Menonton Para Penonton
- Pamerdyatmaja
- Apr 7, 2019
- 9 min read
Updated: Apr 10, 2019
Oleh : Safira Adi, Paskalia Gracia, Meivy Andriani & Pamerdyatmaja
Salah satu Iklan Bioskop yang Memicu Perbincangan Foto: Meivy
Sekilas dari Kisah Bioskop di Yogyakarta
Dari era Hindia Belanda hingga Orde Baru, bioskop dapat dikatakan sebagai ruang publik milik urban nan menjangkau beragam kelas sosial. Keberadaan bioskop untuk penonton kelas menengah bawah maupun atas bisa dengan mudah digolongkan kala itu. Bintoro (2014) mencatat bahwa “gambar idoep” atau film sampai di Yogyakarta pada tahun 1916, dan salah satu bioskop pertama yang didirikan adalah Al Hambra (Indra).
Di belakang bioskop Al Hambra, ada pula bioskop lain bernama Mascot. Perbedaan mencolok diantara keduanya ialah, Al Hambra kala itu diperuntukkan bagi para elit kota Jogja (keluarga, bangsawan kraton dan sejawatnya), sedangkan Mascot diperuntukkan bagi pribumi yang pada dasarnya sama saja berkeinginan memuaskan diri dalam hantaran tontonan film masa itu.
Kini, diketahui bila harga tiket bioskop mencapai rata-rata 40-50 ribu rupiah untuk sekali tayang. Pun kalangan yang paling mudah menjangkau harga tersebut ialah kelas menengah ke atas. Kelas sosial lain di bawahnya–yang masih sekedar mengonsumsi film untuk dilihat, bukan 'dinikmati'–berkecenderungan untuk memilih cara alternatif yang konon hingga kini dikatakan ilegal. Seperti mengunduh dari internet, atau melakukan rental VCD/DVD.
Sejarah layar sinema tanah air juga dapat ditangkap dari hadirnya layar tancap, yaitu bentuk hiburan sinema dianggap yang lebih merakyat dengan budget a la kadar. Bahkan tidak jarang bioskop dan hiburan sinema lainnya punya status di ruang publik sebagai penanda sebuah kota. Di masa jayanya, layar tancap hadir sebagai cakupan ruang publik yang lebih fleksibel dibandingkan bioskop modern masa kini. Ciri ini nampak dari diterbitkannya regulasi untuk penonton yang seringkali berjubel hingga harga tiket yang sama sekali tidak menuai pungutan sepeserpun.
Berbincang tentang bisnis bioskop masa kini, seringkali ada anggapan akan lesunya jumlah penonton ketika hadir VCD, TV, atau layanan TV kabel berlangganan di tengah mereka. Hal tersebut diasumsikan akan menggeser hobi masyarakat dari aktivitas menontonnya secara lebih praktis. Selain karena kemudahannya, teknologi tersebut mengizinkan penggunanya untuk menonton kapan pun dan di mana pun.
Namun rupanya, tidak semua orang lantas meninggalkan bioskop. Ada sekitar 22,5 persen orang yang masih menonton film di bioskop dalam survei yang dihimpun Kompas dari tersedianya layar di Indonesia sebanyak 1.412 layar. Hal ini menunjukkan bahwa pasar untuk bioskop memang menyusut, tetapi masih ada permintaan dan peminat untuk tiket bioskop beserta sajian tontonannya. Besar harapan memang eksistensi pasar dari “gambar idoep” teruslah berada.
Selain dari upaya penonton yang tidak ingin melewatkan momen superhero di awal penayangannya (dari beberapa ungkapan teman-teman kami), hingga cara PDKT yang tentunya makin cihui. Kami harap amatan singkat ini berguna untuk teman-teman semua.
Lanskap Bioskop
Bioskop yang bertebaran di Yogyakarta rata-rata tergabung dalam mall (sebut saja CGV, Cinemaxx, dan XXI Jogja City Mall serta Ambarukmo Plaza), dan hanya satu saja yang dapat kami katakan memiliki tata ruangnya sendiri (yakni Empire XXI di Jalan Solo). Berkaitan dengan itu, maka fasilitas yang diberikan oleh masing-masing bioskop berbeda tergantung lokasinya.
