top of page
Writer's pictureNabila Ulamy Alya'

Memaknai Simbol di Balik Upacara Kedde dalam Festival Sumba

Oleh: Adinda Dwiane Derafadilla dan Nabila Ulamy Alya


(dok. instagram @hoampimpa, oleh Dwings)

Semilir angin di Jumat sore itu menggelitik kerudung dan rambut semua orang yang hadir di depan Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Akan ada prosesi Kedde, salah satu rangkaian acara dari Festival Sumba yang meriah. Dari arah barat, rombongan pemuda dan segelintir pemudi Sumba berjalan menghampiri replika uma humba, rumah tradisional Sumba, di halaman FIB. Ikat kepala dan selendang dari kain tenun khas Sumba terpasang di badan mereka. Tidak sekedar berjalan, rombongan itu berseru senang, mengeluarkan suara-suara yang sepertinya tidak bisa kami tirukan. Di antara mereka, ada dua laki-laki yang masing-masing memegang tombak kayu sekitar 2 meter panjangnya. Beberapa laki-laki lainnya memegang kayu yang ukurannya lebih kecil, yang digunakan sebagai properti pedang. Satu pemandangan menarik yang kami tangkap adalah kehadiran dosen antropologi sekaligus penanggung jawab Festival Sumba ini: Prof. P.M. Laksono. Beliau juga hadir di tengah-tengah mahasiswa Sumba dalam prosesi Kedde, mengenakan ikat kepala dan kain khas Sumba pula. Prof. Laksono tampak sebagai tokoh utama di antara mereka yang berkumpul di depan rumah.


(dok. pribadi)

Kemudian suasananya menjadi agak senyap. Entah apa yang ditunggu. Beberapa orang mulai penasaran, apa lagi yang akan muncul. Memanfaatkan kesempatan kosong itu, beberapa fotografer mulai meminta mahasiswa Sumba untuk berpose. Para mahasiswa itu juga mulai mengeluarkan smartphone-nya masing-masing untuk mengambil beberapa foto. Beberapa menit kemudian, sekelompok mahasiswa Sumba datang dari arah selatan, memecah senyap. Di baris depan, ada tiga orang laki-laki yang memegang tiga tiang. Tiang-tiang ini membuat kain panjang dengan motif Sumba berwarna coklat muda dan merah itu terbentang. Terdengar sahut-menyahut yang meriah antara mereka dengan kelompok sebelumnya yang sudah berbaris membentuk seperempat lingkaran di depan rumah adat: heiyaa...heiiiyaaa! Di belakang kain khas Sumba yang membentang, muncul dua ekor kerbau berkulit hitam dan putih kemerahan atau bule. Tanduk besar mereka dililit oleh kain berwarna merah dan daun kelapa yang menjuntai di sisi kanan dan kiri kepala.


(dok. pribadi)

Rombongan yang baru tiba itu memulai gerakan tarian memutar dan melompat, membentuk setengah lingkaran di depan barisan. Teriakan mereka terdengar seperti suara khas suku asli Amerika Utara, membuncah di halaman Fakultas Ilmu Budaya. Belakangan, kami menemukan istilah untuk suara itu dari kuliah Prof. Laksono: “pekik Sumba”. Semua orang berkerumun untuk melihat pertunjukan ini. Mereka mengangkat smartphone dan kamera, mengabadikan momen yang mungkin tak akan mereka lihat lagi bila tidak pergi ke Sumba. Tak lama kemudian, nyanyian berbahasa Sumba memenuhi halaman FIB. Awalnya hanya satu orang saja dengan mikrofon, tetapi lambat laun nyanyian ini diikuti oleh mahasiswa Sumba lainnya.


Setelah itu, seorang lelaki dari rombongan selatan dengan kain berwarna putih di tubuhnya, mulai berbicara dalam bahasa Sumba. Kami tidak mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan, tetapi tampaknya mereka sedang melakukan semacam pidato dari kelompok yang memberi kerbau kepada kelompok penerima. Seorang perempuan paruh baya kemudian berjalan ke hadapan Prof. Laksono yang tepat berdiri di tengah barisan. Dipasangkan pada sang mama, kain Sumba berwarna hijau. Setelah itu pekik Sumba kembali terdengar. Beberapa pemuda Sumba mengelilingi kerbau-kerbau itu sambil melompat-lompat energik. Sesekali kerbau itu dipukuli bagian pantatnya agar berjalan.


