Oleh: Nur Hafifah Khusmawati dan Dita Septianing Dyah
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kami dapat menyimpulkan bahwa anak telah didefinisikan sebagai keturunan yang kedua dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkan keturunannya. Keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan keturunannya. Negara Republik Indonesia juga memiliki UU No 23 Tahun 2002 yang mendefinisikan anak sebagai sesorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Beberapa waktu lalu, kami sempat ngobrol tentang konsep anak dengan tiga orang teman, dua dari jurusan sosiologi UGM dan satu dari jurusan psikologi UGM. Dari obrolan tersebut, kami mengetahui bahwa konsep anak merupakan salah satu kajian utama dalam dua disiplin ilmu tersebut. Dalam sosiologi, anak ditempatkan sebagai pemegang fungsi dan peranan penting dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan psikologi menempatkan anak sebagai basic dalam suatu keluarga. Lantas, bagaimana perspektif antropologi tentang konsep anak? Tidak hanya dalam masyarakat maupun keluarga, ilmu antropologi juga menempatkan anak sebagai bagian penting dari usaha untuk menjelaskan proses perkembangan dalam sektor sosial dan budaya.
Keberhasilan seorang anak dalam menjalankan kedudukan vitalnya tersebut banyak disongkong oleh unsur-unsur yang dapat dijumpai dalam perspektif sosiologi, psikologi, dan antropologi. Ilmu sosiologi memiliki kajian mengenai bentuk-bentuk sosialisasi yang banyak memiliki andil dalam mengkonstruksikan kehidupan anak, terutama kehidupan sosialnya. Sedangkan, ilmu psikologi menempatkan faktor lingkungan sebagai hal yang paling berpengaruh dalam tumbuh kembang serta kondisi psikologis anak. Dan ilmu antropologi memiliki faktor sosio-kultural yang berperan aktif dalam menentukan pola pengasuhan dan nilai anak.
Kami dan teman-teman dari jurusan sosiologi dan psikologi juga banyak ngobrol tentang pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan anak dari perspektif sosiologi bukan menjadi hal awam karena sudah banyak kami jumpai di bangku SMA. Sedangkan, model pengasuhan anak dari perspektif antropologi dan psikologi merupakan hal baru yang akan berusaha kami kaji dalam tulisan ini.
Dalam perspektif sosiologi, sosialisasi merupakan unsur yang paling berpengaruh dalam mengkonstruksikan kehidupan seorang anak, terutama kehidupan sosialnya. Sedangkan, perspektif psikologi menempatkan faktor lingkungan sebagai unsur utama dalam mengkonstruksikan kehidupan anak, termasuk tumbuh kembang si anak. Nah, lantas bagaimana bentuk konstruksi kehidupan seorang anak yang dapat kita temukan dalam antropologi?
Menelik Kajian Antropologi tentang Konsep Anak
Konsep anak merupakan salah satu kajian utama dalam antropologi. Dalam perspektif antropologi, perkembangan anak dari masa kanak-kanak hingga dewasa dianggap sejajar dengan perkembangan spesies manusia dari zaman belum mengenal apapun hingga zaman dimana manusia telah mengenal segalanya. Dikemukakan oleh Heather Montgomery (2018) bahwa antropologi menempatkan anak sebagai objek pengamatan karena anak dianggap sebagai seseorang yang belum mengerti banyak hal. Oleh karena itu, antropologi selalu berusaha mempelajari dan mengamati kehidupan anak dengan cara memetakan dan mencatat tumbuh kembang mereka.
