top of page

Mas Sarwo: Pusat Semesta Antropologi


Ditulis oleh Ilona Cecilia dan Sarah Amany Wisista.


Sore itu, hari Senin 26 November 2018, kami mendatangi perpustakaan antropologi dengan sedikit was-was. Ponsel kami sudah menunjukkan pukul setengah empat lebih, dan seseorang yang hari itu ingin kami temui biasanya sudah kembali sejak pukul setengah empat, bahkan kadang jam tiga. Untunglah, mungkin karena gerimis tipis-tipis yang dengan awet membungkus kota, seseorang itu belum pulang. Kami membuka pintu perpustakaan dan di sana, di kursi penjaga perpustakaan, duduklah Mas Sarwo.


Dengan lega, kami berjalan menghampiri Mas Sarwo yang dengan ramah menyapa kami berdua. Penampilannya sore itu mirip seperti hari-hari biasanya: celana hitam, kemeja kotak-kotak, dan kupluk yang senantiasa menjadi pelengkap. Mas Sarwo saat itu sedang duduk menaikkan satu kaki ke atas kursi, komputer di depannya memutarkan satu video yang belakangan kami tahu menceritakan proses investigasi di Jembatan Ampera, Palembang.


Obrolan pun berlanjut, dan Mas Sarwo dengan suaranya yang khas—sedikit parau dan lamat-lamat—menceritakan apa yang terjadi dalam proses investigasi itu. Kami mengangguk-angguk sambil mendengarkan. Beliau memang gemar berbagi informasi dan pengetahuan kepada mahasiswa-mahasiswa antropologi yang sedang berkunjung ke perpustakaan, dan mungkin itulah salah satu faktor yang menyebabkan kami—mahasiswa-mahasiswa antropologi—bisa merasakan ikatan personal yang dalam dengan beliau. Mas Sarwo, lebih dari sekadar tugasnya sebagai penjaga perpustakaan antropologi, adalah entitas yang turut memberi jiwa dalam dinamika kehidupan perkuliahan kami.


Lika-liku Perjalanan Mas Sarwo

Mas Sarwo bagi orang non-antro mungkin dianggap sebagai sekadar seorang penjaga perpustakaan biasa, dengan tugas merawat buku-buku yang ada dan membantu mencari bahan bacaan yang diperlukan untuk perkuliahan. Namun, sebenarnya, bagi orang-orang di antropologi Mas Sarwo bermakna lebih dari itu. Sejak dahulu ia dianugerahi titel sebagai jiwa dari antropologi, di samping para dosen. Dengan predikat ini, jelas bahwa makna Mas Sarwo tidak main-main bagi masyarakat antropologi. Ibarat manusia, bisa apa kita tanpa jiwa?


Meskipun dikenal sebagai jiwa dari antropologi, Mas Sarwo tidak sejak awal bertugas di perpustakaan antropologi. Bertahun-tahun bekerja serabutan seperti menjadi tukang parkir, buruh pabrik, dan loper koran, Mas Sarwo akhirnya berlabuh di perpustakaan antropologi pada 23 Februari 1998. Perjalanannya menjadi penjaga perpustakaan antropologi unik dan simpel sebenarnya. Seorang tetangganya yang merupakan lulusan antropologi tahun 1990-an menjadi orang yang pertama kali memperkenalkannya pada pekerjaan ini, kemudian membawa Mas Sarwo bertemu dengan Mas Pujo—salah satu dosen antropologi—dan langsung bekerja keesokan harinya. Oleh para dosen, Mas Sarwo diamanahi untuk selalu membantu mahasiswa mencari bahan bacaan perkuliahan, dan dari sinilah hubungan erat antara Mas Sarwo dan masyarakat antropologi terbangun.


