top of page

Menelusuri Sumba di Bentara Budaya

oleh: Ikhsan Aji Pamungkas & M. Ismail Hamsyah


Sabtu, 27 Oktober 2018, puncak acara dari rangkaian Simposium Sumba dimulai. Aku Aji, bersama salah satu temanku akan menghadiri acara tersebut karena kami memilih panel bertema “Folklore Tenun” dengan panelisnya Chandra Kirana Prijosusilo dari Sekar Kawung. Aku bergegas dari rumah menuju ke kos temanku pukul 12.30 WIB dengan motor Beat berwarna merah. Sesampai kosnya di daerah Klebengan, aku menghampirinya di dalam kamar kos. Kami berangkat ke kampus FIB UGM, tempat acara Simposium Sumba berlangsung. Sampai di kampus, kami memarkir motor di trotoar Lapangan Pancasila, kemudian kami menuju tempat acara Simposium Sumba berlangsung. Temanku sempat curiga dengan tema yang kami ambil karena di poster Simposium tersebut tidak ada tulisan mengenai tema yang ingin kami ambil. Aku menyarankan untuk datang terlebih dahulu, jika tidak ada langsung menuju Bentara Budaya.

Lantai 7 Soegondo merupakan tempat acara Simposium Sumba berlangsung. Sebelum ke Lantai 7, kami disajikan dengan rumah beratap jerami sebagai interpretasi dari rumah adat di Sumba. Rumah-rumahan tersebut dibangun tepat di halaman depan gedung Soegondo FIB UGM. Kami melihat dan mengikuti sejak awal bahwa rumah tersebut digunakan untuk berkegiatan dari rangkaian acara Simposium Sumba, seperti: diskusi fotografi “Jepret Etnografi”, diskusi membuat jamu tradisional “Men-Jamu” dan masih banyak diskusi disajikan pada kegiatan tersebut. Kami menuju lantai 7 Soegondo menggunakan lift. Di depan lift, kami disajikan dengan pameran tulisan etnografi beserta beberapa foto dari teman-teman Antropologi UGM. Kami tertuju pada foto-foto yang terpajang bersama tulisan etnografi. Menurut kami, foto tersebut sebagai penggambaran penggalan cerita yang ada di Sumba. Kami melihat dari foto-foto tersebut bahwa hasil bidikan yang telah terpajang seperti cerita berjalan karena setiap adegan di dalam foto sangat memperlihatkan ekspresi-ekspresi dari objek foto tersebut. Pengaturan pencahayaan pada kamera juga disesuaikan dengan keadaan sekitar objek yang menjadikannya seperti ada “ruh” di setiap fotonya.

Pameran Foto dan Kain Sumba di Bentara Budaya

Setelah bosan melihat-lihat jepretan foto yang terpajang di gedung Soegondo lantai 7, kami berdua akhirnya menanyakan kehadiran pengisi acara panel 1 yang ingin kami ikuti yakni Chandra Kirana Prijosusilo pada salah satu teman kami yang kebetulan panitia dari acara Festival Sumba tersebut. Teman kami mengatakan bahwa Chandra Kirana Prijosusilo memang batal menjadi pembicara di panel 1, karena ada masalah mendadak yang mengakibatkan beliau tidak bisa datang di FIB. Ternyata firasat temanku benar, alhasil kami berdua langsung berangkat menuju ke Bentara Budaya, mengunjungi pameran foto dan kain Sumba yang juga diselenggarakan di sana. Tanpa pikir panjang kami bergegas menuju Bentara Budaya. Aku mengenakan helm dan mulai menyalakan motor Beat merahku, temanku membonceng.