Franz Boas dan Margaret Mead merupakan dua tokoh terkemuka dalam antropologi yang mengkaji tentang konsep anak (anthropology of childhood). Dilansir dari indonesiana.tempo.co, Margaret Mead melakukan penelitian mengenai pola pengasuhan anak dalam masyarakat tradisi. Penelitian tersebut dilakukan di Desa Bajoeng Gede, Bali dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana anak-anak berinteraksi dengan keluarga mereka. Margaret Meat melihat bahwa tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh pola pengasuhan dan sosialisasi. Sedangkan, Franz Boas merupakan tokoh yang memandang lingkungan sebagai faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Franz Boas meneliti anak-anak di Amerika dan menemukan bahwa tumbuh kembang anak banyak dipengeruhi oleh faktor lingkungan.
Antropologi anak merupakan kajian yang relatif baru dalam studi antropologi. Kajian anak dalam antropologi muncul Inggris pada tahun 1970-an. Kemunculan tersebut dilatarbelakangi oleh pertentangan antara studi kebudayaan dengan studi kepribadian yang terjadi dalam antropologi. Kajian anak dalam antropologi memiliki ketertarikan untuk mengeksplorasi bagaimana proses sosialisasi dan persebaran budaya yang terjadi selama masa kanak-kanak.
Antropologi memiliki beberapa metode dalam melakukan kajian terhadap konsep anak, yakni: menjelaskan masa kanak-kanak dan variasinya yang ditemukan di seluruh dunia; menggunakan catatan etnografi yang bersifat komparatif untuk menguji hipotesis tentang perkembangan manusia; dan mempelajari mekanisme dalam kehidupan anak, keluarga, dan komunitas. Antropologi, sosiologi, dan psikologi, berkolaborasi dalam studi tentang anak karena kebudayaan, sosialisasi, dan kepribadian merupakan unsur yang diperlukan untuk memahami konsep tentang anak.
Antropologi menganalisis makna budaya melalui gagasan tahap. Gagasan tahap digunakan untuk mendeskripsikan perilaku anak serta untuk memastikan bahwa mereka tumbuh dan berkembang melalui metode-metode yang tepat. Dikemukakan oleh Benson dan Leffert (2001) bahwa antropologi memiliki beberapa perspektif tentang masa kanak-kanak. Dalam perspektif pertama, anak disosialisasikan ke dalam serangkaian norma dan kebiasaan yang mereka pelajari dan kemudian mereka lestarikan. Dalam pandangan tersebut, anak-anak adalah small adults yang dibentuk oleh orang tua dan masyarakat guna menjamin kelangsungan dalam pendidikan, kebudayaan dan moral mereka (Whiting, 1981).
Kedua, kepribadian dan pemikiran anak-anak dipahami sebagai refleksi bentuk-bentuk kecemasan yang dialami oleh anak-anak dalam pertumbuhan mereka. Fokusnya adalah pada semiotika dan komunikasi makna budaya kepada anak dan tentang bagaimana pola-pola budaya diserap dan diinternalisasi oleh mereka.
Ketiga, model integrasi psiko-kultural atau kepribadian (Whiting, 1975) dimulai dengan fungsi lingkungan anak sebagai media pembentuk pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak. Sedangkan, dampak yang dihasilkan oleh sektor sosial, akan banyak berpengaruh pada proses belajar serta serta proses psikodinamis yang potensial untuk membentuk kepribadian dan self-security pada anak-anak.
Keempat, antropologi juga mempelajari alur tumbuh kembang anak yang melalui: daily life, setting sosial, model dan pola pengasuhan, dan psikologi yang dibentuk oleh model budaya yang dimiliki oleh orang tua mereka. Dalam konteks ini, antropologi akan mengarahkan perilaku anak agar sesuai dengan usia dan tahapan tumbuh kembangnya.
Pengaruh Sosialisasi dan Pola Pengasuhan Terhadap Kehidupan Sosial Anak
Hampir sama seperti definisi yang kami temukan dalam KBBI, sosiologi memaknai anak sebagai hasil dari suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Namun, kami menjumpai definisi yang lebih spesifik yang membuat anak secara sosiologis telah dimaknai sebagai bagian dari aset negara. Definisi tersebut diperoleh sehubungan dengan peranan anak sebagai agen yang mengemban tugas untuk melanjutkan cita-cita negara dan bangsa.
