top of page

Selaput Dara dan Berdarah di Malam Pertama: Miskonsepsi Tentang Keperawanan di Masyarakat

Writer's picture: Ilona CeciliaIlona Cecilia

Artemis, dewi bulan perawan pada mitologi Yunani. Sumber: Shmoop

Oleh Ilona Cecilia dan Sarah Amany.


“Selaput dara” dan “berdarah di malam pertama” adalah hal-hal paling awal yang pasti akan langsung berlarian di dalam kepala ketika seseorang menyebutkan kata “keperawanan”—sebuah hal yang menarik untuk dikulik karena bahasan keperawanan dekat sekali dengan perempuan. Harus diakui bahwa konsep keperawanan, khususnya dalam koridor sosio-kultural yang sedemikian rupa terbentuk di Indonesia, adalah salah satu indikasi paling signifikan dalam “nilai” seorang manusia karena dikaitkan dengan kesucian—ini, utamanya, dititikberatkan pada perempuan. Penitikberatan ini barangkali juga merupakan perpanjangan tangan dari norma sosial pada umumnya yang patriarkis dan menempatkan perempuan sebagai objek belaka, sehingga perempuan pun dituntut untuk “menjaga kesucian” sementara laki-laki cenderung lebih dibebaskan.


Keperawanan yang selama ini dipahami oleh masyarakat awam pun biasanya hanya berhenti di definisi sempit mengenai adanya selaput dara dan “berdarahnya”’ seorang perempuan di malam pertama. Yang lebih parah dari itu adalah fakta bahwa masyarakat kita terus-terusan memberikan nilai yang berbeda untuk perempuan yang masih perawan dan sudah tidak perawan, dan bahkan menyematkan stigma semacam “kotor” dan “tidak bisa menjaga diri” kepada perempuan yang tidak perawan sebelum menikah. Dalam tulisan ini, kami akan mencoba membedah miskonsepsi itu dengan membicarakan keperawanan dalam tiga perspektif ilmu: antropologi, kedokteran, dan psikologi.


Keperawanan dalam Perspektif Antropologi


Dalam perspektif antropologi, rasa-rasanya kami sudah kenyang dengan pengetahuan bahwa semua hal di dunia ini—baik itu agama, norma, maupun bentuk aturan-aturan lainnya—adalah produk konstruksi sosial yang berusaha mengatur manusia dalam menjalani hidupnya. Semuanya, mulai dari apa yang bisa dimakan hingga siapa yang bisa kita nikahi, diatur dalam kategori-kategori—tak terkecuali, keperawanan itu sendiri.


Kami, penulis, sepakat bahwa seseorang bisa disebut tidak perawan ketika sudah berhubungan seksual. Namun, yang membuatnya semakin membingungkan, bentuk hubungan seksual seperti apa yang bisa “menghilangkan” status keperawanan seseorang? Ada beragam jenis hubungan seksual di dunia ini, mulai dari yang ‘normal-normal saja’ seperti penetrasi penis, seks oral, fingering, sampai ke yang dilabeli ‘tidak biasa’ seperti anal seks. Apakah yang dimaksud dengan hubungan seksual oleh masyarakat umum adalah penetrasi penis semata atau kegiatan-kegiatan lain juga termasuk dalam kategori ini? Ini adalah pertanyaan yang juga tidak bisa sepenuhnya kami dapatkan jawaban gamblangnya.


Definisi keperawanan juga semakin rancu dengan fakta bahwa selaput dara yang dimiliki perempuan memiliki beragam kondisi yang membuatnya tidak bisa dijadikan tolak ukur keperawanan seorang perempuan. Selaput dara bisa saja robek karena kecelakaan dalam olahraga, penggunaan tampon, atau bahkan pada kasus yang sangat sedikit terjadi perempuan lahir tanpa selaput dara.


