top of page

Marhaban ya Ramadhan: Menyambut Bulan Suci di Kampus

Updated: May 26, 2019

Fransiskus Denny P, Sarah Amany W, Yulius Ardiles.

Pemandangan dari lantai 7 FIB UGM, Yogyakarta

Sebagai agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia, Islam dan segala ritual serta perayaannya tentulah disambut dengan gegap gempita oleh sebagian besar masyarakat—tak terkecuali bulan Ramadhan yang dianggap suci oleh orang-orang Muslim. Ritual yang lekat dengan kedatangan bulan ini tentu saja adalah berpuasa, dan secara umum menjaga akhlak lebih ketat daripada biasanya karena, yah, ini bulan “suci”.


Di Indonesia, kedatangan bulan Ramadhan rupanya berimbas besar pada dinamika sebuah kota, utamanya kota-kota dengan penduduk mayoritas Muslim. Tempat-tempat publik jadi menyetelkan lagu-lagu reliji (biasanya Maher Zein), warung-warung makan dan restoran ditutupi tirai, dan notifikasi ajakan buka bersama datang ke ponsel banyak orang. Bulan Ramadhan membawa bersamanya sebuah suasana partikular yang tidak akan bisa didapatkan di bulan-bulan lain, dan menarik sekali bagaimana momen penting sebuah agama ini dapat memengaruhi kegiatan sehari-hari sebuah kota dalam skala yang sedemikian kuat.


Satu dari tiga anggota kelompok ini beragama Islam, sementara duanya lagi Katolik—dan kedua-duanya ini menghabiskan masa SMA di sekolah berasrama Katolik yang walaupun berbeda tetap memiliki sebuah kesamaan: yakni seluruh siswa yang bersekolah di situ beragama Katolik juga, dan tentu saja tidak merayakan Ramadhan. Bulan suci yang sudah diakrabi sejak kecil oleh anggota kelompok kami yang beragama Islam itu kemudian menjadi sesuatu yang luar biasa baru bagi dua anggota kelompok kami yang beragama Katolik, dan dalam tulisan ini mereka masing-masing akan menyajikan observasi mengenai bagaimana kampus yang sehari-hari mereka datangi itu “menggeliat” dalam suasana Ramadhan, kemudian mengomparasikannya dengan satu kampus lain yang notabenenya adalah universitas swasta Katolik. Bagaimanakah kedua kampus ini “menyambut” kedatangan bulan Ramadhan?


Universitas Gadjah Mada

Saat itu siang-siang saya duduk di pelataran gedung besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, bengong sambil merokok sebatang rokok Lucky Strike Switch. Rasa-rasanya ada yang aneh. Siang itu pelataran gedung FIB sangat sepi, tidak seperti biasanya. Pelataran yang biasanya penuh mahasiswa malah kosong dan tidak ada orang, kampus sepi dan seperti sedang libur. Karena bosan dan kesepian, saya pergi dari pelataran gedung menuju Plaza BI, yang ternyata juga kosong. Anehnya lagi,Plaza BI siang itu dibalut dengan kain putih yang sangat lebar, seperti sedang direnovasi. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan adegan dari acara bedah rumah di televisi.


Saya jadi teringat kalau hari ini adalah hari pertama Ramadhan, dan orang-orang notabenenya sedang menjalankan puasa. Kondisi kampus berubah drastis, sangat berbeda. Selain lebih sepi, kampus juga jadi lebih sunyi. Orang-orang jadi seperti menjaga sikapnya secara otomatis. Padahal, tidak ada tuntutan tertulis atau pun larangan untuk melakukan itu. Seolah-olah sedang ada banyak penjaga yang memperhatikan tingkah laku orang-orang di kampus. Padahal masih sangat jauh, tapi saya sudah bisa mendengar percakapan sekumpulan mahasiswa yang sedang duduk di bangku depan Plaza BI.


Karena tidak menemukan apa yang saya cari, saya kembali lagi menuju gedung FIB. Sebentar lagi saya harus masuk ke kelas untuk kuliah. Setelah dua jam mengikuti kelas, seperti biasa saya langsung turun untuk kembali menghisap sebatang rokok. Saat itu saya juga menemukan keanehan lain. Saya bertemu dengan teman-teman kelas, yang biasanya ikutan nongkrong di pelataran, kini malah langsung pergi menuju parkiran motor. Sepertinya mereka ingin langsung pulang. Hari itu saya merasa orang-orang menjadi lebih pasif, tidak ada obrolan-obrolan seru, lelucon-lelucon aneh, juga tidak ada yang menawarkan saya makanan. Saya kembali merasakan kesepian.


