top of page

Membangun Memori Kolektif Pembangunan Underpass Perempatan Kentungan: Sebuah Refleksi

Updated: May 13, 2019

Oleh Fahmi Rizki Fahroji, Leonardo Juan CP, dan Pamerdyatmaja


Ini dia jalan yang ngingetin aku selama kuliah, Jalan Kaliurang atau akrab disebut Jakal. Di Jakal ini, banyak banget kenangan yang bisa diceritain. Mulai ngerjain tugas sampe pagi, cari sahur bareng temen, nongkrong di burjo, ngelewatin macetnya, sampe perkembangan restoran-restorannya. Banyak banget deh pokoknya.


Kutipan tersebut diunggah salah satu akun instagram yang cukup fenomenal dalam urusan “meromantisasi” suatu sudut perkotaan, tempatbercakap. @alwanazra, pengunggah monolog tersebut menceritakan kesan dan pengalamannya terhadap salah satu arus komuter terpadat di Yogyakarta, Jalan Kaliurang. Satu hal yang menjadi penegasan @alwanazra dalam monolog tersebut adalah bagaimana Jalan Kaliurang, khususnya pembangunan dan kemacetan yang terjadi tiap harinya, menjadi memoar yang romantis tentang perjalanan dan kehidupan kuliahnya.


Monolog tersebut dipercantik dengan footage video udara perempatan kentungan dan juga caption puitis ala tempatbercakap. Di akhir rekaman monolog tersebut, @alawanazra mengukapkan bahwa Jalan Kaliurang merupakan potret perkembangan modernisasi Yogyakarta; dan ia berpesan bahwa dengan adanya perkembangan zaman ini, Yogyakarta tidak boleh kehilangan akar budayanya—Memayu Hayuning Bawana.


Montase antara visual, audio monolog, dan caption dalam unggahan menurut kami cukup menarik—meskipun satu hal mengganjal yang menurut kami cukup penting dalam unggahan ini adalah tidak adanya kesinambungan antara montase unggahan tersebut. Jujur, kami masih merasa bingung korelasi antara pengalaman reflektif si pengunggah dengan caption yang ditampilkan dalam unggahan tersebut—khususnya karena si pengunggah merujuk satu terminologi antropologi dalam unggahan tersebut, yakni anthropocene.


Tanpa bermaksud ‘sok kritis’ terhadap unggahan tersebut, kami tetap menganggap unggahan tersebut cukup unik dan menarik—bagaimana infrastruktur Jalan Kaliurang, khususnya perempatan Kentungan, mampu menjadi memoar reflektif seseorang terhadap pengalaman hidupnya di suatu kota. Kami sebagai pengguna Jalan Kaliurang untuk kebutuhan komuter tiap harinya merasa bagaimana pengalaman menghadapi kemacetan di kala pembangunan underpass saat ini merupakan refleksi keseharian yang sangat dekat dengan kami. Setidaknya, unggahan @tempatbercakap menjadi validasi akan pentingnya Jalan Kaliurang bagi banyak orang, khususnya perempatan Kentungan—dibuktikan dari respon komentar yang beragam dalam unggahan tersebut.


Sejak 14 Januari 2019 silam, perempatan Kentungan yang menghubungkan Jalan Kaliurang bagian utara dan selatan, serta Jalan Ringroad Utara bagian timur dan barat diriuhkan dengan pembangunan jalan lintas bawah atau underpass. Melansir dari berita liputan6.com, pembangunan underpass Kentungan menghabiskan sekitar Rp 126 miliar. Harapannya, pembangunan underpass ini akan selesai pada tanggal 31 Desember 2019.


Pembangunan underpass Kentungan ini tentunya menjadi fenomena yang menuai respon beragam dari masyarakat. Mengutip dari berita di tribunnews.com, proyek ini memberi dampak yang cukup signifikan pada berbagai sektor perekonomian di sekitar perempatan Kentungan, khususnya berbagai badan usaha yang menggantungkan hidupnya dari perempatan ini. Rudiyanto, seorang pengelola toko olahraga dalam artikel tersebut menyatakan bahwa ia berspekulasi akan terjadi penurunan omzet setelah berlangsungnya pembangunan underpass.