Definisi keperawanan yang bertele-tele ini jadi membuat kami pusing sendiri. Satu fakta yang kami sadari adalah, setiap orang—dengan mempertimbangkan kepercayaan, latar belakang etnis, dan titik potong lain dalam identitasnya—pastilah memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai keperawanan. Daerah tempat ia tinggal pun juga akan memengaruhi seberapa “tinggi” nilai keperawanan dijunjung. Ini sejalan dengan pendapat antropolog Diane King yang mengatakan bahwa keperawanan sendiri erat kaitannya dengan budaya dan bukan agama. Hal ini juga diperkuat oleh Sheikh Mohamad Habash yang mengatakan “... when people wait for the virgin’s blood to be spilled on sheet, these are cultural traditions... this is not related to Shariah law.”


Keperawanan perannya tidak signifikan sebenarnya, namun jika sudah hilang akan menjadi masalah besar. Nylander dan Cooper (2010) mengutip Hanne Blank, seorang sejarawan, dalam disertasinya: “Virginity is invariably defined in terms of what it is not, and is believed to be proven most incontrovertibly by whatever signs (blood, pain, etc) become obvious only in the moment of its obliterations.” Jika sudah begini, keperawanan dapat dikatakan sebagai sebuah konstruksi sosial yang sebenarnya konsen dalam pertanyaan “apakah seseorang sudah pernah melakukan hubungan seksual?” dan bukan tentang bagaimana keadaan selaput daranya.


Tanpa disadari, konsep keperawanan sangat erat kaitannya dengan perempuan—selaput dara, darah, penetrasi, bahkan sampai ke kosakata yang digunakan. Dalam Bahasa Inggris, kata keperawanan adalah virginity, yang padahal dalam penggunaannya merujuk pada laki-laki dan perempuan. Dalam Bahasa Indonesia, kata keperawanan dan keperjakaan juga memiliki konotasi yang berbeda, padahal memiliki arti yang sama. Perawan lekat dengan gambaran yang anggun, lugu, dan tidak tahu apa-apa; sementara perjaka lekat dengan gambaran muda, kuat, dan sifat-sifat lain yang mengglorifikasi maskulinitas.


Namun, konsep yang mengaitkan keperawanan dengan nilai dan perilaku tidak berlaku di semua tempat karena setiap daerah tentulah memiliki “batas”-nya sendiri, yang masing-masing dipengaruhi oleh agama, kultur, dan ideologi politik setempat. Sebagai contoh, dalam artikelnya Ayuandini (2017) menyertakan penelitiannya di Belanda mengenai operasi keperawanan di mana ia menemukan fakta bahwa mayoritas pasien operasi keperawanan di Belanda adalah pendatang dengan agama Islam, bukan penduduk lokal Belanda.


Keperawanan dalam Perspektif Medis


Sore itu, hari Selasa tanggal 11 Desember 2018, kami sudah menunggu sekitar setengah jam di sebuah kafe di Jalan Kaliurang kilometer lima ketika sosok yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. Adalah Alina (nama samaran), seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM, yang sudah setuju menjadi koresponden kami untuk keperluan artikel ini. Setelah meminta maaf atas keterlambatannya, ia duduk di depan kami dan obrolan pun dimulai. Usai dengan pembicaraan soal keadaan kuliah masing-masing akhir-akhir ini, kami pun masuk ke dalam pembahasan mengenai bagaimana ia memandang keperawanan.


Alina, seorang perempuan berusia 19 tahun yang menghabiskan seluruh hidupnya di Jogja, kemudian berbicara tentang keperawanan.Dalam blok Reproduksi dan Urinaria yang ia pelajari semester lalu, bahasan keperawanan ternyata menjadi satu topik yang cukup gencar dibicarakan di kelas. Penyebabnya barangkali adalah masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat awam mengenai keperawanan itu sendiri, yang secara sempit mereka atribusikan dengan ada tidaknya selaput dara dan berdarah tidaknya seorang perempuan ketika “malam pertama”.