Keesokan harinya, ketika saya sampai di kampus, kondisi gedung tidak jauh berbeda dengan kemarin, masih sunyi tapi jauh lebih ramai. Sudah lebih banyak orang yang duduk di pelataran gedung. Beberapa dari mereka sibuk dengan laptop dan bukunya masing-masing. Beberapa juga asyik ngobrol dengan teman-temannya. Hari itu saya juga melihat ada beberapa orang yang dengan nikmat menyeruput satu gelas jus dingin, dengan sebatang rokok yang sudah mau habis di tangannya. Hari itu orang-orang tidak sedingin kemarin, lebih banyak senyum dan lelucon hari ini. Namun, hari itu masih saja terkesan sunyi dan hening.


Hari itu saya juga pergi ke kantin fakultas, ada di lantai paling bawah gedung FIB. Hanya empat dari delapan kios yang buka hari itu. Saya memesan satu piring ayam geprek dan satu botol es teh manis. Saya duduk di bagian luar kantin. Hanya ada sekitar sembilan orang di sana, semuanya sedang menyantap makanan dan minuman. Tempat itu biasanya sangat ramai dan penuh dengan obrolan. Namun, hari itu berbeda dari biasanya, walau tetap ada yang makan, suasana sangat sepi dan sunyi.


Masa berpuasa membuat banyak orang menjadi lebih menjaga sikap. Masa puasa juga membuat banyak orang enggan untuk menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol dan nongkrong. Memang, kampus menjadi lebih tenang dan sunyi. Tidak ada bising yang mengganggu, kantin jadi lebih sepi dan saya tidak perlu mengantri lama untuk mendapat makanan. Tapi kampus tidak seperti kampus. Orang-orang tetap tersenyum, tapi senyumnya kurang lebar. Orang-orang tetap tertawa, tapi tawanya kurang hangat. Asumsi iseng saya adalah mungkin mereka sedang menahan haus dan lapar. Saya kembali naik ke pelataran gedung FIB, duduk dan bengong sambil menghisap sebatang rokok Lucky Strike Switch sisa kemarin. Saya kembali merasakan kesepian. Sampai menjelang sore pun, kampus masih tetap begitu-begitu saja. Saya rasa orang-orang pun memutuskan untuk berbuka puasa di luar saja ketimbang nongkrong di kampus.


Sejauh ini, satu-satunya momen ketika kampus FIB terasa ramai seperti biasanya adalah sore ketika Dekan mengadakan buka bersama di kampus. Sejak sekitar pukul 15.00 meja-meja berisi makanan dan minuman sudah ditata di dekat Masjid Al-Adab, dan di masjid sendiri pun ada kajian yang diisi oleh Prof Heddy. Kampus ramai sekali, bahkan lebih ramai daripada biasanya ketika sebelum bulan Ramadhan datang. Agaknya semua mahasiswa yang masih duduk-duduk di kampus itu memang mengincar buka bersama, dan benar saja, sepuluh menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, mereka sudah bergerombol di depan meja sajian. Begitu waktu puasa tiba, orang-orang kemudian mengambil soto dan teh serta setup jahe hangat yang sudah disediakan, lalu duduk di bangku, di Rumah Sumba, dan bahkan mengemper di rumput dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyantap makanan berbuka. Sebuah pemandangan yang terasa amat baru bagi saya.


Universitas Sanata Dharma

Saat itu sore-sore hari Rabu waktu saya berkunjung ke kampus Sanata Dharma di Mrican. Langit sudah mulai gelap. Setelah memakirkan motor di tempat parkir yang sangat dekat dengan kampus, saya menuju bagian dalam kampus. Terlihat para mahasiswa melangkah ke arah yang berlawanan dengan kami. Tampaknya kelas terakhir hari ini telah usai. Tak lama kemudian saya bertemu dengan Pauline, pacar saya yang hari itu juga merangkap menjadi “pemandu” berkeliling kampus. Memakai pakaian rapi dan elegan yang menjadi keharusan mahasiswa FIKP (Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan), Pauline mengajak saya menyusuri lorong sambil menjelaskan bahwa ia baru saja mengikuti kelas micro teaching.


