Menjadi Bebas Lewat Klub Malam
- Harits Arrazie
- Apr 6, 2019
- 7 min read
Updated: Apr 12, 2019
Oleh: Galang Dwi Putra, Harits Naufal Arrazie, dan Matthew Alexander

Waktu menunjukkan pukul 01.00 ketika kami tiba di Platinum. Jejeran motor dan mobil tersusun rapi di tempat parkir. Dua sampai tiga tukang parkir sibuk mengatur kendaraan pengunjung. Sepeda motor – yang dikenai tarif tiga ribu untuk parkir – terlihat lebih banyak jumlahnya saat itu dibandingkan dengan mobil.
Beberapa pengunjung terlihat masih mondar-mandir di tempat penitipan barang. Barangkali mereka masih menunggu datangnya teman-teman yang lain. Hari itu, hanya ruangan di lantai dua Platinum yang aktif beroperasi, sedangkan dua ruangan lainnya – di laintai satu dan tiga – masing-masing tidak beroperasi dan terlihat sepi. Berbeda pada hari kunjungan kami sebelumnya dimana ruangan lantai tiga pun juga ikut beroperasi. Sebelum naik ke lantai dua, security terlebih dahulu memeriksa semua barang bawaan pengunjung, memastikan tak ada makanan maupun minuman yang dibawa dari luar, apalagi senjata tajam.
Platinum sendiri berlokasi di Jalan Urip Sumoharjo No. 111A. Jalan ini disesaki oleh beragam toko, cafe, hypermarket, hingga bioskop. Sebelum Platinum, terdapat hypermarket bernama Giant. Hampir persis di depanya berdiri salah satu bioskop terkenal di Jogja. Di jalan ini pula, nyaris atau bahkan tak ada bangunan yang berfungsi sebagai rumah semata. Setiap bangunan yang berdiri di sana mempunyai profitabilitas tinggi. Setiap bangunan itu juga selalu menghadap ke badan jalan utama sebagai bentuk upaya pengumpulan modal dan laba dengan cara menggaet ribuan calon pembeli yang diharapkan mampir setiap harinya (Sangaji, 2006).
Terkait dengan lokasi kunjungan, Platinum dipilih sebagai tempat observasi[1] karena tak perlu merogoh sepeser pun untuk menikmati dunia gemerlap di sana. Cukup datang, naik ke lantai dua, dan ikut berdansa. Paling-paling uang keluar jika ingin membeli minuman, itupun kalau mau. Lain cerita apabila mau memesan table. Karena memesan table, artinya juga memesan minuman.
Datang pukul 01.00 juga didasari pertimbangan tertentu. Pada jam segitu, biasanya, orang-orang sudah berada pada kondisi terbaiknya (mabuk!) sehingga ruang-ruang kosong dan panggung kecil yang berada tepat di depan DJ mulai sesak. Dan, benar saja. Ketika tiba di lantai dua, orang-orang sudah terlihat menikmati suasana, berdansa mengikuti musik yang dimainkan DJ. Lagu “The Time” milik Black Eyed Peace menjadi lagu pertama yang kami dengar ketika memasuki ruangan. Volume musik yang sangat besar membuat jantung berdetak, juga membuat telinga kami sedikit budeg.
Musik akan membahana sampai kira-kira pukul 03.00. Orang-orang menggoyangkan badannya di lantai dansa sendirian, berpasangan, maupun gerombolan. Orang-orang yang tak ikut bergoyang tetap tinggal di meja masing-masing sambil menenggak alkohol yang telah dipesan. Terlihat juga orang-orang yang, boleh jadi, karena sudah terlalu mabuk, hanya bisa terduduk lemas di kursi masing-masing.