Padahal—seperti yang berulangkali ditegaskan oleh Alina—selaput dara yang berbeda-beda bentuk dan elastisitasnya bagi tiap-tiap perempuan ini bisa dengan mudah robek karena aktivitas-aktivitas seperti olahraga berat dan bahkan kecelakaan. Untuk mendukung pernyataannya, Alina bahkan sampai menyempatkan diri membuka sebuah slide presentasi yang menampilkan gambar-gambar selaput dara. Singkatnya, keperawanan tidak hanya bisa diukur dari keberadaan selaput dara belaka.


Jawaban Alina pun membawa kami ke pertanyaan berikutnya: jika keberadaan selaput dara tidak serta merta menentukan keperawanan, lantas kondisi apa yang bisa membuat seseorang dikatakan tidak perawan? Alina menjawab bahwa menurut ia, indikatornya berada pada hubungan seksual—bukan hanya yang terbatas pada penetrasi penis, tapi juga “tahap-tahap” sebelum itu seperti fingering dan seks oral.


Kami juga membahas dampak biologis apa saja yang akan dialami para perempuan setelah mereka berhubungan seksual untuk pertama kali. Dalam sesi yang lebih mirip “mitos vs fakta”, kami menanyakan beberapa hal yang masih menjadi kebingungan kami berdua. Beberapa pertanyaan ini di antaranya adalah apakahcara berjalan seorang perempuan akan berubah setelah dia tidak lagi perawan dan apakah dada perempuan yang sudah tidak perawan akan membesar sekaligus mengendur pada saat yang bersamaan.


Alina menjawab bahwa sepanjang pengetahuan yang ia dapatkan di kelas, tidak ada perubahan fisiologis yang benar-benar masif yang akan terjadi pada tubuh perempuan setelah ia tidak lagi perawan. Satu hal yang berubah, tentu saja, perempuan ini kehilangan selaput daranya (yang sebelum berhubungan seksual pun bisa jadi sudah robek karena hal lain).


Ketiadaan selaput dara ini juga nantinya akan merembet ke banyak hal lain. Seorang perempuan yang sudah tidak lagi perawan tidak bisa masuk institusi yang mengharuskan adanya tes keperawanan, misalnya. Alina pun sempat memberikan pandangannya sendiri mengenai tes keperawanan ini. Setelah sebelumnya menjelaskan mekanismenya (jari penguji tes dimasukkan ke dalam rektum dan didorong sedikit ke depan untuk melihat apakah rongga vagina perempuan yang diuji ini masih tertutup selaput dara), Alina juga mempertanyakan kenapa hanya perempuan saja yang dicek keperawanannya sementara laki-laki tidak.


Kami juga sempat bertanya padanya tentang mengapa orang-orang medis tetap saja melakukan tes keperawanan ini walaupun mereka tahu keperawanan tidak bisa diukur berdasarkan keberadaan selaput dara belaka—dan Alina menjawab bahwa praktik-praktik ini terus berlangsung karena institusi-institusi terkait tetap memintanya, sementara mengedukasi masyarakat awam soal miskonsepsi yang selama ini terjadi pastilah membutuhkan waktu yang lama serta usaha yang tidak sedikit.


Kami juga sempat membahas fenomena-fenomena medis lainnya seperti operasi keperawanan (yang oleh Alina dideskripsikan sebagai semacam operasi plastik) dan alasan-alasan di balik seorang perempuan ingin melakukannya. Selain itu, Alina memberi tahu kami suatu fakta menarik namun juga mengagetkan kami. Menurut penjelasan Alina, seorang dokter yang akan melakukan tindakan medis yang mengharuskannya memasukkan jari atau alat ke dalam vagina seorang pasien harus bertanya padanya apakah ia sudah punya suami atau sudah pernah berhubungan seksual sebelumnya. Jika pasien yang bersangkutan belum pernah berhubungan seksual sebelumnya, akan dilakukan tindakan medis lain yang tidak mengharuskan si dokter memasukkan alat ke dalam vagina (tes darah, misalnya). Jika tidak bertanya terlebih dahulu dan langsung asal memasukkan apapun ke vagina, dokter dapat diseret ke ranah hukum.


