Menilik Ekshibisi Foto dan Kain Sumba di Bumi Sultan
- Alfian Nurhidayat
- Nov 30, 2018
- 7 min read
Updated: Dec 6, 2018
Oleh: Akhmad Khanif dan Alfian Nurhidayat

Festival Sumba tahun 2018 berlangsung pada tanggal 23-31 Oktober 2018. Festival ini diselenggarakan oleh Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA) Antropologi UGM. Banyak acara yang diselenggarakan di Festival Sumba ini, salah satunya adalah Ekshibisi Foto dan Kain Sumba di FIB UGM dan Bentara Budaya Yogyakarta. Kami menghadiri ekshibisi foto di FIB setelah pembukaan rangkaian simposium Festival Sumba oleh Prof. Laksono. Setelah pembukaan rangkaian simposium, panitia mempersilahkan peserta yang hadir untuk menikmati coffe break yang telah disediakan. Saat menikmati coffe break, kami melihat keramaian di sekitar panel tiga dan panel dua. Ternyata saat kami mendatangi keramaian tersebut, ada banyak foto-foto mengenai Sumba yang dipamerkan bersama dengan rangkaian simposium ini.
Ekshibisi Foto, Jembatan dari Dua Panel Simposium
Pada pameran foto di FIB UGM, tidak banyak foto yang ditampilkan, hanya satu area saja yang letaknya di antara dua panel simposium. Jika diamati selama 2 hari saat simposium, pada saat coffe break simposium, dapat dikata banyak peserta yang singgah untuk melihat foto-foto Sumba yang di pamerkan. Konsep area ekshibisi foto sangat menarik dengan menggunakan pencahayaan berwarna cream yang bisa menghangatkan suasana. Selain itu, foto-foto yang ditampilkan pun digantung dengan menggunakan tali dan menggunakan peralon sebagai penyangga. Sangat unik dan kreatif konsep yang dipakai pada area ekshibisi foto-foto Sumba di FIB UGM.
Dari banyak foto-foto mengenai Sumba yang dipamerkan di FIB UGM, yang paling menarik perhatian kami adalah, foto orang-orang Sumba yang berada di Padang Sabana. Bentangan padang rumput kering dan perbukitannya yang sangat luas membuat kami mengaguminya walaupun kami belum pernah pergi ke Sumba tetapi kami dapat merasakan luasnya padang rumput dari foto yang dipamerkan. Kami melihat bahwa foto Padang Sabana Sumba ini seperti Padang Sabana di Afrika, tetapi kami menyadarinya bahwa ini ada di Sumba, di Indonesia dan kami bangga. Dari foto tersebut kami juga dapat melihat orang-orang Sumba yang melambaikan tangan ke kamera. Hal tersebut merupakan bentuk keramah-tamahan penduduk lokal terhadap wisatawan yang datang ke Sumba.
Bentara Budaya Yogyakarta, Saksi Keindahan Sumba
Beda halnya dengan ekshibisi foto di FIB UGM, ekshibisi foto dan kain Sumba di Bentara Budaya Yogyakarta menampilkan foto yang cukup banyak. Pada saat memasuki Bentara Budaya Yogyakarta yang menjadi area ekshibisi foto-foto dan Kain Sumba, hal pertama yang kami lihat adalah area yang cukup luas dan terang. Tak lupa kami mengisi daftar hadir yang sudah disiapkan oleh para panitia. Kami berkeliling dari pintu masuk melawan arah jarum jam. Fokus pertama kami tertuju pada Kain Sumba yang disangga oleh besi berbentuk kerucut. Tetapi kami memutuskan untuk melihat kain Sumba setelah selesai melihat foto-foto yang dipamerkan. Foto-foto yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta ini, bisa dikata cukup sederhana, hanya dipajang di dinding saja dan mungkin jauh akan lebih menarik jika konsep ekshibisi foto yang ditampilkan di FIB UGM, ditampilkan juga di Bentara Budaya Yogyakarta.