Malam itu tak ada meja yang terlihat kosong. Semuanya sudah terpesan. Semua yang datang ke Platinum malam itu dapat dipastikan adalah anak muda. Beragam jenis minuman beralkohol, wadah es batu, dan mixer seperti coca-cola juga terlihat di setiap meja. Waitress sibuk mondar-mandir mengantarkan minuman. Dari keseluruhan meja yang kami tak tahu persis berapa jumlahnya, Smirnoff menjadi minuman yang paling banyak dipesan. Minuman ini menjadi laris mungkin karena memiliki harga yang paling murah.
Kamar mandi yang terletak di pojok ruangan juga tak kalah ramai. Setiap saat orang-orang keluar masuk dari sana. Entah untuk buang air kecil, memuntahkan isi perut karena sudah terlalu banyak menenggak alkohol, ataupun mengistirahatkan diri dari riuhnya suasana dugem saat itu.
Platinum: Ruang Publik dan TAZ
Kemunculan istilah dunia gemerlap (dugem) berawal dari menjamurnya tempat-tempat diskotek di Indonesia. Diskotek sendiri hadir dalam dinamika perkotaan Indonesia sejak November 1970, sekaligus menjadi yang pertama di Asia Tenggara (Hanggoro, 2018). Kehadiran diskotek di Indonesia, yang bermula di ibukota, berawal dari kebijakan Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) yang memberi kesempatan pada siapapun untuk membangun tempat-tempat rekreasi bagi anak muda. Mengutip dari Kompas, disebutkan bahwa “…daripada kaum muda itu pergi ke tempat yang gelap, lebih baik disediakan tempat yang berizin” (Pudjiastuti, 2016).
Sejak saat itu, diskotek kemudian menjadi salah satu ruang perkotaan yang berfungsi sebagai tempat berekspresi bagi pemuda-pemudi, sekaligus pelepas penat setelah menjalani rutinitas sehari-hari. Hal ini terbukti dengan dijadikannya diskotek sebagai ruang pertunjukan tarian disko serta peragaan busana (fashion show). Tidak hanya itu, diskotek juga menawarkan minuman beralkohol dan musik-musik disko dari Barat maupun Indonesia sebagai obat pelepas penat bagi pengunjung. Terkait dengan lagu-lagu yang dibawakan, diskotek lebih menggunakan piringan hitam untuk menyajikan musik sebagai hiburan alih-alih mengundang band atau penyanyi secara langsung (live music). Hal inilah yang kemudian membedakan diskotek dengan klub malam, meskipun keduanya sama-sama beroperasi di malam hari.
Di Indonesia, klub malam merupakan salah satu dari sedikit ruang publik di mana aturan-aturan dari dunia “luar” untuk sementara tidak berlaku (Webster, 2010). Klub malam juga menjadi ruang untuk ekspresi gender dan seksual. Di Platinum, beberapa orang bergoyang secara berpasang-pasangan. Sambil membawa gelas berisikan alkohol, mereka mengikuti alunan musik, dan sesekali berciuman. Tentu, hal seperti ini tak dapat dilakukan di ruang publik lain. Terdapat norma dan aturan di masyarakat, meski tidak tertulis, yang mengatur dan membatasi orang-orang untuk berperilaku demikian. Namun, di klub malam, norma dan aturan itu tidak berlaku. Setiap pengunjung bebas mengaktualisasikan hasrat masing-masing.
Realitas yang berlangsung dalam Platinum juga sesuai dengan apa yang disebut Hakim Bey sebagai Temporary Autonomous Zone (TAZ). Mengutip pernyataan Bey mengenai konsep TAZ:
In all encompassing party, a Temporary Autonomous Zone, place where just maybe you can loose yourself in a state of mental, physical, chemical, liquid even kissing and hugging (Hakim Bey dalam Duncombe, 2002).
Platinum dapat disebut sebagai autonomous zone karena secara tidak langsung menjadi ruang bagi setiap individu untuk bebas melakukan apapun selama tidak melanggar batas-batas yang dapat merugikan individu lainnya (Sangaji, 2006). Platinum juga disebut temporary karena waktu beroperasinya yang terbatas (Sangaji, 2006), yakni dari pukul 19.00 sampai 03.00.