Obrolan kami ini pun tiba-tiba membuat kami tercenung karena sedari tadi kami terus-terusan berkubang dalam bahasan soal keperawanan dan perempuan. Setelah itu, kami pun menanyakan kepada Alina mengenai apakah ada perbedaan definisi keperawanan untuk perempuan dan laki-laki. Tentu saja ada, jawab Alina, yang kemudian mengingatkan kami kembali soal standar ganda dalam tes keperawanan. Dalam perspektif masyarakat awam, mudah saja mengecek keperawanan seorang perempuan dari hanya keberadaan selaput dara, namun urusannya menjadi rumit ketika kita berusaha mengecek keperawanan seorang laki-laki—yang sebenarnya sempat membuat kami bertanya-tanya juga kenapa orang-orang gemar sekali mencari tahu urusan selangkangan orang lain.


Soal keperawanan (atau, dalam bahasa Indonesia, ‘keperjakaan’) laki-laki, kami sempat bertanya juga pada Alina apakah ia akan berkeberatan jika calon suaminya di masa depan nanti ternyata sudah pernah melakukan hubungan seksual. Alina menjawab, karena alasan-alasan terkait agama dan prinsip moralnya, bahwa ia mungkin akan berkeberatan dengan hal itu.


Membahas soal suami, kami juga sempat bertanya pada Alina apakah dalam kelas-kelasnya dibicarakan pula waktu yang tepat untuk melepas keperawanan. Alina mengatakan bahwa waktu yang tepat untuk melepas keperawanan tidak pernah benar-benar dibahas di kelas, namun kalau soal kesiapan fisik ketika akan menikah dan kemudian hamil, Alina mengatakan bahwa secara umum perempuan sudah siap sejak usia dua puluhan awal. Lebih muda dari itu, yang dikhawatirkan adalah fisiologi tubuh yang belum terlalu matang sehingga mungkin bisa berakibat fatal bagi calon ibu.


Terakhir, kami bertanya apakah pandangannya mengenai keperawanan berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan Alina mengiyakan itu. Dulu pandangannya mengenai keperawanan hampir sama seperti pandangan masyarakat awam kebanyakan (bahwa selaput dara adalah indikasi tunggal dalam menentukan keperawanan) dan kini ia mengaku ia menjadi jauh lebih berpikiran terbuka setelah berkuliah di Fakultas Kedokteran—yang, berbeda dengan asumsi awal kami, ternyata tidak hanya membahas keperawanan dalam koridor dunia medis belaka, namun juga nilai moralitas dan tekanan sosial yang mengikutinya kemana-mana.


Keperawanan dalam Perspektif Psikologi


Dua hari setelah bertemu dan bertukar pikiran dengan Alina, pada Kamis 13 Desember 2018 kami bertemu dengan teman diskusi selanjutnya dari fakultas besar di sebelah timur FIB, yaitu Fakultas Psikologi. Sebut saja Gwen—bukan nama aslinya—yang datang sore itu dengan wajah pusing setelah menjalankan ujian akhir semester dan korsa merah kebanggaan fakultas, habis foto angkatan katanya. Kami bertemu di Fakultas Ilmu Budaya yang kebetulan sudah sepi karena setelah berbincang dengan kami, Gwen masih harus menghadiri musyawarah besar grup teater di fakultasnya. Selain sibuk ber-teater, Gwen yang merupakan mahasiswi semester 3 ini juga merupakan anak band, namun sedang vakum.


