top of page
Writer's pictureYolaninda Sehnur

Menilik Nongkrong Lewat Kampus



oleh : Anggita Putri Sekarini

Ketika mendengar kata serbaguna, terlintas dalam benak penulis suatu hal yang memiliki fungsi lebih dari satu. Ketika ia dibubuhkan kata ruang di depannya, fungsi-fungsi tersebut menjadi lebih jelas kepemiliknya. Jika keduanya digabung, ruang serbaguna dapat dipandang sebagai tempat disisipi elemen-elemen lain membentuk sebuah ruang yang memiliki banyak fungsi. Meskipun ruang serbaguna di beberapa kasus terjadi penyempitan makna seperti sebuah penamaan aula atau ruangan luas yang secara fleksibel dapat digunakan untuk banyak kepentingan, essay ini berusaha untuk meluaskan lagi maknanya. Bukan sebatas aula atau ruang kosong yang multifungsi, banyak sekali tempat atau lokasi yang dapat dilihat dan terlihat sebuah ruang serbaguna. Hal ini tidak luput dari pengaruh penggunanya memberikan pemaknaan-pemaknaan terhadap tempat tersebut, membuat satu tempat dimaknai berbeda-beda tiap penggunanya, juga memiliki makna lebih dari satu.


Tempat-tempat yang menjadi ‘ruang serbaguna’ bisa ditemui di berbagai tempat, juga diberbagai situasi dan waktu. Banyaknya pemaknaan yang yang menyelimuti suatu tempat menjadi ‘ruang serbaguna’ biasanya terdapat di tempat yang bersifat publik. Kampus adalah salah satu ruang publik yang turut dimaknai dengan pemaknaan yang bervariasi. Kampus selama ini populer sebagai ruang untuk belajar dan mengajar. Ketika dilihat lebih jauh, nyatanya kegiatan belajar dan mengajar hanyalah salah satu dari banyaknya kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kampus.


Tidak hanya itu, banyaknya pengguna kampus menjadikan tempat ‘menimba ilmu’ ini dimaknai secara variatif. Mahasiswa contohnya, beragam latar belakang yang membayangi diri mahasiswa turut berpartisipasi untuk menciptakan makna-makna atas kampus yang digunakannya. Sebagian mahasiwa bisa jadi menganggap kampus adalah sarana untuk belajar saja, sebagian lagi beranggapan untuk mengembangkan hobi dan kreativitas, lainnya memaknai kampus sebagai tempat ‘nongkrong’, namun tidak menutup kemungkinan pula satu mahasiswa memaknai kampus dengan lebih dari satu fungsinya.


Nongkrong di lingkungan kampus agaknya sudah tidak asing lagi. Banyak mahasiswa ataupun mahasiswi yang berdiam diri di lingkungan kampus hanya berbekal obrolan, camilan, atau gadget pribadi. Nampaknya, berlama-lama di kampus bukan lagi hal yang asing dan istilah kupu-kupu yang berarti mengindikasikan mahasiswa yang hobi kuliah lalu pulang ke tempat tinggalnya sudah mulai menyusut jumlahnya dikarenakan aktivitas yang satu ini. Budaya nongkrong sendiri bukanlah sebuah kegiatan yang muncul dari masyarakat urban, justru budaya ini lahir dari kebiasaan orang desa yang bersantai sembari meminum kopi selepas bekerja (Prasojo, 2014). Praktiknya lambat laun menjadi sebuah identitas tersendiri dimana seseorang berkegiatan meminum kopi setelah melakukan pekerjaan atau kegiatan yang melelahkan disebut sebagai nongkrong.


Namun, seiring dengan perubahan zaman yang ditandai semakin majunya teknologi membuat makna nongkrong perlahan-lahan berubah seperti yang dituturkan Novitasari dan Handoyono (2014) bahwa budaya nongkrong atau sering juga disebut kongkow ialah aktivitas membicarakan topik bersifat resmi ataupun tidak resmi di suatu tempat seperti café atau mall. Sehingga masyarakat urban menjadikan nongkrong sebagai salah satu kebutuhan untuk menyegarkan pikiran dan raga setelah bekerja atau menjalani rutinitas yang melelahkan. Budaya nongkrong kini bukan hanya dimiliki penduduk pedesaan, tetapi juga meluas untuk semua kalangan masyarakat guna mengisi waktu luang. Hal tersebut didasarkan penelitian kepada anak-anak muda yang masih menempuh studi sebagai mahasiswa. Dalam kegiatan nongkrong, dapat terjadi secara perseorangan ataupun kelompok kecil dan besar. Di dalamnya, seringkali terjadi pembicaraan yang seringkali dilakukan antar mahasiswa dengan usia yang setara atau tidak memiliki rentang usia yang begitu jauh.


Budaya nongkrong secara kasar dapat dilihat sebagai sebuah budaya Indonesia. Perilaku nongkrong disebarkan dari Aceh, Makassar, Medan, Bangka (Ulung, 2011) dan menyebar ke seluruh Indonesia. Meskipun nongkrong banyak mendapatkan pandangan negatif seperti kegiatan yang tidak berguna hingga kegitaan bermalas-malasan, Fauzi dkk (2017) justru memandang budaya nongkrong berperan dalam meningkatkan kreativitas dalam berpikir dan berkarya. Sebab dalam pembicaraan yang berlangsung, pihak-pihak yang terlibat mampu mendapatkan ide-ide kreatif dan inovatif serta menumbuhkan semangat guna menciptakan karya baik secara individu maupun kelompok. Meskipun dibutuhkan proses yang berbeda-beda di tiap individunya. Mahasiswa sendiri biasanya mencari tempat-tempat yang strategis untuk nongkrong seperti kafe, mall atau ruang publik yang memberikan fasilitas akses internet secara gratis.


Berbicara soal akses internet gratis, kampus-kampus juga banyak yang telah memfasilitasi mahasiswa dan mahasiswinya dengan hal ini. Sebut saja Universitas Gadjah Mada, sebuah universitas yang kampunya berlokasi di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman ini memberikan kuota sebesar 4GB secara gratis kepada mahasiswa untuk dipergunakan di lingkungan kampus. Hanya dengan sign in menggunakan email resmi universitas dan kata sandi yang dipilih oleh mahasiswa sendiri, sudah dapat berselancar di dunia internet secara gratis. Meskipun tidak jarang terdengar protes-protes kecil perihal sulitnya gadget terkoneksi dengan wifi atau lambatnya koneksi internet, namun kehadiran wifi sebagai sarana penyedia koneksi internet gratis memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan kampus.


Untuk itu, berangkatlah penulis untuk meleniti bagaimana kondisi salah satu fakultas di Universitas, Fakultas Ilmu Budaya.  Mendengar cerita-cerita yang didapat dari Mas Gio (nama samara), seorang mantan mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahun 1990-an, nyatanya memang banyak perubahan yang muncul setelah adanya kehadiran internet, terutama kehadiran fasilitas akses internet gratis yang diberikan oleh pihak universitas. Dahulu, mahasiswa berkumpul untuk nongkrong diisi dengan obrolan-obrolan serius hingga sepele, bermain gitar sambil menyeruput kopi dan kegiatan-kegiatan lain yang jauh dari kata sunyi. Dibandingkan dengan hari ini, kegiatan-kegiatan tersebut terlihat mulai berkurang, walaupun di beberapa lokasi tertentu masih ada kegiatan-kegiatan yang ramai.


