Beberapa hari yang lalu, saya diajak teman saya menonton pertandingan sepak bola yang diadakan di stadion Sultan Agung, Bantul. Pertandingan itu menghadirkan tim sepak bola dari Jakarta yaitu Persija melawan tim sepak bola dari Semarang yaitu PSIS. Awalnya saya tidak tertarik untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Namun, ada rasa penasaran juga bagaimana rasanya menonton pertandingan sepak bola secara langsung. Rasa penarasan itu diikuti juga rasa tidak tenang akan adanya kericuhan antar suporter. Karena yang saya sering dengar jika ada pertandingan sepak bola, suporternya terkadang menyebabkan kericuhan. Namun, saya putuskan untuk ikut dan mencoba untuk menyaksikan pertandingan sepak bola secara langsung untuk pertama kalinya. Malam itu, saya melihat orang-orang terutama laki-laki memenuhi parkiran stadion, ada calo tiket, tukang makanan, penjual atribut, tukang parkir. Rasa was-was terjadi pada diri saya. Namun, saya berusaha untuk tetap tenang.
Pertama kalinya saya masuk ke dalam stadion yang dipenuhi warna oranye yang identik dengan suporter persija. Di tribun kanan dan kiri dipenuhi warna biru yang merupakan suporter dari PSIS. Sepak bola memang identik dengan suporternya yang setia menonton kemanapun mereka bertanding. Suporter itu juga dicap sebagai orang yang fanatik terhadap tim kebanggaanya. Dalam hal ini yang saya lihat adalah para suporter ada yang dengan lengkap memakai atribut yang bertuliskan nama tim kebanggaan mereka. Tidak hanya itu, mereka juga membawa kertas berwarna oranye dan putih untuk melakukan formasi yang di pandu oleh satu orang di depan yang disebut capo. Yang menarik dalam pengamatan saya selama di stadion, suporter persija tiada hentinya menyanyikan yel-yel maupun menyerukan jargon-jargon untuk menyemangati para pemain. Ada yang hanya bernyanyi-nyanyi sambil menyaksikan pertandingan, ada juga yang hanya diam dan menyaksikan--saya salah satunya--pertandingan.
Pertandingan sepak bola tidak jauh-jauh dari kericuhan. Terlihat dari banyaknya polisi yang berjaga-jaga untuk antisipasi kericuhan terjadi di dekat lapangan, di luar stadion, dan di pintu masuk. Benar saja, dugaan dan ketakutan yang saya rasakan terjadi. Di menit terakhir, secara tiba-tiba beberapa suporter persija berlari ke arah tribun suporter PSIS dan keributan antar dua suporter itu terjadi. Dalam hal ini, saya menyadari bahwa suporter menjadi penyebab ricuhnya pertandingan. Apa penyebab dari keributan yang kerap kali terjadi antar dua suporter? Apakah ini sudah menjadi tradisi di dunia pesuporteran? Ataukah hal ini menjadi sebuah ajang untuk menaikkan nama dari tim sepak bola itu sendiri? Dan apakah kefanatikkan terhadap sepak bola berujung dengan kasus kematian suporter yang baru-baru ini saja terjadi? Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menjawab pertanyaan yang selama ini menahan saya untuk menonton pertandingan sepak bola secara langsung.
Fanatik? Positif atau Negatif?
Menjadi fanatik terhadap suatu hal dapat menimbulkan respon positif maupun negatif. Fanatik sendiri di definisikan sebagai menyukai sesuatu secara berlebihan, sungguh-sungguh, atau sangat membela habis-habisan. Ada orang yang fanatik terhadap barang, ia menjadi bisa menghasilkan barang itu sendiri dan dijadikan usaha. Ada juga yang fanatik terhadap selebriti sampai mengikuti gaya hingga kehidupannya. Dua contoh diatas merupakan contoh hal yang positif dan negatif dari perilaku fanatisme. Dalam hal sepak bola, dampak fanatisme yang positif salah satunya adalah menjadi kreatif. Karena fanatik, orang itu membuat lagu-lagu untuk menyemangati pemain-pemain sepak bolanya. Selain membuat lagu, orang yang fanatik juga bisa membuat koreografi atau formasi. Ada yang namanya corteo yang digambarkan seperti suatu kelompok suporter yang berjalan misal dari parkiran ke stadion sambil membawa bendera dan bernyanyi-nyanyi.
