Iffah Fitri Annisa & Lia Sukma Catartika
Pada akhir bulan Oktober, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) Departemen Antropologi UGM menyelenggarakan satu rangkaian acara festival yang dinamakan Festival Sumba 2018. Festival Sumba dimulai pada tanggal 23 Oktober 2018 hingga 31 Oktober 2018. Diawali dengan pembukaan oleh Prof. Dr. P.M. Laksono, M. A. pada 23 Oktober 2018 yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi fotografi “Jepret Etnofoto” bersama Budi N. D. Dharmawan, serta pemutaran film dokumenter “Spirit of the Horse” dan “Sumba” oleh Eddy Hasbi (Litbang Kompas). Selama kurang-lebih 9 hari acara berlangsung, festival ini akhirnya ditutup dengan “Koentjaraningrat Memorial Lecture XV/2018” oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, MA. Selama sembilan hari itulah berbagai jenis kegiatan dilaksanakan. Mulai dari workshop dan diskusi, pemutaran film, bazaar, pameran foto dan kain Sumba, pergelaran seni hingga acara puncak yaitu simposium “Resiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman”, bahkan prosesi Kedde beserta kerbaunya turut dihadirkan dalam festival ini.
Festival Sumba ini sangat menarik perhatian banyak orang, berbagai kalangan dapat ikut memeriahkan acara. Mulai dari mahasiswa FIB yang biasa lalu lalang di kampus, mahasiswa non FIB, para dosen, dekanat, tamu undangan, juga tidak lupa yang terpenting adalah para mahasiswa dan orang-orang Sumba yang menyempatkan diri untuk hadir dalam festival ini, festival yang ditujukan untuk menghadirkan Sumba pada setiap unsur di dalamnya. Kami juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk belajar dari festival ini. Oleh karena itu, kami berusaha untuk mengikuti seluruh rangkaian acara di sela padatnya jadwal kuliah. Tidak sedikit dari mata kuliah yang diambil mengharuskan kami untuk mengikuti rangkaian acara Festival Sumba. Dengan salah satunya adalah mengunjungi pameran foto dan kain Sumba yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta dan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Panorama Pameran Sumba
Satu hari sebelum simposium diadakan—Jum’at 26 Oktober 2018, kami menyempatkan diri untuk melihat pameran foto dan kain Sumba di Bentara Budaya Yogyakarta. Kami memiliki ekspektasi akan bertemu dengan banyak pengunjung lain. Ternyata ketika kami tiba, hanya ada dua pengunjung lain yang juga memiliki kesamaan ketertarikan pada Sumba, juga lima orang penjaga pameran yang tiga diantaranya adalah mahasiswi antropologi lintas angkatan, satu mahasiswa antropologi, dan satu senior antropologi yang wajahnya familiar. Senior ini lah yang menyapa kami dengan hangat, bertanya kami perwakilan dari mana. Kami menjawab bahwa kami mahasiswi antropologi juga. Senior tersebut juga menanyakan kami berasal dari angkatan berapa, serta kemudian mempersilakan untuk melihat-lihat pameran setelah kami mengisi daftar kehadiran.
Di sebelah kanan pintu masuk kami langsung disuguhkan dengan benda-benda milik orang Sumba. Di sana dipamerkan dua parang yang berbeda, parang untuk kerja dan untuk upacara. Parang untuk kerja berbentuk sedikit lebih ramping dan lebih panjang dibandingkan parang untuk upacara. Parang untuk upacara berwarna coklat yang lebih terang dibandingkan parang untuk kerja. Bentuk dari gagang parangnya pun berbeda, gagang parang untuk kerja memiliki detail lengkungan lebih tajam pada ujung gagang dibandingkan parang untuk upacara. Parang upacara juga memiliki hiasan seperti pom-pom kecil berwarna merah hijau di dekat gagangnya. Selain parang, dipamerkan juga keranjang—yang sepertinya terbuat dari anyaman daun pandan, disebut bola atau kaleko untuk menaruh sirih pinang, dan terdapat sisir yang dipakai oleh perempuan dari Sumba Timur. Sisir ini terbuat dari kulit penyu, bentuknya seperti mahkota dengan detail ukiran Sumba. Instalasi yang dipamerkan ini merupakan wujud asli dari barang-barang yang digunakan dalam aktivitas orang-orang Sumba.
