top of page

Mengenang Yogyakarta 1998: Resistensi, Kemenangan, dan Refleksi Seorang Mahasiwa

Fransiskus Denny P, Sarah Wisista, Yulius Ardiles Brahmantya

Sumber: Kumparan


Dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno mengucapkan satu semboyan yang kemudian menjadi begitu terkenal dan terkenang di hati banyak orang: Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah! Semboyan yang disingkat menjadi “Jasmerah” ini seringkali menjadi “ayat” pendukung ketika guru-guru sejarah berusaha menghalau murid-muridnya dari kantuk, atau menjadi justifikasi bagi sekolah-sekolah untuk tetap menyelenggarakan upacara bendera setiap Senin untuk menghormati para pahlawan. Sejarah dalam narasi yang terus-menerus dilanggengkan ini tentu saja adalah cerita-cerita nasionalis dan patriotis yang dalam banyak aspek menempatkan bangsa kita sendiri dalam posisi “teraniaya”, padahal sejarah juga terdiri atas noda jelek dan kebiadaban tak tertanggungkan yang seringkali hilang dalam bisik-bisik ngeri dan tak terdengar.


Salah satu momentum besar dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Reformasi Mei 1998. Rezim Soeharto yang sudah sedemikian rupa mengungkung itu rupa-rupanya dapat runtuh karena gerakan akar rumput, dan semua orang pun larut dalam euforia. Meskipun dikenang sebagai sebuah batu loncatan besar, peristiwa ini sayangnya dibuntuti kerusuhan dan kekejaman. Di Jakarta mal-mal dijarah dan dibakar, banyak perempuan-perempuan etnis Tionghoa yang diperkosa, dan keadaan sosial-ekonomi carut-marut untuk beberapa saat.


Kita, semoga, telah banyak bercermin pada apa yang terjadi selama Reformasi Mei 1998 di Jakarta—tapi apa yang terjadi di kota-kota lainnya? Apakah ada persamaan, apakah ada perbedaan? Kami berupaya mengulik sudut pandang lain dalam membentuk kacamata yang lebih utuh dan inklusif dalam memahami peristiwa Reformasi Mei 1998, yang dalam tulisan ini akan kami hadirkan berdasarkan kenangan seorang mahasiswa di Yogyakarta.


Yogya Pra-Reformasi

Malam itu Yogya cerah tapi gerah. Kami berputar-putar sejenak dalam gang-gang kecil di kawasan Demangan Kidul sebelum akhirnya sampai di kediaman Om Aryo (bukan nama sebenarnya), kakak tingkat salah seorang dari kami yang malam itu sudah setuju untuk berbagi kisah mengenai Reformasi 1998 dari pengalamannya. Beliau keluar dengan celana selutut sambil dengan ramah mengarahkan kami untuk memarkir motor di halaman, kemudian memimpin masuk ke dalam rumah. Kami diperkenalkan kepada anak-anaknya yang masih belajar di sekolah dasar sementara istri Om Aryo menyuguhkan teh, kopi, dan dua piring besar berisi gorengan dan buah-buahan di meja.


Meskipun awalnya canggung, suasana dengan cepat menghangat dengan beberapa kali guyonan dan gelak tawa. Sambil merobek-robek pisang goreng di tangan, kami pun masuk ke pertanyaan pertama: ketika Jakarta sedang diaduk-aduk dalam wajan panas kerusuhan, mahasiswa turun ke jalan dan rezim Soeharto akhirnya tumbang, di manakah posisi Om Aryo ketika Reformasi 1998 berjalan?


“Oh, tunggu sebentar,” katanya sambil mengangkat jari, “ada perbedaan besar antara reformasi dan kerusuhan.”


Meskipun keduanya terjadi dalam waktu yang amat berdekatan, Om Aryo bilang bahwa mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut Soeharto turun dari jabatan kepresidenan, bukan untuk menjarah. Kerusuhan itu sendiri, seperti yang Om Aryo yakini, dilakukan oleh sekelompok oknum profesional yang memang bertujuan untuk membuat kekacauan. Ia benar-benar mengantisipasi agar jangan sampai kami mencampuradukkan antara reformasi yang berisi demonstrasi para mahasiswa dengan kerusuhan dan penjarahan bulan Mei 1998 di Jakarta dan daerah-daerah lain.