Pada bagian dinding pertama, foto-foto yang ditampilkan seputar angkutan umum yang ada di Sumba. Kami disuguhkan foto pertama yang sangat unik yaitu bus yang bentuk depannya tidak seperti bus pada umumnya. Banyak pula stiker yang ditempel pada bus, entah untuk mempercantik tampilan atau yang lain. Pada foto kedua, terdapat foto gerobak yang dialih fungsikan menjadi kendaraan untuk mengangkut manusia. Saat kami melihat foto tersebut, yang kami rasakan “capek” melihat foto seorang bapak yang menarik gerobak berisi 3 manusia, padahal disampingnya terdapat motor yang melaju dan hanya dikendarai oleh satu orang. Pada foto ketiga, foto truk yang dijadikan sebagai transportasi umum masyarakat Sumba saat pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan pokok. Truk tersebut berisi manusia dan juga barang belanjaan. Hal unik yang terdapat pada foto ini adalah pada bagian bawah truk terdapat jeriken yang dipakai untuk mengisi air saat kemarau tiba. Dikutip dari Priherdityo (2016), iklim panas dan kering, ditambah sabana membentang serta tanah kapur bekas daratan samudra, membuat sumber air sangat sulit ditemukan. Apalagi topografinya pun menakjubkan dengan berbagai bukit, lembah, hingga daratan membentang disekujur pulau ini. Sulitnya air di Sumba mengingatkan saya pada salah satu panel simposium festival Sumba yang membahas mengenai “Dukungan Infrastruktur dalam Peningkatan Kualitas Penduduk”.
Pada dinding berikutnya, aktivitas pasar di Sumba direkam dalam bingkai foto. Dari caption yang tertera di bawah foto, saat wisatawan datang, lokasi sekitar dibuat menjadi pasar dan banyak dijual barang-barang, salah satunya kain khas Sumba. Barang-barang tersebut dapat menjadi buah tangan para wisatawan untuk menjadi kenang-kenangan kalau mereka pernah menginjakkan kaki di Sumba. Terdapat juga foto situs megalitik yang ada di Sumba. Dikutip dari Handini (2018), Artefak-artefak megalitik terutama kubur batu dan menhir hampir selalu bisa ditemukan di seluruh bagian Sumba. Batu-batu besar kokoh dengan berat berton-ton yang dipahat sangat halus didedikasikan sebagai kubur orang tua atau leluhur. Bagi orang Sumba, kubur batu hampir selalu berasosiasi dengan pemukiman, untuk menjaga kedekatan mereka dengan anggota keluarga yang telah meninggal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya anggapan bahwa roh leluhur dapat melindungi keluarganya yang masih hidup. Letak kubur di depan rumah juga menjadikan keluarga yang masih hidup senantiasa teringat kepada leluhurnya yang telah meninggal dan memudahkan mereka untuk mengirim doa dan sesaji.
Pada bagian dinding berikutnya, terdapat foto tanduk kerbau yang dipajang di depan rumah. Tanduk kerbau tersebut menunjukan bahwa si pemilik rumah telah memotong hewan ternak sebagai penanda kedudukan status sosial di masyarakat. Pada bagian foto-foto selanjutnya, kami tertuju pada foto yang berhubungan dengan kain Sumba. Pada foto tersebut menunjukkan seorang laki-laki dewasa yang mengenakan kain, ikat kepala, dan parang yang menjadi pakaian keseharian masyarakat Sumba. Pada bagian selanjutnya, terdapat foto yang menunjukkan wanita Sumba yang sedang menjemur kain tenun khas Sumba. Pada caption di bawah foto disebutkan, dalam proses pembuatan kain tenun masih sakral dan hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Proses pewarnaan kain Sumba menggunakan pewarna alami yang berasal dari tanaman indigo. Tanaman indigo tersebut menghasilkan warna biru tua pada kain Sumba. Di beberapa foto berikutnya, terdapat foto babi dan kerbau yang menjadi hewan identik masyarakat Sumba. Kerbau dan babi dapat dikata menjadi hewan penting dalam tradisi Sumba, seperti keperluan upacara, baik untuk upacara kematian, pembuatan rumah adat, maupun sebagai “beilis”, mahar perkawinan. Kerbau dan babi diternakan oleh masyarakat Sumba. Dikutip dari Lodu (2012), peternakan di Sumba memiliki potensi yang tinggi. Hal ini didukung dengan kondisi geografis yang memang sangat cocok. Padang Sabana merupakan sarana alami yang sangat baik bagi hewan ternak di Pulau Sumba. Tersedianya sumber makanan alami bagi ternak membuat padang sabana menjadi lokasi yang sangat layak bagi perkembangan peternakan.
