'Memorial Lecture' dan Waktu yang Berlalu
- Michael Don Lopulalan
- Nov 30, 2018
- 7 min read
Penulis : Michael Don Lopulalan & Priyanca Minerva Charilane Soselisa

Di ruang yang terlanjur dipenuhi foto kisah tanah Sumba, berbagai mata beradu pandang dalam mengemukakan pendapat. Keterlanjuran suasana yang tegang tak mampu lagi di atasi oleh satu-satunya pendingin ruangan. Sementara pengunjung di kursi merah duduk menatap dua pengisi materi di depan, berbagai mata mengajukan pertanyaan yang semakin malam semakin banyak ragamnya.
Kedatangan Pengunjung
Dua jam sebelum momen di atas berlangsung, perkakas sederhana telah ditempatkan dengan rapi di ruang pameran foto Festival Sumba. Bentara Budaya Yogyakarta yang dipinjam sebagai tempat ‘pamer’ karya dialihfungsikan menjadi ruang diskusi intelektual dalam acara penutupan Festival Sumba. Kami, tak seperti biasanya, datang terlalu awal untuk agenda malam itu. Malam itu diadakan Koentjaraningrat Memorial Lecture XV/2018 di Ruang Pameran Bentara Budaya Yogyakarta.
Acara tersebut diadakan untuk mengenang sosok sekaligus bentuk pemikiran yang diciptakannya. Tahun ini berfokus kepada tesis Koentjaraningrat tentang integrasi nasional. Kami sangat tertarik, awalnya, karena peran Koentjaraningrat sangat besar dalam kehidupan perkuliahan Antropologi Budaya UGM. Karena kontribusi tersebut, kami ingin menyimak presentasi tentang tesis beliau. Terlebih lagi, pembawa materi adalah Mas Heddy yang merupakan Guru Besar Antropologi Budaya UGM. Dengan dua kombinasi maut, kami berekspetasi akan mendapat pengetahuan melalui diskusi-diskusi kritis oleh para ahli.
Tak seperti suasana dua jam selanjutnya, momen-momen awal kedatangan kami disambut oleh ramah tawa hasil interaksi pengunjung di depan ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta. Panggung yang ditempatkan di luar ruang pameran masih sepi pun dalam ruang pameran. Sesaat masuk ke dalam ruang pameran, mata menangkap sederet kursi merah yang terbaris rapi, dua kursi dengan alas busa serta satu meja berhadapan dengan kursi merah, dan layar proyektor di samping kiri singgahasana pembicara.
Di seluruh arah mata angin deretan kursi, foto yang mengisahkan daerah Sumba tertempel rapi. Foto-foto tersebut berbaris rapi di dinding seperti barisan semut merah yang diisyaratkan Chrisye. Diam foto dan foto Koentjaraningrat yang tertempel pada banner di belakang kursi pembicara cukup meramaikan kesepian ruang. Foto menyimpan berbagai kisah dan berbagai suasana, sama seperti mata dan senyum tipis Koentjaraningrat yang seperti salib dalam gereja—mengawasi pun tetap membiarkan.
Setelah sibuk berdiam diri dengan kesunyian di dalam ruang, diri tergelitik suara panitia yang menyuruh seorang ibu-ibu untuk mengisi daftar hadir. Tergelitik, kami mendatangi meja administrasi untuk mengisi daftar hadir. Setelah mengisi daftar hadir, pandangan menelanjangi meja pendaftaran yang padat oleh barang-barang seminar. Artikel seminar yang dibukukan, kain dari Sumba, dan berbagai judul buku antropologi diperdagangkan berikut dengan keterteraan harga. Untung dompet tidak terlalu mumpuni untuk membeli buku, kalau tidak kami telah kalap dan khilaf dengan membeli barang-barang tersebut. Akhirnya kami hanya membeli artikel yang dibukukan seharga Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Toh, keputusan ini tidak akan menyakiti dompet karena buku ini berguna dalam memahami isi seminar, pikir kami.