Mengetahui hal tersebut, penulis melakukan observasi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Pengamatan ini dilakukan pada waktu sore hingga malam hari baik di hari kerja ataupun penghujung minggu. Mahasiswa tampak ramai menempati bangku-bangku hitam, hijau dan cokelat yang tersebar di Fakultas Ilmu Budaya.hampir setiap hari dari Senin hingga Jumat, bangku-bangku tidak tersisa, kalaupun ada hanyalah beberapa saja. Berbeda cerita di akhir minggu seperti Sabtu dan Minggu, meskipun kampus tidak kemudian menjadi lengang, mahasiswa lebih sedikit berada di wilayah Fakultas Ilmu Budaya. Beberapa justru memadati area Gedung Margono untuk berlatih teater, suara sayup-sayup juga kadang terdengar dari Gedung C dan Gedung B. Bangku hitam, hiau, dan cokelat terisi namun tetap dapat dihitung jari. Namun, yang menarik bukan di sana, tetapi ketika mahasiswa menempati bangku-bangku yang tersedia di Fakultas Ilmu Budaya, hamper seluruhnya duduk berhadapan dengan laptop, beberapa dengan telepon pintarnya dan beberapa lainnya menyengaja menutup telinga dari kebisingan atau kesunyian dunia luar dengan headset.


Koi (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) mengaku setiap hari memanfaatkan wifi gratis dari kampus, meskipun sangat jarang menghabiskan waktunya hingga malam. Wifi gratis ini ia manfaatkan guna mengunduh film dan mempermudahnya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Koi juga mengatakan bahwa lingkungan kampus FIB selalu ramai setiap harinya. Kampus dipilih sebagai tempat nongkrongnya karena Koi merasa nyaman sebab telah mengetahui seluk beluk wilayah kampus, meskipun ia sendiri terkadang merasa kerepotan untuk membeli makan malam di luar karena Kantin Sastra, kantin di kampus FIB tidak melayani pembelian hingga malam.


Berbeda dari Koi, Isha (bukan nama sebenarnya), justru lebih banyak menghabiskan waktu di kampus pada jam-jam malam. Isha juga mengatakan jika dirata-ratakan, lebih banyak mahasiswa pada hari kuliah daripada akhir minggu. Ia pun menuturkan motivasinya untuk nongkrong di kampus; kuota gratis 4GB, “saying kalo gak dipake”, katanya. Melakukan pencarian jurnal, juga menonton video-video kesukaan melalui youtube sangat lancer. Mempermudah tugas kuliah sekaligus memberikan hiburan secara cuma-cuma. Isha juga lebih senang berada di wilayah kampus, selain ketika malam dan lapar dapat dengan mudah mengakses go-food untuk memesan makanan secara praktis, termotivasi untuk lebih rajin mengerjakan tugas karena merasa punya teman ‘seperjuangan’, juga masalah tidakadanya kendaraan membuat kampus menjadi spot favoritnya untuk nongkrong.


Melibihi intensitas pemanfaatan wifi di kampus, Winda (bukan nama sebenarnya) setiap hari datang untuk memanfaatkan wifi kampus. Winda melakukan kebiasaan ini untuk mmenuhi keinginannya menonton serial drama. Alasan lain mengapa ia begitu rajin menggunakan wifi yang disediakan oleh kampus dikarenakan ia adalah ‘anak rumahan’, dan kampus agaknya telah menjadi rumah kedua yang selalu nyaman untuk disinggahi. Tetapi, Winda menyebutkan jika menggunakan wifi kampus terkang juga membuat ia melupakan hal-hal penting seperti makan malam. Hal inilah yang kemudian membuat ia terkadang harus memesan makanan via aplikasi ojek online, dan Winda tak keberatan akan hal tersebut.


Terkahir, Jae adalah seorang mahasiswa yang juga seringkali nongkrong di kampus. Berbekal laptop dan terhubung dengan wifi UGM, Jae menghitung setidaknya dalam seminggu ia menghabiskan lima (5) hari yang ia miliki untuk berada di sekitar kampus. Nongkrong di kampus yang ia lakukan pada malam hari juga ia lakukan ketika weekend saja, selebihnya ia lakukan diantara pagi hingga petang hari. Pengamatan Jae serupa dengan Isha, mahasiswa lebih ramai berada di kampus ketika hari kuliah dibandingkan di akhir minggu. Pun motivasinya tidak berbeda jauh dengan Isha “sayang sama kuota/, dan wifinya lebih cepet daripada di kos”,memperlihatkan bahwa fasilitas yang diberikan pihak universitas begitu menggiurkan dan sayang untuk dilewatkan begitu saja. Ketika ditanya,mengapa kampus yang menjadi tempat pilihan untuk nongkrong, Jae menuturkan bahwa kafe dan coffeeshop bukanlah tempat nongkrong sehari-hari, di sana adalah tempatnya menghilangkan rasa jenuh dari rutinitas.


Melalui hasil wawancara dan observasi yang dilakukan penulis, terlihat jelas bahwa sebagian besar mahasiswa yang menjatuhkan pilihannya pada kampus sebagai tempat nongkrong bukan semata-mata ingin mencari teman ngobrol. Sebab, kebanyakan mahasiswa justru datang dengan membawa gadgetnya masing-masing dan fokus pada kegiatannya., baik mengerjakan tugas, mencari hiburan, atau melakukan keduanya sekaligus. Meskipun Fakultas Ilmu Budaya tidak memberikan fasilitas kantin yang tersedia hingga malam hari, masih sangat banyak mahasiswa yang lebih menyukai untuk menghabiskan waktunya di kampus daripada mencari tempat lain di luar kampus dengan alasan yang beragam.


Menariknya ialah, ketika banyak pengamat mengatakan bahwa nongkrong memiliki ‘ciri’ adanya obrolan santai ataupun serius hingga adanya cemilan, kenyataan yang didapat penulis justru jauh berbeda dengan hal tersebut. Bisa jadi hal ini dipengaruhi oleh pemilihan lokasi, namun mendengar mengapa pilihan mahasiswa tetap berada di kampus dibandingkan tempat lainnya justru mengindikasikan adanya perubahan makna nongkrong di kalangan mahasiswa saat ini, khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan penulis, ditemukan bahwa kemunculan wifi di kampus sedikit- banyak mengubah cara pandang mahasiswa terhadap perilaku nongkrong.