Masih menelusuri sisi kanan ruangan, setelah instalasi maka akan ada beberapa foto-foto yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari para penduduk Sumba. Dari sisi kanan ruangan ini lah kami melihat pola bahwa foto-foto disusun berdasarkan tema yang senada. Mulai dari foto kegiatan sehari-hari, seperti perjalanan menuju ke pasar hingga gambar mengenai kubur batu. Sayangnya kami tidak mengambil gambar untuk foto suasana menuju pasar, di mana foto tersebut memperlihatkan transportasi di Sumba dipenuhi oleh bahan-bahan pokok, atau sayur mayur yang hendak diperjualbelikan. Melihat dari hasil potret gambar yang ditampilkan, kami mencermati dan merasakan bagaimana atmosfer yang terjadi pada saat gambar itu diambil di Sumba. Kehangatan para masyarakat yang senantiasa melakukan kegiatan sehari-hari tidak luput dari perhatian kami karena terdapat perbedaan konstruksi sosial diantara kebiasaan kami di Pulau Jawa dengan kebiasaan masyarakat Sumba. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh bahasa yang digunakan sehari-hari sehingga dapat mempengaruhi kebudayaan, perilaku sehari-hari, interaksi sosial, dan sebagainya.
Selanjutnya terdapat Situs Kampung Ratenggaro, salah satu potret panorama kampung yang menarik perhatian kami untuk lebih dicermati. Bedasarkan diskripsi dari gambar yang dipamerkan, kami bisa mempelajari bahwa kampung tersebut merupakan salah satu daya tarik wisatawan yang terletak di Kabupaten Sumba Barat Daya. Mulai dari segi bangunan yang terdapat di desa ini terbilang cukup unik, hingga suasana yang menurut kami masih asli dan sangat hijau. Kampung Ratenggaro ini senantiasa selalu dijaga kelestarian dan keutuhannya. Dari segi bangunan, tentu kami melihat perbedaan yang menjadi salah satu bentuk keanekaragaman budaya dalam bidang arsitektur rumah adat di Indonesia. Walaupun kami tidak mengetahui bagaimana karakteristik secara detail mengenai rumah adat yang berada di Kampung Ratenggaro, tetapi secara umum kami tentu dapat melihat dari segi atap yang menjulang tinggi dan bentuk bangunan yang terlihat dari foto yang dipamerkan.
Tata Ruang Pameran
Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, bahwa penataan foto-foto pada pameran ini disesuaikan dengan tema yang senada di seluruh ruangan. Kami pun menemukan dua tema foto berdampingan yang menyangkut pada tradisi dan sistem kepercayaan orang Sumba. Foto-foto di sebelah kanan menggambarkan sistem kepercayaan orang Sumba, di mana salah satu foto terdapat Yesus—Mirri Yehu La Humba—dibayangkan menjadi orang Sumba lengkap dengan kain tenun ikatnya. Foto-foto di sebelah kiri menggambarkan Tradisi Pasola. Tradisi yang digelar setahun sekali untuk memohon restu dari para dewa dan arwah nenek moyang, agar hasil panen pada tahun tersebut melimpah. Pada tradisi pasola dalam salah satu foto, terlihat penunggang kuda sedang mengikuti perang lempar lembing di Lapangan Bondokawango, Desa Perobatang, Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Di tengah ruang pameran, terdapat kain tenun Sumba yang dipasang membentang pada kerucut-kerucut besi, dengan panjang kain kurang lebih 5 meter. Kain yang dipamerkan ini terbilang berbeda dibandingkan dengan kain tenun lainnyayang turut ditampilkan. Kain tenun yang lain tidak memiliki motif-motif Sumba didalamnya, hanya kain dengan warna-warna cerah. Kain yang memiliki motif ini berasal dari Anakalang, Sumba Tengah. Dengan warna dominan coklat, merah, dan biru. Kain tenunan Sumba Tengah ini dideskripsikan memiliki empat warna dasar yaitu, putih, cokelat, abu, dan hitam. Namun, pada saat ini disepakati lebih baik menggunakan tiga warna dasar saja, yaitu putih, cokelat, dan hitam. Motif-motif yang terdapat di dalamnya juga merupakan simbol-simbol yang mempunyai makna filosofis, sosiologis, dan antropologis orang Sumba.