Untuk menjadi pembanding observasi kelompok kami di UGM, kami memang memutuskan untuk datang dan mengobservasi kegiatan di kampus lain untuk melihat bagaimana keseharian di kampus tersebut dipengaruhi (atau tidak dipengaruhi) oleh kedatangan Ramadhan. Pilihan kami jatuh pada kampus Sanatha Darma yang berlokasi di Mrican. Jika UGM adalah universitas negeri yang mayoritas mahasiswanya beragama Islam, Sanatha Darma adalah universitas swasta Katolik yang mayoritas mahasiswanya beragama Kristiani.


Setelah itu saya diajak Pauline berkeliling kampus. Lorong-lorong panjang tampak mendominasi denah kampus ini, berbeda dengan kampus FIB yang memiliki banyak ruang terbuka. Beberapa mahasiswa tampak duduk santai di lantai lorong. Kami pun kemudian menuju suatu ruangan besar bernama Student Hall atau yang sering disebut dengan SH. Terdapat meja-meja di sekitaran tempat itu. Setiap meja dikelilingi tiga atau empat kursi kayu panjang, memungkinkan para mahasiswa duduk melingkar dengan nyaman sambil mendiskusikan tugas.


SH ini adalah sebuah serambi besar yang ditopang oleh pilar-pilar monoton beton di sekelilingnya, berukuran sekitar 20x40 m, berlantaikan ubin putih bersih, beratapkan eternit yang dipenuhi lampu-lampu putih berkilauan yang membuat suasana di SH ini sangat cerah. SH dikelilingi taman-taman berumput hijau, di mana pepohonan dan tanaman hias tertata manis. Sayang sekali, kondisi petang yang gelap membuat kami tidak dapat menikmati kesegaran taman tersebut.


Perhatian kami kemudian teralihkan dengan seruan-seruan dari arah muka kampus. Kami pun menuju lobi kampus yang berada tak jauh di selatan SH. Ternyata, seruan-seruan tersebut berasal dari latihan teater. Ada sekitar 20-an mahasiswa, putra dan putri, berdiri membentuk formasi lingkaran. Dua orang perempuan, salah satunya berambut cepak dan dicat pirang, terlihat menyerukan instruksi latihan sembari membenarkan gestur peserta latihan. Hal yang menarik bagi kami adalah latihan ini diadakan tepat di lobby kampus yang merupakan pintu utama keluar-masuk mahasiswa. Namun, tidak terlihat raut wajah terganggu di muka para mahasiswa yang berada di sekelilingnya. Semua tampak biasa. Padahal ada salah satu peserta yang hanya mengenakan kaos dalam saja ketika latihan.


Kami kemudian naik ke lantai dua, melewati tangga besar yang terdapat di lobi utama. Keadaan di lantai dua sangat jauh berbeda daripada di bawahnya. Lampu-lampu koridor sudah banyak yang dimatikan. Tidak ada lagi orang selain kami berempat di area itu. Sembari menyusuri koridor-koridor panjang nan gelap tersebut, kami merasakan suasana suram yang jauh berbeda dengan apa yang kami rasakan area lantai dasar. Kalian tahu kan rasanya ketika melewati lorong panjang yang gelap? Nah, seperti itulah apa yang kami rasakan.


Beruntung kami segera diarahkan ke daerah yang masih ada manusianya. Daerah tersebut adalah di depan kelas Prodi Pendidikan Sejarah. Ada sekitar delapan mahasiswa di sana. Mereka duduk berlesehan di lantai koridor, beberapa di antaranya ada yang tiduran berbantalkan tas ransel. Pemandangan seperti ini tampaknya biasa saja di kampus ini, namun akan sangat janggal apabila ditemui di lorong-lorong lantai 5 Gedung Sugondo di FIB.


Penjelajahan kami usai setelah melihat beberapa arca yang dipajang di depan kelas Prodi Pendidikan Sejarah. Pauline membanggakan koleksi prodinya dengan menyebutkan bahwa ada beberapa di antara arca-arca tersebut merupakan artefak asli. Sekali lagi, karena suasana yang gelap, kami tidak dapat mengamati dengan seksama arca-arca tersebut, namun pemandangan kami sempat teralihkan pada keberadaan sebuah salib yang terpasang di ruang kelas. Suatu hal yang sudah pasti tidak akan saya temui seumur hidup di UGM. Saya pun pulang setelah memutuskan akan kembali lagi ke kampus ini esok hari, siang-siang ketika para sivitas akademik masih melakukan kegitan perkuliahan di kampus.