Perbincangan dimulai dengan membicarakan kehidupan masing-masing, tentang pusingnya ujian akhir semester contohnya, sebagai ‘pemanasan’ sebelum membicarakan hal-hal yang agak serius. Baru setelah kami ingat ada deadline yang harus dikejar, wawancara berkedok ngobrol dimulai. Sebagai awalan, kami meminta Gwen untuk mendefinisikan keperawanan sepengetahuannya dalam konteks psikologi dan keperawanan menurutnya pribadi. Dalam konteks psikologi, dengan kurang mantap— karena mungkin belum ada definisi pasti atau mungkin karena belum ada materi kuliah khusus yang membahasnya—Gwen menjawab bahwa keperawanan adalah kondisi selaput dara perempuan dimana jika selaput daranya utuh, perempuan tersebut masih perawan, dan jika sudah tidak utuh berarti sudah tidak perawan.


Hal berbeda ditunjukkan ketika ia mendefinisikan keperawanan menurutnya pribadi. Gwen menuturkan bahwa keperawanan bukan melulu hanya tentang selaput dara, lebih dari itu keperawanan lebih terkait dengan hubungan seksual, dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, menurut Gwen jika sudah melakukan hubungan seksual baik itu penetrasi penis, oral, maupun foreplay lainnya, dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut sudah tidak perawan, terlepas dari apapun kondisi selaput daranya. Terlebih, selaput dara secara biologis tidak memiliki fungsi apa-apa sehingga tidak bisa dipermasalahkan.


Selanjutnya kami menyinggung hal yang cukup sesuai dengan bidang studi Gwen, yaitu dampak psikologis dari orang-orang yang sudah tidak perawan—sebelummenikah utamanya. Menurut Gwen, dampak psikologis yang ditimbulkan itu tergantung dari penyebab ketidakperawanan, jika karena kehendaknya sendiri seperti berhubungan seksual secara konsensual atau karena kecelakaan saat berolahraga mungkin orang yang bersangkutan akan oke-oke saja, namun jika karena hal-hal yang tidak dikehendaki seperti perkosaan, dampaknya akan luar biasa bagi psikologis yang bersangkutan.


Lebih lanjut, orang yang sudah tidak perawan, terutama perempuan, pasti mendapat stigma negatif dari masyarakat. Pandangan bahwa perempuan yang sudah tidak perawan itu tidak bisa menjaga diri, kotor, dan murahan sudah sangat sering terdengar di masyarakat, apalagi jika aktivitas melepas keperawanan ini berbuah hasil alias sampai menimbulkan kehamilan.


Keperawanan yang seakan sangat penting di Indonesia, menurut Gwen disebabkan oleh nilai dan agama yang dijunjung tinggi. Dalam berbagai agama yang diakui di Indonesia, hubungan seks sebelum menikah haram hukumnya sehingga menjaga keperawanan adalah sesuatu yang harus. Dari sini, penanaman nilai terhadap keperawanan secara tidak sadar terjadi dan membuat hal ini sangat penting adanya. Keperawanan yang memiliki spot khusus di masyarakat seringkali dijadikan dasar untuk menilai seseorang secara utuh, sehingga muncul salah satu dampak luar biasa dari permasalahan ini: tes keperawanan.


Gwen awalnya harus mengonfirmasi dahulu bahwa tes keperawanan biasanya digunakan sebagai syarat masuk ke instansi-instansi resmi pemerintah seperti tenaga militer. Lalu kami cukup kaget ketika ia mengatakan, “Tes keperawanan itu melanggar hak. Sama aja kayak keadaan dibatasi sama kondisi yang tidak bisa dikontrol, selaput dara kan tidak bisa dikontrol.” Iya, benar juga, selaput dara tidak bisa dijadikan bahan untuk melihat status keperawanan seseorang. Bisa saja selaput dara sudah robek karena menunggang kuda, jatuh dari sepeda, atau bahkan mungkin orang lahir tidak dengan selaput dara. Lagipula, apa hubungannya aktivitas seksual seseorang dengan kemampuannya untuk membela negara?


