top of page
Writer's pictureAnugerah Rinaldi

Melihat Wajah Sumba melalui Upacara Kedde

Oleh: Anugerah Rinaldi & Adam Sediyoadi Putra


Pada tanggal 23-31 Oktober 2018, Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada bersama dengan Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA) menyelenggarakan rangkaian acara bernama Festival Sumba 2018. Hampir seluruh rangkaian acara Festival Sumba 2018 ini diselenggarakan di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, di mana hanya pameran hasil fotografi dan “Koentjaraningrat Memorial Lecture” yang diselenggarakan di luar lingkungan kampus, yakni di Bentara Budaya Yogyakarta. Secara keseluruhan, Festival Sumba 2018 memiliki rangkaian kegiatan berupa beberapa workshop, pemutaran dan diskusi film, pentas musik etnik-kontemporer, pameran hasil fotografi, upacara Kedde, simposium, dan pada hari terakhir ditutup dengan kuliah umum “Koentjaraningrat Memorial Lecture”.



Suasana saat Festival Sumba

Tempat penyelenggaraan utama Festival Sumba 2018 yang bertempat di Fakultas Ilmu Budaya UGM telah ditata sedemikian rupa untuk menyokong penyelenggaraan acara ini. Kami melihat di antara gedung Margono dan Soegondo dibangun semacam “gapura” yang terbuat dari bambu-bambu yang saling menyilang dengan berbagai hiasan yang menggantung. Panggung juga dibuat di depan gedung Margono sebagai tempat di mana pertunjukan musik etnik-kontemporer serta kesenian lainnya akan ditampilkan dalam Festival Sumba 2018. Nampak juga sebuah rumah bambu yang dibangun di halaman luas depan gedung Soegondo. Rumah bambu itu beratap rumbia, yang mirip dengan rumah “khas” di Sumba. Pembangunan rumah ini sendiri dimulai kurang lebih selama empat hari dan sudah selesai kira-kira dua hari sebelum tanggal 21 Oktober 2018.


Perlu kita ketahui bahwa festival ini hanyalah sebuah relokasi budaya yang tidak dapat diproduksi secara utuh di suatu tempat tertentu (seperti di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada). Kehadiran bangunan, dan instrumen-instrumen fisik lainnya mungkin hanya merepresentasikan “sebagian” dari Sumba. Kondisi sosial, iklim, kultur, lingkungan geografis, ekosistem, dan lain sebagainya sulit untuk dihadirkan dalam festival tersebut. Namun, panitia penyelenggara tentu saja mencoba untuk menghadirkan Sumba dengan memasukan simbol-simbol yang identik dengan Sumba dengan segala keterbatasan yang ada.


“Gapura”, panggung, dan rumah bambu tersebut dibangun atas dasar diselenggarakannya Festival Sumba 2018 di FIB UGM ini. Saat sebelum gaung Festival Sumba 2018 ini belum begitu terdengar, suasana lingkungan kampus FIB UGM nampak seperti biasanya, di mana mahasiswa, dosen, karyawan, dan para pekerja lainnya yang hilir mudik untuk kebutuhannya masing-masing. Ketiga “bangunan” tersebut juga awalnya tidak ada. Kami melihat bahwa hadirnya ketiga “bangunan” tersebut merupakan bentuk representasi wajah Sumba ke wilayah yang sangat jauh dari tempat asalnya sana, yakni di Yogyakarta. Kami menilai bahwa hadirnya ketiga “bangunan” tersebut menjadi titik penting karena merupakan representasi material yang akan mudah dilihat oleh banyak orang. Pemilihan ketiga “bangunan” untuk dapat dihadirkan tersebut juga sangat krusial, karena menghadirkan Sumba dengan berbagai kompleksitas kondisi alam dan sosio-kulturnya ke lingkungan awam. Pada Festival Sumba 2018 ini, kami melihat bahwa panitia penyelenggara secara khusus ingin menunjukkan representasi budaya material Sumba melalui rumah bambu tersebut, dan kami menilai bahwa kehadiran rumah bambu tersebut sangat menarik perhatian bagi orang-orang yang sehari-hari lalu lalang di lingkungan FIB UGM ini.