Keesokan harinya, sekitar pukul 14.00, saya dan Pauline kembali berkumpul di tempat yang sama. Pauline yang sudah selesai kuliah kembali menemani kami melakukan pengamatan. Ternyata, perbedaan antara siang dan malam hari di kampus ini cukup jauh. Sewaktu kami di SH, terdapat suatu keramaian di depan tugu penunjuk nama Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan. Tampak sekumpulan mahasiswa laki-laki berfoto bersama. Seorang di antaranya mengenakan kemeja warna putih dan celana kain hitam. Pauline mengatakan bahwa mereka sedang merayakan pendadaran dari salah satu anggota kelompok teman mereka. Hal yang sangat menarik bagi kami adalah fakta bahwa mereka semua merupakan orang Timur Indonesia.


Pauline mengaku bahwa jumlah mahasiswa yang berasal dari luar Jawa sangatlah banyak di Sanata Dharma, bahkan hampir menyeimbangi mereka yang berasal dari Jawa. Hampir setiap hari Pauline mendengar celotehan bahasa daerah Nias, Flores, ataupun Dayak yang dilontarkan teman-temannya. Suatu keadaan yang menarik bagi saya, karena hampir seluruh teman-teman kuliah saya kebanyakan berasal dari Jawa.


Karena Universitas Sanata Dharma adalah universitas swasta berbasis agama Katolik, tentu ada beberapa hal yang perbedaannya terasa sangat signifikan dengan keadaan di UGM. Perbedaan yang paling mencolok adalah nyaris tidak ada mahasiswa putri yang mengenakan kain penutup rambut atau jilbab. Namun, saya cukup kagum dengan fakta bahwa di kampus ini juga terdapat mahasiswi Muslim yang tetap percaya diri berhijab. Tentu hal tersebut tak lepas dari adanya tingkat toleransi antar-agama yang tinggi di kampus ini.


Status kampus ini sebagai kampus swasta Katolik dan juga banyaknya mahasiswa yang beragama Katolik atau Kristen juga membawa pengaruh dalam pola interaksi. Para mahasiswa tampak tidak canggung menyentuh teman lawan jenisnya. Jelas hal ini berbeda dengan kampus kami yang mayoritas mahasiswanya beragama Muslim, sehingga perlu menjaga etika bersentuhan fisik antar lawan jenis.


Saya kemudian bertanya bagaimana pola konsumsi makanan dan minuman mahasiswa di Sanata Dharma kepada Pauline. Ia lalu bercerita bahwa hampir sebagian besar mahasiswa membeli makanan ringan atau minuman di para PKL yang mangkal tepat di selatan kampus. Memang, terdapat sebarisan PKL yang menjajakan bermacam-macam dagangandi sana, mulai dari thai tea, cimol, cireng, batagor, jasuke, siomay, bakso tusuk, sushi, dan lainnya. Keberadaan kios-kios makanan yang juga masih dalam satu kawasan dengan PKL-PKL tersebut juga biasa menjadi sasaran mahasiswa yang mencari makanan berat. Kios-kios yang kami maksud adalah warmindo, Dirty Chick, warung masakan seafood, dan sebagainya.


Bagi para mahasiswa yang malas keluar kampus, di SH terdapat Koperasi Mahasiswa yang menjajakan makanan ringan dan minuman dingin yang lumayan untuk mengganjal perut. Selain itu, Pauline juga menceritakan bahwa Kampus I Sanata Dharma dikelilingi ratusan penjual makanan. Kita dapat memilih menu nasi ayam seharga hanya 5000 rupiah saja, atau memilih makan di restoran cepat saji Dirty Chick. Semuanya masih dalam jangkauan jalan kaki. Tentu hal ini cukup berbeda dengan FIB UGM yang pilihan makan siang terbatas di Kansas atau Bonbin saja.


Membicarakan makanan, saya kemudian turut menyadari bahwa semua tempat makan yang berada di dalam dan sekitar lingkungan kampus Sanatha Darma ini tetap buka, dan, menariknya, tidak ditutupi tirai. Seperti yang sudah saya duga, kedatangan Ramadhan tidak memengaruhi keseharian mahasiswa Sanata Dharma yang mayoritasnya memang beragama Kristiani ini.