 Nongkrong saat ini sudah bias diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menghabiskan waktu di tempat tertentu dan memiliki daya tari tersendiri. Sehingga, tidak harus memiliki teman untuk diajak berbincang ataupun membeli makanan dan minuman ringan untuk dapat disebut nongkrong, dengan membawa laptop dan menghabiskan waktu di suatu tempat entah untuk mengerjakan pekerjaan di waktu luang ataupun mencari hiburan telah dapat dikatakan sebagai aktvitas nongkrong. Hal ini juga nampaknya dipengaruhi oleh semakin majunya teknologi, sebab jika membandingkan dengan pernyataan Mas G,perilaku nongkrong zaman dahulu dengan hari ini sangat terasa perbedaanya. Di zaman dahulu mahasiswa yang nongkrong melakukan aktivitas-aktivitas yang dilakukan bersama rekan dikarenakan masih minimnya teknologi yang canggih seperti saat ini. Sedangkan di hari ini, teknologi telah membuat batas diantara individu satu dengan yang lainnya.


Nongkrong yang selama ini dimaknai sebagai sebuah kegiatan yang memiliki pandangan negatif sedikit demi sedikit mulai berubah. Ide-ide, motivasi untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat serta jalan untuk menemukan ketenangan diri selepas bekerja menjalani rutinitas sehari-hari adalah hal penting yang dapat diraih dari kegiatan nongkrong. Perbedaan budaya nongkrong di kampus pada hari ini dengan 10 hingga 20 tahun yang lalu terletak pada keberadaan teknologinya. Sehingga, hal ini tidak dapat disebut anomaly, tetapi sebuah pergeseran makna nongkrong di kalangan mahasiswa. Sebab, nongkrong dapat dilakukan di mana saja, dan tidak diukur dari berapa banyak pihak yang melakukan kegiatan tersebut.


Essai Tanggapan 1

Yola Ninda Dwi WDS


Waktu luang menghadirkan sebuah studi khusus yang menarik karena hal ini berkaitan dengan gaya hidup dan tentu juga berkaitan dengan ruang. Cara menghabiskan waktu luang dapat berbeda-beda, mulai dari antar individu hingga antar generasi. Dengan perubahan jaman, tentu saja kegiatan untuk menghabiskan waktu luang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal salah satunya adalah hadirnya kemajuan teknologi.


Gaya hidup generasi milenial merupakan topik yang menarik akhir-akhir ini. Gaya hidup tidak dapat dilepaskan dengan berbagai elemen-elemen luar yang mempengaruhinya, aalah satunya adalah kemajuan teknologi. Dengan adanya kemajuan teknologi, kebiasaan-kebiasaan baru mulai timbul atau dengan adanya kemajuan teknologi menggeser praktik-praktik kebiasaan lama. Sehingga, kebiasaan-kebiasaan lama tersebut kemudian dilakukan kembali dengan berbagai perubahan.


Seperti yang dibahas dalam essai ini. Nongkrong di kampus telah menjadi gaya hidup para mahasiswa. Pada jam-jam disela aktivitas kuliah, mereka memilih untuk nongkrong di kampus. Kegiatan ini dapat terjadi salah satu alasannya karena fasilitas wifi kampus secara cuma-cuma. Saya setuju dengan penulis, bahwa adanya fasilitas wifi kampus secara cuma-cuma menjadi magnet yang kuat bagi mahasiswa untuk nongkrong di kampus sampai malam hari.


Memang, kebutuhan akses internet yang cepat adalah sebuah kebutuhan pokok bagi generasi milenial sekarang. Sebagai mahasiswa, rutinitas mengerjakan tugas adalah hal wajib yang harus dikerjakan. Mencari berbagai sumber bahan perkuliahan sangat terbantu denga memanfaatkan fasilitas wifi kampus yang cuma-cuma. Selain itu, dunia maya juga menyuguhkan berbagai hiburan dan mendorong seseorang mempelajari apapun yang ia minati. Seseorang dapat memiliki dunia virtualnya sendiri dengan preferensi masing-masing. Namun, semua keinginan dapat terpenuhi dari dunia maya. Maka dari itu, fasilitas wifi kampus sangat penting pengaruhnya kepada menjamurnya kebisaan nongkrong di kampus bahkan sampai malam hari.


Pemilihan area kampus sebagai tempat nongkrong merupakan hal yang wajar terjadi baru-baru ini. Memang, kehidupan sebagai mahasiswa mengakibatkan kehidupan kita menjadi lebih longgar. Apalagi jika seorang mahasiswa adalah mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi kampus. Tidak heran jika kampus menjadi rumah kedua bagi mahasiswa jenis ini. Namun, lain halnya dengan trend yang dikupas oleh penulis dalam essai ini. Saya tertarik dengan pernyataan salah satu responden mengatakan bahwa karena ia adalah anak rumahan sehingga menjadikan kampus sebagai tempat ternyaman kedua setelah rumah atau kosan.


Hal ini melepaskan citra kampus yang dihuni oleh mahasiswa dengan kepentingan-kepentingan organisasi saja. Semua mahasiswa memiliki kepentingan, pun termasuk hanya duduk-duduk saja di bangku-bangku kampus untuk menghabiskan waktu luang. Kini, saya melihat kampus adalah tempat yang lebih luwes, karena tidak hanya sebagai tempat belajar dan berorganisasi saja. Tetapi, juga sebagai tempat tujuan untuk menghabiskan waktu luang di sela-sela kuliah. Sehingga, kini kampus menjadi tempat yang tidak lagi membosankan. Selain itu, kampus yang mewadahi tempat untuk bisa nongkrong dengan tanpa biaya. Hal ini yang menjadikan nongkrong di kampus memiliki berbagai kelebihan. Saya melihat, pemilihan topik ini sangat nyata dengan keadaan kita sebagai mahasiswa. Melihat perubahan-perubahan yang terdi bahkan di lingkungan sekitar kita. Dan kita pula yang menjadi aktor dari perubahan-perubahan tersebut.


Kebiasaan nongkrong selalu identik dengan nilai-nilai pribadi yang negatif. Sifat malas sangat melekat erat dengan kebiasaan ini. Namun, hal ini yang mencoba dibantah oleh penulis. Penulis mengutip dari penelitian Fauzi dkk (2017) justru memandang budaya nongkrong berperan dalam meningkatkan kreativitas dalam berpikir dan berkarya. Cara pandang lain dari kegiatan ini menghindarkan stigma yang semakin negatif. Kebiasaan nongkrong di kampus, tentunya berbeda dari nongkrong yang dilakukan oleh pemuda-pemuda di pinggir jalan atau di warung-warung kopi. Hal ini mungkin saja karena topik obrolan yang diperbincangkan. Topik obrolan nongkrong di kampus ini biasanya tidak terhindarkan dari keluahn-keluhan tugas kuliah, atau topik-topik seputar kehidupan kuliah lainnya. Suasana nongkrong yang santai dapat menjadi alternatif melepas penat dari himpitan tugas-tgas kuliah. Dengan ngobrol bareng teman-teman, sambil wifi-an, downloan berbagai film, drama korea, atau lain-lain. Merupakan cara menghibur diri bagi mahasiswa.


Melalui essai ini saya baru menyadari bahwa kegiatan nongkrong bukanlah hal baru. Kebiasaan ini telah ada sejak lama dan juga dilakukan untuk mengisi kegiatan waktu luang. Saya menyukai bahwa penulis menjelaskan bahwa kebiasaan nongkrong muncul dari kebiasaan masyarakat desa. Sehingga, dari poin ini saya mengetahui bahwa budaya ini memang tidak baru-baru saja terjadi dan menghindarkan citra dari generasi milenial yang pasif atau pemalas. Melainkan, kegiatan ini telah lama menjadi kebiasaan dan tentunya memiliki suatu konteks, walaupun pada perkembangannya mungkin saja mengalami perubahan.