Dinding terakhir menjadi yang area foto yang kami suka, pada bagian ini menampilkan foto-foto keindahan padang sabana di Sumba. Foto pertama menunjukkan keindahan padang sabana di Bukit Wairinding, Sumba Timur. Lanskap Bukit Wairinding yang begitu elok dan sangat mempesona, membuat kami yang hanya melihat dari foto seperti tak ingin berkedip dibuatnya. Di sana sepertinya dapat menikmati kesunyian, keheningan dan keindahan yang masih sangat alami. Di foto selanjutnya tersaji sunset di sekitaran Padang Sabana di Wunga, Sumba Timur. Padang Sabana yang hijau dan kehadiran kerbau menambah keindahan sore hari di Wunga. Di foto terakhir tersaji keindahan Sumba di Perbukitan Wainggai, Sumba Timur. Kuda dan Bukit Wainggai menjadi objek yang paling kuat dari hasil jepretan foto ini.
Terdapat lima kain Sumba yang dipamerkan di Ekshibisi Foto dan Kain Sumba, Festival Sumba di Bentara Budaya Yogyakarta. Terdapat empat kain yang dipamerkan secara bersamaan dengan menggunakan tiga penyangga berbentuk kerucut. Sedangkan satu kain di bentangkan di atas meja kayu. Kain yang berada dekat foto-foto Sumba adalah kain tenun khas Sumba yang berwarna nila polos dan diberi motif garis putih ditambah bunga-bunga di setiap garis putihnya. Seperti yang telah dihardirkan pada caption foto mengenai kain tenun Sumba, warna nila atau biru tua tersebut didapat dari tanaman Indigofera. Sedangkan kain yang dipamerkan di tengah-tengah ekshibisi mempunyai motif yang beragam. Ada tiga motif yang menarik perhatian kami diantaranya, motif orang-orang sedang membawa membawa peti atau batu. Motif tersebut ternyata dijelaskan pula melalui foto yang dipamerkan di ekshibisi foto festival Sumba. Dikutip dari Handini (2018), masyarakat Sumba mengenal upacara tarik batu sebagai bagian dari tradisi menghormati leluhur. Prosesi penarikan kubur batu dari tempat asal menuju lokasi baru merupakan fenomena yang sangat menarik. Pada masa lalu dimana tarik batu masih dilakukan sepenuhnya dengan tangan, sangat terasa nuansa megalitiknya. Ratusan atau bahkan ribuan orang bekerja secara gotong royong menarik batu yang beratnya bisa mencapai puluhan ton.
Motif orang sedang menunggangi kuda juga ada dalam Kain Sumba tersebut. Dikutip dari Iman (2017), Kuda Sandel atau biasa dijuga disebut Sandalwood Pony, merupakan kuda pacu asli Indonesia yang dikembangkan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Nama Sandalwood, awalnya dikaitkan dengan kayu cendana (sandalwood tree) yang dulunya tumbuh subur di Pulau Sumba dan merupakan komoditas ekspor ke pulau-pulau lain di Nusa Tenggara. Kuda sendiri menjadi hewan penting dalam tradisi di Sumba. Motif terakhir yaitu bentuk rumah adat khas Sumba. Dikutip dari Martin (2016), rumah adat Sumba biasa disebut Uma Bokulu atau Uma Mbatangu. Di mana Uma Bokulu berarti rumah besar dan Uma Mbatangu berarti rumah menara. Benar saja, rumah adat sumba memang besar dan bermenara, ketinggiannya bisa mancapai 30 meter. Rumah-rumah berdiri mengelilingi kubur batu peninggalan zaman Megalitikum. Rumah adat Sumba penuh dengan nilai-nilai filosofis. Setiap rumah adat dibagi menjadi tiga bagian yaitu menara rumah, bangunan utama, dan bagian bawah rumah. keindahan kain tenun asli Sumba yang dipamerkan di Festival Sumba ini sangat mengesankan bagi kami, karena kami dapat memegang secara langsung kain tersebut.
