top of page
Writer's pictureV Tasha Florika

Menemui Sumba di Bentara Budaya


sumber: dok. pribadi

Sesungguhnya, kami tidak berekspektasi apapun pada pameran foto Sumba kali ini. Ketika kami tiba di parkiran Bentara Budaya, tidak banyak motor yang terparkir di sana. Menuju pintu masuk, kami disambut oleh panitia Festival Sumba yang juga merupakan kakak tingkat kami di jurusan antropologi budaya di meja resepsionis. Ketika kami tiba, hanya ada dua pengunjung yang sedang melihat-lihat foto-foto yang terpajang dan kedua mahasiswa tersebut adalah teman seangkatan kami di jurusan antropologi, Sekar dan Ilona. Mungkin itu sebabnya ruangan pameran terasa dingin, karena tidak banyak orang di sana.


Setelah mengisi daftar pengunjung pada buku tamu, kami mulai berkeliling memutari ruangan yang cukup besar tersebut. Kalau dilihat secara keseluruhan, pameran di Bentara Budaya ini diisi oleh 5 item yang dipamerkan, yaitu foto, video, kain Sumba, lirik lagu dan puisi Sumba, kemudian terakhir benda-benda adat dari Sumba seperti pisau dll.


Perjalanan Mengenal Sumba


sumber: dok. pribadi

Begitu masuk ke dalam foto-foto yang dijajarkan, kami menyadari kalau urut susunan gambar-gambar ini sengaja dibuat seperti menuturkan pengunjung mengenai Sumba dan alam seisinya. Setiap foto, akan terurut seperti cerita, mulai dari yang luas seperti bentangan alam, perkampungan, hingga dapur rumah yang semakin spesifik. Terurut dari kiri meja resepsionis, hal yang pertama kami temui di pameran ini adalah dua lembar kertas besar, yang terpajang bersampingan. Kertas pertama merupakan sebuah gambar lima orang perempuan, dengan satu orang perempuan yang digambarkan lebih tinggi dari empat perempuan lainnya yang menggunakan seperti hiasan kepala adat Sumba, sementara empat perempuan sisanya hanya berdiri di samping-sampingnya. Kertas besar yang lain menuliskan sebuah puisi yang ditulis oleh seorang Taufik Ismail pada tahun 1970 yang berjudul Beri Daku Sumba. Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka, begitu bunyi bait favorit kami pada puisi ini.


Deretan foto yang pertama kali diperlihatkan disini sejujur-jujurnya merupakan foto favorit kami dari seluruh foto yang dipamerkan di ekshibisi ini. Tiga jepretan karya Lena Borlinghous yang menggambarkan bentangan alam Sumba dengan savana-savana yang luas, dataran tinggi yang hijau, dan diambil dengan momen di mana cahaya matahari sedang apik-apiknya benar-benar ‘menarik’ kami untuk mengantar masuk ke dalam Sumba, dan terhanyut dengan foto-foto lebih detail lainnya mengenai tempat ini. Dari ketiga foto panorama pemandangan ini, kami sepakat bahwa foto yang paling kami sukai adalah foto berjudul The savanna after rain yang merupakan foto pemandangan sehabis hujan dari bukit Wairinding, Sumba Timur. Yang terlintas saat melihat foto-foto tersebut hanyalah, ingin rasanya memesan tiket travel*ka untuk langsung pergi kesana menengok padang savana Sumba.


