top of page

Memori Romo Mangun dari Kehidupan Kali Code

Updated: Apr 6, 2019

Michael Don Lopulalan, Priyanca Minerva C. S. dan Fathi Mujadidi


Riuh jalanan kendaraan yang melintas jembatan menuju Tugu Yogyakarta bercampur dengan hiruk-pikuk obrolan warga di tengah jalan kecil pinggi Kali Code. Tanpa memperdulikan keramaian jalan, obrolan gang kecil berlangsung dengan penuh tawa dan makian komedi. Anak kecil berlarian sekedar memakai handuk. Ketika orang asing lewat, anjing yang ditali di pinggir gang menggonggong bersahut-sahutan disusul teriakan orang kampung yang sejenak menjadi peredam. Ketika sore tiba lantas masuk ke jalan kecil menuju perkampungan pinggir Kali Code, hiruk-pikuk jalan raya dan kemajuan Yogya menjadi momok di tengah gang kecil dan obrolan tetangga.


Dengan destinasi utama yaitu Museum Romo Mangunwijaya, bekal utama hanya sekedar berita dan kabar letak tempat yakni pinggir kali Code seberang Museum Sandi, Kotabaru. Perjalanan yang tidak begitu jauh dari hiruk-pikuk intelektual Universitas Gadjah Mada berakhir dengan kebingungan mencari tempat parkir.


Sejauh mata memandang, gerbang masuk ke perkampungan hanya berada di sebelah barat kedai makan McDonald Sudirman dengan parkiran motor yang pula tersedia di sekitar McD (McDonald). Sementara di seberang Mcd hanya terpampang toko penjaja dan tambal ban, pilihan untuk parkir jatuh kepada pinggir jalan raya persis di lingkar luar McD Sudirman.


Motor diparkir kemudian langkah kaki menembus lalu-lintas kendaraan tanpa henti guna mencapai sisi lain jalan raya. Kios ban yang terlihat dari seberang jalan ternyata berisi interaksi yang lebih dari sekadar menjajakan ban. Gerobak bakso turut berhenti dan meramaikan aroma jalan raya yang terlanjur dipenuhi asap kendaraan. Televisi mini pun ikut dipasang dan disaksikan secara bersamaan per-kios. Di antara lautan penjualan ban yang penuh persaingan, pekerja menemukan penghiburannya melalui televisi, radio, atau pengeras suara dengan suara maksimal.


Ancaman dan serangan raung kendaraan serta asap hitam bekas pembakaran kendaraan di jalan raya terasa hilang seusai masuk ke ‘dunia’ perkampungan Kali Code. Jalan kecil yang penuh tangga turut menguji stamina orang pendatang, sementara perjalanan ditemani serangkaian hiburan ala warga Kali Code.


Awalnya, langkah kaki kami dipertemukan dengan parkiran motor warga persis di bawah jembatan. Kemudian, jemuran dan sangkar burung yang dipasang agak jauh dari ubun-ubun kepala seakan menjadi awan. Lantas, paling utama ialah interaksi antar warga serta pengaturan pemukiman yang begitu rapi pun padat. Setiap bangunan tampak diisi satu atau dua Kepala Keluarga yang tampak melalui keramaian dan intensitas interaksi antar warga di tengah jalan, serta jumlah jemuran dan sangkar burung.


Meski demikian, imaji padat lagi-lagi dibantah oleh pengaturan barang per-rumah (yang terlihat dari pinggir gang) dan pengaturan pemukiman. Imaji padat penduduk yang dibuktikan dengan warga yang duduk nongkrong dipinggir gang pun menunjukkan keramah-tamahan ketika kami menyapa dan melewati mereka. Belum jauh perjalanan, kami lagi-lagi dipertemukan dengan satu tempat yang diisi anak kecil bermain, penjaja makanan, dan ibu-ibu asyik mengobrol di pinggir gang.


Tak kunjung luput, warna dinding berwarna-warni serta mural sarat pesan moral membuat perjalanan tak berarti. Bahkan sebelum menuruni tangga ke arah tempat yang menjadi tujuan utama, kami dipertunjukkan dengan kehadiran anjing yang ditali berdekatan dengan masjid perkampungan setempat.


Seusai turun, kami agak kebingungan karena tidak menemukan tanda keberadaan museum. Kebingungan berakhir dengan tindak bertanya tentang lokasi Museum Romo Mangun kepada seorang Bapak. “Oh, perpustakaan? Kalau perpustakaan persis di atas situ,” bapak tersebut menunjuk ruangan di lantai dua di atas biliknya. Rupanya, ruang yang kami cari bersatu dengan bangunan tempat tinggal seorang bapak. Di lantai dua hanya terdapat perpustakaan, sementara di lantai satu terdapat ruang kelas kecil berukuran 3x3 meter dan bilik bapak tadi di sebelahnya.


Ketika mendapati ruangan yang dituju, tampak lima anak muda sekitaran usia 14-18 tahun sedang berkumpul menonton film yang diputar melalui sebuah laptop. Sebelum masuk, kami meminta ijin dan dipersilahkan dengan ramah sembari diberi pertanyaan perihal asal dan tujuan kedatangan. Tanpa ingin melepas kesempatan, kami mempergunakan kesempatan itu untuk sedikit mengobrol perihal keberadaan ruangan dan artinya bagi pemuda yang memulai obrolan. Sayang, topik terhenti saat pemuda tersebut tak dapat menjawab dikarenakan dirinya yang pendatang dan bukan asli daerah tersebut.