Ngobrol bersama dua teman kami dari jurusan sosiologi UGM, yakni Gigi dan Dzul, telah berhasil memperluas perspektif kami tentang konsep anak. Gigi dan Dzul banyak memperkenalkan kami dengan bentuk-bentuk sosialisasi dan pola pengasuhan dalam upaya mengkonstruksikan kepribadian dan kehidupan sosial anak.
Sebelum masuk ke pembahasan tersebut, perlu diingat kembali bahwa sosiologi telah menempatkan anak sebagai pemegang fungsi dan peranan penting dalam keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, anak memiliki peranan untuk menjalankan berbagai fungsi keluarga, diantaranya adalah fungsi reproduksi dan fungsi afeksi yang dilakukan secara timbal balik antara anak dan orang tua. Anak juga berperan sebagai agen penyalur norma dan nilai yang berlaku di keluarga dan masyarakat. Satu pernyataan menarik yang kami peroleh dalam obrolan tentang fungsi dan peranan anak, yakni fungsi anak sebagai media bagi orang tua mereka untuk memperlajari bentuk-bentuk sosialisasi yang baik untuk anak.
Selain mengemban fungsi dan peranan penting, anak juga memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Seorang anak memiliki kewajiban untuk menghormati orang tuanya, kewajiban untuk belajar, dan kewajiban untuk mengangkat harkat dan martabat orang tuanya. Anak berhak untuk dicukupi kebutuhannya, termasuk kebutuhan ekonominya (mencakup hak pendidikan dan konsumsi untuk menunjang tumbuh kembang anak). Anak juga memiliki hak untuk menentukan pilihan mereka. Anak yang masih kecil akan banyak membutuhkan bimbingan orang tua dalam menentukan pilihan mereka. Dan anak yang sudah cukup besar akan diberikan hak lebih dalam menentukan pilihan dan menentukan masa depannya.
Walaupun hanya dikaji secara sekilas, namun sosiologi juga memiliki kajian tentang relasi lingkungan dengan tumbuh kembang anak. Sosiologi mengenal dua bentuk sosialisasi untuk anak, yakni tipe formal (bentuk sosialisasi yang diberikan di lingkungan sekolah) dan tipe non-formal (bentuk sosialisasi yang di luar lingkungan sekolah). Sosiologi juga menjadikan lingkungan fisik, alam, dan geografis sebagai salah satu unsur pembentuk kepribadian anak. Anak akan didorong untuk mengeksplorasi lingkungan fisiknya juga untuk memperoleh informasi atau pengalaman sebagai bagian dari rasa ingin tahu dan rasa antusiasme mereka yang kuat.
Gigi dan Dzul sangat menekankan bahwa anak berhak untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Kasih sayang merupakan kunci dari pembentukan kepribadian anak. Kepribadian dan kehidupan sosial anak juga dibentuk oleh pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Sosiologi memiliki beberapa pola dan model pengasuhan anak, salah satunya adalah pola asuh otoriter yang mengharuskan anak untuk banyak menurut dan melaksanakan perintah orang tua. Pola asuh otoriter dianggap kurang sesuai untuk diterapkan dalam keluarga Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, kami menjadi terdorong untuk menanyakan kepada Gigi dan Dzul mengenai bentuk pengasuhan yang baik dan tepat untuk diterapkan dalam keluarga Indonesia. Pola pengasuhan yang menyadurkan unsur demokratis merupakan salah satu pilihan yang tepat, mengapa? Pola pengasuhan tersebut akan memberikan kesempatan bagi anak untuk menyampaikan pemikiran, keputusan, dan minat mereka. Hal-hal tersebut dapat disampaikan melalui sesi rembugan (musyawarah) antara anak dan orang tua. Pola pengasuhan yang demokratis diharapkan dapat membuat anak lebih mandiri, percaya diri, dan memiliki harga diri yang tinggi. Pola pengasuhan yang sifatnya merangkul juga menjadi salah satu pilihan yang tepat. Pola pengasuhan tersebut akan mendorong anak dan orang
tua untuk saling menyesuaikan dan saling memahami satu sama lain.
