Eliesta Handitya dan Leonardo Juan
Tragedi Mei 1998 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam perjalanan sosial politik dan ekonomi di Indonesia. Bagaimana tidak, peristiwa tersebut menciptakan memori kolektif masyarakat yang terus menerus direproduksi dalam berbagai narasi penceritaan. Merujuk pada Abidin Kusno dalam buku Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (2009), memori kolektif merupakan proses mengingat dan proses melupakan yang dikonstruksi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang publik perkotaan.
Banyak ruang publik yang kemudian mampu mewadahi memori tentang tragedi Mei 98. Salah satunya adalah Yogya Plaza (sekarang berganti nama menjadi Citra Mall Klender). Yogya Plaza yang terletak Klender, Jakarta Timur menciptakan memori kolektif yang cukup dekat dengan Pak Kresno, yang saat itu tinggal tidak jauh dari Yogya Plaza, dan pada saat itu turut menyaksikan secara langsung kengerian penjarahan Yogya Plaza.
Fragmen 1: Pak Kresno, Saksi Bisu Kebakaran Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur
“Ngeri mas kalau diingat-ingat lagi”, ucap Pak Kresno saat mendeskripsikan tragedi Yogya Plaza yang terjadi pada 15 Mei 1998. Pak Kresno merupakan salah satu saksi dari peristiwa kelam yang terjadi 20 tahun silam. Tragedi berdarah yang menewaskan hampir 400 orang (Erlangga, 2017) tersebut disaksikan secara langsung oleh Pak Kresno. Pada waktu itu, Pak Kresno hendak pergi ke SD Tarakanita 5, Rawamangun untuk menjaga kawasan sekolah tersebut dengan beberapa teman-teman gerejanya karena mendapat kabar bahwa beberapa sekolah swasta Katholik turut menjadi target penjarahan massa. “Saat itu, semua yang berhubungan dengan etnis Tionghoa selalu menjadi target penjarahan”, ujar Pak Kresno. Maka dari itu, sekolah swasta Katholik yang identik dengan siswa etnis Tionghoa turut menjadi sasaran penjarahan massa. Bersama dengan beberapa teman dari komunitas Gereja St. Yoakhim, Klender, Pak Kresno berjalan kaki menuju Rawamangun karena moda transportasi pada saat itu tersendat oleh kepadatan massa.
Ditengah perjalanannya menuju SD Tarakanita 5, Pak Kresno dan rombongan terhenti di depan gedung Yogya Plaza. Seingat beliau, ketika rombongan sampai di area Yogya Plaza, api sudah mulai menjalar di lantai dasar. “Yang jagain hanya satu orang polisi dan satu orang militer. Tembakan peringatan aparat sama sekali tidak dihirau oleh para penjarah”. Pak Kresno menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri keramaian dan kerusuhan yang terjadi saat itu. Suasana semakin tidak terkendali ketika semua orang terprovokasi untuk mengambil barang jarahan sebanyak-banyaknya—tidak peduli akan api yang menjalar di lantai bawah. Yang bagi Pak Kresno sangat mengerikan adalah ketika ia menyaksikan sendiri orang-orang melompat dari lantai atas Yogya Plaza karena area bawah sudah terlahap kobaran api. Orang-orang berjatuhan dari lantai atas, diikuti oleh barang-barang jarahan—semua terlihat begitu tragis dan mengerikan.
Yogya Plaza menjadi satu fragmen kecil dari tragedi Mei 1998—yang bagi keluarga Pak Kresno, menciptakan memori tersendiri. Bahkan, meskipun sekarang Pak Kresno dan keluarganya sudah tidak tinggal di Jakarta, pengalaman dan kenangan akan peristiwa tersebut masih membekas dan terus menerus diceritakan—menjadi proses reproduksi narasi yang tiada henti. Peristiwa tersebut menjadi saksi bisu dari pergolakkan politik skala besar, yang terus menerus direproduksi melalui cerita-cerita keseharian dalam lingkup terkecil, salah satunya adalah keluarga.
Fragmen 2: Memori Kerusuhan Mei 1998 di Yogyakarta, Kisah Lembayung dan Pak Bowo
Beranjak dari Jakarta, kami beruntung bisa bertemu seorang ibu— sebut saja Lembayung— yang ketika Tragedi Mei 1998 berkecamuk berada di Yogyakarta. Lembayung adalah seorang ibu yang pada saat kerusuhan terjadi, sedang hamil anak pertamanya. Ia yang ketika itu merupakan calon dosen tetap di UGM, merasakan stres yang teramat sangat. Bukan hanya karena harga-harga kebutuhan yang melonjak drastis atau kerusuhan yang merajalela, tetapi satu akibat krisis yang secara langsung ia rasakan, adalah gagalnya Lembayung diangkat menjadi PNS karena di masa setelahnya, terjadi perampingan jumlah aparatus sipil negara.