Masih dengan karya Lena Borlinghous, foto berikutnya yang dipajang begitu saja tanpa keterangan judul, merupakan rangkaian empat foto yang menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk rumah Sumba. Foto pertama memperlihatkan deretan rumah-rumah Sumba yang beratapkan bahan alam seperti daun-daun kering –kami tidak tahu itu apa- dan bertembok kayu, kemudian foto kedua dan ketiga memperlihatkan bagaimana orang-orang Sumba membangun rumahnya sendiri, dan terakhir adalah foto yang menampakkan bagaimana dapur tradisional dalam rumah Sumba. Mirip betul dengan replika rumah Sumba di Soegondo, kata kami berbisik-bisik. Tiga foto berikutnya dari Lena Borlinghous berikutnya memperlihatkan orang-orang Sumba di perkampungan sekitar tempat tinggal mereka. Foto pertama menceritakan tentang anak-anak Sumba yang bermain api, foto kedua menggambarkan anak-anak kecil yang berlari-lari di antara kampung penduduk, dan foto terakhir memperlihatkan seorang ibu yang duduk di atas batu besar dikelilingi anjing-anjing liar. Entah kenapa, Lena Borlinghous ini pandai sekali menurut kami menangkap momen tertentu yang bisa menggambarkan suasana tertentu pula. Tiga potret Lena diatas dengan latar belakang perkampungan ini secara tidak langsung menggambarkan suasana kampung yang tenang dan tidak begitu ramai.


Karya selanjutnya dibawakan oleh Gunawan yang membawakan serentetan foto bertemakan pekerjaan sehari-hari warga Sumba. Foto-foto seperti dua orang yang memanggul babi kecil yang pada keterangan foto menjelaskan mengenai bagaimana orang Sumba mengukur besar kecilnya babi dari jumlah orang yang memikulnya, seorang ibu yang memberi pakan babi-babi, kemudian ada Renca, di mana orang-orang Sumba mempersiapkan lahan untuk ditanami padi dengan cara menggiring kerbau berputar-putar di sawah hinggan tanah menjadi gembur dan siap ditanami padi, dan kemudian terdapat sebuah foto yang memperlihatkan seorang bapak-bapak yang meminggul hasil panen di sawah. Dari foto ini, Gunawan menceritakan bahwasanya orang-orang Sumba saat musim padi tiba, mereka membagi pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan. Yang laki-laki bertugas mengangkut benih dari persemaian, sedangkan yang perempuan bertugas menanam benih. Pekerjaan itu dikerjakan oleh kelompok secara bergiliran dari satu sawah ke sawah yang lain. Cara Gunawan menyampaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut sangat detail sehingga memudahkan kami, para pengunjung menangkap langsung apa yang ingin disampaikannya.


Kemudian berderet foto-foto yang meemperlihatkan pekerjaan-pekerjaan dapur seperti membersihkan beras dari gabah dan menunggui tungku luar rumah karya Lena Borlinghous, kemudian aktivitas mengambil air, bahkan memasak daging penyu karya Ferganata Indra Riatmoko di mana pada keterangan foto tersebut, dituliskan bahwasanya warga menggunakan cangkang penyu untuk memasak daging penyu di Pantai Tanjung Karoso, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Praktik perburuan serta pencurian telur penyu merupakan beberapa penyebab terancam punahnya hewan yang sangat dilindungi tersebut sehingga miris betul kami melihatnya.


Setelah itu kita diajak melongok melihat kesenian-kesenian Sumba yang sangat estetik seperti kain Sumba yang sangat terkenal dengan keindahan warna alaminya. Salah satu foto yang memperlihatkan pewarna alami tersebut adalah foto karya Lena Borlinghous yang menjepret sebuah warna berisikan pewarna alami warna biru dari tanaman Indigo, Mangiling, Sumba Timur. Kemudian ada juga jepretan epik karya Transpiosa Riomandha yang berhasil menangkap momen di mana seorang perempuan menjemur kain tenun ikat selepas pewarnaan biru. Transpiosa menambahkan pada keterangan foto tersebut bahwa proses menjemur kain tersebut masih dikisahkan sakral di sana sehingga hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Terimakasih kepada dua foto tersebut, karena akhirnya kami dapat melihat proses mentah dari kain-kain Sumba yang terpajang di pameran ini.