Satu lagi, saya mengamati bahwa kebanyakan mahasiswa di Sanata Dharma mengerjakan tugas-tugasnya di lingkungan kampus. Hal serupa dipertegas dengan pernyataan Pauline yang merasa lebih nyaman mengerjakan tugas-tugasnya di kampus daripada di tempat lain. Menurutnya, lingkungan kampus sudah menawarkan kenyamanan dan fasilitas yang cukup. Bila ingin santai, ia bisa bekerja di SH yang sejuk sambil sesekali melihat tetanaman hijau. Bila butuh suasana yang sunyi, ia tinggal menuju Perpustakaan Pusat yang terletak di Kampus II yang hanya berjarak 10 menit berjalan kaki.


Ia juga mengaku tidak banyak teman-teman di fakultasnya yang mengerjakan tugas di kafe-kafe atau coworking space. Hal ini ia rasakan karena sebagian besar para mahasiswa Sanata Dharma memiliki gaya hidup yang sederhana, apalagi ditambah fakta banyaknya mahasiswa rantau yang dapat berkuliah di Sanata Dharma hanya semata-mata karena bantuan beasiswa dari pemerintah daerah atau gereja setempat.


Memaknai Ramadhan di Kampus

Berkubang dalam rutinitas Ramadhan sedari kecil membuat anggota kami yang beragama Islam terkadang lupa bahwa tidak semua lapisan masyarakat merayakan bulan ini. Kedatangan Ramadhan pun pada akhirnya menjadi bahan obrolan menarik di antara kami yang dibesarkan dalam kepercayaan dan kultur berbeda. Menjadi baru bagi teman-teman Katolik untuk “melihat” Ramadhan dari jarak dekat, dan menjadi baru pula bagi teman-teman Muslim ketika melihat teman-teman mereka yang berbeda kepercayaan, untuk pertama kalinya, merasa menjadi orang yang memiliki “perspektif emik” mengenai Ramadhan.


Diskusi kami juga sampai pada pembahasan mengenai bagaimana sebagian masyarakat yang beragama Islam menuntut keistimewaan berlebih ketika Ramadhan, padahal bulan suci ini seharusnya menyejukkan dan jadi waktu berlatih bagi kita semua untuk terus menjaga toleransi antar umat beragama. Tidak sedikit pemerintah daerah yang menindak keras orang-orang yang tetap berjualan ketika siang hari, misalnya, padahal kan tidak hanya orang Muslim saja yang tinggal di kota itu.


Untunglah, Yogyakarta tidak termasuk dalam kota-kota tersebut. Walaupun benar bahwa semua restoran kemudian ditutupi tirai agar tidak “mengganggu keimanan orang yang berpuasa”, tidak ada polisi atau aparat lain yang menggerebek restoran dan warung makan untuk melakukan razia. Konyol sekali kalau dipikir-pikir bahwa pemerintah merasa perlu turun tangan sejauh itu untuk memastikan masyarakatnya tetap dapat menjaga puasa, padahal Ramadhan seharusnya menjadi waktu berlatih menjaga kesabaran dan hawa nafsu. Seperti sebuah anekdot yang pernah kami baca, kalau orang-orang yang berpuasa merasa ingin marah dan melarang orang-orang lain makan di depannya, maka orang-orang miskin yang selama ini kesusahan makan tentu lebih berhak merasa marah pada kita yang sehari-harinya bisa makan enak tanpa merasa perlu bersedekah.


Pengamatan kami di FIB UGM dan kampus Sanatha Darma juga menjadi bahan diskusi yang menarik, karena ketika UGM begitu terpengaruh dengan kedatangan Ramadhan, keseharian di kampus Sanatha Darma tetap berjalan seperti biasa tanpa ada perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Ramadhan menyentuh sebagian besar kehidupan orang-orang, beberapa komunitas yang berafiliasi dengan kepercayaan lain memang tidak terpengaruh dengan rutinitas ini.


Pada akhirnya, setiap kampus memang memiliki cara yang berbeda untuk menyambut Ramadhan—atau tidak menyambut Ramadhan. Meskipun keadaan di UGM saja sudah “mengejutkan” anggota kelompok kami yang beragama Katolik, kami cukup yakin bahwa kampus-kampus lain yang berafiliasi dengan agama Islam itu sendiri pasti merayakan Ramadhan dalam suasana yang lebih gegap gempita dan berbeda dari keseharian biasanya.[]

33 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page