Pengunjung bioskop Empire XXI katakanlah, harus menempuh parkir yang mudah dengan mengelilingi gedung bioskop yang tidak terlampau luas. Sedangkan pengunjung bioskop yang terletak di dalam mall seringkali harus mengitari panjangnya antrian parkir bahkan tidak jarang untuk menyandarkan kendaraannya di luar mall dengan harapan masih mendapat tempat untuk memasuki bioskop yang ramai dengan sinema Box Office-nya.
Tidak semua bioskop memiliki tata letak area yang sama, tetapi hampir dipastikan semua bioskop memiliki alur menonton yang sama. Pengunjung mula-mula akan dihadapkan pada konter tiket untuk memesan tempat duduk dan melakukan pembayaran, lalu baik menjadi satu bagian maupun terpisah.
Konter tiket menawarkan pula pembelian makanan dan minuman yang tertera dalam papan menu. Bagi penonton yang ingin mendapatkan wahana ‘ekstra’, bioskop juga menyediakan fasilitas menonton kelas menengah (seperti The Premiere di bioskop XXI atau studio 4D dan SphereX di CGV) yang menawarkan kenyamanan menonton dengan kursi empuk yang bisa diatur tinggi-rendahnya, fasilitas selimut, dan fitur-fitur penunjang audio dan visual film. Jenis studio yang berbeda memberikan fasilitas yang berbeda pula, dan pengunjung dapat memilih jenis studio mana yang sesuai dengan preferensi masing-masing.
Masing-masing bioskop punya cara tertentu menarik pengunjung. Bioskop CGV misalnya, menampilkan gaya retro pada dekorasi interiornya. Seakan pengunjung maupun kami, dapat memanfaatkan meja-kursi dan beberapa instalasi lucu yang instagrammable, untuk berfoto sambil menunggu jam tayang film. Sedangkan dibandingkan dengan XXI atau Cinemaxx menampilkan gaya interior yang mewah, elegan dan klasik hingga menonjolkan citra kelas atas.
Oleh karena pemilihan material kaca, warna emas dan barang-barang kilap lainnya, seakan kedatangan kami kala itu terasa seperti seorang raja. Bioskop juga menyediakan fasilitas umum lainnya seperti toilet yang berteknologi tinggi dengan sensor panas tubuh maupun tempat sampah yang dipisahkan secara khusus.
Namun menariknya, kami mendapati bahwa dibalik fasilitas yang tersedia, rupanya bioskop tidak memiliki sistem pengaduan atau layanan semisal customer service. Hingga semua yang datang bahkan kami pun yang hanya mengamati, seolah-olah sudah sewajarnya tahu kalau alur menonton akan seperti bagaimana, harus kemana, dan apa yang harus dipersiapkan sampai layanan meminimalkan peran petugas yang berjaga.
Para Penjaga Ruang Teater
Orang yang selalu hadir terlebih dulu di bioskop ialah pegawai bioskop. Ada yang bekerja sebagai petugas keamanan, penjaga loket, petugas penjaja cemilan, pengecek tiket, dan petugas kebersihan.
Pertama, petugas keamanan menjaga bioskop dan kadangkala melakukan pengecekan pada pengunjung. Namun, dari hasil observasi kami, kewajiban petugas keamanan tidak selalu hadir pada tiap jam yang ada. Berbeda pula di Empire XXI, kami melihat bahwa khusus ada satpam berjaga di pintu depan bioskop, sedangkan banyak pengunjung yang justru masuk dari pintu keluar, karena letaknya lebih dekat dengan area parkir motor. Di XXI Jogja City Mall lain lagi, ada dua satpam yang berjaga di satu-satunya pintu masuk bioskop.
Ketika bioskop ramai pengunjung, mereka tampak lebih was-was daripada waktu sepi. Di Cinemaxx Lippo Plaza maupun CGV Hartono Mall, tidak ada petugas yang menjaga bioskop. Kami menduga petugas keamanan bioskop digantikan tugasnya oleh satpam yang ada di pintu masuk mall. Pengunjung bisa membawa makanan ke dalam bioskop tanpa ditegur, seperti empat orang yang duduk di samping kami, memakan crepes yang mereka bawa dari luar CGV. Namun, ketika makanan dibawa ke dalam teater, petugas bioskop akan mengambil dan mengumpulkannya di sebuah plastik kresek besar.
