top of page

Mendidik atau Memaksa?


Kredit ilustrasi: http://anaylsurydlaver.blogspot.com

Galang Dwi Putra

Pengantar


Negara dalam Undang - Undang No. 20 Tahun 2003 ”(mendefinsikan) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Maka pendidikan yang dimaksud dalam undang – undang tersebut adalah “usaha untuk mengembangkan potensi dan memaksimalkan kualitas yang ada pada diri manusia”. Pengertian tersebut memiliki makna tersendiri, yaitu negara sebagai penyelenggara pendidikan memiliki secerca harapan untuk menciptakan masyarakat yang terdidik. Tetapi apakah harapan tersebut sudah tercapai? Sebelumnya mari kita tengok pendapat menurut para ahli pendidikan.


Menurut Freire dalam konsep pendidikannya “pendidikan adalah pembebasan". Yang dimaksud pembebasan disini adalah terbebasnya individu dalam menentukan pilihannya. Bagi Freire, pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, hlm 52). Dalam praktiknya, pendidikan yang bertujuan untuk memberi kesempatan serta kebebasan kepada setiap orang malah hal ini berubah menjadi sebaliknya. Pendidikan layaknya penjara, setiap orang dipaksa untuk malahap semua pelajaran yang belum tentu disukai. Pemaksaan ini sudah berlangsung lama, tetapi kita bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.


Pendidikan tidak akan berjalan dengan mulus jika pada prosesnya terhalangi oleh kebijakan pemerintah yang mengekang. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud seperti : sistem zonasi, full day school, wajib memakai jilbab, dan lain sebagainya. Kebijakan ini menghambat proses belajar dan sering kali peserta didik menjadi kelinci percobaan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Selain itu dalam proses belajar, kita sering kali dihadapi dengan guru-guru yang menyebalkan. Guru-guru ini membuat semangat untuk belajar menjadi hilang. Mereka hanya datang dan duduk sebentar sesambi memberikan tugas lalu pergi meninggalkan kelas. Kerap juga mereka tak hadir di kelas dengan alasan bermacam-macam. Pernyataan saya ini tidak mewakili seluruh guru tapi hanya guru-guru tertentu (walaupun banyak juga guru-guru yang seperti saya contohkan tadi).


Maka untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Indonesia yang tertuai dalam pembukaan UUD 1945 (Undang-undang dasar 1945) yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” membutuhkan sinergi antara aktor-aktor pendidikan yang ada, seperti yang saya singgung sebelumnya yaitu, pemerintah sebagai tonggak pemberi amanat dan kebijakan, guru sebagai pengarah sekaligus teman peserta didik dalam melaksanakan proses pembelajaran, dan peserta didik sebagai penuntut ilmu. Sinergi antara aktor-aktor pendidikan ini dapat menciptakan pendidikan yang saling menguntungkan antara pemerintah, guru, dan peserta didik. Ketika itu sudah terjadi maka pendidikan seakan-akan terlahir kembali.


Wajah Pendidikan


Ketika saya sekolah saya kerap bertanya – tanya kepada diri saya, sebenarnya untuk apa saya belajar? Saya merasa tidak mendapatkan apa – apa selama sekolah, kebahagiaan satu – satunya yang didapatkan oleh saya di dalam sekolah adalah “relasi atau pertemanan”. Tanpa pertemanan menurut saya pergi ke sekolah hanyalah keterpaksaan. Jika kalian pernah menonton film “catatan akhir sekolah” kalian akan melihat wajah sekolah yang sebenarnya. Film ini menyoroti kehidupan sekolah yang sesungguhnya. Bolos sekolah, mengerjai guru, merokok, mencontek, bahkan diperlihatkan juga kepala sekolah yang terlibat dalam kasus suap menyuap antar wali murid.


Sekolah dalam benak saya adalah sebuah penjara. Sekolah ada paksaan, jika bukan karena relasi pertemanan yang saya sebutkan tadi mungkin sekolah benar-benar menyerupai penjara. Kita dididik seperti militer, kita disodorkan banyak peraturan dan jika tidak mematuhinya maka kita akan diberikan sanksi. Tak heran jika budaya membolos itu terlahir, karena menurut saya peraturan-peraturan itulah yang membuat para peserta didik melawan, termasuk saya. Perubahan haruslah terjadi, seharusnya para pembuat kebijakan sadar akan hal ini. Membuat kebijakan yang manusiawi apa susahnya? Binatang saja akan melawan jika tertekan, apalagi manusia yang mempunyai akal juga naluri.