Nongkrong sebagai gaya hidup bukanlah hal baru. Seperti yang telah disebutkan oleh penulis bahwa pada mulanya kebiasaan ini lahir dari kebiasaan orang desa yang bersantai sembari meminum kopi selepas bekerja (Prasojo, 2014). Menarik sekali jika kebiasaan ini dapat diterangkan lebih lanjut. Tentu saja kita tidak asing dengan salah sati prinsip hidup orang Jawa yakni mangan ora mangan waton kumpul. Istilah ini sangat dekat bagi masyarakat pedesaan jawa yang lebih mementingkan kebersamaan walaupun dengan keadaan tidak sejahtera.


Menelisik sebuah kegiatan yang telah dilakukan sejak dari zaman berbeda dapat dilakukan melalui penelusuran nilai-nilai kearifan lokal. Menurut Rahyono (dalam Fajarini, 2014:124) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masayarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberasaan masyarakat tersebut (Fajarini, 2014:124).


Penelusuran yang lebih lanjut akan membawa pemahaman kita pada mengapa kegiatan nongkrong tersebut muncul. Mempelajari munculnya sebuah kegiatan yang masih dan terus-menerus dilakukan hingga hari ini menjadi penting. Karena kita dapat melihat perbedaan atau perubahan dari praktik kebiasaan tersebut dari waktu ke waktu. Kita dapat melihat kecenderungan serta dapat pula mengenali kecenderungan tersebut disebabkan karena apa. Jika perubahan dalam praktik sudah terjadi, dapat menelusuri apakah terjadi perubahan makna dari kegiatan tersebut.  


Penulis dapat menguraikan prinsip hidup ini untuk memperjelas darimana awal mula kebiasaan nongkrong yang tenar akhir-akhir ini, dan pada praktiknya dulu dan sekarang tentu saja mengalami perbedaan atau perubahan. Begitu pula makna kebiasaan ini bagi para pelaku gaya hidup ini. Sepintas, nongkrong tetap memiliki fungsi untuk menghabiskan waktu luang. Namun, apa yang dilakukan selama nongkrong ini nampaknya telah berubah. Jika dulu, nongkrong hanya sebatas bercengkerama sambil minum kopi. Kini, berselancar di dunia maya menjadi wajah baru dari kegiatan nongkrong.


Di dalam essai ini, penulis mengatakan bahwa nongkrong pada masa tahun 90-an adalah kegiatan kumpul-kumpul dan melakukan hal-hal sederhana seperti minum kopi dan bermain gitar. Saya melihat, ada kecenderungan yang berbeda dari aktivitas nongkrong yang dilakukan oleh mahasiswa. Kegiatan ini tidak selalu dilakukan berkelompok. Tidak jarang mahasiswa hanya sendirian dan ditemani laptop, charger, colokan, handphone, dan tentunya akses wifi gratis. Kegiatan nongkrong yang saya pikirkan awalnya dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada sesama teman, untuk ngobrol dan diskusi kini nampaknya telah berubah.


Duduk seorang diri dengan kepentingan sendiri dan tidak jarang juga khususnya dikawasan kampus FIB UGM, nampak setiap mahasiswa tidak mau duduk berdua di sebuah bangku yang luas. Hal ini karena ingin saling menghargai waktu privasi setiap mahasiswa. Menikmati kesendirian dan menghabiskan waktu luang untuk berselancar di dunia maya. Saya melihat, kecenderungan nongkrong di kampus hanya terjadi karena ada wifi. Faktor ini pula yang semakin memperlihatkan secara jelas bahwa kesan individualistis kemudian semakin terasa. Dengan adanya internet, interaksi kemudian menjadi terbatas.


Apa yang menyebabkan mahasiswa begitu tergantung dengan adanya internet? Layaknya peribahasa ada gula ada semut, di mana pun ada wifi gratis di situlah para mahasiswa akan nongkrong berjam-jam. Hal ini menghadrikan sebuah fenomena nongkrong yang berbeda dari sebelumnya. Mengapa pembicaraan dan tatap muka yang intens kemudian berkurang sejalan dengan adanya internet semakin berkmbang dan terpenuhinya berbagai kebutuhan melalui internet.


Kesan individualistis juga semakin terasa ketika penulis melakukan wawancara melalui perseorangan. Hal ini yang menjadikan kebiasaan nongkrong menjadi hal yang berbeda dari kegiatan nongkrong pada jaman dulu, era sebelum berkembangnya internet. Dengan hadirnya internet, nampaknya membawa banyak perubahan yang terjadi dalam interaksi sosial antar mahasiswa. Hal ini menarik jika kemudian dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.


Hal lain yang menjadikan kekurangan dalam essai ini adalah pembahasan secara linguistik kata ruang serbaguna. Menurut saya, tidak perlu memberikan pembahasan yang mendetail tentang kata ruang serbaguna di sini. Seharusnya penjelasan secara bahasa itu diberikan kepada istilah “nongkrong” yang menjadi salah satu kata kunci dalam essai ini.


Bagaimana kata “nongkrong” hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Apa saja batas-batas sebuah kegiatan dikatakan nongkrong atau bukan. Selain itu, asal istilah nongkrong dan maknanya ketika menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari, menjadikan penjelasan secara bahasa dan istilah dari nongkrong kenjadi penting. Ditambah dengan penjelasan konteks budaya dari prinsip hidup orang jawa yang saya sebutkan di atas. Dapat menjadi landasan untuk memahami adanya perubahan yang terjadi dari praktik aktivitas ini.


Jika telah ditemukan perubahan, maka adakah dampak yang ditimbulkan dari perubahan itu? Mungkin saja hal ini terjadi pada perubahan preferensi pemilihan lokasi nongkrong. Yang semula di mana saja , kemudian adanya fasilitas akses wifi (apalagi gratis dan cepat) menjadi faktor penting dipilihnya tempat tersebut untuk nongkrong.


Selain itu, menurut saya, penulis tidak perlu berangkat dari penjelasan tentang ruang serbaguna, namun langsung fokus saja kepada kegiatan yang dilakukan yaitu nongkrong. Mungkin, dapat diawali dengan cerita pengamatan terlibat ketika malam-malam di kampus. Poin ini menegaskan bahwa kita terlibat dan dekat dengan budaya nongkrong ini. Sehingga pembaca menjadi lebih merasa membumi untuk pula merasakan pengalaman itu dan bersiap untuk membahas budaya nongkrong lebih mendalam melalui essai ini.