Om Aryo kemudian menjelaskan bahwa tidak pernah ada terjadi penjarahan dan kerusuhan di Yogya pada masa-masa puncak reformasi, yaitu sekitar bulan April-Juni. Satu-satunya kejadian yang paling dekat dengan istilah penjarahan adalah momentum ketika masyarakat menyerbu showroom dealer mobil Timor dan Bimantara di sekitaran mal Gardena. Pemilihan showroom sebagai objek anarkisme masyarakat pun tak lepas dari status kepemilikan Timor yang dimiliki oleh Tommy Soeharto dan Bimantara yang dimiliki oleh Bambang Triatmodjo, dua-duanya adalah anak kandung Soeharto.


Kejadian “penjarahan yang dikehendaki” itu bersamaan dengan momentum long march yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa dan masyarakat dari IAIN (sekarang UIN) sampai Tugu. Om Aryo mengenang kehadiran Sri Sultan HB X di tengah-tengah long march. Ia menyimpulkan bahwa kehadiran Sultan dan himbauan yang diberikannya merupakan pencegah terjadinya kerusuhan dan penjarahan besar-besaran di Yogya. Om Aryo mengakui kalau ancaman kerusuhan sudah sangat terasa nyata karena pada waktu itu Solo sudah dikabarkan jatuh dalam penjarahan dan tragedi kemanusiaan yang menyasar masyarakat etnis Tionghoa. Berkat kehadiran Sultan itulah tidak ada penjarahan selain yang menimpa kedua showroom mobil tersebut.


Ia kemudian mengingat-ingat titik-titik panas semasa masa-masa puncak demonstrasi. Pada masa itu pertigaan IAIN atau UIN adalah warzone karena hampir setiap hari terjadi demonstrasi yang digelar oleh elemen mahasiswa. Perempatan Mirota Kampus juga menjadi titik utama terjadinya demonstrasi. Di sinilah Om Cahyo merasakan betapa pedasnya gas air mata yang ditembakkan oleh barisan Brimob. Selain itu juga terdapat Bunderan UGM yang biasa dipakai oleh mahasiswa untuk menggelar aksi dan berorasi memprotes pemerintah. Namun, meskipun sering terjadi demo, Om Aryo tidak merasakan adanya solidaritas khusus di kalangan mahasiswa peserta demo. Ia menyebutkan bahwa memang mereka berdemo bersama-sama, tapi ketika demo bubar mereka juga akan pulang ke rumah masing-masing.


Kami diam sepanjang Om Aryo bercerita. Berusaha menangkap gambaran yang terasa sangat luar biasa tersebut. Salah satu dari anggota kami pun sampai berdecak kagum ketika mendengar jalanan dipenuhi ribuan orang. Om Aryo kemudian menceritakan awal mula terjadinya pergolakan di masa-masa menjelang reformasi. Semua bermula ketika Soeharto kembali dilantik untuk ketujuh kalinya pada 11 Maret 1998. Pada waktu itu masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa, sudah mulai jengah dengan oligarki Soeharto dan kroni-kroninya. Para mahasiswa akhirnya berani mengambil langkah berani dengan menggelar beberapa aksi demonstrasi.


Keberanian mahasiswa didukung dengan terjadinya krisis moneter 1998 yang begitu menghancurkan roda perekonomian masyarakat. Om Aryo masih mengingat betul kenaikan harga yang mengerikan. Beras yang semula seharga 900 rupiah per kilo melonjak menjadi 3.000 rupiah per kilo. Mata uang US$ meroket tajam dari 2.500 rupiah menjadi 16.000 rupiah. Usaha-usaha masyarakat langsung banyak yang kolaps. Kepanikan melanda masyarakat. Terjadilah rush atau momen ketika bank tidak lagi dipercaya dan masyarakat beramai-ramai menarik uangnya di bank. Kami bergidik ngeri. Tidak mampu membayangkan apakah kami mampu menghadapi krisis separah itu. Namun, di balik kengerian itu, tersimpan kenangan unik yang tampaknya tak akan pernah terjadi lagi. Pada masa krisis tersebut, ibu-ibu dosen berinisiatif membuka warung makan murah di dekat bangunan University Club. Hanya dengan 500 rupiah, mahasiswa bisa mendapatkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk, padahal di pasaran harga sepiring nasi bisa mencapai 1000 rupiah.