Lembayung memang tidak secara langsung menyaksikan kerusuhan yang terjadi di luar rumahnya. Namun, ia pun merasa ketakutan dan tercekam, apalagi ketika mengetahui bahwa kerusuhan besar sedang terjadi di sepanjang Jalan Gejayan. Sementara, rumah Lembayung saat itu adalah berada di daerah Gejayan (tepatnya dekat dengan Penerbit Kanisius Deresan). Alhasil, ia tidak berani keluar rumah dan mendapat segala informasi mengenai kerusuhan dari sang suami yang bekerja di sebuah LSM, dan juga tetangganya yang kadang-kadang keluar rumah melihat-lihat keadaan. Kerusuhan yang lebih dikenal dengan Peristiwa Gejayan tersebut, seperti yang kita tahu, akhirnya memakan korban, salah satunya Mozes Gatutkaca yang ditemukan bersimbah darah pada malam pukul 8 Mei 1998.
Sebagai penulis lepas di sebuah koran lokal, pada masa kerusuhan itu, Lembayung pun tidak bisa lagi mengirimkan tulisannya karena media cetak tidak lagi menerima tulisan lepas. Salah satu faktornya didorong oleh harga-harga yang melonjak tinggi, termasuk biaya cetak. Ia pun mengakui bahwa saat itu, ia tidak banyak mengetahui apa yang terjadi di kota-kota lain seperti di Pasar Glodok Jakarta, sebab ia pun kesulitan mendapatkan koran cetak. Bahkan, pada saat itu, Lembayung sudah teken kontrak untuk menerbitkan sebuah buku, tetapi buku tersebut akhirnya tidak jadi diproduksi karena biaya cetak yang terlampau tinggi karena inflasi.
Selain itu, ketika harus membeli berbagai kebutuhan rumah tagga seperti beras (yang naik dari harga 600 menjadi 4000 rupiah, misalnya), Lembayung mengaku kalang kabut karena gaji yang ia terima masih sama dengan yang ia dapatkan sebelum kerusuhan, yakni 120.000 rupiah. Pada masa tersebut, sudah barang tentu uang sekecil itu tidak mampu memenuhi biaya hidup yang tiba-tiba meroket.
Meskipun kelihatannya Lembayung tidak secara aktif berhadapan dengan konflik semasa huru hara 1998, ia bersama ratusan dosen dan pegawai UGM saat itu melakukan aksi damai berjalan dari kampus masing-masing menuju ke Balairung. Momentum ini pun dicatat dalam arsip UGM. Dalam catatan arsip yang ditulis oleh Musliichah (2004) menyebutkan bahwa pada tanggal 19 Mei 1998, Rektor UGM mengeluarkan pernyataan sikap dalam menyikapi krisis sosial. Melalui pernyataan sikap tersebut, Rektor mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Selanjutnya, Rektor UGM pun mengeluarkan seruan dihadapan puluhan wartawan media cetak dan elektronik supaya aksi reformasi dilakukan dengan damai (Warta UGM, Mei 1998). Tanggal 20 Mei 1998 kembali dilakukan demonstrasi aksi reformasi di GSP UGM (sumber arsip foto No. AF4/SC.CR/1998-2H). Aksi-aksi tersebut juga didukung oleh dosen dan pegawai UGM (Musliichah 2004), termasuk salah satunya adalah aksi yang diikuti oleh Lembayung.
Lembayung juga mengatakan bahwa di Yogyakarta pada saat itu juga terjadi penjarahan toko-toko yang dimiliki oleh peranakan Tionghoa. Selain itu, kejadian yang paling diingat adalah pembakaran showroom dan dealer mobil Timor milik Tommy Soeharto. Pernyataan Lembayung ini kemudian divalidasi oleh artikel asumsi.co (15/05/19) yang melaporkan bahwa pada masa tersebut, showroom dan dealer resmi mobil Timor milik Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dilempari batu sebelum kemudian dibakar oleh massa.
Sebetulnya, Yogyakarta disinyalir akan terjadi kerusuhan besar seperti yang terjadi di Jakarta dan Solo saat itu. Namun, rupanya seperti yang dituliskan oleh kompas.com (3/10/2008), himbauan Sultan HB X dalam Pisowanan Ageng mampu meredam kerusuhan sehingga kerusuhan yang terjdai di Yogyakarta tidak sekisruh kota lainnya. Lembayung pun mengakui bahwa himbauan Sultan tersebut sepertinya dirasa cukup membikin situasi di Yogyakarta jauh lebih kondusif.
Selain itu, Sultan juga mengeluarkan Maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII pada 20 Mei 1998 yang berisi lima poin. Pertama, ajakan Sultan HB X untuk mendukung Gerakan Reformasi dan memperkuat kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh memihak rakyat. Kedua, keinginan Sultan HB X mengajak seluruh ABRI dalam persatuan yang kuat untuk melindungi rakyat dan Gerakan Reformasi sebagai wujud kemanunggalan ABRI dan Rakyat, ketiga, Sultan HB X menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan tindakan anarkis dan agar terus berdoa demi keselamatan Negara dan Bangsa.
