gunung dengan alasan melulu melepas penat dari hiruk pikuk kota, dan ‘cari adem’, beberapa kali merasa tersindir akan kelakuan saya tersebut, “katanya pencinta alam, kok gak tau masalah lingkungan, boro-boro bertidak”. Sampai pada satu kesimpulan bahwa selama ini diri merasa bukan sebagai pencinta, tetapi sekedar penikmat alam.


Siapa mapala? “ah itu mereka yang kurang kerjaan, suka mabuk-mabukan, naik turun gunung ninggalin kuliah”. Mungkin jawabannya tidak jauh dari hal-hal negatif. Stigma yang ada di masyarakat tidak semata-mata muncul kemarin sore, tetapi telah ada sejak lama. Rangkaian pengalaman ditambah lagi dengan pemberitaan media yang kadang membombardir membuatnya semakin buruk.


Masihkah kita bangga dengan tas gunung menjulang yang membebani punggung? Lalu, di manakah para Mapala saat banyaknya masyarakat di daerah karst berjuang untuk menolak kehadiran pabrik semen. Pabrik semen yang nantinya akan merusak sumber air warga, sekaligus meledakkan banyak tebing. Tidakkah para pemanjat tebing itu terpanggil saat guru dan sekolahnya dilenyapkan? Sudah saatnya kesadaran itu muncul kembali agar Mapala dapat mematahkan stigma negatif dari masyarakat, lebih luas agar ‘judul’ dan perbuatan berjalanan sesuai di jalannya.


Apa yang Salah?

Tentu banyak faktor yang membuat pecinta alam terkesan seperti itu. Salah satunya adalah ketika Orde Baru di tahun 1978/79 secara paksa menerapkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Program NKK/BKK sendiri merupakan program yang bertujun untuk membuat mahasiswa fokus pada pengembangan diri di kampus sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang digeluti.


Sayangnya, pada saat itu pula daya kritis mahasiswa untuk mengkritik kebijakan pemerintahan Suharto justru menjadi dibuat bungkam pula karena konsep yang sekilas pandang “hanya” menata bentuk susunan lembaga organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi.


Mungkin sebenarnya pemerintah memiliki agenda tersembunyi, yaitu menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik agar kekuasaan Suharto aman tanpa pengusik. Agenda ini kemudian dibungkus dengan menanamkan doktrin bahwa: “tugas mahasiswa adalah belajar sesuai dengan disiplin ilmu. Mahasiswa tak usah berpolitik karena politik tak boleh masuk kampus. Lagipula, kalau berpolitik akan telat wisuda. Mahasiswa ideal adalah yang rajin kuliah, lulus dalam waktu singkat dan setelah wisuda cepat dapat kerja.”


Akibatnya cara mahasiswa memandang suatu masalah di masyarakat hanya dengan perspektif disiplin ilmunya semata tanpa melibatkan ada indikasi kejahatan Orde Baru di dalamnya. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat Universitas juga seperti itu. Beraktivitas sesuai judul lembaganya saja.


Begitu pula dengan lembaga Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) baik yang di Fakultas ataupun di level Universitas, sebagian besar porsi kegiatannya berbentuk aktivitas fisik di alam bebas. Sedangkan bhakti sosial dan penghijauan lebih tampak sebagai menu tambahan. Itupun cukup jarang dilakukan. Diskusi-diskusi interaktif yang membahas politik lingkungan jauh lebih jarang lagi.


Mapala Bukan Organisasi Politik! Really?


Plus – minus dari semaraknya dunia pecinta alam secara langsung menunjukan keberhasilan rejim Orde baru menjauhkan pecinta alam dari isu pembalakan hutan yang menghancurkan keanekaragaman hayati, isu pencemaran lingkungan oleh limbah pabrik, isu pertambangan yang merusak lingkungan, dan masih banyak lagi.


Orde Baru juga berhasil melemahkan daya kritis pecinta alam terhadap Undang - undang (UU) dan Peraturan lainnya yang sebenarnya berpotensi besar merusak alam. Akibatnya, pecinta alam lalai dengan masalah alam dan apatis terhadap aktivitas politik yang berkaitan dengan alam.