Om Aryo melanjutkan bahwa pada awalnya jumlah peserta demonstrasi belum seberapa. Mahasiswa masih dinaungi rasa takut kalau-kalau Soeharto melakukan tindakan balasan. Namun tampaknya gelombang protes semakin membesar. Walaupun Om Aryo merasa Yogyakarta termasuk cukup terlambat dibanding kota-kota lainnya dalam urusan demonstrasi, ia mengenang betapa semangat perubahan terasa di kehidupan kampus.


Pada masa-masa demonstrasi mulai merebak di sekitar Jogja, pentolan-pentolan mahasiswa dari kampus Fisipol, Sastra, dan Filsafat mulai memanas-manasi mahasiswa fakultas lain untuk ikut demo. Ketika Om Aryo menyebutkan tiga fakultas ini, serentak kami bertiga saling melemparkan pandang dan tersenyum kecil. Kami percaya, kalaupun reformasi terjadi hari ini, tiga fakultas itu tetap akan menjadi motor utama pergerakan mahasiswa di UGM. “Besok ada aksi, ayo ikut!” demikian ujaran para aktivis pada masa itu menurut Om Aryo. Biasanya mereka mengajak sambil menyebarkan selebaran akan adanya aksi.


Menariknya, pada masa itu dosen-dosen turut mendukung aksi-aksi demonstrasi yang dijalankan oleh mahasiswa. Om Aryo mengingat bahwa salah satu dosennya di ISP (sekarang Ekonomi Pembangunan) berkata, “Ya kuliah ini bekal untuk demo.” Setelah itu, tidak sampai sepuluh menit kelas dibubarkan. Mahasiswa diperkenankan untuk turun ke jalan, melakukan aksi menurunkan tiran Soeharto.


Obrolan menjadi agak melebar ketika Om Aryo menceritakan tokoh reformasi yang kini namanya sedang menjadi perhatian publik, yaitu Amien Rais. Menurutnya, Amien Rais yang selama ini disebut sebagai “tokoh reformasi” tidaklah lebih dari seorang oportunis yang memanfaatkan reformasi untuk mendongkrak namanya. Ia berujar bahwa Amien Rais baru menunjukkan batang hidungnya ketika demo sudah bermassa sepuluh ribuan orang. Niatnya yang sesungguhnya tampak ketika Amien Rais ingin mencalonkan dirinya sebagai presiden yang baru. Pada masa itu Amien Rais meminta dukungan berupa tanda tangan para mahasiswa dan civitas akademika. Namun, tanggapan yang diberikan sungguh menggelikan. “Yang dikasih malah cap sikil (cap kaki)”, ujar istri Om Aryo yang ternyata alumni Fisipol UGM.


Topik pembicaraan beralih ketika kami bertanya apakah represi Orde Baru dirasakan di dalam kehidupan kampus. Diam sejenak, Om Aryo kemudian menggelengkan kepala. Ia menyatakan bahwa tidak ada represi apapun selama ia menjadi mahasiswa di masa Orde Baru, pernyataan yang diamini pula oleh istrinya. Namun, istrinya teringat akan adanya P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Seketika itu juga laci memori Om Aryo akan P4 terbuka dan dengan lancar ia menceritakan apa dan bagaimana P4 itu.