Kemudian, contoh fanatime yang negatif dalam sepak bola adalah timbullah lagu-lagu rasis yang dibawakan oleh kelompok suporter untuk mengejek dan memprovokasi tim dan suporter lawan. Selain itu adanya spanduk-spanduk provokasi, seperti “Viking Anjing” dalam pertandingan Persib. Lalu ada contoh lain disaat tamu lawan melakukan awaydays. Awaydays atau pertandingan tandang adalah kelompok lawan yang bertandang ke tuan rumah. Yang terjadi di Indonesia, suporter yang melakukan pertandingan tandang sering mendapatkan berita acara yang negatif, karena terkesan rusuh dan membuat fasilitas umum rusak. Contohnya ketika The Jak Mania pertandingan tandang ke Arema Malang, ketika melewati Bandung, kaca kereta dilempar batu oleh Viking karena perjalanan dari Jakarta ke Malang melewati Bandung. Kemudian seorang antropolog di Centre for Anthropology and Mind di University of Oxford, Dr. Martha Newson mengatakan bahwa menjadi bagian fanatik terhadap sepak bola akan meningkatkan ancaman bahaya, karena akan dijadikan target.
Awal Mula Perselisihan antar Suporter
Seperti yang kita ketahui, menjadi fanatik memang menimbulkan hal positif maupun negatif. Tapi yang namanya berlebihan itu tidak baik. Hal itu yang menurut saya menjadi faktor terjadinya kericuhan. Dalam tulisan ini, saya mengambil contoh suporter persija yang dengan bangganya menggunakan atribut persija untuk menyaksikan persija bertanding. Kelompok suporter itu juga mempunyai nama yaitu ‘The Jak Mania’ yang identik dengan warna oranye dan sebutan macan kemayoran. Para suporter persija tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan di daerah musuh pun ada yang mendukung persija, begitu juga sebaliknya.
Menurut sumber dari yang saya baca, awal mula terjadinya perselisihan antar suporter hanya karena masalah sepele, yaitu iri hati. Iri hati dikarenakan kekalahan tim dukungannya, ataupun provokasi dari media-media yang salah memberi informasi. Salah satu The Jak Mania, Alfian Aulia mengatakan bahwa, suporter itu kolektif. Mengapa disebut kolektif? Karena walaupun per-individu dalam suporter itu ingin damai, tapi ketika sudah berkumpul bersama suporter lain dan bertemu oleh musuh, maka yang ingin damai tadi akan satu suara dengan suporter lainnya. Contoh kasus terdekat, menurut berita yang saya baca juga, kasus pengeroyokkan Haringga tempo hari lalu, ada salah satu suporter persib yang niatnya hendak menolong dan melerai, namun karena melihat kartu anggota The Jak Mania di dompet Haringga, orang itu langsung ikut mengeroyok Haringga. Dari kasus itu terlihat bahwa, seseorang yang awalnya berniat baik namun karena melihat dia musuh, langsung berubah niat.
Dalam kasus yang saya lihat sendiri, suporter PSIS pada awalnya tidak memulai kericuhan. Sampai di menit-menit terakhir, ada salah satu suporter yang melempar kertas atau mengejek-ejek suporter persija. Disitulah kericuhan terjadi hingga polisi dengan terpaksa menembakkan gas air mata yang menyebabkan mata perih dan sesak nafas. Saya pun merasakan perihnya gas air mata itu di mata saya. Kemudian, para suporter langsung berhamburan keluar stadion.
Sistem Keamanan yang tidak Efektif
Saya juga menilik tentang polisi-polisi dan panitia pelaksana yang bertugas dalam setiap pertandingan. Saya ambil contoh kasus kematian salah satu suporter persija, Haringga Sirila, yang baru-baru ini marak diberitakan. Yang saya pertanyakan adalah kemana keamanan-keamanan yang bertugas? Dimana polisi-polisi yang sudah dikerahkan untuk mengamankan pertandingan? Apakah polisi itu sendiri takut dengan para suporter persib yang menyerang Haringga? Ditulis di Sindo.news oleh Yan Yusuf, Kriminolog UI sekaligus psikolog Forensik, Reza Indra Giri, mengatakan bahwa pengamanan dalam pertandingan sepak bola--Persija vs Persib kemarin--membutuhkan evaluasi. Hal itu disebabkan karena personel polisi tidak sebanding dengan warga yang harus dilayani. Oleh karena itu, ketika terjadi pengeroyokan Haringga, panitia pelaksana dan polisi lengah sehingga baru tiba saat Haringga sudah tidak bernyawa.