Suasana macet selalu menyelimuti Jl. Cik Di Tiro dan Jl. Suroto yang kami lewati. Cuaca sedang terik-teriknya karena waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB. Memang akhir-akhir ini suhu udara di Yogyakarta sedang panas walaupun pada malam hari. Ini memudahkan teman-teman yang ngekos untuk menjemur pakaian, karena akan cepat kering. Sesampai di Bentara Budaya, kami berdua mulai kebingungan lagi karena kami melongo dari depan gedung yang terlihat sepi. Memang pintu gedung Bentara Budaya terbuka, namun sepeda motor yang di parkiran hanya berjumlah dua. Aku dan temanku tetap saja masuk ke dalam gedung walaupun sepi sekali seperti tidak ada kegiatan pengunjung yang terlihat di pameran tersebut. Di sebelah pintu sebelah kiri terdapat meja penjaga yang sudah berisikan dua penjaga perempuan, tidak lain mereka adalah kakak tingkatku. Kami berdua menyapa mereka dan mereka pun membalas sapaan kami dan mempersilahkan kami untuk mengisi presensi kehadiran pengunjung.

Fotografi adalah suatu karya seni yang memiliki nilai estetika dan nilai fungsional. Seperti kata Yana (2017) dalam Rest AREA Perupa Membaca Indonesia:

Fotografi seni adalah sebuah karya foto yang menarik dalam sudut pandang fotografer sendiri sebagai suatu penuangan imajinasi fotografer yang memiliki estetika dan artistik, pentingnya sebuah subyek-obyek, tehnik, material dan aspek-aspek lainya dalam pembuatan karya fotografi seni selain kamera sebagai peralatan teknis yang mendukung fotografer untuk menuangkan imajinasi dan ide ke dalam karya fotografi seni”.

Jenis foto seperti ini dalam industri foto jurnalistik, kemunculannya diterima sebagai jenis foto dokumenter dan mungkin masih memiliki hubungan dengan karakteristik foto sosial dokumenter yang hampir selalu hendak membuat gambaran yang bertujuan untuk menampilkan kenyataan sosial melalui gaya pandang kebenaran dan kejujuran visual (Datoem, 2013).


Foto-foto hasil jepretan para fotografer andal telah terpajang rapi di dinding putih bagian dalam gedung Bentara Budaya. Di bawah masing-masing foto terdapat deskripsi singkat foto yang tak lain merupakan hasil karya para etnografer. Kami berdua mengamati foto secara berurutan dari sebelah kanan pintu masuk hingga bertemu ujungnya lagi. Kebetulan foto-foto yang terpajang di sana dijejer berurutan dan rata, tidak ada yang diposisikan lebih tinggi ataupun lebih rendah.


Sebuah syair berjudul Humba

Di bagian awal, kami mendapati cetakan teks cukup besar yang ternyata adalah lirik sebuah lagu. Lirik tersebut ditulis oleh Rolis Rohi, personil Humbacustik. Kemudian deretan ke dua kami menemukan peralatan adat yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Sumba.


Peralatan tradisional Sumba

Di deretan-deretan selanjutnya adalah foto-foto hasil jepretan para fotografer andal yang menarik sekali untuk dilihat. Terlihat sekali bahwa seni fotografi mereka sangat indah, misalnya: foto dua orang menaiki traktor di jalanan umum dan salip menyalip dengan seseorang yang mengendarai sepeda motor, terlihat sekali bahwa sang fotografer mengomposisikan skala awan dan tanah (jalanan) dengan sangat pas. Dari sini juga dapat kami simpulkan bahwa foto juga merupakan bahan bagus untuk melukiskan sebuah etnis.


Alat transportasi tradisional Sumba

Ada sebuah pesan menarik dari kain Sumba yang dipajang pada pameran di gedung Bentara Budaya ini. Di situ si pemilik kain menuliskan kata-kata yakni “Saya membawa kain Sumba ke Yogyakarta agar saya tidak lupa akan budaya kami di sana. Di manapun kami berada, kami selalu membawa kain tenun karena kain tenun adalah tradisi dan adat nenek moyang kami. Selain untuk dipamerkan, kain tenun juga bisa digunakan saat tidur sebagai selimut karena bahannya hangat dan halus. Kain tenun yang saya punya dan saya bawa ke Yogyakarta adalah kain tenun yang dibuat oleh mama dan seringkali saya gunakan sebagai selimut”, Antonius “Tonsy” Dara Bali. Dari pesan tersebut, dapat kami simpulkan bahwa mereka para perantau dari Sumba selalu mencari cara untuk dapat merasakan hawa Sumba melalui berbagai macam cara, salah satunya dengan membawa kain tenun Sumba ke Yogyakarta ini.