Essai Tanggapan 2

Veronica Phrita Kumala Dewi


Esai mengenai pergeseran makna nongkrong ini sudah cukup baik menurut saya. penulis menggambarkan secara cukup jelas bagaimana perbedaan arti nongkrong dahulu dengan sekarang. Dimana dahulu mahasiswa saat berkumpul untuk nongkrong, mereka akan mengisi kegiatan mereka tersebut dengan obrolan-obrolan yang serius hingga hal-hal sepele, mereka akan memetik gitar ditemani dengan kopi dna kegiatan lainnya yang jauh dari kata sunyi. Saya sangat setuju dengan hal tersebut karena menurut saya makna nongkrong yang sebenarnya adalah yang seperti ini.


Nongkrong menurut saya adalah menghabiskan waktu bersama dengan teman melakukan kegiatan bersama untuk menghilangkan penat dengan mengobrol atau melakukan hal lainnya supaya tidak sunyi. Namun, sekarang ini seseorang yang hanya duduk diam sendiri hanya ditemani dengan gadgetnya, sudah mereka artikan sebagai nongkrong. Saya kurang setuju dengan arti nongkrong yang seperti ini, karena menurut saya, nongkrong adalah sesuatu hal yang rame dan tidak sendirian.


Budaya nongkrong merupakan bentuk ragam budaya yang ada di Indonesia. Keberagaman bentuk budaya tersebut dilihat sebagai sikap, cara hidup, dan nilai-nilai dalam suatu kelompok tertentu. Hal ini dipahami pula sebagai pola aktivitas tertentu yang menjadi kebiasaan. Nongkrong merupakan bahasa pergaulan anak muda. Istilah nongkrong sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata tongkrong / tong.krong / me.nong.krong yang artinya berjongkok, duduk-duduk saja karena tidak bekerja, berada di suatu tempat. Dalam definisi selanjutnya, istilah nongkrong menjadi lebih luas. Banyak kegiatan dan aktivitas baik aktif maupun pasif yang kemudian berkembang dari sekedar duduk dan jongkok, seperti seeing; hearing; seating; standing; dan staying (Jan Gehl, 1987).


Menurut Mira (2011), nongkrong berati kongko-kongko bersama teman, biasanya seumuran, melibatkan pembicaraan dari yang remeh sampai yang serius di suatu tempat seperti kedai kopi, kafe, atau tempat yang lainnya. hal ini kemudian dapat disimpulkan bahwa nongkrong adalah kegiatan bersantai yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Esai ini juga didukung dengan hasil observasi dan wawancara beberapa mahasiswa untuk melengkapinya. Namun, sayangnya esai ini hanya fokus pada mahasiswa FIB UGM saja. Penulis juga hanya terfokus pada mahasiswa yang sering menghabiskan waktunya di kampus untuk memanfaatkan fasilitas kampus yang disediakan. Teknologi yang semakin canggih dan didukung oleh fasilitas dari beberapa kampus membuat mahasiswa memang lebih memilih memanfaatkan fasilitas tersebut. Apalagi fasilitas tersebut diberikan oleh kampus secara gratis.


Kegiatan nongkrong juga sering dikaitakan dengan mahasiswa. Mahasiswa memilih nongkrong sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang karena dengan nongkrong mereka bisa bersendau gurau, kumpul dengan teman, rapat hingga mengerjakan tugas. Para mahasiswa ini biasanya akan nongkrong bersama teman-teman mereka. Mereka akan duduk melinggar dengan teman-temannya dan mereka akan mengobrolkan banyak hal. Mereka juga biasanya memilih waktu nongkrong di malah hari. Nongkrong kemudian sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari mahasiswa. Tidak ada hari yang terlewati tanpa nongkrong, di kampus maupun diluar kampus. Saat nongkrong, mahasiswa bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Rata-rata mereka nongkrong bisa 4 jam, ada juga mahasiswa yang nongkrong lebih dari 10 jam, bahkan ada mahasiswa yang bisa nongkrong selama 12 jam.


Secara mereka sadari atau tidak, kegiatan nongkrong yang mereka lakukan ini bisa membentuk jati diri mereka. Nongkrong sudah menajdi bagian dari diri mereka, dimana mereka tidak bisa meninggalkan kegiatan nongkrong. Setiap kali ada waktu, mereka akan selalu menyempatkan untuk nongkrong, sehingga nongkrong tidak bisa dilepaskan dari diri mereka. tendensi budaya nongkrong yang terlihat seperti budaya pemalas dna tidak berguna memiliki potensi besar untuk mengurangi stress. Budaya nongkrong juga berperan dalam meningkatkan kreativitas dalam berpikir dan berkarya, dimana kreativitas ini kemudian dituangkan dalam bisnis dan usaha.


Tujuan mereka melakukan nongkrong adalah karena adanya hasrat untuk berkumpul dan berinteraksi dengan teman-temannya tanpa ada gangguang gadget. Suasana yang santai dan akrab sehingga mampu mewujudkan hasrat para mahasiswa untuk nongkrong, berkumpul dan berinteraksi dengan teman. Disini kemudian saya sedikit tidak setuju dengan beberapa pendapat mahasiswa pada esai tersebut. Walaupun menurut KBBI nongkrong adalah kegiatan duduk-duduk saja, tapi menurut saya nongkrong digunakan oleh mahasiswa untuk menghilangkan penat setelah kuliah dengan berinteraksi bersama teman-temanya tanpa gangguan dari gadget. Karena kegiatan nongkrong sendiri tidak bisa terlepas dari keinginan untuk berkumpul dengan teman. Berkumpul dengan teman menjadi kunci dari nongkrong itu sendiri menurut saya. dari berkumpul bersama teman inilah yang membuat mereka betah untuk nongkrong dan tidak bisa meninggalkan kebiasaan nongkrong.


Mahasiswa memiliki gaya hidup nongkrong diawali dari pengalamannya di masa lalu, dimana mereka mengetahui gaya hidup nongkrong sejak kecil. Mereka melihat orang-orang disekitar mereka yang sedang meminum secangkir kopi di warung sekitar tempat tinggal mereka. kemudian mereka akan penasaran dan mulai ikut mencoba meminum secangkir kopi. Setelah dirasa enak dan cocok, mereka akan terus menerus melakukannya, sampai sekarang. Orang tua di desa sering menikmati secangkir kopi baik dirumah maupun di warung kopi yang berada di lingkungan tempat tinggalnya.


Kebiasaan seperti ini, secara tidak langsung akan ditiru oleh generasi penerus. Nongkrong tidak terlepas dari interaksi seseorang dengan teman mereka. Ajakan teman mereka untuk nongkrong membuat mahasiswa mencoba untuk nongkrong. Awalnya hanya mengikuti ajakan teman, namun seiring dengan berjalannya waktu mereka terus nongkrong dan hal tersebut kemudian menjadi bagian dari aktivitas mereka sehari-hari. Mereka yang berada dalam kelas menengah ke bawah akan memilih warung kopi yang memiliki harga terjangkau dan bisa nongkrong sepuasnya.


Nongkrong juga dikenal sebagai salah satu ruang yang egaliter karna variasi orang yang datang, tanpa membeda-bedakan kelas sosia maupun SARA. Budaya nongkrong menjadi salah satu alasan bagi mereka sebagai wahana interaktif dalam mereka berkumpul secara komunal. Namun, kegiatan nongkrong sering dianggap negatif oleh sebagian masyarakat karena dinilai membuang waktu percuma dengan melakukan hal-hal yang tidak produktif. Masyarakat khawatir dengan aktivitas nongkrong, terutama nongkrong mahasiswa yang tidak bermanfaat, padahal mahasiswa sendiri merupakan agent of change.