Setelah banyak membahas mengenai fungsi dan peranan penting anak dalam keluarga, kini kami akan memaparkan beberapa hal mengenai peranan penting keluarga dalam membentuk kehidupan sosial anak. Dalam sosiologi, keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama untuk anak. Hal tersebut yang menjadikan anak memiliki kecenderungan untuk mencontoh segala perilaku keluarga mereka, terutama orang tua. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat menjaga dan berhati-hati dalam berperilaku di depan anak.
Keluarga menjadi agen utama dalam upaya pembentukan kepribadian anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Upaya tersebut dapat dimulai dengan menciptakan nuansa yang harmonis dan hubungan yang komunikatif antara anak dengan anggota keluarga yang lain. Unsur terpenting dalam pembentukan kepribadian anak adalah bentuk-bentuk bimbingan dan arahan yang diberikan oleh orang tua.
Di akhir obrolan kami bersama Gigi dan Dzul, kami sempat menanyakan pendapat mereka mengenai fenomena kids jaman now yang mulai merambah kalangan anak usia dini. Melalui perspektif sosiologi, kids jaman now masih dapat dinilai sebagai suatu fenomena yang wajar, mengingat kehidupan sosial yang sifatnya sangat dinamis. Fenomena kids jaman now banyak berkaitan dengan dunia teknologi dan media sosial. Akan menjadi suatu hal yang “ngeri” ketika anak yang masih kecil diberi kebebasan untuk memiliki gadget dan akun media sosialnya sendiri karena orang tua akan banyak merasa kewalahan dalam mengontrol aktivitas anak di dunia maya. Namun, bukan berarti orang tua harus melarang anak untuk bermain gadget atau sosial media, orang tua dapat cenderung pada membatasi penggunaan dua hal tersebut.
Homeschooling juga menjadi fenomena yang banyak merambah keluarga Indonesia. Kami menjadi tertarik untuk menanyakan perihal pengaruh homeschooling terhadap kehidupan sosial anak. Dari sudut pandang sosiologi, homeschooling merupakan pilihan yang kurang tepat jika dikaitkan dengan kehidupan sosial anak. Homeschooling kurang bisa memberikan ruang bagi anak untuk bersosialisasi secara langsung dengan masyarakat dan teman sebayanya. Tidak dapat diabaikan jika sosialisasi merupakan kunci dari kehidupan sosial anak. Pemilihan homeschooling masih dapat dimaklumi jika anak memang sudah memiliki minat dan bakat yang mumpuni dan dirasa dapat menunjang hidup si anak dalam beberapa masa mendatang, namun bukan berarti anak-anak tersebut tidak perlu menerima dan melakukan sosialisasi.
Pengaruh Lingkungan Terhadap Tumbuh Kembang Anak
Psikologi memaknai tumbuh kembang anak sebagai suatu perubahan fungsional yang bersifat kualitatif, baik dari fisik maupun mental anak sebagai hasil keterkaitannya dengan pengaruh lingkungan. Tumbuh kembang anak tidak hanya berkaitan dengan kondisi biologis anak, namun juga kondisi sosial dan kognitif anak.
Setelah ngobrol dengan Nisa, teman kami dari jurusan psikologi UGM, kami menjadi tahu bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berasal dari gen yang diturunkan oleh orang tua. Sedangkan, lingkungan merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak. Syaodih (1995) dalam Jurnal Psikologi Pekembangan, mengemukakan bahwa lingkungan juga memiliki andil dalam proses prakarsa anak. Lingkungan yang baik akan mendorong anak untuk melaksanakan dan menunjukkan prakarsanya tanpa harus melalui berbagai bentuk paksaan.