Tidak hanya kain, kesenian lain Sumba yang diperkenalkan pada pameran foto kali ini adalah keseian menato anggota tubuh. Transpiosa Riomandha memperlihatkan bagaimana bentuk tato unik ala Sumba ini dalam dua gambar yang menunjukkan perempuan-perempuan yang sedang memperlihatkan tato-tato mereka yang berada di lengan tangan. Katatu, tato yang biasa diciptakan oleh mama-mama saat acara kedukaan. Mereka melakukan dengan menggunakan jarum dan api jelaga sebagai salah satu bentuk ekspresi lain seni perempuan Sumba selain melalui tenun. Katatu, adalah rajah atau tato yang dilakukan ibu-ibu atau nenek-nenek dengan menggunakan peniti dan asap jelaga. Katatu adalah ekspresi dukacita, dengan menempelkan ingatan pada tubuh, yang biasa dilakukan di ruang belakang pada rumah duka. Motif-motif hewan layaknya yang dihadirkan kaum ibu di kain tenun menjadi pilihan selain inisial nama-nama. Begitulah kira-kira yang tertulis pada keterangan dua foto tersebut.


Ruang-ruang Sosial, Tradisi, dan Agama


sumber: dok. pribadi


Sudut ruang pameran bagi kami seperti gerbang cerita lain mengenai Sumba. Dibuka dengan dua potret yang diambil oleh Gunawan yang menggambarkan keceriaan anak-anak Sumba seperti pintu untuk mengintip ruang-ruang sosial, adat dan tradisi-tradisi yang ada di Sumba. Salah satu foto Gunawan tersebut menunjukkan dua orang anak kecil yang berpose di dekat kepala kerbau, yang satu duduk di atasnya berpose seperti raja, yang satu hanya berdiri memperhatikan temannya. Potret lainnya masih dengan dua anak kecil yang berdiri di depan ilalang, membuat kuda-kudaan dari ilalang dan parang dari bilah bambu, berlarian saling mengejar bak sedang dalam acara Pasola. Rupanya, sejak kecil anak-anak Sumba sudah membayangkan bagaimana rasanya memiliki kuda dan mengikuti pasola. Potret ini mengingatkan kami kepada salah satu pembicara di panel Sumba –kami sama-sama lupa namanya- yang mengatakan bahwa anak-anak di Sumba sejak kecil diajarkan untuk menyukai kelokalan Sumba, seperti tradisi dan musik mereka sendiri.


Salah satu tradisi yang digelar besar-besaran di Sumba adalah upacara kematian. Foto-foto yang diambil selama prosesi adat tersebut diambil dengan jeli oleh Gunawan. Misalnya, pada foto pertama, potret tersebut menangkap anak-anak perempuan dalam acara penguburan. Kehadiran mereka, dijelaskan oleh Gunawan adalah untuk membantu menyiapkan makanan untuk menjamu tamu yang tentu saja, mereka juga kebagian mendapat makanan dan daging. Potret lainnya menggambarkan seorang ibu dengan mulut terbuka yang menunjukkan sirih pinang yang dikunyahnya. Selanjutnya terdapat dua foto di mana dua foto tersebut hampir sama potretnya. Laki-laki dewasa, dengan kain, ikat kepala, dan parang yang menjadi kelengkapan pakaian sehari-hari mereka. Foto selanjutnya adalah foto Ama Peku dengan cucunya yang bersiap menghadiri acara penguburan. Yang ingin disampaikan oleh Gunawan dari potret tersebut adalah, baju yang dikenakan oleh masyarakat Sumba saat menghadiri pesta adat adalah baju terbaik yang dimilikinya.


Potret-potret selanjutnya menceritakan mengenai prosesi Upacara Kedde. Foto pertama menunjukkan rombongan orang-orang yang akan menghadiri acara penguburan dengan membawa kerbau, dan pengiring. Gunawan memberikan keterangan tambahan bahwa besarnya kerbau, jumlah orang dalam rombongan menjadi ukuran status sosial bagi orang yang datang maupun yang didatangi, yang artinya semakin besar kerbau, semakin banyak jumlah pengiringnya, maka secara sosial semakin dihormati. Sepanjang perjalanan rombongan Kedde diiringi suara gong dan kendang yang tiada berhenti hingga sampai pada tujuan. Suara gamelan itu akan menarik perhatian orang-orang di sepanjang jalan untuk melihat seberapa banyak orang yang mengiringi dan seberapa besar kerbau yang dituntun.