Saya sering kali termenung di depan jendela sekolah ketika hujan turun, terbenak dalam kepala saya tentang sekolah yang berisikan anak-anak riang gembira, berlarian kemana saja mereka mau, bercanda tawa bersama guru ditemani secangkir kopi, serta dibumbui perbincangan tentang impian dan harapan. Tetapi apakah khayalan saya akan terjadi? Sebenarnya apa saja yang dapat merubah wajah pendidikan kita? Kuteguhkan keyakinan semoga jawaban ini adalah - perlawanan dan kekritisan- peserta didik atas apa yang telah mereka alami.


Peran Pemerintah


Pemerintah adalah pemegang kendali dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah memiliki peran penting serta memiliki tanggung jawab penuh tentang permasalah pendidikan selama ini. Kebijakan yang mereka keluarkan adalah mesin untuk mengendalikan arah pendidikan. Bentuknya adalah kurikulum, selama beberapa dekade ini kita selalu di hadapi dengan permasalahan perubahan kurikulum. Kurikulum dirubah setiap kali berganti rezim. Alih alih untuk membuat pendidikan menjadi lebih baik, malah ini menjadi petaka bagi peserta didik. Tingkat kematangan dalam perubahan kurikulum ini menuai dampak berkepanjangan untuk halnya tingkat kesiapan para tenaga pendidik. Buku – buku bekas korban kurikulim menjadi tak berarti, gonta – gantinya kurikulum tanpa proses yang matang hanya membuang – buang duit saja. Selain perannya untuk membuat kurikulum pemerintah juga adalah perancang anggaran serta memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Berdasarkan data yang diperoleh oleh kementerian keungan pemerintah menganggarkan Belanja Negara sebesar Rp2.220,7 triliun untuk TA 2018. 20% dari total Belanja Negara dialokasikan sebagai anggaran untuk pendidikan atau sebesar Rp444,13 triliun. Sejak tahun 2014. Anggaran ini terus naik setiap tahunnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah alokasi dana ini cukup untuk pendidikan?


Pemerataan menjadi masalah terbesar selain kurikulum atau sistem pengajaran yang telah saya sebut sebelumnya. Masalah demi masalah menjadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah dalam memperbaiki ini. Infrastruktur sekolah tidak merata, banyak bangunan yang seadanya saja. Atap yang rusak, sampai – sampai ada pula yang tidak memiliki atap. Fasilitas hanya apa adanya. Jika pemerintah menginginkan adanya perbaikan pendidikan yang lebih merata maka diperlukannya anggaran yang lebih besar, memang harus ada yang dikorbankan dari sektor lainnya. Contohnya anggaran militer dikurangi. Demi memperbaiki tingkat pendidikan di Indonesia, dan meamang sudah seharusnya pemerintah saat ini meningkatkan anggaran pendidikan.


Selain masalah anggaran, pemerintah juga harus membuat kebijakan dengan tingkat persiapan yang maksimal. Lebih baik kebijakan seperti pembentukan kurikulum ini dimaksimalkan lagi daripada membentuk kurikulum-kurikulum baru. membutuhkan waktu yang lama untuk membuat kebijakan yang dapat diterima banyak orang serta butuh juga tenaga ekstra. Mungkin pemerintah harus membuka mata seluas-luasnya untuk melihat wajah pendidikan kita yang sebenarnya dan mendegarkan banyak keluhan dari peserta didik, masyarkat sekitar, serta pengamat pendidikan. Saya harap pemerintah dapat melaksanakan kewajibannya dengan maksimal.