Setelah itu, kami beranjak menganalisa dan berpikir tempat duduk yang akan ditempati dalam dua atau tiga jam ke depan. Setelah melalui banyak pertimbangan, kami duduk di deretan ketiga barisan kanan kursi merah di urang pameran tersebut. Keputusan kami tidak lain tidak bukan didukung oleh keberadaan kerabat Antropologi Budaya UGM 2017 yang duduk sendirian di salah satu kursi merah. Sebelum duduk di samping teman dari Antropologi Budaya UGM 2017, kami menyimpan rasa segan untuk menyapa. Sebab sederhana yaitu kerabat Antropologi terlihat duduk sendiri sembari membuka laptop.
Awalnya kami sedikit menyampingkan rasa sungkan dan mencoba berbasa-basi, tapi setelah beberapa saat mengobrol-ria rasa menyesal dan iba muncul. Pasalnya, kami ketahui kemudian bahwa ia sedang mengerjakan tugas kuliah sebelum mendengarkan seminar. Padahal, seminar itu sendiri juga merupakan tugas kuliah. Untuk beberapa saat, kami memberhentikan diri berbicara dengannya dan merenungkan kembali tugas-tugas yang belum sempat dikerjakan.
Baru sebentar merasa nyaman dengan posisi duduk, kami baru sadar bahwa beberapa orang yang mulai memadati kursi merah membawa satu kotak putih kecil yang sama. Langsung saja kami menuju meja administrasi dan benar adanya bahwa panitia yang bertugas tidak memberi kotak makanan ringan kepada kami. Meskipun meja administrasi sedang dipadati oleh kerumunan pengunjung, kami tetap melontarkan pertanyaan terkait pemberian kotak putih. Tanggapan tersebut langsung ditanggap dengan mengucap maaf sembari memberi kotak putih. Setelah dialog singkat di meja administrasi, kami kembali kepada kursi sambil menunggu acara mulai dengan mengkonsumsi makanan ringan di kotak putih.
Sekian menit berlalu menuju jam yang ditentukan, ramai pengunjung mulai terdengar. Banyak orang berebut kursi merah. Sebagian lain menaruh barang pribadi di kursi kosong seakan memberi tanda kursi ini telah dipakai. Drama ‘kursi ini kosong atau tidak’ berlangsung sekitar sepuluh menit sebelum akhirnya panitia yang bertugas mulai menginterogasi beberapa pengunjung yang menaruh barang di kursi kosong sebagai tanda ‘dipesan’. Alhasil dengan tindak tegas panitia, kursi merah berhasil dipadati. Meski demikian, pengunjung terus berdatangan. Ruangan yang hanya ditopang oleh satu pendingin ruangan lalu terkesan sedemikian panas dan padat. Para manusia di dalamnya, duduk atau berdiri, tidak hanya berebut kursi merah namun pula berebut oksigen.
Materi Presentasi, Posisi Duduk, dan Tripod Kamera
Acara dimulai. Harapan untuk langsung mendengar Mas Heddy berbicara pun langsung surut. Pasalnya terdapat pengantar dari pelbagai tokoh yang kami tidak pernah dengar. Bahkan, menurut kami, pengantar yang diberikan malah memicu disintegrasi ketimbang mengamini kata integrasi yang menjadi topik acara. Dicampur dengan ketidakmampuan sound system untuk mengawal lagu ‘Indonesia Raya’, acara pun di mulai seadanya. Meskipun awalan acara tidak terlihat begitu meyakinkan, Mas Heddy, pengisi materi, memaparkan bahan secara jelas, lugas, dan berusaha membawa tiap pernyataan kepada konteks umum sehingga mudah dimengerti.
Sayangnya, materi yang dipaparkan secara jelas tidak didukung oleh infrastruktur ruangan yang memadai. Berpuluh orang yang berebut udara dari sebuah pendingin ruangan berdampak munculnya rasa mengantuk. Kami menguap, beberapa kali. Kami tahu bahwa ketika menguap berarti otak kekurangan udara, tetapi kuliah dari Mas Heddy terasa begitu berharga untuk ditinggalkan bernapas sejenak.