Di awal karirnya sebagai penjaga perpustakaan antropologi, Mas Sarwo harus menyambi bekerja sebagai tukang parkir lagi karena pendapatannya yang menurun drastis. Sebelum bekerja sebagai penjaga perpustakaan antropologi, Mas Sarwo berpenghasilan 300 ribu rupiah per bulan, lalu turun menjadi 80 ribu rupiah setelah menjadi penjaga perpustakaan. 80 ribu rupiah tersebut merupakan gajinya yang berasal dari dompet pribadi para dosen antropologi. Keadaan membaik empat tahun kemudian, pada 2002 Mas Sarwo resmi diangkat menjadi pegawai universitas dan selanjutnya pada 2005 Mas Sarwo diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.


"Tukang Sayur" di Antropologi

Dalam satir-satir yang kerap digunakan untuk menggambarkan kehidupan perumahan, ada satu karakter yang terlihat tidak signifikan namun sebenarnya paling tahu banyak tentang segala hal: tukang sayur. Sambil meladeni ibu-ibu yang sibuk membeli cabai dan buncis, si tukang sayur tentulah akan mendengar satu atau dua gosip tentang rumah yang ini dan rumah yang itu, dan tanpa sadar menjadi tempat suaka bagi cerita-cerita dan rahasia-rahasia para warga perumahan.


Tukang sayur adalah metafora yang menarik, dan kami rasa metafora ini mungkin cukup menggambarkan kiprah Mas Sarwo di antropologi. Sama seperti tukang sayur yang memasok persediaan dapur di perumahan, Mas Sarwo membantu para mahasiswa “memasok” pengetahuan dalam kepala mereka lewat buku-buku perpustakaan. Sekilas, peran Mas Sarwo tampaknya hanya berhenti di situ, namun kenyataannya tidak. Dalam ruang-ruang sosial dan percakapan yang tentunya tidak bisa lepas dari kehidupan pribadi, ia menjadi satu entitas yang secara tanpa sadar dipercaya beragam lapisan masyarakat antropologi untuk menumpahkan cerita.


Mas Sarwo tahu segala gosip di antropologi. Tidak mengherankan sebenarnya, mengingat Mas Sarwo ada di tempat banyak mahasiswa berkumpul dan ia selalu berinteraksi dengan banyak orang. Karena hal ini, seringkali mahasiswa datang kepadanya untuk mengetahui gosip atau sekadar menanyakan seseorang, barangkali Mas Sarwo tahu tentangnya. Selain itu, karena Mas Sarwo orangnya ramah dan tahu banyak tentang mahasiswa, ia terkadang menjodoh-jodohkan mahasiswa. Sering pula mahasiswa yang justru meminta untuk dicarikan jodoh oleh Mas Sarwo.


Selain persoalan jodoh-menjodohkan, Mas Sarwo juga tahu mengenai banyak “skandal” di kampus—mulai dari yang terjadi di dalam Fakultas Ilmu Budaya sendiri, bahkan sampai fakultas-fakultas lain. Hidupnya yang selama dua puluh tahun terakhir berkutat di dalam sistem kampus raksasa ini ternyata menjadikannya sosok yang cukup arif. Ada banyak hal yang terjadi yang melawan kompas moralnya, namun ia tetap bertahan menjadi seseorang yang teguh dengan pendirian.


Mas Sarwo: Jiwa Masyarakat Antropologi

Sampai saat ini, perpustakaan antropologi dikenal sebagai perantara antara dosen dan mahasiswa. Perpustakaan yang seringkali dijadikan tempat nongkrong oleh mahasiswa juga menjadi tempat dimana para dosen menyampaikan berbagai pesan, terutama mengenai proyek dan riset yang akan dijalani, juga tempat para dosen menaruh buku-buku penting untuk keperluan perkuliahan. Keberadaannya yang seakan lekat dengan perpustakaan membuat Mas Sarwo turut ambil bagian dalam dinamika antara dosen dan mahasiswa ini.


