top of page

Menapaki Jejak Visual Sumba dalam Ruangan Putih 4 Dimensi

Updated: Dec 26, 2018


Oleh:

Iklima Imanda Lazuardani Putri

Erlina Sukmawati Dewi




Festival Sumba adalah festival kebudayaan pertama yang diusung oleh LAURA UGM dari Departemen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Kami berdua, Iklima Imanda dan Erlina Sukmawati Dewi, sebelumnya tidak pernah terlibat dalam event berupa festival kebudayaan seperti ini. Sebagai mahasiswa Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, kami merasa sangat bangga karena bisa mendapatkan pengalaman baru dengan mengikuti rangkaian Festival Sumba. Banyak hal menarik yang dapat kami temukan di rangkaian acara festival Sumba, dari mulai acara pembukaan dengan keynote speaker yang luar biasa, yakni Menteri Desa, Pembangunan Deaerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia: Bapak Eko Putro Sandjojo, hingga beberapa rangkaian acara lainnya seperti pemutaran film, demonstrasi cara meracik kopi, demonstrasi pembuatan kain Sumba, pemutaran film, pergelaran seni, upacara Kedde, pameran foto, acara pagelaran musik Sumba, serta simposium yang diisi oleh beberapa panelis yang ahli di bidangnya. Sebagai bentuk pengapresiasian dan juga bentuk tanggung jawab kami sebagai mahasiswa di mana kami harus melakukan penugasan dalam rangkaian event Festival Sumba kali ini, kami tertarik untuk mencoba mengulik lebih dalam mengenai salah satu event yang ada, yang berkaitan dengan visualisasi Sumba. Ya, kami memilih pameran foto Sumba sebagai bahan tulisan kami. Pameran foto Sumba berlokasi tidak jauh dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, yaitu bertempat di salah satu bangunan yang secara notaben sering digunakan sebagai pameran foto dan event, Bentara Budaya Yogyakarta.


Sedari awal, kami memang sudah tertarik untuk mengunjungi pameran foto Sumba yang kebetulan diadakan dalam jangka waku yang relatif lama yakni dimulai dari hari Selasa, 23 hingga Rabu, 31 Oktober 2018. Dari delapan hari tersebut kami sepakat untuk memilih hari Sabtu, 27 Oktober 2018, yang merupakan hari libur, untuk mengunjungi pameran tersebut karena kami memiliki lebih banyak waktu luang sehingga tidak terburu-buru dalam menikmati pameran foto.


Ketika memasuki ruang pameran foto, kami disambut oleh panitia Festival Sumba yang kebetulan adalah kakak tingkat jurusan kami, tanpa berlama-lama kami langsung masuk dan melihat beberapa foto yang terpajang dengan rapi. Di dalam ruangan, kami bisa merasakan hawa udara yang cukup dingin karena adanya AC (air conditioner), sangat menyejukkan tentunya, karena pada saat kami masuk cuaca di luar ruangan cukup panas dan gerah. Hal ini menjadi faktor yang mampu membuat kami cukup betah untuk berlama-lama berada di ruangan tersebut. Nuansa putih karena pantulan cahaya dari cat tembok milik bangunan Bentara Budaya sangat mencolok dan lebih banyak prosentasinya dibandingkan warna lainnya yang ada di ruangan tersebut. Kesan warna tersebut sangat kuat, sehingga kesan pertama kali yang didapatkan dari kunjungan ke pameran foto di Bentara Budaya tersebut adalah ”all is white”. Warna putih yang mencolok, secara tidak langung mampu memberikan kesan ”netral dan suci” pada foto-foto yang dipajang. Kami ingin mengapresiasi kerja keras dari panitia Festival Sumba terutama yang sudah menyiapkan dan menata foto-foto dengan rapi, sehingga pengunjung, baik itu mahasiswa UGM maupun pengunjung umum bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan atmosfer Sumba dalam bentuk visual, meskipun menurut kami, foto-foto tersebut kurang mencolok untuk dilihat, mungkin karena rasio foto dan ruangan yang kurang proporsional sehingga ruangan tersebut terlihat sedikit plain.