Kedua, jumlah dan seragam petugas beragam sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Jumlah penjaga loket beragam dan berubah sesuai dengan jam. Ketika kami ke Empire XXI pada jam 12 siang, hanya ada satu petugas penjaga loket, sedangkan pada jam 3 sore, petugas penjaga loket bertambah menjadi dua atau tiga. Artinya, semakin ramai pengunjung, semakin banyak petugas yang menjadi penjaga loket.
Petugas perempuan di Empire XXI dan XXI Jogja City Mall menggunakan seragam yang sama, yaitu gaun hitam polos semata kaki, sepatu yang seragam berupa sepatu hak hitam, rambut disanggul, dan tata rias yang senada dan berwarna sama. Seragam ini digunakan oleh petugas perempuan yang menjaga loket dan yang mengecek tiket.
Petugas laki-laki memakai jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan sepatu pantofel. Di Cinemaxx, kami melihat bahwa petugas bioskop memakai seragam berwarna coklat muda. Di CGV, seragam yang dipakai semua petugas sama, kecuali petugas kebersihan. Seragam petugas tampak kasual, karena tema seragamnya adalah seragam a la montir. Petugas laki-laki memakai topi dan sepatu berwarna putih, sedangkan petugas perempuan memakai bandana warna merah dan sepatu berwarna putih.
Ketiga, petugas promosi cemilan di tiga bioskop yang berbeda. Di Empire XXI, mereka memakai kemeja berwarna putih. Kami mengamati dan menemukan adanya perbedaan sikap petugas penjaga loket dengan petugas promosi cemilan. Petugas penjaga loket terlihat lebih anggun dan tidak memanggil pengunjung untuk membeli tiket, sedangkan petugas promosi cemilan secara aktif menawarkan cemilan kepada pengunjung dengan memanggil-manggil pengunjung dan meneriakkan menu-menu yang mereka tawarkan.
Di Cinemaxx dan CGV, petugas promosi cemilan bertugas di balik loket, sehingga pengunjung bisa membeli tiket dan cemilan sekali jalan. Selain itu, di XXI, ada juga petugas penjual cemilan yang terlihat seperti pedagang asongan.
Keempat, tugas pengecek tiket di masing-masing bioskop pun berbeda. Di XXI, CGV dan Cinemaxx, yang mengecek tiket berseragam seperti petugas penjaga loket. Bedanya adalah ketika pintu teater sudah dibuka, di XXI akan ada pengumuman lewat pengeras suara bahwa pintu teater sudah dibuka. Di CGV, tidak ada pengeras suara seperti itu, sehingga petugas pengecek tiket yang bertugas mengumumkan nama film dan nomor teater ke seluruh bagian ruangan. Petugas pengecek tiket pun merangkap menjadi penjual cemilan dengan troli dorong, sehingga pengunjung tidak perlu mengantre lagi.
Terakhir, adalah petugas kebersihan yang selalu tampak berjalan ke sana ke mari. Seragam yang mereka pakai berbeda jauh dengan seragam petugas lainnya. Biasanya, warna dan model seragamnya berbeda, sehingga sangat terlihat petugas mana yang menjadi petugas kebersihan.
Mereka memakai seragam kemeja lengan pendek dan sepatu. Kadang mereka terlihat membawa sapu dan pengki. Di Empire XXI, setelah pengunjung beranjak untuk memasuki teater, terlihat seorang petugas kebersihan yang dengan jeli mencoba menyapu beberapa bagian lantai karpet dengan memilih tempat di mana sampah ditinggalkan atau bahkan dibuang sembarangan oleh pengunjung.
Jika Penonton adalah ‘Raja,’ Maka Tidak Demikian di Bioskop
Bioskop yang terletak di dalam mall dengan konsep masa kini. Memang selayaknya patut dikunjungi banyak penonton oleh karena daya tarik promosinya bahkan layanan canggihnya yang menafikkan peran petugas pada kalanya. Tidak hanya para milenial saja yang tertarik, menurut kami. Tetapi juga ada beberapa kalangan tua yang menikmati sajian tontonan, baik secara mandiri maupun bersama dengan keluarganya.
Layanan M-Tix, Tix-Id maupun swa-layanan tiket lainnya. Memang merupakan keniscayaan di era digital yang kian berkembang bagi konsumen dan tentunya konsumsi urban. Dimana istilah pembeli adalah raja, bagi bioskop saat ini, seolah hal tersebut tidak berlaku dan menjadi abai seiring mudahnya akses untuk mendapatkan fasilitas yang kian ciamik.