Parahnya lagi, banyak pecinta alam yang malah beranggapan, pecinta alam yang baik justru tidak bersentuhan dengan politik. Mereka ke alam justru untuk menjauh dari hingar bingar politik. Di mata mereka, politik dan pecinta alam merupakan dua hal berbeda yang haram disatukan.


Gie seorang aktivis sejati, namun organisasi yang dibuatnya pada masa itu (mapala) memang bukan organisasi politik. Tetapi, Gie mewariskan gagasannya agar kita tetap peduli terhadap masalah politik yang melanda bangsa dan agar tetap tertanam jiwa patrotieme dalam diri kita. Karakter Gie yang sedemikian mewah akan kekritisannya untuk ukuran mahasiswa sekarang tak hanya dibentuk melalui buku-buku yang ia baca, tetapi juga melalui kegemarannya mendaki gunung.


Saya teringat pada sekelumit catatan harian Soe Hok Gie.

Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang kuat. Karena itulah kami naik gunung……(Soe Hok Gie, Zaman Peralihan)


Metode Soe Hok Gie ini membangun karakter bangsanya bukan hanya manjur menumbuhkan patriotisme, mengenal langsung kehidupan bangsa, melainkan sekaligus menyehatkan generasi muda secara fisik dan mental. Pemikiran Soe Hok Gie memang terkenal kreatif, jauh ke depan dan berbeda dari yang lain. Itulah yang membuat pikiran – pikirannya banyak mempengaruhi gerakan mahasiswa yang akhirnya berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Lalu masihkah para pencinta alam itu tidak peduli dengan politik?


Kontestasi Self-Branding



Mapagama (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada) berhasil melaksanakan ekspedisi pendakian puncak Stock Kangri, India

Kegiatan pecinta alam tak lagi sebatas mendaki gunung, tetapi mereka mulai mengenal panjat tebing (rock climbing), panjat dinding (wall climbing), arung jeram (rafting), penelusuran gua (caving) dan lain sebagainya. Ekspedisi dalam skala besar kerap digelar, tidak hanya gunung-gunung di Indonesia yang menjadi ajang ekspedisi, pencinta alam Indonesia juga mulai mendaki gunung es di luar negeri. Mendaki tujuh puncak benua (Seven summit) secara bertahap direalisasikan. Media cetak maupun media elektronik pun sering menjadikan aktivitas pecinta alam tersebut sebagai menu utama dan akhirnya menjadi santapan kesukaan publik.


Penguatan self-branding organisasi pencinta alam secara sadar maupun tidak, belakangan ini acap kali dilakukan. Semakian banyak ekspedisi, semakin disegani suatu organisai pencinta alam. Begitulah cara pandang orang-orang pencinta alam sendiri. Mereka seolah bangga dengan pembiaran-pembiaran yang kerap mereka lakukan. Baik pembiaran terhadap masalah lingkungan, maupun masalah kesehatan bangsa.


Mungkin benar jika pada eranya gagasan seven summit menjadi cara untuk mengangkat derajat Indonesia yang saat itu sedang jatuh-jatuhnya akibat krisis 1998. Namun apakah gagasan seperti itu masih relevan ditanamkan di konstruksi berpikir para pencinta alam di masa sekarang? Masa di mana bumi benar-benar sedang terancam oleh menipisnya lapisan ozon, masa di mana perdagangan karbon masih belum dilakukan dengan semestinya, masa di mana Jakarta diwacanakan akan tenggelam. Masih kah?


Menyibukkan diri dengan pembentukan dan penguatan self-branding yang seringkali melenceng dari jati diri mapala memang sebaiknya dikesampingkan dahulu untuk saat ini atau mungkin diabaikan saja agar tidak terlena. Seperti kata Soe Hok Gie bahwa dekat dengan alam adalah sebagai cara bukan sebagai tujuan.