Foto yang dipajang memang tidak terlalu banyak, kurang lebih hanya tujuh puluh-an foto. Namun, foto-foto tersebut sudah dapat mewakili Sumba yang sesungguhnya. Benda pajangan berupa kain sumba, meja yang ditutup dengan kain khas Sumba, dan benda-benda lain yang merupakan benda yang biasa digunakan untuk berburu dan bercocok tanam dapat menguatkan kesan ke-Sumba-an, sehingga kami dapat merasakan atmosfer Sumba yang cukup kuat di dalam ruangan putih Bentara Budaya tersebut.


Layar digital yang menampilkan kehidupan masyarakat Sumba di sudut-sudut ruangan menjadi salah satu daya tarik dalam pameran foto ini. Pengunjung dapat mengakses berbagai macam informasi berupa video infografis, dokumenter, dan highlighted foto dari akun sosial media sehingga tentu saja pengunjung dapat terbantu dengan adanya layar digital tersebut. Selain memanjakan pengunjung dengan kemudahan tersebut, panitia acarapun memanjakan pengunjung dengan memperbolehkan mereka untuk mengambil foto dengan bebas selagi tidak menganggu pengunjung lain dan masih dalam keadaan tertib. Maka dari itu, tanpa berpikir panjang kami memanfaatkan momen ini untuk mengambil foto secara bergantian, sangat menyenangkan rasanya ketika bisa melakukan observasi dan sekaligus bisa mengabadikan momen yang sangat jarang dijumpai.


Kami mengujungi Bantera Budaya Yogyakarta selama kurang lebih satu setengah jam lamanya, banyak obyek yang kami amati dengan detail dan akhirnya kami tertarik terhadap beberapa foto yang terpajang di sebelah kanan dari sudut ruangan pameran foto, yaitu ada sekitar tiga foto di mana foto tersebut menggambarkan kehidupan keagamaan masyarakat Sumba, salah satunya melalui gambar foto bangunan gereja tua yang sunyi di Tanjung Sasar. Gereja tua tersebut masih berdiri dengan tegar, mungkin karena dirawat dengan sedemikian rupa agar gereja itu tidak roboh begitu saja.


Figure 1. Gereja tua yang tetap tegar berdiri

Kemudian ada Mirri Yehu La Humba di mana menggambarkan Yesus yang merupakan cerminan orang Sumba lengkap dengan kain tenun ikatnya yang dimana foto tersebut diambil oleh Transpiosa Riomandha.


Figure 2. Penggambaran Yesus yang dimaknai sebagai orang Sumba

Foto selanjutnya yang masih menggambarkan kehidupan keagaaman orang Sumba yaitu bangunan gereja di Praikundu Lambanapu Sumba Timur.


Figure 3. Gereja sebagai simbol keberagamaan yang dianggap mampu menjadi sarana pembebasan dari adat yang membelenggu

Banyak informasi yang datang pada kami bahwa sebagian besar penduduk Sumba menganut kepercayaan animisme Marapu, dan Kristen, baik protestan maupun Katolik, dan hanya ada beberapa kelompok Muslim biasanya dapat ditemukan di daerah pesisir. Dan ketika kami melihat foto-foto gereja di atas, sedikit-banyak dapat menggambarkan bagaimana masyarakat Sumba sangat dekat dengan keberadaan rumah ibadah ini. Uniknya lagi, kami hanya menjumpai foto gereja di dalam pameran foto itu, dan tidak ada foto yang merepresentasikan keberagaman agama lain yang tertangkap oleh foto. Oleh karena itu, kami semakin yakin bahwa agama Kristen memang mendominasi di kalangan masyarakat Sumba.


Ketika kami memperharikan foto-foto gereja di atas satu demi satu, ada hal yang cukup menarik dari kata-kata yang ada di gereja di Praikundu, Lambanapu, Sumba Timur. Di dinding gereja tersebut, tertulis sebuah kalimat ”Gereja dan Pembebasan dari Praktik Adat yang Membelenggu”. Kami mencoba mencari-cari makna dari kalimat ini, dan kami mendapatkan informasi bahwa meskipun banyak dari mereka yang menganut agama Kristen, namun ritual adat yang dilakukan di masyarakat masih tetap menggunakan ketentuan yang ada pada agama animisme, Marapu. Seperti halnya yang dipaparkan dalam hasil penelitian oleh M. Navasari Marumata (2012) dari Universitas Kristen Duta Wacana yang berjudul ”Gereja dan Perubahan Sosial (Peran GKS Tanalingu Dalam Memperjuangkan Hak Ata/Hamba) ” sebagai berikut.