Lain halnya dengan Ambarwati yang berharap pembangunan underpass akan memberikan keuntungan pada usaha warung makannya, bahkan ia berencana untuk menambah jam operasional untuk melayani kebutuhan makan para pekerja underpass. Tentu respon tersebut beragam, tidak hanya untuk pelaku badan usaha, melainkan kami sendiri—maupun pengamatan kami terhadap pengguna jalan lainnya—sebagai pengguna perempatan Kentungan sebagai jalur mobilisasi sehari-hari.


Kemelut Bangjo di Pagi Hari

Hampir setiap pagi, orang-orang berkompetisi mendapatkan waktunya. Jalan raya sebagai moda transportasi darat menjadi sebuah ajang kontestasi di pagi hari. Para pekerja kantor, pegawai swasta, pelajar, hingga mahasiswa semuanya bertanding dalam mengejar kompetisi itu. Di antaranya datang dari empat penjuru mata angin yang berbeda; utara, selatan, barat, dan timur.


Sebagai check point sekaligus persimpangan, perempatan Kentungan di pagi hari mengamini segala kesibukan duniawi. Ada yang menunggu untuk bisa lanjut menyeberang ke selatan. Ada yang langsung berbelok mengikuti papan petunjuk langsung belok, juga ada yang berbelok menunggu lampu hijau. Sementara seorang ayah mengantar anaknya sekolah, pukul 07.00 pun menjadi waktu para pekerja kantor menjajakan diri dalam arena persimpangan. Bukan main kalau kami melihat para mahasiswa menjadi para pembalap, saat mobil-mobil pribadi berhenti sepersekian detik sekali karena macet. Perempatan Kentungan menjadi saksi kesibukan pagi hari. Agaknya, jika diibaratkan pembabakan waktu dalam sehari, pagi hari menjadi waktu tanpa buntu untuk berkontestasi di kehidupan sehari-hari.


Semua ini yang mengatur persimpangan, kita sebut sebagai bangjo­. Dalam Bahasa Jawa, Bangjo adalah sebuah singkatan dari ‘abang-ijo‘, yang artinya ‘merah-hijau’. Merah menandakan berhenti, sedang hijau untuk melaju. Apapun jenis kendaraannya, ketika lampu merah menyala secara otomatis kendaraan itu berhenti. Penyebutan lain untuk lampu merah, yang kami amati banyak bertebaran di Yogyakarta sendiri, adalah APILL atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.


Dari pengamatan kami selama di lapangan, kami melihat kalau lampu merah dapat dimaknai sebagai ‘simbol pengawasan’. Dikatakan demikian karena baik secara sadar maupun tidak, lampu merah, kuning, dan hijau yang menyala mencirikan simbol-simbol tertentu. Dalam artikel Ahimsa-Putra berjudul “Budaya Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional: Sebuah Teori”, White (1949) mendefinisikan simbol sebagai “segala sesuatu yang dimaknai”. Perlu ditekankan di sini bahwa berbicara tentang simbol lekat dengan pemaknaan manusia. Pemaknaan tersebut kemudian diberikan `ditempelkan' oleh manusia pada sesuatu, yang kemudian membuat sesuatu tersebut menjadi `Simbol' (hal. 8).


Animal Symbolicum--salah satu konsep--yang ditawarkan Cassirer (1945) merujuk manusia memiliki kemampuan untuk melakukan simbolisasi. Barangkali kita bertanya, dimanakah letak simbol yang disebut-sebut itu? Kami bertiga sepakat kalau lampu yang menyala setinggi 13 kaki itu mencirikan simbol yang diatur oleh negara. Negara yang memiliki kuasa atas kota dan dinamika yang terjadi di dalamnya, mengatur kemacetan kota dengan meregulasikan penjajakan lampu merah hampir di tiap-tiap persimpangan jalan. Singkat kata, negara mengatur para pengendara. Traffic Light atau Bangjo atau APILL tak lain adalah simbol pengawasan negara terhadap laju kendaraan kota.