Dibalik kekhawatiran sebagian masyarakat, faktanya banyak hal positif yang bisa didapatkan dari nongkrong, seperti berinteraksi dengan orang lain; menambah wawasan mengenai dunia luar; dan memperluas koneksi.  Bagi orang yang memiliki suatu usaha, budaya nongkrong bisa dijadikan ajang promosi usaha mereka, sehingga pendapatan mereka bisa bertambah. Bagi pelajar-pelajar yang memiliki suatu proyek yang membutuhkan diskusi, nongkrong juga bisa menjadi solusi.


Sebagian orang mungkin menganggap budaya nongkrong hanya buang-buang waktu. Namun, dibalik itu, kita juga kadang akan menemukan ilmu yang tidak akan pernah kita dapat dari pendidikan formal. Nongkrong bukan hanya sekedar have fun. Dari obrolan-obrolan kecil atau curhatan teman saat nongkrong, kita bisa mendapatkan nilai kehidupan dari pengalaman mereka yang mungkin saja berguna bagi kita nantinya.


Selainitu, saat nongkrong kita juga secara tidak langsung akan belajar ilmu sosiologi karena dalam nongkrong kita akan menemukan interaksi, interelasi, solidaritas, dan soliditas. Orang-orang yang sering melakukan kegiatan nongkrong, juga akan menemukan arti kebersamaan ketika mereka nongkrong. Namun, apabila mereka yang mengartikan nongkrong dengan duduk sendiri sambil memainkan gadget mereka dan mengandalkan wifi yang ada di kampus tidak akan bisa mengetahui bagaimana arti kebersamaan lewat nongkrong.


Essai Replay

Bety Oktaviani


Tanggapan dari Phrita mengenai tulisan Anggita menurut saya cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut. Secara garis besar ia menyatakan keberatannya terhadap pernyataan dari Anggita yang mana menyatakan bahwa aktivitas nongkrong kini telah sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya teknologi sehingga pemaknaan nongkrong bagi anak muda khususnya mahasiswa sudah tidak lagi seperti makna nongkrong pada masa sebelumnya. Phrita mengatakan bahwa konsep nongkrong yang dijabarkan oleh Anggita tidak seperti konsep nongkrong yang ia ketahui dan ia maknai. Hal ini jelas karena Phrita menguatkan argumennya dengan berbagai tulisan yang sebelumnya ditulis oleh beberapa peneliti


“…tapi menurut saya nongkrong digunakan oleh mahasuswa untuk menghilangkan penat setelah kuliah dengan berinteraksi bersama teman-temanya tanpa gangguan dari gadget.”


“Nongkrong tidak terlepas dari interaksi seseorang dengan teman mereka.”


Dua kalimat tersebut menurut saya merupakan bukti bahwa Phrita kurang setuju mengenai pendapat yang dituliskan oleh Anggita. Phrita berasumsi bahwa aktivitas nongkrong harus mempunyai aspek tertentu, yakni adanya teman berbincang. Aktivitas ini juga ia maknai sebagai bentuk hiburan untuk menghilangkan rasa lelah usai melakukan rutinitasnya. Phrita menemukan sesuatu hal yang tidak dapat digantikan oleh kegiatan lain selain dalam aktivitas nongkrong yakni kebersamaan.


Saya cukup setuju dengan pendapat Phrita bahwa dengan adanya menongkrong bersama teman, maka hal itu akan menambah wawasan serta memperbesar kemungkinan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Hal ini kemudian menurut Phrita akan melahirkan pemikiran-pemikiran hebat para mahasiswa sebagai agent of change. Saya menangkap bahwa dari tanggapan yang ditulis oleh Phrita, Phrita ingin menyampaikan bahwa nongkrong adalah salah satu wadah para mahasiswa untuk melakukan hal yang menjadi ciri khas kemahasiswaan mereka, yakni beradu kritis sehingga memberikan kontribusi yang positif dan solutif terhadap permasalahan yang sedang menjadi perbincangan di masyarakat.


Pandangan masyarakat mengenai aktivitas nongkrong kini sudah menjadi hal yang berpihak pada sikap negatif. Tidak bisa di pungkiri bahwa kebiasaan nongkrong masa kini juga berindikasi kepada banyaknya remaja yang semakin hedonis. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kafe atau tempat ngopi yang tersebar di penjuru kota, khususnya Kota Yogyakarta. Para anak muda khususnya mahasiswa berbondong-bondong untuk pergi ke tempat nongkrong dengan alasan ingin mengerjakan tugas karena tersedia akses internet gratis. Namun hal ini tak serta merta menjadi alasan utama mereka. Di sisi lain, aktivitas nongkrong ini juga mempengaruhi gaya hidup mereka. Bahkan, baik buruknya citra seseorang dapat dilihat dari tempat yang ia gunakan untuk melakukan aktivitas nongkrong bersama dengan teman sebayanya.


Hal ini kemudian ditampik oleh Phrita dengan pernyataannya yang mana ia mengatakan bahwa nongkrong tak hanya melakukan hal-hal yang negatif. Nongkrong adalah salah satu cara mahasiswa menghibur diri mereka namun dengan bincangan yang berbobot dan kemudian menciptakan suatu kreatifitas dari mahasiswa. Menurut saya, ia setuju dengan pernyataan yang dikemukakan dalam essay Anggita, namun ia lebih menekankan bahwa harus ada unsur ‘orang lain’ untuk memahami apa yang disebut dengan aktivitas nongkrong.


Kemudian, tanggapan dari Yola memaparkan mengenai sebab akibat yang ada pada essay dari Anggita. Ia lebih menekankan bahwa adanya aktivitas nongkrong dikarenakan adanya waktu luang yang dimiliki oleh seseorang, terutama mahasiswa. Hal ini kemudian memunculkan variasi kegiatan atau gaya hidup yang dilakukan oleh mereka. Yola cukup mengapresiasi dan cukup menyetujui isi dari essay yang ditulis oleh Anggita.


Namun menurut Yola, ia kurang setuju dengan isi atau pemaparan dari Anggita di awal tulisannya yakni mengenai makna ruang serbaguna. Ia menegaskan bahwa ruang serbaguna jauh dari fokus yang Anggita akan garis bawahi dalam isi essainya. Ia kemudian memberi saran terhadap Anggita bahwa seharusnya tulisan Anggita mengupas secara tuntas makna dari nongkrong, batas-batas apa saja yang dapat disebut sebagai aktivitas nongkrong, serta sejarah dan perkembangan dari kegiatan nongkrong itu sendiri. Menurut saya, asumsi dari Yola ini cukup relevan dan membangun titik berangkat yang berbeda dari apa yang sudah ditulis oleh Anggita.


enurut saya, tulisan dari Anggita dalam essay nya yang berjudul Menilik Nongkrong Lewat Kampus tersebut menjelaskan mengenai bagaimana sebuah ruang dimaknai oleh manusia sebagai ruang publik yang mana di dalamnya terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang beragam, dalam berbagai suasana dan waktu. Tulisan ini menurut saya dimaksudkan untuk menginformasikan kepada pembaca mengenai bagaimana kegiatan atau aktivitas masyarakat, khususnya dalam lingkungan kampus memaknai arti dari kata ‘nongkrong’ itu sendiri. Anggita memulai tulisannya dengan menjelaskan mengenai ruang publik yang kemudian ia hubungkan dengan makna kampus sebagai ruang publik bagi mahasiswa.