Selama di bioskop pula, kami menemui ragam aktivitas pengunjung. Dimulai dari terlihatnya serombongan besar keluarga yang diwakili oleh anggota termuda keluarganya untuk membeli tiket pada saat itu di Cinemaxx. Lalu, ada pula di tengah ramainya antrian tiket, muncul pengunjung yang berswa-foto di depan tulisan ikonik milik Cinemaxx maupun CGV. Ada pula yang datang membawa pasangan, dimana sang perempuan seringkali terlihat dibiarkan menunggu dan laki-laki mengambil peran untuk ambil antrian dan membeli tiket.
Tidak hanya orang tua maupun pemuda-remaja saja yang beraktivitas di Cinemaxx, CGV maupun XXI dalam observasi luas kami. Melainkan anak-anak kecil yang dilepas-liarkan saat itu pula, juga turut beraktivitas dengan caranya sendiri. Melihat mereka dengan berlari-larian ke sana kemari, berteriak-teriak, bergulung-gulung di karpet bioskop (yang mungkin saja empuk) dan ada pula yang iseng keluar masuk koridor toilet bioskop (yang mungkin pula sekadar bermain petak-umpet). Tidak ada tentunya ekspresi dari pengunjung lain, yang merasa risih dengan aktivitas anak-anak ini kecuali orang tua mereka yang terkadang menjadi sungkan.
Justru dari banyaknya polah tersebut, ada pula yang kami ketahui bahwasannya orang tua anak tersebut memang sengaja melepaskan anaknya bermain dengan tujuan mengoperasikan gawainya lebih lama tanpa gangguan dari anaknya. Meski bagi anak-anak seusia SD-SMP telah ada pula yang bisa duduk tenang sambil memainkan game di gawai bersama orang tuanya. Kami rasa dari aktivitas inilah, rasa acuh dari sekitar memang menggambarkan bahwa ruang bioskop yang diterima sebagai kawasan publik. Merupakan bagian dari keleluasaan orang tua untuk mengasuh anaknya tanpa perlu takut terjadi apa-apa dalam asumsi yang kami berikan untuk saat ini.
Namun, terlepas dari merasa risihnya seorang terhadap tingkah laku seorang maupun sekelompok anak kecil yang berkeliaran bebas. Kami justru tidak menduga bahwasannya di XXI kala itu, kami dapat menemui seorang bapak yang dengan acuhnya pula justru bersandar dan duduk santai di karpet sembari melakukan video call dengan diselingi dengan men-charge HP.
Kami pun sebenarnya memiliki tanya cukup besar akan hal ini, dikarenakan adanya stop kontak di dalam bioskop tersebut, benarkah ruang yang seharusnya diperuntukkan bagi banyak pihak justru boleh hanya dimanfaatkan oleh sepihak saja? Atau tepatnya mengapa orang tersebut mendapatkan pengabaian dari pengunjung yang juga berada di dekatnya? Memang masalah stop kontak ini hanya ditemui di Empire XXI, tidak dengan Cinemaxx maupun CGV. Sehingga kami rasa, kami pun luput untuk mendalami lebih atas tingkah bapak tersebut.
Refleksi: Menatap Bioskop sebagai Ruang Publik Urban yang Imajiner, Akankah Kita Benar Merasakannya?
Dalam aktivitas masyarakat urban yang kita kenal saat ini, mengalami ruang adalah kesempatan terbatas dan amat konstruktif dalam cakupan sosial keseharian. Ruang tentunya dapat mencitrakan secara luas tentang siapa kita? Mendasari pengalaman untuk menemukan jejaring dari upaya mengidentifikasi individu maupun komunitas yang ada dalam tataran dinamika sehari-hari.
Melalui perundingan serta aktivitas yang tentunya masing-masing anggota kelompok kami pernah alami pula. Memilih bioskop sebagai ruang untuk melepas waktu luang atau nyata dikatakan rekreasi. Merupakan salah satu jawaban utama dari banyaknya pilihan dari yang telah kami lalui maupun juga dengan asumsi bagi kalangan urban kelas menengah sekitar di tempat amatan kami hadirkan, tentunya dalam mendapatkan akomodasi amatan yang diperoleh.
Kami memilih beberapa layar sinema yang dapat terakses secara publik yakni, Empire XXI dan Jogja City Mall, Cinemaxx Lippo Plaza, CGV Hartono Mall dan Transmart sebagai bagian lingkup deskripsi ringkas tentang apa yang seringkali kita abaikan tentang bioskop beserta detail rincinya.