Kami Bersaing di Teriknya Tengah Hari

Terpaksa menanti dan sejenak terhenti walaupun kami sebenarnya berada di ruang yang memaksa untuk terus bergerak. Seakan menjadi kejenuhan bagi kami untuk bergegas tiba di kediaman masing-masing karena kuliah usai lebih dini. Sengatan udara panas yang merebak kala itu sempat mengurungkan niat kami untuk melakukan amatan. Namun apa daya, rupanya tengah hari justru merupakan puncak dari bising klakson yang saling bersahutan, orang berlalu-lalang dalam kerumunan kendaraan, hingga sesekali muncul beberapa pengendara yang memenggal pertengahan jalan demi mencapai tujuan.


Meski kala itu adalah waktu tengah kerja bahkan belumlah penuh akan kepulangan para pekerja maupun mahasiswa. Namun dari apa yang ada lebih didominasi oleh hadirnya anak-anak sekolah yang mungkin saja usai bersekolah. Ambisi untuk tiba di perempatan Kentungan menjadi kompetisi bagi pengendara yang saling berkelindan dengan waktu. Tidak ada yang memaksa selain halnya keinginan yang seringkali tersirat dari para pengendara untuk menjadi paling dahulu. Namun sayangnya, tengah hari ialah waktu ketika para penjaga jalan berupaya mendisiplinkan pengendara. Tak ada yang memaksa pula untuk mengelak bahkan seolah tampak pasrah apabila aturan lalu lintas yang sejatinya harus dipatuhi meski diantaranya menerabas menjadi pilihan.


Kami menemui kesempatan langka namun nampaknya tidaklah panjang untuk diurai. Seorang pengendara yang dimana terpaksa didisiplinkan oleh otoritas negara melalui adanya polisi di pos yang berjaga. Polisi mendapati pengendara tersebut sedang melampaui garis marka pembatas antara zebra cross dan batas berhenti yang seharusnya. Selain mencoba untuk menggunakan lampu sebagai upaya yang disepakati bersama sebagai adanya tanda pemberhentian, kehadiran marka lain juga menjadi salah satu unsur yang tentunya tidak boleh dilupakan oleh seorang pengendara.


Penjaga jalan (yakni polisi) seakan memiliki kewenangan yang lebih mengikat ketimbang hadirnya lampu lalu lintas. Tidak hanya penggambaran tentang pelanggaran marka saja yang terjadi, adanya pihak yang tidak melengkapi kendaraan dengan perangkat maupun pelengkap kendaraan. Seperti halnya menyalakan lampu motor pun, boleh jadi dapat terciduk oleh para penjaga yang nampak awas maupun sedang mencari-cari di persimpangan pendisiplinan ini.




Membangun Memori Kolektif

Perempatan Kentungan beralih menjadi suatu fragmen perkotaan yang menarik, bagaimana infrastruktur ini menjadi arena kontestasi kepentingan banyak orang, simbol pengawasan aparatur negara, dan juga menjadi memori kolektif yang romantis bagi sebagian orang yang rindu akan kemacetan yang terjadi di jalan ini. Adanya perkembangan yang sangat cepat di perempatan Kentungan sebagai konsekuensi dari pembangunan underpass menjadi suatu fenomena yang unik.


Tentunya, kemacetan di perempatan Kentungan yang mungkin akan selalu menjadi pengalaman komuter kita sampai pembangunan ini selesai. Setelah pembangunan selesai, arus kendaraan di jalan ini akan semakin terurai, dan kemacetan akan semakin berkurang. Namun percayalah, pengalaman akan kemacetan di jalan, menunggu bangjo yang durasinya hampir dua menit, sahutan klakson dan teriakan pengendara motor dan mobil akan menjadi memori kolektif yang tidak akan dilupakan—menjadi pengingat bahwa pembangunan underpass Kentungan menjadi dinamika yang menarik bagi kita yang sehari-hari menghabiskan waktu untuk melewati perempatan ini.


Daftar Pustaka


47 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page