Selama pemaparan materi, kami tidak mencopot mata dari pembicara. Sesekali mungkin berbicara sedikit ke teman sebelah. Sesekali mungkin mengatur kaki dengan tujuan mendapatkan posisi ternyaman karena tak bisa dipungkiri kaki tidak terasa begitu nyaman.
Posisi duduk yang bersebelahan dengan bagian tengah tempat orang berlalu-lalang berarti pula siap menerima konsekuensi keramaian orang, termasuk alat yang ditempatkan panitia. Dengan tujuan mendokumentasikan materi kuliah, panitia menempatkan kamera beserta tripod di tengah lajur tersebut. Tidak tanggung-tanggung, kaki tripod masuk ke sela-sela kursi di depan kami. Susunan kursi merah yang tidak terlalu senggang antara depan-belakang mengharuskan kaki yang tergolong panjang itu untuk selonjor. Namun memang tidak ada maksud terkadang kaki yang selonjor tersebut menyenggol tripod, kamera pun tergeser.
Panitia beberapa kali maju membenahi posisi kamera, tetapi memang tidak bisa dibohongi tentang posisi kaki yang tidak nyaman. Akhirnya, kami sangat berusaha membagi fokus antara tripod kamera dan presentasi oleh Mas Heddy. Sebelum melanjutkan pemaparan kepada sesi tanya jawab yang tidak ada habisnya, ada baiknya kami sedikit melakukan review terhadap review yang Mas Heddy lakukan kepada pemikiran Koentjaraningrat.
Sebagai guru besar Antropologi Budaya UGM dan salah satu anak didik Koentjaraningrat semasa kuliah, Mas Heddy telah memaparkan dengan baik konsep integrasi yang berusaha disampaikan oleh Koenjtaraningrat melalui karya-karyanya. Salah satu karya yang dicermati dan menjadi fokus dalam seminar kali ini adalah Arti Antropologi untuk Indonesia Masa Kini (1969) oleh Koenjtaraningrat, terutama bab integrasi bangsa. Mas Heddy berusaha sangat berhati-hati dalam menelaah pemikiran.
Bahkan, ia telah berulang-ulang memberi tahu pengunjung untuk menempatkan segala pemikiran Koentjaraningrat kepada konteks dibuatnya buah intelektual tersebut. Tidak hanya buah intelektual Koentjaraningrat, buah intelektual terusan oleh Mas Heddy juga diminta diperhatikan konteks dan maksud dari pernyataan-pernyataan. Secara singkat, Mas Heddy menyatakan bahwa terdapat beberapa kekurangan dari penjelasan Koentjaraningrat tentang integrasi nasional yang menyebabkan ketidakjelasan makna.
Meskipun Koentjaraningrat telah sistematis, berusaha reflektif serta solutif, kekurangan tersebut tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Oleh karena itu, Mas Heddy berusaha memperbaiki dan menempatkan pemikiran Koentjaraningrat tentang integrasi nasional. Definisi, penyesuaian konteks kini, dan keadaan masa kini menjadi fokus pemaparan. Mas Heddy bahkan menambahkan penilaian pribadi tentang integrasi nasional dan melanjutkannya dengan penjelasan yang begitu runtut. Semua yang dipaparkan terlebih lengkap dalam artikel yang dibukukan yang dijual seharga Rp 10.000,-.
Tepuk tangan merayakan pemikiran Mas Heddy pada akhir ceramah. Beberapa orang membenahi posisi duduk. Beberapa orang mulai tidak lagi berbisik untuk mengobrol kepada teman sebelahnya. Beberapa orang mulai menyiapkan pertanyaan dan…sesi-per-sesi pertanyaan dibuka oleh moderator.
Tanya-Jawab dan Substansi yang Hilang
Ketika sesi pertanyaan dibuka, pelbagai pasang mata mulai mengincar kesempatan untuk ditunjuk moderator. Seakan kesempatan mendapatkan undian berhadiah, orang mengangkat tangan mengincar kesempatan untuk menyuarakan pendapat. “Sesi tanya-jawab dibuka,” kata moderator. Tangan yang berlomba lalu ditunjuk secara acak oleh moderator, lalu diberi kesempatan untuk menyuarakan pertanyaan.