Om Aryo berujar bahwa memang tidak ada represi yang berlebihan semasa Orde Baru berkuasa, namun doktrinisasi di dalam P4 yang begitu kuat yang berhasil meredam semangat kritis para mahasiswa. Bayangkan saja, setiap mahasiswa diwajibkan mengikuti penataran P4 semenjak bangku SMP. Para mahasiswa harus lulus P4 karena menjadi prasyarat untuk dapat lulus kuliah. Om Aryo mengingat bahwa salah satu doktrin yang terus menerus diulang dalam P4 adalah UUD 1945 sama sekali tidak boleh diubah. Para pemateri mengatakan bahwa ketika UUD diubah-ubah, maka NKRI dapat dipastikan akan hancur. Padahal menurutnya, doktrin itu hanyalah kedok agar Soeharto dapat terus menerus dilantik menjadi presiden, karena belum ada ketentuan batas maksimal masa jabatan seseorang dapat menjadi presiden.


Kami kemudian penasaran bagaimana Om Aryo terlibat aktif dalam proses reformasi, secara khusus melalui aksinya turun ke jalan di dalam berbagai demonstrasi pada masa itu. Kami bertanya apakah beliau bergabung ke dalam organisasi mahasiswa sehingga mendapat dorongan lebih untuk turun ke jalan. Om Aryo membantah dugaan kami tersebut. Jangankan bergabung ke dalam organisasi, membicarakan isu politik dan pemerintahan saja ia masih harus berpikir dua kali. Orangtuanya sudah mewanti-wantinya semenjak kecil agar jangan sembarangan berbicara soal pemerintah dan politik. Ternyata, ketakutan itu merupakan jejak teror Tragedi 1965, di mana orang-orang dapat dengan mudahnya dituduh bergabung ke dalam PKI dan hilang keesokan harinya.


Ketakutan itu semakin terpelihara dengan adanya Petrus di kurun waktu 1980-an. Om Aryo mengingat betul bahwa pada masa itu semua orang-orang bertato diangkut ke dalam truk oleh pihak TNI dan tidak pernah diketahui lagi keberadaannya. Istrinya bahkan menceritakan bahwa bila malam itu seseorang diangkut, kemungkinan besar mayatnya akan ditemukan keesokan harinya di parit atau ladang persawahan. Kami pun di dalam hati masing-masing memahami betapa tinggi resiko seseorang untuk melawan pemerintahan Orde Baru. Beruntung, reformasi yang terjadi menyelamatkan kami dari rasa teror semacam itu.

Yogyakarta Kala Reformasi

Soeharto mengumumkan bahwa ia turun dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, setelah sebelumnya ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menuntutnya mundur. Dalam salah satu footage video yang pernah kami tonton, pengumuman kemunduran dirinya disiarkan di televisi nasional dan mahasiswa-mahasiswa yang berdiri mengerumuni televisi itu berjingkrakan seolah-olah tim jagoan sepakbola mereka memenangkan liga.


Reformasi 1998, tidak bisa disangkal, adalah suatu peristiwa yang memang bersifat emosional bagi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia—termasuk di dalamnya adalah mahasiswa. Sudah bagian dari noda gelap kerusuhan adalah fakta bahwa pasukan militer Indonesia—yang seharusnya melindungi rakyat—malah menembak mati beberapa mahasiwa yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Berdasarkan kisah Om Aryo, salah satu mahasiswa yang tewas dalam kerusuhan berdarah di Yogya adalah Moses Gatotkaca, yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama jalan.


Yogyakarta sendiri, seperti yang tadi sudah dituturkan oleh Om Aryo, tidak mengalami penjarahan. Meskipun demikian ada satu hal yang menjadi pengecualian. Seperti yang sudah kita tahu, sentimen terhadap etnis Tionghoa begitu menjadi-jadi pada masa itu dan orang-orang memasang plang ‘Pribumi’ di depan rumah-rumah mereka untuk memberi impresi bahwa mereka bukanlah orang etnis Tionghoa dus bukanlah sasaran serang. Meskipun Om Aryo menuturkan bahwa tidak ada penjarahan seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, dan beberapa kota-kota lainnya, plang-plang ‘Pribumi’ itu rupa-rupanya ikut menjadi bagian dari suasana mencekam menjelang reformasi di Yogyakarta.