Refleksi


Orde Baru mambabu kita, termasuk organisasi pencinta alam. Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada Orde Baru menjadi salah satu faktor utama. Musnahnya doktrin Orde Baru ternyata juga tak serta merta membuat pola pikir pecinta alam berubah jauh. Masih banyak yang menganggap aktivitas pecinta alam hanya mendaki gunung, ngarung, manjat, nyusuri luweng, ikut lomba orienteering, menghadiri seminar yang membahas outdoor acyivity dan sesekali menjadi penggembira pertemuan pecinta alam tingkat nasional, lalu berfoto ria dan di-upload ke media sosial.


Anggapan tersebut akhirnya menyebabkan mapala terlihat seperti kehilangan jati dirinya.

Agar sisa pembodohan Orde Baru yang sekian lama menggelapi dunia pecinta alam tidak lagi hidup, tidak ada salahnya di Pendidikan Dasar (Diksar) pecinta alam dikenalkan secara mendalam pemikiran-pemikiran Soe Hok Gie. Gagasan besarnya, keberaniannya, kecerdasan dan sikap pedulinya kepada teman dan rakyat negeri ini.


Sepantasnya pecinta alam bangga,”Kakek moyangku seorang demonstran”. Pendalaman nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik pencinta alam wajib pula disampaikan pada peserta Diksar. Karena barisan kalimat dalam Kode Etik Pecinta Alam bukanlah slogan kosong tiada arti, melainkan seperangkat aturan moral, tuntunan perilaku, visi dan misi sekaligus merupakan sumpah jabatan pecinta alam.


Sebab, ketika seseorang mengikrarkan dirinya sebagai pecinta alam, maka pada detik itu pula ia berkewajiban melaksanakan, menghormati dan mengedepankan nilai luhur yang terkandung dalam Kode Etik Pecinta Alam tersebut. Dengan mengenal pemikiran Soe Hok Gie dan memahami makna agung Kode Etik Pecinta Alam, Pecinta alam juga akan dapat melihat ada tautan tak terpisahkan antara Soe Hok Gie dengan inisiator Kode Etik Pecinta Alam. Sejarah pecinta alam memang perlu dipahami. Karena dengan memahami sejarahnya pecinta alam akan lebih gampang merancang masa depannya.


Melalui permasalahan tersebut, seharusnya membuat pecinta alam tidak lagi berdiam dan membiarkan, melainkan harus berinisiatif mengambil peran sebagai kelompok penekan (pressure group). Pecinta alam seharusnya berani mengkritisi keputusan politik yang berbentuk UU (Undang-Undang), peraturan pemerintah, peputusan menteri, peraturan daerah (Perda) dan lain sebagainya.


Sudah saatnya pencinta alam berjuang dan bermanfaat untuk bangsa. Berjuang dan bermanfaat tentu tak melulu identik dengan harus menjadi Menteri Kehutanan, sebagai Polisi Kehutanan, petugas kebun binatang atau ikut-ikutan sebagai pengurus Partai Politik. Mengadakan gerakan boikot terhadap produk tertentu yang dihasilkan dengan merusak alam juga merupakan perbuatan bermanfaat bagi bangsa ini.


Mendidik generasi penerus pecinta alam agar berani sehingga tak gentar melawan kesewenang-wenangan penguasa, juga perbuatan mulia. Membuat petisi solidaritas alam juga perbuatan terpuji. Menjadi agen perubahan gerakan pengurangan sampah juga bukan perbuatan buruk. Jiwa-jiwa pencinta alam yang benar-benar mencintai alam seharusnya bisa tertanam kembali. Arah jalan pencinta alam juga seharusnya menjadi lebih jelas dan terang. Pencinta alam bisa berubah dan mengubah!


Referensi:


Dhaniel, Dhakidae. 1989. Soe Hok Gie Catatan Seorang Demonstran. Jakarta. LP3ES.

https://nasional.kompas.com/read/2016/08/08/15330701/daoed.joesoef.kontroversi.nkk.bkk.dan.beda.pendapatnya.dengan.soeharto.

https://news.detik.com/berita/d-3831657/daoed-joesoef-nkkbkk-dan-korupsi-intelektual-mahasiswa


40 views0 comments

Commentaires


bottom of page