Selama kami melihat-lihat, memperhatikan foto-foto dan kain tenun yang dipamerkan, kami juga menikmati suara alunan musik Sumba yang datang dari pemutaran beberapa video. Video satu menampilkan lagu “Humba” dari musisi Humbacustik. Terdapat deskripsi mengenai lagu ini, dikatakan bahwa beberapa kritik menyatakan lagu ini mampu untuk menyampaikan suatu pesan cerita Sumba yang menyeluruh. Melalui lagu ini juga kami seakan-akan terbawa, ikut merasakan kehidupan di Sumba. Video dua menampilkan proses pembuatan kain tenun Sumba. Dari video ini juga kami sadar bahwa sehelai kain tenun Sumba akan melewati proses yang sangat panjang dan penuh perjuangan. Untuk menghasilkan kain tenun Sumba, diperlukan kecermatan mama-mama untuk memilih bahan yang berkualitas dan berasal dari alam. Bahan tersebut mulai dari kapas yang kemudian dipintal menjadi benang, juga pencarian bahan-bahan pewarna alami yang selanjutnya diproses untuk menghasilkan warna-warna khas Sumba, hingga akhirnya mulai ditenun dan menghasilkan selembar kain tenun Sumba. Dari video ini lah kami melihat relasi alam dan manusia Sumba dalam warisan leluhurnya bahwa kekayaan dan keindahan alam di Sumba masih sangat terjaga dan terawat. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk dijadikan karya adi luhung, bernilai tinggi.
Seluruh suasana yang ditampilkan dari pameran, baik foto maupun video, membuat kami sangat kagum. Keindahan alam yang masih sangat terjaga, ditambah dengan hamparan hijaunya padang rumput dan pepohonan kian menambah kecantikan alam Sumba. Walaupun kami belum diberikan kesempatan untuk mengunjungi langsung dan mengetahui bagaimana keadaan Sumba, melalui pameran ini dapat kami simpulkan bahwa Sumba tetap akan melekat di hati. Seakan-akan membuat para penggemarnya—juga kami—ikut merasakan ketenangan dan semilir angin yang berhembus di daerah tersebut. Namun, kami harus tersadar bahwa gambar atau potret dari sang fotografer merupakan hasil dari perspektif mereka. Jadi bagaimana kondisi dan keadaan di Sumba tidak dapat disamaratakan dengan hasil potret dari para fotografer tersebut. Meskipun demikian, kami tetap memiliki harapan bahwa apa yang ditampilkan oleh para fotografer menggambarkan Sumba seutuhnya.
Buah Pameran Sumba
Melalui pameran ini, kami mendapatkan pengetahuan dan berbagai pemikiran baru sebagai bahan reflektif untuk masa depan. Adapun pelajaran yang dapat dipetik dari pameran ini, seperti adanya penggambaran status sosial di Sumba. Mereka membuat simbol status sosial mereka dalam bentuk jumlah atau semakin tingginya tanduk kerbau yang mereka miliki. Tanduk-tanduk kerbau yang mereka simpan tersebut menjadi salah satu indikator yang dapat dilihat untuk menentukan status sosial masyarakat di Sumba. Keseharian orang-orang Sumba juga tidak lepas dengan adanya bentuk-bentuk tradisi ataupun kentalnya kepercayaan yang mereka yakini. Nilai-nilai kebudayaan mereka juga masih sangat dijunjung tinggi, tercermin dari bagaimana masyarakat Sumba menjaga warisan leluhur dengan menggunakan kain tenun dalam kegiatan sehari-hari.
Festival Sumba dapat dijadikan sebagai jembatan bagi seluruh masyarakat yang memiliki keragaman pemikiran untuk perubahan. Dengan fondasi kebudayaan yang berakar pada masa lalu, yang bersifat luwes, inklusif dan kompromis terhadap gerak perubahan zaman, sehingga jauh dari adu kekuatan untuk saling menaklukkan dan menyingkirkan sistem tata kelola hidup dan penghidupan yang sudah berlangsung sebelumnya di tepian bangsa ini (Departemen Antropologi, 2018).
REFERENSI
Departemen Antropologi FIB UGM, “SIMPOSIUM DAN PERGELARAN BUDAYA SUMBA 'Menyapa Indonesia, Merengkuh Tepi Bangsa: Resiliensi Wajah Sumba Dalam Pusaran Zaman'", 12 Oktober 2018, http://antropologi.fib.ugm.ac.id/berita/simposium-dan-pergelaran-budaya-sumba-menyapa-indonesia-merengkuh-tepi-bangsa-resiliensi-wajah-sumba-dalam-pusaran-zaman/, Diakses 1 November 2018.
galak banget sih judulnya pake capslock :(