”Dari segi kepercayaan dan keagamaan, sebagian besar dari penduduk desa Haikatapu menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Bebas, Bethel, Pentakosta dan Kristen Katholik. Selain itu, ada juga dari beberapa penduduk Haikatapu yang tinggal di daerah pesisir, yang menganut agama lain yakni agama Islam. Sisanya masih tetap menganut aliran kepercayaan asli suku Sumba, yaitu Marapu. Adapun kepercayaan Marapu ini masih sangat dominan dalam kehidupan penduduk desa Haikatapu, meskipun mereka sudah menganut agama Kristen, namun dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih melakukan kebiasaan- kebiasaan dalam agama Marapu. Hal ini bisa dilihat saat mereka melaksanakan berbagai upacara adat berkenaan dengan daur hidup seperti perkawinan (lalei atau mangoma) dan kematian (pa taningu), dan lain sebagainya.” (Marumata, 2012)

Mengingat simposium Sumba menghadirkan banyak panelis yang tahu mengenai Sumba, kami mencoba untuk datang ke simposium panel tersebut dan mendengarkan banyak pemaparan dari para panelis. Di antara panelis-panelis tersebut, yakni Bapak Pater Mike Keraf, dan Bapak Bahrul Fuad, mereka mengatakan bahwa masyarakat Sumba tergolong sangat boros dalam pemenuhan-pemenuhan kebutuhan adat, misalnya kelahiran, perkawinan, kematian, sembuhnya seseorang dari sakit, dan lain sebagainya. Dalam sekali upacara adat, ada sekitar 600-800 juta uang yang ”dikorbankan” karena prosesi tersebut mengguanakan ritual penyembelihan binatang ternak seperti kerbau secara besar-besaran. Hal inilah yang mungkin kami analisa sebagai salah satu bentuk ”kesulitan” tersendiri yang dirasa membelenggu seperti halnya ditulis di dalam gereja yang ada di Praikundu, Lambanapu, Sumba Timur. Karena pada dasarnya, tidak semua orang mampu untuk melakukan hal tersebut, entah dipengaruhi karena kondisi finansial ekonomi, maupun tekanan dari relatif yang mengharuskan pemenuhan kebutuhan adat tersebut.


Dari foto-foto tersebut, banyak hal yang bisa kami pelajari dan kami ambil hikmahnya. Salah satunya apa yang kami tuliskan di atas. Kami juga berpikir bahwa keberadaan pameran foto dalam Festival Sumba kali ini dapat mewakili kerinduan masyarakat Sumba yang tinggal di Indonesia pada khususnya dan masyarakat luar Sumba pada umumnya. Konsep yang dihadirkan dalam pameran foto tersebut benar-benar memperlihatkan Sumba yang sebenarnya, khas orang-orang Sumba. Kamipun merasa terkesan dan bahagia bisa mengikuti berbagai macam rangkaian dalam Festival Sumba ini, salah satunya mengunjungi pameran foto Sumba di Bentara Budaya. Kami berpikir bahwa sesungguhnya peran kita sebagai antropolog dalam ”menghadirkan” Sumba di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta ini sangat penting, karena hal ini akan berdampak besar.


Mungkin pameran foto dalam Festival Sumba kali ini cukup membekas di hati dan pikiran kami. Kami berharap akan ada banyak event lagi yang mampu membuka mata kami untuk melihat dunia yang sebenarnya di luar sana.



Daftar Pustaka

Marumata, M Nafsari. 2012. Gereja dan Perubahan Sosial (Peran GKS Tanalingu Dalam Memperjuangkan Hak Ata/Hamba). Universitas Kristen Duta Wacana

29 views0 comments

Comentários


bottom of page