Menurut saya, ia disini ingin menyampaikan bagaimana perubahan makna nongkrong bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Meskipun Anggita tidak mengemukakan alasan mengapa ia memilih objek pengamatannya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, namun menurut saya ia berusaha mengamati fenomena yang paling dekat dengan dirinya. Ia mencoba melihat fenomena tersebut dengan kacamata keilmuan. Walaupun aktivitas yang diamati oleh Anggita ini sangat sederhana, namun ia ingin menyampaikan bahwa hal sesederhana seperti nongkrong ternyata juga memiliki perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu.

“Sebagian mahasiwa bisa jadi menganggap kampus adalah sarana untuk belajar saja, sebagian lagi beranggapan untuk mengembangkan hobi dan kreativitas, lainnya memaknai kampus sebagai tempat ‘nongkrong’, namun tidak menutup kemungkinan pula satu mahasiswa memaknai kampus dengan lebih dari satu fungsinya.”


Dalam kalimat tersebut, Anggita ingin menyampaikan bahwa salah satu kelompok yang menikmati ruang publik di area kampus adalah mahasiswa. Sedangkan, ruang publik menurut Kustianingrum dkk (2018) adalah suatu ruang yang mana merupakan suatu tempat kegiatan pertukaran interaksi sosial, ekonomi, dan pencampuran budaya. Selain itu, Kustianingrum dan kawan-kawan (2018) juga menyampaikan bahwa syarat untuk menjadi ruang publik yang nyaman adalah dapat dilihat dari empat aspek, yakni ruang, visual, auditorial, suhu, dan bau. Dalam hal ini, tentu saja konsep antara ruang publik dan mahasiswa begitu dekat karena seperti yang sudah disampaikan oleh Anggita bahwa kegiatan di ruang publik di area kampus seperti nongkrong merupakan hal yang sangat dekat dengan keseharian mahasiswa.


Kemudian, pokok pembahasan Anggita dalam tulisannya adalah ia menggarisbawahi mengenai aktivitas nongkrong mahasiswa yang berlokasi di kampus. Konsep nongkrong sudah dijelaskan oleh Anggita yang mana nongkrong berasal dari budaya-budaya masyarakat desa atau masyarakat non urban, yang mana di dalamnya terdapat kegiatan, seperti memperbincangkan permasalahan formal maupun informal, dari pembicaraan yang tidak penting hingga pembicaraan mengenai sesuatu hal yang penting.


Namun, penggambaran konsep nongkrong sudah terkias sebagai satu bentuk aktivitas yang berorientasi ke hal yang negatif. Nongkrong biasanya diidentikkan dengan perilaku konsumtif dan cenderung mengarah ke hedonis, sifat menghambur-hamburkan uang yang dinilai jauh dari kata perilaku positif. Terlebih, nongkrong juga sering dimaknai sebagai kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap ‘kurang kerjaan’.


Akan tetapi, Anggita sedikit demi sedikit membuat pembaca menelisik lebih lanjut mengenai apa arti dari aktivitas nongkrong. Anggita seakan-akan menggiring lagi opini pembaca sehingga pembaca kemudian paham mengenai konsep nongkrong yang dimaksud oleh Anggita. Anggita mengatakan bahwa saat ini, nongkrong bukan suatu aktivitas bersenang-senang, membicarakan hal yang tidak penting, bahkan ia mematahkan pendapat  jika nongkrong adalah aktivitas yang tidak bisa terlepas dari sikap hedonis.


Nongkrong pada masa kini merupakan sebagai gaya hidup yang termasuk dalam niai-nilai modernitas dan dari segala aspek tindakan yang di realisasikan oleh para penikmatnya. Nongkrong bukan lagi hal yang harus di definisikan jauh di sana, melainkan nongkrong yang ada saat ini merupakan hasil proses modernitas yang berkelanjutan yang masuk ke segala sektor kehidupan masyarakat. Seiring dengan berkembangnya teknologi, nongkrong menjadi salah satu bentuk kegiatan yang bertransformasi sehingga menjadi kegiatan yang baru.


Dahulu, ciri-ciri orang yang melakukan aktivitas ini adalah yang pertama yaitu ada teman berbincang, kemudian ada tempat untuk mewadahi kegiatan tersebut, dan biasanya nongkrong identik dengan tersedianya cemilan atau minuman seperti kopi, teh dan lain sebagainya. Akan tetapi, seiring berkembangnya teknologi informasi, Anggita dengan berbekal hasil observasi dan wawancaranya mengatakan bahwa kegiatan nongkrong kini ditunjang oleh fasilitas atau sarana prasarana yang disediakan oleh pihak terkait, seperti pada tulisannya yakni pihak kampus, khususnya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.


Dengan adanya fasilitas wifi gratis, kegiatan mahasiswa yang semula di luar kampus kini teralihkan. Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya lebih memilih untuk memanfaatkan wifi sebesar 4 Giga untuk mengerjakan tugas perkuliahan dan bermain sosial media. Mengingat saat ini kemajuan teknologi sangat pesat, tentu saja kegiatan yang berhubungan dengan manusia tak terlepas dari peran teknologi. Pentingnya peran teknologi tersebutlah yang membuat pihak kampus memberikan salah satu fasilitas yang amat bermanfaat bagi mahasiswanya, yakni wifi.


Anggita kemudian menafsirkan bahwa teknologi sedikit banyak telah merubah gaya hidup seperti yang dikemukakan pula oleh Hastuti dkk (2019), khususnya budaya nongkrong yang ada di dalam masyarakat. Setelah adanya teknologi kini tak perlu lagi adanya orang lain dan secangkir kopi yang menemani. Cukup gadget pribadi, ditambah dengan fasilitas penunjang seperti headset dan charger, masyarakat khususnya mahasiswa sudah dapat menikmati aktivitas dan dunianya yang disebut dengan nongkrong. Dalam hal ini, Anggita sudah mampu membuktikan bahwa saat ini nongkrong sudah mengalami pergeseran makna dan perubahan perilaku dari orang yang melakukannya, serta satu-satunya hal yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut adalah majunya teknologi informasi.