Irama dua alat musik pukul kemudian terdengar. Salah satunya berasal dari alat musik berbentuk seperti gong versi mini. Hanya satu jenis bentuknya sehingga menghasilkan satu nada saja. Satu lagi adalah tifa, alat musik khas Indonesia bagian timur yang menyerupai kendang. Irama keduanya berpadu, mengiringi suara teriakan dari mahasiswa-mahasiswa asal Sumba. Dua ekor sapi yang telah dihias itu digiring ke tengah-tengah kerumunan. Lagi, beberapa orang dengan tombak dan kayu di tangannya melompat-lompat sambil berputar. Di antara mereka adalah lelaki berkain putih tadi. Diapit oleh tiga orang lainnya, kaki-kaki mereka secara bergantian menyentuh tanah. Berbanjar, menyerong ke arah barat laut.


(dok. pribadi)

Setelah itu mereka saling menyatukan hidung. Ini salam cium hidung khas Sumba. Di pertunjukan kali inilah kami baru melihat secara langsung bagaimana salam ini dipraktikkan. Para penonton juga antusias melihat salam yang unik ini. Rombongan dari selatan mencium hidung setiap anggota kelompok di rumah adat. Pak Laksono juga tampak ikut melakukan salam ini. Pasangan kerbau hitam-bule ini lalu digiring ke luar panggung utama. Semua penonton memberi tepuk tangan yang meriah untuk pertunjukan yang langka ini. Selanjutnya, seorang perempuan dengan mikrofon menjelaskan tentang prosesi Kedde asal Sumba ini. Sayangnya, suara penjelasan ini tenggelam, dikalahkan oleh irama tabuhan dan pukulan gong mini yang cepat.


Usai penjelasan panjang yang tidak banyak dihiraukan oleh orang itu, beberapa gadis Sumba menari di depan uma humba. Meski gemulai, gerakan mereka cepat lantaran musik pengiringnya yang bertempo cepat pula. Para penonton kembali memberikan tepuk tangan yang meriah. Mahasiswa asal Sumba yang sudah duduk di dalam uma humba disuguhi cemilan dan minuman hangat. Perlahan, halaman Fakultas Ilmu Budaya pun mulai sepi. Pengunjung mulai menginggalkan halaman Fakultas seiring dengan lampu-lampu taman yang mulai dinyalakan. Beberapa orang masih bertahan meski angin sore yang dingin datang mengusik. Pengunjung yang bertahan itu ikut dibagikan makanan, menyatukan mereka dengan peserta upacara Kedde melalui cita rasa santapan yang sama.

Upacara Kedde yang ditampilkan pada 26 Oktober 2018 pukul 16.00 WIB ini ternyata bukanlah sebuah upacara kematian seperti yang ditulis dalam banyak literatur. Tetapi Kedde yang satu ini adalah upacara memasuki uma humba, rumah tradisional Sumba yang hendak ditempati. Dalam upacara ini, kerbau hitam dan kerbau bule menjadi persembahan yang penting.


Pertunjukan Kedde sebagai Peristiwa Simbolik

Hadirnya Prof. Laksono sebagai salah satu pemeran dalam prosesi Kedde kami lihat sebagai peristiwa simbolik. Kami setuju dengan teori simbol oleh White dalam tulisan Ahimsa-Putra (2013), bahwa simbol secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dimaknai.” Menurut Ahimsa-Putra (2013), kurang tepat bila simbol disebut sebagai sesuatu yang bermakna karena kata “bermakna” memiliki arti bahwa makna tersebut melekat pada hal itu. Padahal makna terdapat dalam pikiran manusia yang kemudian diberikan pada sesuatu—simbol. Simbol dapat berupa hal-hal yang abstrak, agak abstrak, bahkan hal yang konkret dan empiris.