Dalam kedudukannya sebagai ruang, Platinum dapat disebut sebagai ruang publik. Secara sederhana, ruang publik adalah ruang yang dapat diakses semua orang (Usman, 2006). Konsep ini dapat dipakai untuk melihat Platinum sebagai ruang publik karena memang ia dapat diakses semua orang, hanya saja masih didominasi oleh mereka dengan status ekonomi menengah-atas.
Mayoritas dari mereka antara lain mahasiswa dari golongan mampu secara finansial dan pekerja dengan gaji tinggi (Sangaji, 2006). Itu terlihat dari beberapa motor atau mobil yang masuk ke area parkir serta pakaian yang dikenakan. Kami tak menemukan satu orangpun yang datang menggunakan sendal, apalagi sendal jepit. Dan, agaknya, siapapun yang datang ke Platinum adalah orang-orang yang sudah selesai dengan persoalan kebutuhan dasarnya (basic needs). Persoalan yang sudah pasti menggelisahkan bagi masyarakat lapis bawah.
Klub Malam dan Ruang Kebebasan
Ketika kaki mulai menapaki lantai dua, telinga akan disambut dengan dentuman musik bernada riang dan ceria. Pencahayaan yang disetel remang-remang dan terkadang mengikuti irama musik membuat suasana party kian terasa. Ketika hari semakin dini, ruangan semakin dipadati pengunjung. Di sudut-sudut ruangan, di table masing-masing, di panggung kecil, di ruang-ruang kosong antara table, terdapat beberapa pasangan yang telah sangat mabuk. Sesekali mereka berpelukan dengan gontai, berciuman, bahkan saling meraba dengan tangan gemulai dan, tentu saja, sempoyongan. Di satu sisi, perempuan menjadi subjek yang lebih mabuk dibanding laki-laki karena porsi minuman lebih diistimewakan kepada perempuan. Di sisi lain, laki-laki akan menjadi pelindung dari perempuan itu, baik selama di ruangan hingga perjalanan pulang.
Musik berdentum, badan turut bergoyang. Dari beberapa goyangan yang mengikuti dentuman musik, akan diketahui mana orang yang benar-benar sering, jarang, dan bahkan baru pertama kali dugem. Bagi mereka yang sering datang, mempunyai gaya menari yang mampu mengikuti irama musik dengan serasi, sangat padu bahkan rancak mencolok. Apalagi sudah dalam kondisi mabuk.
Hampir tidak ditemukan pengunjung yang menunjukkan ekspresi marah dan kesal. Semua orang yang datang jelas terlihat bahagia, baik yang mabuk ataupun yang masih sadar. Selain alkohol, DJ yang membuat orang-orang semakin kerasukan tak selalu menjadi pusat perhatian. Orang-orang lebih menaruh perhatian pada musik, pasangan masing-masing, dan rombongannya sendiri.
Mereka yang menikmati suasana itu seolah-olah menjadi acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Hal itu terlihat ketika seorang laki-laki, karena sudah terlalu mabuk, menyenggol gelas yang ada di table-nya dan menyebabkan gelas itu pecah. Orang-orang yang berada dekat dan bersebelahan dengan table itu, yang jelas mengetahui dan mendengar suara gelas pecah, hanya melihat sekilas, tidak peduli, dan kembali bergoyang.
Klub malam menjadi salah satu ruang yang memungkinkan orang-orang di dalamnya bertindak melampaui norma dan aturan yang berlaku di masyarakat secara umum. Paduan antara musik, hasrat, kerlipan lampu, dan alkohol membuat para pengunjung seolah-olah terlepas dari struktur yang mengikat mereka. Hal ini cukup mirip dengan konsep communitas yang dicetuskan Victor Turner untuk mengkaji ziarah. Konsep communitas memandang bahwa aktivitas ziarah membawa subjek-subjek di dalamnya masuk ke dalam suatu realita baru dan temporer, melebur menjadi satu dalam suatu perasaan komunal (Coleman, 2002).