Menggambarkan masyarakat yang mapan oleh dinamika urban, mungkin di ranah bioskop-lah perjumpaan kami temukan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan bioskop mencitrakan kepada kami, tentang siapakah masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh kemajuan atau bagaimana hingga kini dinamika dari kelas yang kompleks seakan memberikan jarak bahkan segmentasi bagi tiap orang. Memang, berbincang tentang bioskop pada saat ini tidak sama dengan masa lalu yang amat terpetakkan oleh kelas hingga kontestasi tempat duduk kala itu pun berpengaruh besar.
Di kala tiap langkah menapaki langkah tangga bangku penonton yang tersedia, disana pula tercermin siapakah manifestasi diri anda. Membaur atau kerap diistilahkan dengan padanan egaliter adalah salah satu ciri yang terbentuk dari idaman masyarakat kota yang individual bahkan mandiri secara sosial. Betapa banyak memang, aktivitas yang terangkum dalam bioskop. Oleh karena bioskop saat inilah, ruang publik yang kami kenal, digunakan pula sebagai ruang asuh orangtua kepada anaknya.
Dan oleh karena alasan rekreasi inilah, banyak orang yang menyempatkan diri untuk mengambil waktu senggangnya dengan menonton apa yang disukainya. Lalu oleh karena tuntutan apa yang ingin kita tonton saat inilah, banyak pengunjung yang menjadi mandiri dengan sendirinya tanpa perlu penanda yang tentu.
Referensi
Akbar, Caesar. 29 Januari 2019. “Investasi Asing Masuk, Jumlah Layar Bioskop Naik 2 Kali Lipat” dalam Tempo.co (https://bisnis.tempo.co/read/1170121/investasi-asing-masuk-jumlah-layar-bioskop-naik-2-kali-lipat/full&view=ok)
Artikel Dewan Kesenian Jakarta. 2 November 2007. “Apa Kabar Bioskop Indonesia?” (https://dkj.or.id/artikel/apa-kabar-bioskop-indonesia/)
Bintoro, Aryasa Bonny. “PERKEMBANGAN BIOSKOP DI KOTA YOGYAKARTA 1948 – 1990-AN”. Skripsi, Universitas Gadjah Mada, 2014.
DP, Yustinus Andri. 03 Januari 2019. “Bisnis Bioskop Tahun Ini Makin Moncer” dalam Bisnis.com (https://ekonomi.bisnis.com/read/20190103/12/875095/bisnis-bioskop-tahun-ini-makin-moncer)
Hasan, Akhmad Muawal. 3 April 2017. “Nasib Bioskop di Tangan Generasi Milenial”. Dalam tirto.id (https://tirto.id/nasib-bioskop-di-tangan-generasi-milenial-cl8k)
Indrarto, Totot. 30 Maret 2016. “Hiburan Rakyat yang Tak Terjangkau”. Dalam Beritagar.id (https://beritagar.id/artikel/telatah/hiburan-rakyat-yang-tak-terjangkau)
Mohamad, Ardyan. 2 September 2016. “Bioskop Pinggiran Menunggu Giliran Menjemput Ajal” dalam laman Merdeka.com
Octaviani, S. 1 Desember 2014. “Asiknya Nonton Layar Tancep Yang Nggak Didapet di Bioskop” dalam Majalah Provoke Online. (http://www.provoke-online.com/index.php/lifestyle/lifestylenews/89-p-fest/3439-asiknya-nonton-layar-tancep-yang-nggak-didapet-di-bioskop)
Panolih, Krishna P. dan Rosalina, M. Putri. “Beda Generasi, Beda Cara Menonton Film”, Kompas, 23 Desember 2018, METROPOLITAN. https://kompas.id/baca/utama/2018/12/23/beda-generasi-beda-cara-menonton-film/
Tamalagi, Elida. 17 Mei 2013. “Sejarah dan Produksi Ruang Bioskop”. Dalam filmindonesia.or.id (http://filmindonesia.or.id/article/sejarah-dan-produksi-ruang-bioskop#.XKbo45gzbIV
kalau diTweet, dan mention CGV, XXI, dan Cinemaxx bisa dapet voucher nonton gratis sekelas ngga ya ??? Hmmmm