Beranjak dari fragmen kisah Lembayung, kami pun teringat bagaimana Tragedi Mei 1998 berimbas pada Pak Bowo, seorang pedagang Tionghoa di Kampung Ketandan— pecinan yang terkenal di Kota Yogyakarta. Meskipun tidak mengalami situasi seperti masyarakat Tionghoa yang dijarah dan diperkosa di kitaran Pasar Glodok, rasa takut dan tidak aman tetap dialami oleh beliau sebagai peranakan Tionghoa. Beliau juga bercerita bahwa pada masa Tragedi Mei 1998, banyak keluarga Tionghoa di Ketandan yang memasang plang bertuliskan “Pro Reformasi” di depan rumah agar toko mereka tidak dijarah.
Refleksi: Menolak Lupa!
Berbagai kisah yang kami coba telusuri merupakan fragmen-fragmen pengalaman orang-orang yang berada dalam situasi Tragedi Mei 98. Tulisan ini dimaksudkan untuk memanggil ingatan, merefleksikan bagaimana peristiwa kerusuhan Mei 1998 berdampak pada nyaris semua orang di Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan dampaknya— baik yang nampak maupun tak nampak— masih begitu terasa hingga kini. Sebut saja Pak Kresno yang mengakui bahwa pengalaman berada dalam situasi kerusuhan di Yogya Plaza, Jakarta akan terus membekas dalam ingatan ia dan keluarganya. Sementara, gagalnya pengangkatan Lembayung menjadi dosen PNS memiliki dampak panjang bagi kehidupan perekonomiannya sekarang. Pun demikian halnya dengan Pak Bowo, bahwa identitasnya sebagai keturunan Tionghoa hingga saat ini terus didiskriminasi dan dilabeli sebagai kambing hitam atas berbagai prahara sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Dalam penelisikan ini, kami memang secara sengaja bermaksud mengobrol dengan orang-orang yang berada dalam situasi kerusuhan Mei 1998, tetapi tidak secara langsung terlibat sebagai aktivis atau penyintas. Namun, kami ingin sekali mendengarkan bagaimana mereka yang berada dalam situasi tersebut mengenang peristiwa berdarah tahun 1998 melalui jejak narasi yang mereka bangun dalam ruang-ruang batin personal. Maka darinyalah tulisan ini lahir, merangkum cacahan pengalaman orang-orang secara sporadis dituliskan dalam jejak memoar catatan pendek. Kami berusaha menggambarkan pengalaman dan perasaan mereka berada dalam situasi kerusuhan, terjepit dalam keadaan sosial politik yang carut marut; mendalami bagaimana Pak Kresno, Lembayung, dan Pak Bowo mengalami sejarah kekerasan dalam Tragedi 98 melalui kisi-kisi jendela rumah mereka.
Nukilan ini merupakan cara sederhana kami mendokumentasikan suara orang-orang biasa yang tak pernah tertulis dalam sejarah, untuk terus mengingat bahwasannya Tragedi Mei 1998 adalah memori kolektif yang akan terus tersimpan dalam bilik ingatan siapapun yang berada dalam kitaran situasi kerusuhan menjelang reformasi 1998.Tulisan ini sekaligus menjadi memento kecil bagi kami sendiri untuk menolak lupa sejarah kelam peristiwa yang terjadi dua dekade silam, pada sebuah masa transisi bangsa yang telah meminta banyak korban. []
Referensi
1. Ericssen. 2015. nationalgeographic.grid.id. May 13. Accessed June 3, 2019. https://nationalgeographic.grid.id/amp/13298623/kilas-balik-pisowanan-agung-rakyat-yogyakarta-di-alun-alun-utara-20-mei-1998?page=all.
2. Erlangga, Ardyan M. 2017. Kenangan Keluarga Korban Kebakaran Mal Klender, Imbas Tragedi Mei 1998. Mei 15. Accessed Juni 1, 2019. https://www.vice.com/id_id/article/8qwdd4/kenangan-keluarga-korban-kebakaran-mal-klender-pada-tragedi-mei-1998.
3. Kusno, Abidin. 2009. Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Soeharto. Yogyakarta: Ombak.
4. Musliichah, A.Md. S.IP., M.A. 2004. "MENELUSURI JEJAK UGM DALAM GERAKAN REFORMASI INDONESIA DARI SUMBER ARSIP STATIS KHAZANAH ARSIP UGM." Arsip Universitas Gadjah Mada 53-72.
5. Qowi, Abdul. 2018. Reformasi Dari Pinggir: Bermula Demo BBM di Medan Sampai Rumah Harmoko di Solo Dibakar. May 12. Accessed June 3, 2019. https://www.asumsi.co/post/reformasi-dari-pinggir-demo-bbm-medan-rumah-harmoko-solo-dibakar.
6. Sumantri, Bambang Sigap. 2008. Kompas.com. October 3. Accessed June 3, 2019. https://nasional.kompas.com/read/2008/10/03/07192665/keberuntungan.yogyakarta.punya.rakyat.yang.istimewa.?page=all.
Comentarios