Pengetahuan juga merupakan salah satu faktor pendukung tumbuh kembang anak. Psikologi selalu memiliki pandangan bahwa anak seharusnya memperoleh pengetahuan bukan melalui cara pasif yang diberikan orang lain, melainkan anak berhak untuk memperoleh pengetahuan dengan cara membangunnya sendiri melalui interkasi yang aktif dengan lingkungannya. Oleh karena itu, dapat dimaknai juga bahwa lingkungan merupakan media untuk mengembangkan keingintahuan, keberanian, dan pengetahuan sebagai penunjang tumbuh kembang anak.
Perlu diketahui juga jika lingkungan dapat berperan aktif dalam mengatasi gangguan dalam tumbuh kembang anak. Gangguan tersebut ditakutkan akan mengganggu tumbuh kembang anak atau bahkan berpotensi untuk menghambat masa depannya. Dalam mengatasi gangguan tersebut, lingkungan dapat berperan aktif dalam memberikan stimulasi dan media ekspresi untuk anak.
Tidak ketinggalan, kami juga meminta Nisa untuk memberikan tanggapannya mengenai fenomena kids jaman now. Dari perspektif psikologi, fenomena kids jaman now dimaknai sebagai hasil dari lingkungan anak yang kurang memiliki unsur pendidikan dan sopan santun. Lingkungan tersebut kemudian membentuk anak-anak yang kecanduan teknologi, mereka juga mulai melupakan tradisi sosio-kultural yang ada dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan sosio-kultural anak tidak cukup hanya diupayakan lewat bangku sekolah saja, lingkungan serta masyarakat juga perlu berperan aktif dalam upaya tersebut.
Membaca Konsep Anak Lewat Perspektif Kebudayaan
Dari hasil perkuliahan kajian anak (2013) yang diperoleh Toni An-Nabil, dapat diketahui bahwa kebudayaaan memaknai anak sebagai individu yang merupakan bagian dari suatu kebudyaan dan akan dibentuk melalui pola pengasuhan orang tua serta bentuk-bentuk sosialisasi yang ia dapatkan dari lingkungan sosialnya. Jika ditelisik kembali, definisi tersebut merupakan kompilasi dari definisi anak dalam perspektif sosiologi, psikologi, dan antropologi.
Anak merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, ada baiknya jika seorang anak diasuh dengan menyadurkan unsur kebudayaan yang diwariskan oleh keluarganya atau orang-orang yang mengasuhnya. Perspektif kultural dalam konsep anak telah mengenalkan kami pada pola pengasuhan asimilasi. Dalam pola pengasuhan tersebut, anak akan diasuh oleh dua subjek (ayah dan ibu) yang memiliki latar belakang budaya berbeda yang akan mempengaruhi kebudayaan anak.
Jika melihat ke dalam materi tentang sistem kekerabatan yang kami dapatkan dalam mata kuliah pengantar antropologi budaya, nilai anak juga akan banyak dikaitkan dengan peranan anak dalam keluarga. Melihat pada bahasan tentang status and role pada bab sistem kekerabatan, maka dapat dimaknai bahwa peranan anak akan banyak berkaitan dengan status mereka dalam keluarga. Nah, status dan peranan anak dalam menjalankan statusnya sebagai seorang anak merupakan basic dari bentuk-bentuk interaksi yang akan bermuara pada suatu bentuk status sosial dan sistem kekerabatan. Dalam mata kuliah multikulturalisme, kami juga diperkenalkan dengan peranan anak sebagai pelaku kosmopolitanisme. Dalam konteks kosmopolitanisme budaya anak merupakan hasil pertemuan dari budaya-budaya yang berbeda. Perbedaan budaya tersebut tidak hanya dikarenakan adanya model pengasuhan yang sifatnya ‘asimilasi’, namun juga karena si anak sudah terbiasa untuk memiliki mobilitas yang tinggi sejak ia masih belia.