Di ruangan berukuran sekitar 6 x 3,5 meter, berbagai barang tersusun cukup rapi dengan rak yang menempel di timur dinding berhadapan langsung dengan pintu. Psikologi, fiksi, cerita anak, dan agama adalah beberapa label penunjuk rak. Sekilas, ruangan tersebut sangat makmur buku. Pengorganisasian juga cukup baik terlihat dari label dan nomor indeks yang ditempel pada buku yang tersusun rapi.


Di sebelah selatan pintu masuk, pengunjung dapat membaca dan melihat dokumentasi sejarah pengaturan pemukiman Kali Code serta makna Romo Mangun bagi mereka. Foto Romo Mangun dengan beberapa warga, quotes Romo Mangun yang menghiasi pigura sejarah, dan mural kata-kata emas Romo perihal agama turut menghiasi daerah sekitar bangunan. Selain menjadi tempat pengumpulan buku, ruang juga diisi dengan kasur tipis untuk duduk di atas lantai putih, layar monitor bekas, gitar rusak yang ditempatkan di ujung ruang, serta sarang laba-laba yang menjadi penunjuk rak cukup diminati atau tidak.

Kami tidak begitu lama di dalam ruangan. Karena takut mengganggu kegiatan menonton film, kami berjalan sedikit, mengambil gambar menggunakan gawai atau kamera, serta menggandrungi ujung ruang dengan mata telanjang. Seusai merasa cukup, kami keluar pintu dan berdiri di balkon sembari memandangi matahari di ufuk barat, menikmati suara percikan aliran air cokelat semi-transparan, dan menghanyutkan diri dalam gerakan warga yang berkegiatan di Kali Code. Entah memancing, bermain air, atau memetik daun singkong yang tumbuh di pinggir kali. Gerakan yang berada dalam dimensi matahari ufuk barat seolah memainkan adegan drama-satir-komedi yang menertawakan irama abstrak kendaraan di atas jembatan. Sehabis adegan itu, usai pula pertemuan kami.


Informasi mengenai Perpustakaan Romo Mangun masih sangat minim. Kekurangan literasi dan hanya kaya akan berita di internet membuat kami agak kesusahan untuk mengorek informasi. Walaupun demikian, memang benar adanya berbagai berita yang ditemukan sangat menggambarkan situasi Kali Code. Namun, apakah itu cukup untuk benar-benar mendeskripsikan Kali Code, Perpustakaan Romo Mangun dan Romo Mangunwijaya?


Perpustakaan Romo Mangun dibangun oleh masyarakat Kali Code untuk mengenang Romo Mangunwijaya atas jasanya. Romo Mangunwijaya menentang penggusuran yang akan dilakukan oleh pemerintah dengan berkata “Penggusuran yak akan menyelesaikan masalah sebab mereka akan mencari tempat lain untuk tempat tinggal mereka”. Kegigihan Romo Mangunwijaya untuk bersama-sama memperbaiki taraf hidup masyarakat Kali Code dengan pembangunan pemukiman menjadi lebih baik tentu membuahkan hasil. Oleh karena itu, maka terciptalah Perpustakaan Romo Mangun.


Perpustakaan Romo Mangun memang dibangun untuk mengapresiasi jasa Romo Mangunwijaya, namun hanya secara simbolik. Perpustakaan ini berisi berbagai buku yang mungkin dapat membantu para masyarakat Kali Code. Mulai dari buku pelajaran, novel, buku pengenai psikologi, buku mengenai agama, hingga komik tersedia di perpustakaan ini. Buku-buku tersebut didapatkan dari sumbangan, baik dari Perpustakaan Pusat Kota Yogya hingga oleh para mahasiswa yang meneliti di Kali Code.


Nampaknya pengaruh Romo Mangun cukup terasa mengingat hingga kini, dan mungkin di masa yang akan datang, Kali Code akan tetap didatangi untuk melihat karya-karya Romo Mangunwijaya. Bahkan, menurut Beritasatu.com, para kolega Romo Mangunwijaya, baik dari dalam negeri dan luar negeri, masih sering mendatangi Kali Code untuk membantu perawata daerah tersebut secara finansial, juga membantu restorasi bangunan-bangunan yang ada di Kali Code.


‘Dengarkanlah cerita dan perjuangan kami dalam mempertahankan dan membangun kampong kami, lihatlah kampong kami lebih dekat’, salah satu quote yang ada di Perpustakaan Romo Mangun. Perjuangan yang telah dilakukan oleh Romo Mangunwijaya beserta para penduduk Kali Code memang layak untuk dilihat lebih dekat. Perjuangan yang menghasilkan kehidupan tetap berlanjut dan kebudayaan tetap hidup. Hasil perjuangan tersebut ialah Kali Code, museum hidup yang akan terus hidup jika ada kesadaran dari berbagai pihak, bukan Cuma pemerintah, tapi juga masyarakat.

Recent Posts

See All

1件のコメント


KMP
KMP
2019年4月12日

Bagus! Detail, hanya menurutku kurang panjang deskripsinya. Ntabs!

いいね!

Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page