Peran Guru


Guru sebagai "sarjana warga" juga diharapkan untuk mengambil posisi kritis dan menghubungkan pekerjaan mereka dengan isu-isu sosial utama di masyarakat untuk tujuan menciptakan harapan bagi siswa / siswa untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik (Giroux & Giroux, 2006). Peran guru sendiri sangat penting untuk mengarahkan atau pendorong dalam proses belajar. Guru harus berjalan beriiringan untuk bersama-sama belajar dan menciptakan suasana yang bahagia. Pendidikan yang seperti ini adalah idaman saya sewaktu duduk dibangku sekolah dan mungkin idaman untuk semua orang. Sekolah dengan kebahagiaan titik keberhasilanya adalah menciptkan kebahagiaan saat proses pembelajaran. Sama seperti guru, guru haruslah bahagia ketika mengajar dan melakukan sepenuh hati dengan niat yang lurus.


Menciptakan suasana bahagia di dalam sekolah dapat membuat proses belajar menjadi lebih baik. Cara komunikasi dua arah adalah cara terbaik dalam menciptakan suasana belajar yang baik. Salah satu solusi yang sering dicanangkan untuk menghindari pendidikan satu arah adalah pedagogi kritis. Konsep pedagogi kritis sendiri adalah konsep dimana ada keharmonisan (komunikasi) antara guru dan murid. Saat itu terbentuk maka proses dalam belajar menjadi terarah atau berjalan dengan baik. Pedagogi kritis memiliki nilai yang bersifat perlawanan atau yang disebut oleh Freire adalah "Pemahaman kritis mengarah pada tindakan kritis", yang dimaksudkan “perlawanan dan tindakan kritis” disini adalah cara sang individu dalam mengkritisi dan melatih kesadarannya dalam proses pembelajaranya. Kedekatan serta hubungan timbal balik antara guru dan murid haruslah sinkron.


Keresahan Serta Harapan

Dua belas tahun saya bersekolah, dua belas tahun saya menjadi budak, dua belas tahun saya dipaksa, dua belas tahun saya melawan. Saya lelah, saya bingung, tetapi saya memiliki harapan. Harapan dimana pada suatu hari sekolah menjadi tempat dimana seluruh anak-anak di Indonesia tersenyum. Tempat dimana anak anak bersemangat untuk masuk ke dalam kelas. Tempat dimana ruang kelas menjadi sarana untuk mempertanyakan apa yang tertuai dalam kepala kita. Saya memimpikan anak-anak jalanan dapat merasakan ruangan ber-AC dan bermain bersama anak-anak lainnya.


Harapan ini saya harap dapat tercapai dalam waktu dekat, semoga adik-adik yang sekarang sedang menempuh pendidikan tetap tegar. Hadapi siapapun yang berani menindasmu, utarakan apa yang ada dikepalamu, kritisi apa yang menurutmu salah. Beranilah berbicara tentang kebenaran. Semoga harapanku dan mimpi ini dapat dibaca banyak orang. Semoga kalian berpikiran sama tentang apa yang saya pikirkan. Untuk wahai pemegang kebijakan, janganlah engkau lelah memikirkan nasib pendidikan Indonesia. Mulailah mendengar keluhan kami, mulailah pergi ke tempat-tempat terujung Indonesia, lihatlah anak-anak disana, lihatlah bangunan disana apakah masih layak untuk dipakai. Lihatlah semangat para peserta didik disana. Saya rasa mereka selalu semangat, berjalan ke tempat jauh tanpa sepatu dan sandal. Lihatlah senyuman mereka. Tolong jangan kecewakan mereka pak.. buk. Jangan paksa kita untuk melakukan hal-hal yang kalian inginkan, kerena kami tak suka dan kami tak pantas untuk dijadikan binatang ternak kalian. Kami hanya butuh gedung yang layak, biaya yang murah, dan peraturan yang tidak mengekang. Kami hanya ingin itu.


Refrensi:

  • Martha C. Nussbaum (2009). Education for Profit, Education for Freedom.

  • Getahun Yacob Abraham (2016). Critical Pedagogy: Origin, Vision, Action & Consequences.

  • Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.

  • Simon, Roger. 2014, gagasan politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

  • Loka data. Anggaran Pendidikan dalam APBN, 2014-2018 terdapat pada https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/anggaran-pendidikan-dalam-apbn-2014-2018-1518065455 . Diakses pada tanggal 27 September 2018.

コメント


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page