Menanggapi dari tulisan Phrita yang kurang menyetujui pernyataan Anggita mengenai konsep nongkrong, saya berpendapat bahwa landasan dari Anggita dan Phrita berangkat melalui titik yang berbeda. Anggita lebih menekankan bahwa ia akan menyampaikan adanya suatu perubahan yang signifikan terhadap pemaknaan nongkrong bagi mahasiswa. Sedangkan, Phrita berangkat dari pemahaman bahwa nongkrong adalah suatu hal yang mempunyai makna tunggal, tanpa ada unsur perubahan di dalamnya. Konsepsi mengenai nongkrong inilah yang kemudian menjadikan Phrita kurang menyetujui istilah nongkrong dari Anggita. Selain itu, menyambung pula dari tulisan Yola yang mana ia juga kurang menangkap maksud dari konsep ruang serbaguna yang dikemukakan Anggita dalam essainya.


Ia menganggap bahwa konsepsi tersebut akan lebih relevan jika diganti dengan pemaparan mengenai sejarah serta perkembangan nongkrong sehingga konsep nongkrong dapat dimaknai seperti sekarang ini. Namun bagi saya, Anggita menulis detail dari ruang serbaguna karena hal itu tak terlepas dari aktivitas nongkrong yang ingin disampaikannya. Sepemahaman saya, nongkrong ada karena tiga hal, yakni ruang publik atau ruang serba guna seperti yang dikemukakan oleh Anggita, kemudian adanya waktu luang seperti yang dikemukakan oleh Yola, dan yang terakhir adalah adanya tujuan dari masing-masing individu untuk melakukan aktivitas nongkrong tersebut.


Ketiga hal ini menurut saya saling berkaitan. Apabila tidak ada ruang serbaguna atau ruang publik, maka tidak ada pula orang yang berkeinginan untuk nongkrong. Apabila tidak ada waktu luang, maka juga tidak ada pula kesempatan individu tersebut untuk nongkrong. Begitu pula jika tidak ada tujuan tertentu, entah itu hanya ingin istirahat sejenak, menikmati angin segar, berbincang, dan mengerjakan tugas, maka tidak ada pula aktivitas yang dinamakan nongkrong. Jadi, konsepsi mengenai ketiga unsur tersebut harus jelas dan detail. Sehingga menurut saya, tulisan dari Anggita ini sudah mencapai titik tersebut.


Tulisan Anggita mengenai nongkrong mahasiswa di area kampus membuat saya dapat merangkai beberapa fakta relevan. Pertama, ruang serbaguna merupakan hal yang penting bagi aktivitas nongkrong. Adanya ruang serbaguna sedikit banyak mengundang aktivitas tersebut untuk dilakukan ketika waktu luang menghampiri mereka. Kemudian, nongkrong merupakan suatu hal yang sederhana, namun ternyata mengalami perubahan yang signifikan dan sedikit banyak berpengaruh terhadap gaya hidup dan perilaku mahasiswa atau orang yang melakukan aktivitas tersebut.


Nongkrong yang semula bercitra negatif dan identik dengan aktivitas yang sia-sia, kini di dalam aktivitas nongkrong tersirat kegiatan-kegiatan yang mempunyai tujuan jelas, meringankan kegiatan-kegiatan berikutnya, bahkan dapat menuai perubahan mikro maupun makro dalam komunitas atau masyarakat luas, seperti yang telah dikemukakan oleh Phrita. Ketiga, nongkrong saat ini dikendalikan oleh kemajuan teknologi informasi. Mengapa saya sampaikan demikian? Karena menurut saya, akses internet adalah satu-satunya kebutuhan yang dikejar oleh masyarakat luas.


Masyarakat kini bergantung pada jaringan internet. Oleh karena itu, konsep nongkrong yang dahulu dinilai sebagai aktivitas bersama dan berkaitan dengan keramaian, kini berubah menjadi aktivitas yang hening, individualis, dan sudah lumayan jauh dari kegiatan-kegiatan sosial. Dengan adanya kemajuan teknologi, masyarakat kini seakan-akan sudah memiliki dunianya sendiri sehingga aktivitas bertatap muka sudah tidak jarang ditemui.


Tiga tulisan mengenai nongkrong dari Anggita, Phrita, dan Yola membuat saya menyimpulkan bahwa mereka mempunyai pandangan tersendiri mengenai nongkrong. Hal ini tentu saja tak terlepas dari fenomena-fenomena dan aktivitas yang terjadi dalam lingkungan mereka masing-masing. Tidak ada yang salah dari pernyataan mereka. Hanya saja, konsep yang terbangun di pandangan mereka mengenai nongkrong cukup memiliki perbedaan.


Namun, perbedaan itu menurut saya dapat menjadi satu kesatuan, bahwa nongkrong saat ini dimaknai sebagai kegiatan yang jauh dari aktivitas-aktivitas negatif. Nongkrong juga sedikit banyak mengurangi beban tugas perkuliahan bagi mahasiswa. Pemilihan lokasi nongkrong di kampus menggambarkan bahwa perpaduan antara ruang serbaguna dan akses internet gratis dari pihak kampus menggeser pemaknaan nongkrong bagi mahasiswa. Saat ini, tak perlu adanya teman mengobrol dan secangkir kopi, namun dengan bermodalkan kemauan diri duduk dan memanfaatkan fasilitas publik, kita sudah dapat dikatakan menjalankan aktivitas nongkrong.



Referensi

Fajarini, Ulfah. (2014). Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter. Sosio Didaktika 1(02). pp. 123-130.

Fauzi, A., Punia, I. N., & Kamajaya, G. (2017). Budaya Nongkrong Anak Muda di Kafe (Tinjauan Gaya Hidup Anak Muda Di Kota Denpasar). Jurnal Ilmiah Sosiologi SOROT 1(01).

Firmansyah. (2015). Pengaruh Internet Terhadap Mahasiswa (Studi Terhadap Tim Sepak Bola Mon Malem Blang Bintang Aceh Besar. Skripsi. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam. Aceh.

Hastuti, Sri Dkk. (2019). Literasi Ekonomi dan Gaya Hidup Mahasiswa. Seminar Nasional Pendidikan Pengembangan Kualitas Pembelajaran Era Generasi Milenial 2019. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kustianingrum, Dwi Dkk. (2018). Sustainable Site : Kenyamanan Spasial pada Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas Bandung. Jurnal Rekayasa Hijau, 2(2): 191-202.

Nawawi. (2017). Persepsi Mahasiswa Menggunakan Fasilitas Wi-Fi dalam Mencari Informasi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. JOM FISIP 4(1). pp.1-15.

Novitasani, L. dan Pambudi Haryono. (2014) Perubahan Gaya Hidup Konsumtif pada Mahasiswa Urban di Unesa. Jurnal Paradigma. 2(3). pp. 1-7.

Pramita, Dea Ayu dan Indah Sri. Tanpa Tahun. Nongkrong di Warung Kopi sebagai Gaya Hidup Mahasiswa di Mato Kopi Yogyakarta dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta

Prasojo. (2014). Budaya Ngopi atau Gaya Ngopi? Ngopi untuk Pembebasan.

Ulung,G. dan Gamal H. (2011).Ngopi Yuk! 50 Tempat Ngopi Paling Asyik se-Jabodetabek. Jakarta: PT.Gramedia Utama.

Syaifullah, Ahmad. (2016). Perubahan Makna Nongkrong: Studi Kasus Interaksi Sosial Mahasiswa di Kafe Blandongan. Yogyakarta


Sumber Website

43 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page