Festival Sumba, Keindahan yang Tersaji
Keindahan yang dihadirkan dalam ekshibisi festival Sumba ini sudah pasti tertuju pada hasil jepretan foto yang dipamerkan di FIB UGM maupun Bentara Budaya Yogyakarta. Tak lupa kain tenun asli Sumba, yang sebelumnya belum pernah kami lihat secara langsung, bisa kami pegang dan rasakan keasliannya. Dua tempat ekshibisi foto yang keduanya sangat berbeda dalam memamerkan hasil-hasil jepretan keindahan alam Sumba. Di FIB UGM, ekshibisi fotonya terkesan sederhana namun rapi. Foto-foto disusun menggantung dengan penyangga peralon dan diletakkan di antara dua panel simposium Sumba. Walaupun begitu, menurut kami letak pameran foto tersebut tidak strategis karena berada di belakang lift, sehingga banyak peserta simposium yang tidak tahu. Sedangkan di Bentara Budaya, foto-foto ditempel di dinding dan foto-fotonya pun jauh lebih banyak. Tetapi, dari segi tempat Bentara Budaya jauh lebih tertata, apalagi ditambah adanya tiga LCD TV, yang salah satunya memutar video cara pembuatan dan pewarnaan kain Sumba.
Ekshibisi foto dan kain Sumba yang dihadirkan di Festival Sumba tahun 2018 ini sangat bermanfaat bagi kami. Walaupun belum pernah ke Sumba secara langsung, dengan adanya ekshibisi foto dan kain Sumba ini, kami jadi tahu keindahan Sumba melalui bingkai foto yang dihadirkan. Kami sangat menyangkan yang datang ke ekshibisi foto ini dapat dikata cukup sedikit. Mungkin kalau ada ekshibisi mengenai Sumba lagi, perlu di ekspos ditempat yang cukup ramai agar banyak orang dapat belajar mengenai Sumba. Mengutip dari panelis simposium Sumba, Mama Loretha, Sumba khususnya NTT selalu dipandang daerah yang miskin oleh orang-orang, padahal di NTT sendiri banyak kekayaan yang belum banyak orang tahu, salah satunya adalah beras sorgum. Kami sangat mengapresiasi Ekshibisi Foto dan Kain Sumba yang diadakan di FIB UGM dan Bentara Budaya Yogyakarta.
Referensi
Handini, Retno. 2018. Tradisi Megalitik: Eksotisme Sumba. Diakses dari http://maxfmwaingapu.com/2018/01/tradisi-megalitik-eksotisme-sumba/, pada tanggal 1 November 2018.
Iman, Mustafa. 2017. Mengenal Sandalwood, kuda pacu tanah Sumba. Diakses dari https://beritagar.id/artikel/piknik/mengenal-sandalwood-kuda-pacu-tanah-sumba, pada tanggal 1 November 2018.
Lodu, D. U. A. 2012. Pulau Sumba, potensi ternak padang sabana. Diakses dari https://ekbis.sindonews.com/read/657227/36/pulau-sumba-potensi-ternak-padang-sabana-1341462367, pada tanggal 1 November 2, 2018.
Martin, Arya. 2016. Mengenal Uma Bokulu, Rumah Adat Sumba yang Penuh Makna. Diakses dari https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-3165314/mengenal-uma-bokulu-rumah-adat-sumba-yang-penuh-makna, pada tanggal 1 November 2018.
Priherdityo, Endro. 2016. Topografi Sumba Bikin Akses Air Makin Sulit. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160606054509-255-135994/topografi-sumba-bikin-akses-air-makin-sulit, pada tanggal 1 November 2018.
Comments