Kami kemudian juga menyinggung dampak lain dari tingginya nilai keperawanan di masyarakat, yaitu operasi keperawanan. Ketika ditanya tanggapannya mengenai praktik operasi plastik ini, Gwen dengan tegas langsung mengatakan bahwa operasi keperawanan itu tidak diperlukan. Operasi ini menurutnya malah akan merusak tubuh si perempuan—barangkali karena operasi ini secara biologis memang tidak penting. Namun begitu, Gwen tidak menampik bahwa operasi keperawanan hadir dari pentingnya nilai keperawanan di masyarakat. Praktik ini dilakukan semata-mata agar si perempuan yang bersangkutan dapat diterima oleh orang lain, calon suami dan keluarga contohnya.


Padahal, selain urusan keperawanan belaka, Gwen juga menekankan pentingnya kesiapan mental ketika akan memulai berkeluarga—atau, dalam kasus ini, ia juga menyebutkan bahwa orang-orang sebaiknya menyiapkan kembali kondisi mentalnya ketika akan berhubungan seksual, utamanya untuk yang pertama kali. Gwen sendiri secara personal mengatakan bahwa jika ia akan berhubungan seksual pertama kali, ia mungkin akan menyiapkan diri dengan semua konsekuensi yang ada, memastikan pasangannya dapat dipercaya, dan fisiknya sendiri sedang berada dalam kondisi yang baik (karena fisik yang baik sedikit banyak akan berpengaruh pada kondisi mental pula).


Di tengah-tengah perbincangan, sambil mengingat-ingat kembali percakapan kami bertiga sejak awal, sejak dua hari lalu bersama Alina, kami menyadari sesuatu. Ternyata, perbincangan kami yang sangat banyak itu sangat menjurus ke perempuan, bahkan laki-laki hampir tidak terlintas dan tidak terbicarakan. Padahal tema dari tulisan ini adalah keperawanan secara umum, bukan keperawanan perempuan semata.


Gwen sejak awalpun sudah mengatakan bahwa konsep keperawanan sangat patriarkis karena ada ketimpangan makna antara keperawanan perempuan dan keperawanan laki-laki. Keperawanan perempuan dilihat dari selaput daranya, yang jika sudah sobek berarti sudah tidak perawan, ada “bukti” yang dapat dilihat. Sementara bagi laki-laki tidak. Secara fisik laki-laki yang masih perawan dan sudah tidak perawan tidak ada bedanya sama sekali. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah laki-laki masih perawan atau tidak hanyalah kejujurannya, yang bagi Gwen hal tersebut tidak adil.


Setelah lebih dari satu jam, perbincangan menjadi lebih santai—padahal memang sudah santai dari awal. Kami, penulis, kemudian menanyakan pertanyaan yang sebelumnya sudah ditanyakan ke Alina, “apakah kamu keberatan jika suamimu nanti ternyata sudah tidak perawan?” Dan jawabannya sesuai ekspektasi, tidak. Gwen tidak keberatan jika suaminya nanti ternyata sudah tidak perawan ketika menikahinya, dengan syarat suaminya tersebut harus jujur mengakuinya, menjelaskan tentang kondisi saat itu jika memungkinkan. Namun, pandangannya tersebut dibatasi oleh agama yang dianutnya yang sudah jelas-jelas melarang perbuatan seksual sebelum menikah. Jadi, Gwen bingung juga menempatkan jawabannya.


Meninggalkan kebingungan Gwen tersebut karena jika diteruskan akan sangat panjang dan tidak berujung, kami lalu penasaran apakah pandangan Gwen tentang keperawanan berubah ketika ia berkuliah di Fakultas Psikologi. Ternyata tidak, terlepas dari beberapa materi kuliah yang ia sampaikan, pandangan-pandangan tentang keperawanan yang ia berikan sudah ada jauh sebelum ia berkuliah.