Sejujur-jujurnya, kami tidak memahami pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan sebagian besar penanya. Seperti kata Mas Heddy, beberapa pertanyaan dan pernyataan dirasa tidak relevan untuk diujarkan pada ruang intelektual seperti itu. Tapi, toh, tetap saja. Setiap suara dirasa paling benar.
Meskipun kami tidak memahami secara benar bentuk pertanyaan, selama empat sesi pertanyaan otak kami menyimpan beberapa pertanyaan yang dianjurkan. Bukan dikarenakan kualitas pertanyaan yang mumpuni, namun malah sebaliknya.
Ada yang menanyakan alasan Koentjaraningrat tidak menulis kajian tentang Orde Baru padahal Koentjaraningrat adalah pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Militer dan Polisi. Ada yang menanggap generasi Koentjaraningrat adalah generasi ‘baik’ karena seusainya novel Dilan dirilis maka usailah generasi penerus di Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa disintegrasi muncul karena suku bangsa Tionghoa terlalu banyak membawa simbol-simbol suku bangsanya ke ranah Indonesia. Ada yang melontarkan pertanyaan tentang fenomena kost Muslim yang tampak ramai diperbincangkan. Ada yang ini. Ada yang itu. Ada yang melontarkan pertanyaan, namun sedikit yang dapat melihat konteks.
Pemaparan beberapa pertanyaan di atas bukan untuk memberi suatu nilai terhadap pertanyaan, tetapi memberi tahu bahwa terdapat pertanyaan sejenis yang tidak sesuai konteks. Padahal telah diperingatkan sedari awal tentang pengkaitan konteks materi yang dibawakan, namun tampak tidak ada yang memperhatikan. Kami bukan tidak suka terhadap respon yang diberikan penanya karena itu merupakan hak tiap penanya. Kami lebih tidak senang terhadap pernyataan yang dilontarkan seakan-akan benar tanpa perlu dikoreksi.
Kami menyayangkan Mas Heddy yang telah berusaha merespon tiap pertanyaan dan pernyataan dengan baik, namun malah dibalas dengan cibiran diam-diam yang menolak respon balasan. Jika memang setiap pernyataan adalah paling benar, maka tidak perlu dibawa ke ranah diskusi.
Selama sesi tanya-jawab berlangsung, tiap oksigen yang terbuang terkesan sia-sia. Penanya sebagai pelontar kebenaran yang paling benar hanya berusaha memberikan tes kepada pemateri. Di lain sisi, pemateri berusaha membenahi pola pikir penanya yang terlanjur beku. Sesi tanya-jawab, seperti yang telah dikatakan di atas, telah berubah menjadi arena unjuk gigi. Di satu arena, pemateri berdiri sendiri dengan penanya sebagai orang yang hilir berganti keluar-masuk arena. Setiap penanya memberikan satu respon lalu langsung keluar arena dengan meninggalkan pemateri berbalas sendiri dengan kekosongan tanpa lawan. Tiap mata beradu pandang. Tiap alis melipat sekenanya. Di ruang yang terlanjur dipenuhi foto kisah Sumba, selama kurang lebih dua jam, mata dan mulut saling beradu tentang pernyataan yang paling benar. Tiap kritik yang dikatakan kritik tidak terasa demikian.
Sementara ruangan semakin panas, atmosfer tidak juga kunjung dingin. Yogyakarta yang telah semakin panas tidak pula didukung dengan kenyamanan tiap ruang-ruang buatan. Ketika pendingin ruangan tidak mampu mengimbangi kepala yang terlanjur panas, kami berjalan keluar ruangan. Rasa lapar dan rasa emosi terhadap pernyataan-pernyataan yang tidak selaras dengan konteks menjadi pemicunya. Selepas dari ruangan pameran, udara dingin Yogyakarta terasa lebih menghangatkan daripada sebuah pendingin yang tidak berguna diantara keramaian peradu kebenaran. “Makan nasi goreng sapi, yuk!” ujar satu sama lain sambil menikmati malam Yogyakartya yang benar-benar malam.
Yogyakarta,
saat keadaaan benar-benar di ambang
Comments