Kemudian pemaknaan atas simbol itu bersifat relatif. Setiap orang memaknainya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena proses sosialisasi dan pengalaman pribadi setiap individu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Maka peristiwa hadirnya Prof. Laksono di tengah-tengah mahasiswa asal Sumba tadi kami anggap sebagai peristiwa simbolik, yang kami beri maknanya. Prof. Laksono menunjukkan eksistensi seorang antropolog yang menyatu dengan masyarakat. Keberadaan Prof. Laksono mudah sekali tertangkap oleh mata karena penampilannya yang berbeda. Di antara kumpulan mahasiswa Sumba, hanya beliau yang mengenakan kemeja dan celana panjang. Sedangkan yang lainnya memakai kaus dan celana pendek atau bahkan tidak mengenakan atasan sama sekali. Prof. Laksono melebur dengan Sumba tanpa kehilangan identitasnya.


Prof. Laksono (ketiga dari kiri) mengenakan pakaian adat Sumba (dok. Laura UGM)

Seorang antropolog tidak melakukan wawancara seperti seorang jurnalis atau hanya memotret seperti turis, tetapi melakukan observasi partisipatoris. Ia harus ikut dalam semua kegiatan masyarakat yang ditelitinya. Persis seperti yang digambarkan oleh Prof. Laksono dalam Festival Sumba ini: sebagai seorang antropolog, beliau menyatu dengan masyarakat, mengikuti seluruh rangkaian kegiatan yang ada dalam masyarakat tersebut.


Kritik dan Saran

Kami menemukan satu kekurangan dalam penyelenggaraan upacara Kedde yang bagi kami, termasuk kekurangan yang sedikit fatal. Kekurangan ini adalah kurangnya perhatian pada aksesibilitas penjelasan mengenai prosesi Kedde itu sendiri, baik secara visual maupun audio. Padahal tujuan utama dari upacara Kedde ini di Festival Sumba 2018 adalah ingin menunjukkan kepada khalayak luas mengenai kebudayaan masyarakat Sumba. Sebuah selebaran dirasa akan sangat membantu, layaknya saat kita sedang menonton pertunjukan barong di Bali. Seorang narator memang telah menjelaskan dengan baik, namun tidak terdengar jelas dalam keriuhan upacara Kedde. Sangat disayangkan bila pengalaman visual tersebut tidak dibarengi dengan penerimaan nilai-nilai yang dapat memberikan sudut pandang baru. Terlebih upacara Kedde ini memiliki ranah yang luas, pelaksanaannya tidak hanya untuk upacara kematian, namun juga prosesi masuk rumah baru dan lamaran. Tak lupa, Sumba Timur dan Sumba Barat juga pasti memiliki warnanya sendiri dalam memaknai Kedde.


Terlepas dari itu, Festival Sumba adalah festival yang telah digarap dengan serius. Diadakannya pertunjukan prosesi Kedde di halaman FIB UGM ini memberi banyak implikasi positif. Misalnya, mengenalkan kebudayaan Sumba kepada warga kampus, menambah wawasan, mengingatkan kita pada nilai-nilai keberagaman dan multikulturalisme, serta sebagai bentuk apresiasi bagi warga kampus yang berasal dari Sumba. Panitia berhasil melakukan reka ulang rekaman mereka mengenai gambaran Sumba di halaman FIB. Bersamaan dengan diboyongnya kerbau dalam prosesi upacara Kedde, gambaran pengunjung Festival Sumba mengenai tradisi Sumba semakin diperkaya. Festival ini memiliki misi yang dicitrakan dalam sebuah kalimat, ‘Indonesia bangga Sumba Sejahtera’. Dalam rangkaian acara yang panjang dan padat, Festival Sumba menyuguhkan materi-materi segar nan menarik. Secara keseluruhan kami menilai Festival Sumba telah terlaksana dengan apik dan patut diberikan apresiasi. Khususnya pada penampilan Upacara Kedde yang istimewa ini.


Referensi

Ahimsa-Putra, H.S. (2013). Budaya Bangsa, Jati Diri, dan Integrasi Nasional: Sebuah Teori. Jejak Nusantara, 1, 6-19.

37 views0 comments

Comments


bottom of page