Penutup


Bincang-bincang kami dengan Alina dan Gwen tentu saja telah membuat kami berefleksi kembali mengenai keperawanan. Konsep yang ternyata luar biasa kabur ini tetap saja tidak bisa sepenuhnya kita sederhanakan menjadi satu pengertian pendek, namun kami rasa mungkin memang tidak perlu begitu.


Kami, penulis, berangkat dari perspektif antropologi yang melihat keperawanan dan betapa pentingnya aspek ini dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia sebagai, lagi-lagi, satu produk konstruksi sosial yang berusaha mengatur kita berperilaku. Argumen-argumen dari Alina sebagai mahasiswi Kedokteran dan Gwen sebagai mahasiswi Psikologi pun turut menguatkan pernyataan kami mengenai hal ini.


Membicarakan keperawanan pun pasti tidak lepas dari seks itu sendiri. Kami, mengamini jawaban-jawaban Alina dan Gwen soal fisik dan mental yang harus dipersiapkan sebelum seseorang berhubungan seksual terutama untuk yang pertama kali, sepakat bahwa hubungan seksual memang dibuntuti konsekuensi-konsekuensinya sendiri. Namun selama kedua belah pihak ini sama-sama saling setuju untuk melakukannya, kami rasa urusan itu pun otomatis menjadi urusan pribadi mereka berdua.


Ada satu kalimat yang dilontarkan Gwen yang sempat membuat kami tertegun: “Laki-laki mau bermasturbasi sebanyak apapun tetap tidak meninggalkan ‘bukti’. Sedangkan perempuan, jangankan berhubungan seksual betulan, masturbasi saja beresiko sekali merobek selaput dara yang ujung-ujungnya akan membuatnya dicap ‘tidak perawan’ itu.”


Kalimat itu seolah melemparkan kami, penulis, kembali ke dalam salah satu sesi di kelas studi gender di mana Suzie Handayani menyebutkan bahwa dalam dunia yang begitu patriarkis ini, tubuh perempuan bersifat seksual sementara isi kepalanya bersifat aseksual. Ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan dipandang wajar bila dijadikan objek seksual sementara pikirannya harus bersih, lurus, dan suci—sangat suci hingga kami tidak boleh menyentuh tubuh kami sendiri.


Kembali lagi ke persoalan keperawanan, kami rasa yang perlu kita benahi sekarang barangkali bukan definisi keperawanan itu sendiri, tapi kebiasaan latah yang jelek dari orang-orang Indonesia yang terus-terusan memberikan nilai dan stigma buruk kepada perempuan yang memutuskan melepas keperawanan mereka sebelum menikah. Salah satu cara membenahi itu, kami rasa, bisa dimulai dengan edukasi dan dekonstruksi gender dan seksualitas yang akan berdampak luar biasa besar di Indonesia. Para penggagasnya mungkin akan menghadapi ancaman dari berbagai kalangan ekstremis, namun masyarakat juga akan diajak berpikir kembali tentang keperawanan—utamanya juga wacana bahwa perempuan berhak akan tubuh mereka sendiri dan seks adalah sesuatu yang bisa mereka nikmati tanpa harus merasa kotor dan tidak punya harga diri.


Referensi


Ayuandini, Sherria. (2017). For One Drop of Blood: Virginity, Sexual Norms and Medical Processes in Hymenoplasty Consultations in the Netherlands. Arts & Sciences Electronic Theses and Dissertations.


Cooper, R., & Nylander, L. (2010). Constructing Sexuality and Virginity: An Anthropological Analysis of'slidkrans' in Sweden. Unpublished MA Thesis, Sweden: Lund University.


Francis, Seth. (2010). "A Thin Membrane Called Honor: Hymenoplasty in Muslim Cultures." Accessed on December 28, 2018. https://www.pcc.edu/library/wp-content/uploads/thin-membrane-called-honor.pdf

49 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page