Jika menilik dari kasus kemarin, seharusnya personil polisi yang dikerahkan lebih banyak di dalam, maupun di luar stadion. Karena pertandingan ini berbeda dari pertandingan biasanya. Perbedaannya adalah kedua klub ini mempunyai basis suporter terbesar di Indonesia. Selain itu, suporter kedua klub ini memiliki sejarah kelam pada awal tahun 2000-an. Hingga saat ini, ketika kedua klub itu bertanding, para suporter harus di kawal oleh polisi dan keamanan lainnya yang dikerahkan untuk menghindarkan kericuhan. Ada juga kebijakan bahwa suporter dilarang datang kalau kedua klub itu sedang bertanding. Bahkan, pemain persija, Bambang Pamungkas menuliskan sebuah pernyataan di akun twitter miliknya yang inti pernyataan itu adalah kemenangan tidak sebanding dengan nyawa. Selain itu, dalam pertandingan sepak bola, jika terjadi kericuhan, polisi cenderung menembakkan gas air mata yang justru memicu kemarahan suporter yang membabi buta.
Nyawa menjadi Taruhannya
Seperti yang kita ketahui, basis suporter yang besar maupun yang kecil berpotensi untuk membangkitkan semangat timnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwasannya mereka juga dapat membuat kerusuhan dan kerusakan. Seakan-akan rasa cinta yang mereka pegang teguh secara tidak langsung menodai rasa damai terhadap kelompok lain. Sudah banyak akibat-akibat yang terjadi karena kerusuhan yang dibuat oleh suporter sepak bola. Sudah menjadi budaya adanya kericuhan adalah seperti yang sudah dibicarakan di atas yaitu suporter persija dengan suporter persib. Sepak bola sudah menjadi tidak sehat karena banyaknya intervensi dari berbagai pihak, entah suporternya, media, dan juga badan pengawasnya, yang berdampak buruk ke semua pihak. Sudah banyak kasus kematian salah satu bahkan beberapa orang yang disebabkan oleh kerusuhan suporter sepak bola.
Salah satu pemain senior persija sekaligus legenda sepak bola Indonesia, Bambang Pamungkas, mengatakan di akun twitternya seperti ini: “Bagi seluruh pendukung @Persija_Jkt dimanapun kalian berada, dengan segala hormat tidah perlulah datang ke Bandung. Saksikan saja pertandingan dari layar kaca Jakarta, jangan lupa selipkan doa agar kami dapat membawa pulang hasil positif ke Ibu Kota @JakOnline. Karena, tidak ada satu kemenangan pun yang sebanding dengan nyawa. Tweet itu dipublikasikan ketika adanya kasus pengeroyokan suporter persija di Bandung tempo hari yang sudah di bahas di sub-judul diatas. Bambang Pamungkas yang biasa dipanggil Bepe itu bahkan sampai menulis di website pribadinya mengenai hal ini. Semenjak kasus itu, beredar pula isu-isu bahwa persepakbolaan di Indonesia akan di hapus. Namun, di twitter ramai dengan hashtag #IndonesiaTanpaSepakBola. Lagi-lagi Bepe menuliskan pendapatnya bahwa siapa yang menanggung hajat hidup orang banyak jika sepak bola di tiadakan? Ia juga memberi saran bahwa hanya perlu menahan diri, saling menjaga perilaku, dan saling menghargai agar sepak bola bukan menjadi aktivitas yang meresahkan dan membahayakan masyarakat.
Kesimpulan yang dapat saya ambil dari hasil observasi saya adalah suporter-suporter sepak bola memang sudah menjadi sangat fanatik terhadap tim kebanggaanya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mereka akan tetap seperti itu. Hanya saja, perlu adanya peran dari aparat keamanan yang ketat di setiap adanya pertandingan sepak bola tim apapun. Karena tidak bisa diketahui, jika amarah dari para suporter meledak, tim yang awalnya sedamai apapun dapat menjadi musuh dan menyebabkan kericuhan.
Daftar Pustaka
https://metro.sindonews.com/read/1340967/170/pengamanan-pertandingan-sepak-bola-wajib-dievaluasi-1537809197 diakses pada tanggal 28 September 2018 pukul 01.30.
https://kumparan.com/@kumparansains/ikatan-sosial-jadi-penyebab-suporter-sepak-bola-sering-ricuh diakses pada tanggal 28 September 2018 pukul 00.30
https://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000015914478/awal-permusuhan-the-jak-mania-persija-dengan-viking--bobotoh-persib/ diakses pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.10.
Narasumber
Alfian Aulia, The Jak Mania Jakarta Barat.
Comments