Pengaruh Pameran Foto dan Kain Sumba bagi Akademisi

Berbagai macam pameran dan festival menjadi salah satu cara menarik para akademisi untuk belajar kebudayaan-kebudayaan lokal suatu daerah di Indonesia. Salah satunya adalah kebudayaan Sumba yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada dan Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (Laura) Universitas Gadjah Mada. Dengan demikian, para akademisi dapat belajar dengan mudah dan murah karena tidak harus pergi ke tempat asli asalnya kebudayaan tersebut. Para akademisi cukup mengamati pameran-pameran yang diselenggarakan oleh penyelenggara terkait.

Seperti apa yang dilakukan oleh FIB UGM dan Laura UGM yakni menyelenggarakan pameran foto dan kain tenun Sumba di Bentara Budaya Yogyakarta. Para akademisi yang haus akan ilmu pengetahuan akan sangat antusias melihat, mengamati, dan mengkaji kebudayaan-kebudayaan Sumba melalui foto-foto kegiatan adat sehari-hari dan juga kain tenun asli Sumba. Dengan begitu para akademisi akan lebih mengerti dengan kebudayaan Sumba secara langsung dari pada hanya dijelaskan lewat kelas seperti ceramah dosen, presentasi kelas, dan lain sebagainya.

Misi yang Ingin Disampaikan Pada Pameran

Suatu acara tentu memiliki tujuan-tujuan atau misi-misi yang jelas, misi yang ingin disampaikan. Melihat pada pameran sumba, tentu ada misi tersurat maupun tersirat yang ingin disampaikan oleh penyelenggara. Pajangan foto-foto hasil jepretan para fotografer andal yang telah terpampang di Bentara Budaya Yogyakarta secara umum menceritakan kehidupan masyarakat Sumba, baik itu menyangkut adat maupun hanya kegiatan sehari-hari.

Pendeskripsian foto juga dituliskan dengan sangat jelas tepat di bawah foto yang ingin dideskripsikan. Hal tersebut mengakibatkan para pengunjung bisa ikut merasakan peristiwa apa yang sedang terjadi pada foto tersebut, mereka tidak hanya sekedar mengamati, namun juga memahami dan merasakan. Foto yang dipajang tidak hanya berisi tentang kegiatan adat, namun juga kegiatan sehari-hari seperti berdagang, mencuci, memasak, dan lain-lain. Ini akan menumbuhkan rasa “berada di sana” bagi para pengunjung/pengamat pameran. Mereka para pengunjung bisa mengetahui dan memahami secara lebih kompleks tentang bagaimana keadaan Sumba yang sebenarnya.

Kesimpulan

Seperti kami ketahui, Sumba memiliki banyak adat istiadat yang masih dipegang oleh Masyarakat Sumba. Dari struktur kepala adat, upacara ritual, dan lainnya masih dilakukan oleh masyarakat tersebut. Begitu juga kondisi alamnya yang masih asri seperti tidak ada perubahan yang signifikan. Namun, perubahan itu pasti terjadi di masyarakat mana pun, seperti masyarakat Sumba. Meski, perubahan itu tergantung bagaimana dinamika masyarakat Sumba, bisa jadi perubahan masyarakat tersebut lambat, seakan-seakan tidak terjadi perubahan.

Daftar Pustaka

Datoem, A. (2013). Foto-Etnografi dalam Proses Penciptaan Karya Seni Fotografi. Jurnal Seni & Budaya Panggung, 153-170.

Yana, I. B. (2017). Rest AREA Perupa Membaca Indonesia. Pameran Biennale Seni Rupa Nusantara 2017, 1-6.

8 views0 comments

Comments


bottom of page