Mas Sarwo dengan kepribadiannya yang ramah dengan mudah berinteraksi dan bergaul dengan mahasiswa antropologi, tak heran jika dirinya sangat populer di kalangan mahasiswa. Mas Sarwo bagaikan Johnny Depp-nya antropologi, pasti dikenal bahkan oleh orang yang ia tidak kenal sekalipun. Bukan mahasiswa antropologi namanya jika tidak tahu Mas Sarwo.


Meskipun mahasiswa antropologi tidak terhitung jumlahnya, namun imej Mas Sarwo di mata mahasiswa cenderung serupa. Kesan utama yang didapatkan, bahkan ketika pertama bertemu dengan Mas Sarwo adalah ramah. Ya, Mas Sarwo murah senyum dan suka menyapa, sehingga tidak aneh jika sebagian besar mahasiswa mengatakan bahwa Mas Sarwo ramah. Kemudian kami juga pernah mendengar seorang teman mahasiswa mendeskripsikan beliau sebagai “lovely”, entah dalam pengertian yang seperti apa, namun menurut kami ke-lovely-an Mas Sarwo yang dimaksud mungkin berasal dari pembawaan Mas Sarwo yang kebapakan. Pribadinya lembut, tidak suka marah, dan sangat pengertian. Pernah suatu hari, ketika ditanya mengapa perpustakaan antropologi tidak memiliki aturan, Mas Sarwo mengungkapkan bahwa ia tidak mau membebani mahasiswa lagi karena ia tahu bahwa perkuliahan saja sudah sangat membebani. Ya, dari contoh tersebut kita harus setuju bahwa Mas Sarwo itu lovely.


Kemudian, Mas Sarwo juga dikenal sebagai orang yang suka memberikan tips dan rekomendasi buku kepada mahasiswa. Hal ini berkaitan erat dengan amanah dari para dosen yang memintanya untuk selalu membantu mahasiswa dalam mencari bahan bacaan. Ia benar-benar menjalankan amanah ini dengan baik, sampai-sampai tanpa diminta pun kadang ia memberinya. Kebiasaannya ini juga mungkin timbul karena ia sudah cukup lama berkutat dengan buku, sehingga pengetahuan yang dimilikinya dirasa perlu dibagikan ke orang lain. Terakhir, Mas Sarwo merupakan orang dengan ingatan yang luar biasa. Tanpa mencatat, Mas Sarwo dapat ingat buku perpustakaan yang dipinjam dan siapa peminjamnya. Jadi, jangan lupa kembalikan buku perpustakaan ya, karena Mas Sarwo ingat!


Dari Kami Untuk Mas Sarwo

Obrolan kami di sore yang dingin karena gerimis tipis-tipis itu terasa seperti obrolan-obrolan yang sebelumnya pernah kami miliki dengan Mas Sarwo: ringan namun berbobot pada saat yang bersamaan. Sebuah paradoks, memang, tapi paradoks yang sebenarnya menyenangkan.


Dari sekian banyak hal penting dalam kehidupan perkuliahan ini, Mas Sarwo merupakan salah satunya. Perannya bukan hanya penting di bidang akademis mahasiswa, namun lebih dari itu kehadirannya sangat bermakna sebagai sosok teman dan, tidak jarang, ayah. Mas Sarwo menghadirkan sensasi yang anehnya familiar: ia, setidaknya bagi kami berdua, terasa seperti sosok baik dari masa kecil yang hadir kembali untuk membantu kami melewati hari-hari perkuliahan yang kadang bisa menjadi sangat berat dan menjengkelkan.


Mas Sarwo yang lekat dengan kupluk, kegemarannya menonton video dari youtube, dan terkadang mendengarkan dangdut keras-keras di atas jam tiga sore itu, adalah sosok yang rasa-rasanya tidak berlebihan jika tadi kami juluki dengan “jiwa dari antropologi”. Perjalanan Mas Sarwo menjadi penjaga perpustakaan antropologi memang tidak selalu mulus, namun semoga segala yang dilakukannya ini juga membawa kebaikan bagi hidupnya. Mas Sarwo yang selalu baik, terima kasih.

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page