Istri Om Aryo kemudian berceletuk, “Waktu reformasi itu, orang-orang benar-benar seperti hewan yang berhasil keluar dari kandang setelah terlalu lama terjebak di dalam. Bayangkan, dulu kita membicarakan pemerintahan saja harus bisik-bisik, Soeharto sudah macam Kau-Tahu-Siapa saja. Tapi begitu reformasi, wah, lepas semua.”


Bayangan Lord Voldemort, sang penyihir jahat yang meneror dunia sihir dalam serial novel Harry Potter, mendadak muncul dalam kepala kami dan sejenak meringankan suasana yang sedari tadi tegang. Ucapan istri Om Aryo itu, yang di satu sisi terdengar lucu, di sisi lain juga menjadi cambuk yang mengingatkan kami betapa diktatornya pemerintahan masa itu. Jika semua obrolan ini terjadi pada masa Orde Baru, dapat dipastikan kami semua akan langsung “diangkut” tanpa sempat menghabiskan gorengan yang enak ini.


Om Aryo dan istrinya kemudian melanjutkan bernostalgia tentang Reformasi 1998 yang terasa begitu sureal bagi mereka kala itu. Di tengah-tengah kegiatan studi di kampus, masalah ekonomi keluarga, kisah percintaan, dan berjubel hal-hal lainnya, berada di bawah pemerintahan tirani adalah cobaan tersendiri bagi mahasiswa-mahasiwa kala itu. Karena itulah ketika Soeharto akhirnya betul-betul mundur, beban yang teramat besar terasa terangkat dari pundak mereka—mungkin mirip jika Atlas diberikan kesempatan untuk berhenti memanggul angkasa.


Demonstrasi, kerusuhan, dan kenyataan bahwa beberapa teman seperjuangan mereka tewas ketika berjuang mungkin adalah memori yang mengerikan dan, bisa jadi, traumatis dan menghantui bagi banyak orang. Namun, Om Aryo agaknya ingin mengenang peristiwa itu dengan lebih tenang dan lega. Sebelum kami berganti topik, ia kemudian menutup pembahasan Hari-H Reformasi itu sambil tertawa kecil, “Perjuangan kami ndak selesai di jalan, soalnya lusanya kami langsung ujian akhir di kampus, og.”


Yogyakarta Pasca-Reformasi

Cerita Om Aryo seperti sebuah dongeng, seakan-akan membawa kami ikut menyaksikan rangkaian peristiwa yang penuh teror itu. Emosi yang muncul dalam cerita itu menular masuk ke dalam pikiran kami. Dari cerita yang disampaikan Om Aryo, sangat jelas terasa bahwa Orde Baru adalah era yang sangat keji, penuh konflik, dan penuh darah. Meninggalkan satu oknum pada kami, Soeharto. Emosi yang hadir dalam pikiran kami itu pun tidaklah objektif, kami bertiga yang pada kenyataannya tidak pernah merasakan langsung kejadian itu, sukses dihipnotis oleh cerita Om Aryo yang sangat ironis sekaligus menarik.


Cerita yang dibawakan Om Aryo seakan-akan mengatakan bahwa saat itu hampir semua orang menuntut Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Hal ini membuat salah satu dari kami penasaran. Pertanyaan yang tidak lagi terbendung itu pun akhirnya terlontar, “Om, apakah waktu itu tetap ada orang-orang (di lingkungan kampus) yang pro Soeharto?”


Om Aryo mengambil waktu silentium. Ia tetap tenang, mencoba mengingat apakah ada yang saat itu masih pro terhadap pemerintahan Soeharto. “Pro karena bijaksana dalam menyuarakan pendapat, ada,” jawab Om Aryo singkat.


Seorang akademisi sudah seharusnya non-partisan. Mereka yang bijak tidak akan bersikap judgemental terhadap sebuah rezim. Seorang tokoh yang dinilai memenuhi kriteria ini, pada waktu itu, adalah Boediono. Om Aryo pernah mengikuti salah satu mata kuliah yang diampu oleh beliau. Di dalam kelas itu, beliau mengatakan bahwa sebelum 1988, Soeharto merupakan pemimpin yang baik. Pasca 1988, Indonesia mengalami surplus minyak, konsumsi minim, dan ekspor yang meroket. Menurut Boediono, di momen inilah Soeharto melihat sebuah peluang. Penyampaian beliau saat itu dinilai sangat baik, dan tidak memihak sama sekali. Beliau sangat kritis terhadap kondisi perekonomian Indonesia saat itu.