Foto selanjutnya menunjukkan upacara Merapu di dekat Kambata Wundut, Kecamatan Lewa, Sumba Timur. Foto menarik lainnya jatuh kepada foto tebung karebau yang merupakan bagian dari rangkaian prosesi kematian. Menebas leher kerbau pada saat acara penguburan bagi laki-laki menebas leher kerbau adalah pertaruhan harga diri yang diingat selamanya. Bila dalam sekali tebas kerbau tumbang, maka akan menjadikan laki-laki dianggap hebat, tetapi bila gagal akan menjadi bahan olok-olokan seumur hidup. Foto lainnya yang masih merupakan bagian dari prosesi penguburan memperlihatkan tangan seorang laki-laki yang memegang selembar kertas dengan potongan daging-daging segar. Pembagian daging saat acara patenung atau penguburan, orang yang hadir saat Mete, akan dicatat nama dan barang bawaannya orang-orang itu harus mendapat bagian daging dari hewan yang dipotong saat acara penguburan. Foto selanjutnya memperlihatkan tanduk kerbau yang dikatakan sebagai simbol status sosial di Sumba. Keterangan menarik lainnya datang dari sebuah foto yang memperlihatkan beberapa laki-laki dewasa yang sedang memegang ikan. Rupanya, mereka sedang meramalkan peristiwa yang akan terjadi. Rangkaian foto Gunawan lainnya memperlihatkan prosesi menangkap cacing nyale yang menjadi tanda acara Pasola. Mereka menangkap cacing pada saapada saat fajar menyingsing dengan turun ke pantai-pantai. Nyale adalah sejenis cacing yang dipercaya memiliki berbagai khasiat, karena Nyale dianggap sebagai obat di Sumba. Rangkaian foto menarik lainnya datang dari Ferganata Indra Riatmoko yang menyajikan tradisi Pasola. Mulai dari deretan kuda, orang-orang yang berpacu kuda, hingga penonton dan antusiasme tingginya yang berdiri di atas jok demi bisa menonton pasola itu sendiri.


Tradisi-tradisi yang diceritakan melalui foto-foto tersebut sangat detail dan seperti benar-benar mempresentasikan Sumba. Kami sangat kagum mengenai cara para fotografer mengambil sudut pandang sebuah tradisi, kemudian cara memberikan keterangan deskripsi pada foto-foto tersebut, menurut kami cukup etnografis.


Foto-foto bertemakan religi pun datang dari bidikan kamera Transpiosa Riomandha yang di antara beberapa deret jepretannya, ada satu foto yang berhasil membuat kami tertegun. Foto tersebut diambil dari sebuah dinding gereja di Praikundu yang bertuliskan “Gereja dan pembebasan dari praktik adat yang membelenggu”. Foto-foto beikutnya lebih memperlihatkan bagaimana interaksi masyarakat dalam kehidupan sosial seperti di pasar, dan angkutan umum. Transpiosa Riomandha, Gunawan, dan Pinto NH mengisi ruang-ruang tersebut.


sumber: dok. pribadi

Mengenai kain-kain Sumba, kemudian keris-keris yang terpajang, sejujurnya kami tidak begitu menikmati karena item yang terpajang hanya sedikit sekali. Meski bagi kami pameran ini menarik, kemasan pameran foto mungkin lebih menarik lagi kalau didekorasi lebih menarik, lighting pun sepertinya penting untuk menyorot beberapa foto. Pun dengan kain-kainnya.


Sayang sekali karena pameran ini sepertinya tidak terlalu ramai pengunjung dan kurang publikasi gencar. Padahal pergi mampir ke Bentara Budaya, menemui pameran ini, seperti tiket gratis perjalanan kilat ke Sumba. Kami bisa sempat main ke kampung Sumba, menemui orang-orang Sumba, melihat dapur rumah mereka, menonton berbagai upacara, dan pergi ke gereja di Sumba. Benar-benar tiket perjalanan gratis.


penulis: Halimah dan Vincamira Tasha Florika.

31 views1 comment

1 Comment


galak banget sih judulnya pake huruf gede semua :(((

Like
bottom of page