Seperti yang dilakukan oleh Gigi, Nisa, dan Dzul, kami juga turut menanggapi fenomena kids jaman now dengan menyadurkan perspektif antropologi dan kebudayaan. Dalam pandangan kami, fenomena kids jaman now banyak dipengaruhi oleh alur kebudayaan yang saat ini berjalan dengan sangat dinamis. Nah, kids jaman now ini merupakan anak-anak yang belum melalui dinamika kebudayaan tersebut dengan runtut dan padu. Mereka hanya mengambil sebagian dari keseluruhan dinamika kebudayaan, padahal bagian yang mereka tinggalkan itu juga memiliki nilai dan esensi budaya yang berharga. Oleh karena itu, menjadi tugas orang tua dan masyarakat untuk menyampaikan nilai dan esensi budaya yang luput tadi.
Kesimpulan
Hingga saat ini, konsep anak masih cenderung dikaji melalui perspektif psikologi. Padahal perspektif sosiologi dan antropologi juga memiliki kajian anak yang kami rasa cukup relevan dengan konteks masa kini. Hal tersebut dikarenakan kehidupan sosio-kultur masyarakat yang selalu mengalami dinamika yang sejalan dengan kehidupan masyarakat. Mengkaji konsep anak melalui perspektif psikologi, sosiologi, dan antropologi, sama halnya dengan mempelajari hampir seluruh unsur kehidupan anak. Hampir tidak ada unsur yang terlewat, psikologis, biologis (tumbuh kembang), sosio-kultural, hingga lingkungan , semuanya dapat
diperoleh dalam kajian anak melalui tiga perspektif tersebut.
Tiga perspektif tersebut juga dengan kompak menempatkan konsep anak dalam kajian utama mereka. Oleh karena itu, tak pelak jika kami beberapa kali menjumpai bahasan yang hampir serupa dalam tiga perspektif tersebut. Misalnya adalah bahasan tentang pola pengasuhan anak dan pengaruh lingkungan terhadap tumbuh kembang anak.
Saat ini, orang tua ditawarkan dengan berbagai pola pengasuhan dan bentuk sosialisasi untuk anak. Namun rupanya tidak semuanya sesuai dengan sosio-kultur masyarakat tertentu. Orang tua perlu mengupayakan pola pengasuhan dan sosialisasi yang tepat dan relevan dengan kebutuhan serta tahapan tumbuh kembang anak. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan membangun hubungan yang interaktif dan komunikatif antara orang tua dengan anak.
Referensi
Bateson, G., and Mead, M. 1942. Balinese Character. Special Publications of the New York Academy of Sciences, 2. New York Academy of Sciences, New York.
Boas, F. (1892). The Growth of Children. Science, 20(516), 351-352.
Benson, P. L., & Leffert, N. 2001. Childhood: Anthropological Aspects. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 1697-1701.
Harkness, S., Super, C., M. (eds.). 1996. Parents' Cultural Belief Systems: Their Origins, Expressions, and Consequences. Guilford Press, New York.
Stephens, S. (ed.) 1995. Children and the Politics of Culture. Princeton University Press, Princeton, NJ.
Syaodih, E. (1995). Psikologi Perkembangan. Journal of Chemical Information and Modeling. Bandung:Mandar Maju.
Whiting, J. 1968. Socialization: Anthropological aspects. International Encyclopedia of the Social Sciences, 14: 54-51.
https://indonesiana.tempo.co/read/30482/2015/01/28/Bali-di-Mata-Mead-dan-Bateson. Diakses pada: 28 Desember 2018.
https://m.belajarbahasa.id/artikel/dokumen/470-mengupas-fenomena-kids-zaman-now-dalam-kebudayaan-2018-02-01-21-52. Diakses pada: 13 Desember 2018.
Comentários