Selain pengajar, tidak sedikit mahasiswa yang juga pro dengan Orde Baru. “Biasanya mereka yang ayahnya tentara, PNS, atau pejabat”. Di era itu, hidup seorang terpandang sangatlah nyaman. Mereka disebut dengan istilah pangreh projo. Meskipun diketahui memihak rezim Orde Baru, mahasiswa-mahasiswa ini tidak mengalami perlakuan yang kasar. Rasa segan bercampur takut sudah terlebih dahulu menghantui mereka yang berada di sekitarnya. Mahasiswa keturunan pejabat juga memiliki gaya hidup yang jauh berbeda dengan kebanyakan mahasiswa lainnya. Mereka pulang naik taksi atau mobil pribadi, ketika kebanyakan mahasiswa lainnya pulang naik angkot.


Hal ini sangat dirasakan oleh Om Aryo, yang pernah duduk di kelas yang sama dengan seorang mahasiswa yang merupakan anak dari Akhyar Ilyas, salah seorang pejabat kala itu. Pihak-pihak yang mendapatkan banyak privilese inilah yang tentu tidak rela rezim Orde Baru runtuh, muncul pula dari mulut mereka sebuah tagline yang seringkali kita dengar dan lihat, ‘Masih enak zamanku toh?’


Tahun 1998 bukanlah tahun yang menyenangkan bagi banyak orang, setidaknya untuk Om Aryo. Lengsernya Soeharto memang memberikan Om Aryo (hanya) sedikit angin segar. Namun, peristiwa ini tidaklah disambut dengan begitu gembira pula. Om Aryo tidaklah percaya ketika melihat prosesi lengsernya Soeharto yang kala itu disiarkan di TV. Mengapa Soeharto yang saat itu sangat berkuasa mundur dengan begitu mudahnya? Lain soal, pemerintahan di era Reformasi, menurut Om Aryo, juga masih banyak diisi oleh kroni-kroni Soeharto. Pemerintahan yang mengambil alih kekuasaan Soeharto saat itu dinilai kurang revolusioner.


Pertunjukkan harus tetap bergulir. Para akademisi tetap harus memikirkan masa depan mereka, terutama memikirkan nasib negara tempat mereka tinggal ini. Saat itu banyak mahasiswa yang terpicu untuk menjadi tokoh legislatif, terjun dalam dunia politik. Om Aryo menilai ini merupakan manifestasi dari semangat para mahasiswa yang diforsir non-stop. Walau begitu, tidak semua mahasiswa terjun ke dunia politik. Om Aryo sendiri berniat fokus untuk studi di universitas, mengejar karier, dan hidup berkeluarga.


Refleksi

Seperti tokoh utama dalam film Memento yang merajah tubuhnya dengan tato sebagai pengingat, bangsa kita telah lama membangun, menghancurkan, dan membangun kembali monumen-monumen sebagai wadah menyimpan memori kolektif. Namun bagaimana dengan memori yang jadi ampas di kepala banyak orang, terlupakan karena tidak cukup “penting” atau malah justru berbahaya jika ia tampil di ruang publik? Ini adalah pertanyaan yang perlu kita lemparkan lagi dan lagi kepada diri kita sendiri jika kita ingin semboyan Jasmerah dihidupi.


Dalam tulisan ini, kami berupaya menjadi sebuah “monumen kontemporer”, sebuah wadah yang dapat menampung salah satu dari kenangan-kenangan itu sebelum ia dilupakan peradaban. Dari refleksi seorang mahasiswa, kita dapat mengintip kembali apa yang pada masa itu terjadi di Indonesia, khususnya kota Yogyakarta. Semoga, seperti apa yang kami cita-citakan, tulisan ini dapat membentuk kacamata yang lebih utuh dan inklusif dalam memahami perjuangan, kemenangan, kebiadaban, air mata, dan harapan kolektif pada Reformasi 1998.[]

31 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page