Pengunjung klub malam mengalami proses transisi semacam itu, dimana mereka sesaat berpindah dari struktur yang lebih mengikat ke struktur yang lebih luwes, berbasis kesamaan dengan skala yang lebih kecil. Klub malam menjadi sarana bagi penikmatnya untuk bersenang-senang dan melepas penat. Dalam arti ini, klub malam menjadi ruang nokturnal di mana pengalaman indrawi dan erotis dirayakan melalui tubuh (Webster, 2010). Karena itu, klub malam adalah ruang kebebasan di mana orang-orang di dalamnya dapat bebas berekspresi.
Menjelang pukul 03.00, musik yang sedari awal didominasi musik elektronik dengan beat-beat repetitif mulai beralih menjadi musik-musik populer Indonesia. Lagu dari Potret, J-rocks, The Changcuters mengiringi akhir dugem malam itu. Tujuannya sederhana, untuk meriuhkan kembali ritme dugem yang terkadang melambat karena kondisi tiap orang yang semakin lemas dan mabuk.
Mereka yang tetap bisa mengikuti ritme dugem akan tetap sing a long dan semakin tenggelam dalam suasana. Waitress mendatangi setiap table, mulai mengangkat botol dan gelas. Saat sudah mencapai pukul 03.00, lampu menyala dan orang-orang mulai turun meninggalkan ruangan. Ada yang turun dengan kondisi sudah sadar. Ada pula yang masih dalam kondisi mabuk sehingga harus dipapah.
Terlihat pula bekas muntahan seseorang di tangga turun ke luar gedung. Beberapa dari mereka mengambil tas yang dititipkan di tempat penitipan. Tukang parkir terlihat sibuk membantu pengunjung mengeluarkan sepeda motor dan mobil. Ada juga yang berbincang satu sama lain di pelataran parkir. Boleh jadi mereka menunggu kondisi tubuh kembali stabil agar dapat pulang ke rumah dengan selamat. []
Referensi
Bey, Hakim. (2002). “TAZ, The Temporary Autonomous Zone: Ontological Anarchy, Poetic Terrorism” dalam Stephen Duncombe (Ed.) Cultural Resistance Reader. London: Verso.
Coleman, S. (2002). Do you believe in pilgrimage? Communitas, contestation and beyond. Anthropological theory, 2(3), 355-368.
Hanggoro, Hendaru Tri. (2018). Sejarah Musik Dugem. Diperoleh dari https://historia.id/kultur/articles/sejarah-musik-dugem-DEezX (Diakses pada 02 April 2019)
Pudjiastuti, Chris. (2016). Wabah Disko Menggoyang Era 1970-an. Diperoleh dari https://muda.kompas.id/2016/07/18/wabah-disko-menggoyang-era-1970-an/ (Diakses pada 02 April 2019)
Sangaji, Hatib Abdul Kadir Olong. (2006). Geliat Dugem Sebagai Ritual Baru pada Tubuh Kaum Urban. Balairung, 40, 54–65.
Usman, S. (2006). Malioboro. Kerjasama PT. Mitra Tata Persada dan Bappeda Kota Yogyakarta.
Webster, T. W. (2010). The Glittering World: Female Youth and Nocturnal Dugem Space in Yogyakarta, Indonesia. Gender, Technology, and Development, 14, 241-266.
[1] Kami mengunjungi Platinum sebanyak dua kali, yakni pada hari Sabtu, 30 Maret 2019 dan Senin, 1 April 2019.
pengalaman menarik! Bagus! "... memesan table, artinya juga memesan minuman." Ini bedanya kalau masuk toko furnitur ya :))