Upacara Kedde (dan Setelahnya)

Ketika Festival Sumba 2018 diselenggarakan, kami mengikuti beberapa rangkaian dari acara tersebut. Salah satu acara yang menarik perhatian kami adalah Upacara Kedde, yang diselenggarakan pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2018. Sebelumnya, kami sendiri belum mengetahui dan memahami mengenai upacara Kedde tersebut sehingga kami belum memiliki pandangan bagaimana upacara Kedde akan berlangsung. Kami memang melihat beberapa gambar dan video singkat mengenai upacara Kedde melalui berbagai sumber di internet, namun pandangan kami masih “kabur” mengenai upacara Kedde.


Menurut jadwal acara, upacara Kedde akan berlangsung pukul 16.00 WIB. Kami melihat bahwa para penonton dan pengunjung upacara Kedde sudah mulai berkerumun sejak satu jam sebelumnya. Suasana lingkungan Fakultas Ilmu Budaya UGM yang sebelumnya hanya dilintasi oleh para mahasiswa, saat itu berubah menjadi kumpulan manusia “yang beragam”. Kumpulan manusia tersebut berkerumun halaman luas di antara gedung Soegondo dan Margono di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kami ikut berkerumun untuk dapat melihat dan menikmati penyelenggaraan upacara Kedde yang diselenggarakan di luar “wilayahnya”.


Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, namun upacara Kedde di lingkungan FIB masih juga belum berlangsung. Pada saat yang sama, semakin banyak pengunjung yang datang untuk dapat menyaksikan upacara Kedde tersebut. Setelah kebingungan akan waktu pasti dari penyelenggaraan upacara Kedde, kami dan beberapa teman lainnya (dari Antropologi 2017), saat itu juga memiliki kebingungan yang lain, di mana kami tidak tahu di mana upacara Kedde tersebut dilangsungkan (atau dipentaskan). Kami dan seluruh orang yang ada di sini hanya berkerumun, tapi tidak menghadap kepada arah yang sama, arah di mana tempat penyelenggaraan upacara Kedde akan berlangsung. Namun demikian, ada salah satu tanda pasti di mana upacara Kedde akan ditampilkan atau mungkin sekadar melewatinya. Tanda tersebut adalah berkumpulnya beberapa orang, yang mayoritas laki-laki muda, di sebuah rumah bambu replika dari setengah rumah “adat” masyarakat Sumba. Orang-orang yang berkumpul dan duduk di rumah bambu tersebut juga mengenakan pakaian dan aksesoris khas, yang menampilkan citra bahwa mereka “orang Sumba” kepada kami semua yang hadir di halaman FIB UGM tersebut.


Semakin berjalannya waktu, semakin banyak “orang Sumba” yang mulai hilir mudik di lingkungan FIB UGM. Mereka juga meneriakkan lolongan (atau mungkin nyanyian) tertentu pada saat itu. Pada pukul 16.30 WIB, beberapa “orang Sumba” tersebut melakukan tari-tarian di depan rumah bambu tersebut. Pada saat yang sama, dari arah selatan beberapa “orang Sumba” juga berjalan menuju ke rumah bambu. Mereka membawa kain-kain yang disusun dengan bentuk tertentu, serta menghadirkan dua ekor kerbau berwarna cerah dan hitam untuk dibawa ke depan rumah bambu tersebut. Kerumunan para penonton (pengunjung) upacara Kedde ini kemudian mulai mengatur barisan agar rombongan “orang Sumba” tersebut dapat lewat dan penonton sendiri dapat menikmati upacara Kedde tersebut dengan nyaman.


Kami termasuk orang yang beruntung karena mendapatkan barisan terdepan, sehingga dapat melihat dengan jelas upacara Kedde berlangsung. Bau kerbau yang khas dapat tercium dari jarak sekitar 5 (lima) meter dari tempat kami berdiri. Suara gemuruh orang, orang dapat terdengar bersahut-sahutan dari belakang kami. Namun, suara penampil saat memperagakan beberapa bagian dari upacara Kedde memecah suara-suara itu. Walaupun upacara yang dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya hanyalah sebuah representasi dari upacara Kedde yang ada di Sumba, namun kami dapat merasakan sebagian suasana meriah upacara tersebut.


Foto 1: “Orang Sumba” yang datang dari arah selatan dengan membawa salah seekor kerbau. (Oleh: Anugerah Rinaldi/pribadi).

Sebelum mendekati rumah bambu tersebut, “orang Sumba” yang datang dari arah selatan tersebut seperti melakukan suatu interaksi kepada “orang Sumba” yang ada di rumah bambu tersebut. Sejujurnya, kami tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan dan apa makna dari interaksi tersebut. Kami sendiri menilai bahwa interaksi tersebut seperti semacam “negosiasi” di antara kedua kelompok tersebut. Setelah interaksi tersebut selesai, mereka saling menyentuhkan hidung mereka antara satu “orang Sumba” dengan “orang Sumba” yang lain. Pemandangan tersebut sangat menarik bagi kami, karena kami baru pertama kali menjumpai tindakan semacam itu. Setelah itu, “orang-orang Sumba” tersebut kemudian berkumpul di depan (dan pada) rumah bambu tersebut. Mereka melantunkan nyanyian-nyanyian serta melakukan beberapa tarian tertentu, di mana mereka menghadap ke arah rumah bambu tersebut, bukan ke arah pengunjung.


Foto 2: “Negosiasi” antar dua kelompok “Orang Sumba”. (Oleh: Anugerah Rinaldi/pribadi).

Sekitar setelah pukul 17.00 WIB, upacara Kedde tersebut selesai. Para pengunjung upacara Kedde pun ramai-ramai membubarkan diri, dan beberapa di antara mereka masih berinteraksi satu sama lain. Namun demikian, kami menilai bahwa upacara Kedde ini selesai dengan cara menggantung. Kami tidak mengetahui bagaimana jalan dan rangkaian upacara Kedde tersebut, sehingga kami pun tidak dapat mengetahui “makna” dari upacara Kedde secara lebih lanjut. Kami sendiri menyadari bahwa upacara Kedde yang diselenggarakan di FIB UGM ini tentu saja tidak akan menampilkan keseluruhan dari upacara Kedde yang sebenarnya. Penampilan upacara Kedde di FIB UGM ini kami rasa hanya ingin menampilkan bagian-bagian yang “menarik” untuk dapat dipertunjukkan.


Foto 3: “Orang Sumba” berkumpul setelah upacara Kedde selesai. (Oleh: Anugerah Rinaldi/pribadi).

Representasi Rumah dalam Festival Sumba dan Upacara Kedde

Koentjaranigrat mengutip sebuah teori fungsionalisme Malinowski (1944) pada bukunya “A Scientific Theory of Culture and Other Essays”, ia mengatakan bahwa “segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya” (Koentjaranigrat, 1987: 171). Dibuat dan diberlangsungkannya Festival Sumba ini sebenarnya memiliki tujuan dan sebab, seperti Dikutip dari Weiss et al., “Since large movements of different ethnic groups around the world are almost commonplace for diasporic reasons, ethnic groups are often faced with the tension of assimilating to new regions and maintaining a sense of ethnic identity” (2005: 205). Komunitas etnik muncul karena keterbatasan kemampuan individu untuk mempertahankan rasa identitas etnis dan “...to ensure that their ethnic identity will not be lost....” (Weiss et al., 2005: 205), sehingga panitia Festival Sumba mencoba merelokasikan dan memproduksi budaya Sumba di tempat lain dengan maksud mempertahankan budaya Sumba tersebut. Walaupun mayoritas panitia atau orang yang memeriahkan festival tersebut bukan orang Sumba, namun mereka berharap budaya dan identitas etnik orang Sumba dapat terus lestari di tengah globalisasi.


Festival Sumba ini menurut kami adalah representasi dari “rumah” bagi kelompok diaspora Sumba yang ada di Yogyakarta. “Gapura”, replika rumah adat Sumba, upacara Kedde, foto yang meng-framing Sumba, film dengan tema Sumba, simposium mengenai Sumba, dan semua yang berkaitan mengenai Sumba hadir sebagai upaya untuk menghadirkan “rumah” bagi kelompok diaspora Sumba yang ada di Yogyakarta. Penghadiran “rumah” tersebut adalah upaya pemenuhan kebutuhan manusia akan rasa rindu dengan rumah. Jadi, representasi akan tempat tersebut, jika dilihat dari teori tersebut, adalah respon terhadap naluri mereka untuk meningkatkan identitas kolektif, sehingga kebudayaan yang mereka bawa tidak hilang begitu saja dengan menghadirkan “rumah baru” di tempat mereka tinggal sebagai komunitas diaspora.


Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.

Weiss, Joel et al. (2005). Difference and the Internet: When Ethnic Community Goes On-line. dalam Peter Pericles Trifonas (ed.). Communities of Difference (pp. 205-214). New York: Palgrave Macmillan.

30 views0 comments

Comments


bottom of page