top of page

Menyingkap Moral dalam Tiga Sudut Pandang: Filsafat, Hukum, dan Antropologi

Nabila Y Hanun

Mega Putri


source: drama korea Weighlifting Fairy Kim Bok Joo

“ Orang tersebut tidak bermoral!”


Barangkali sudah sering kita mendengar kalimat tersebut di jalan, rumah, kampus, maupun media sosial. Orang-orang melabeli tindakan rasional satu sama lain dengan istilah bermoral atau tidak. Tapi pertanyaannya, apa itu moral? Secara awam manusia mengenal moral sebagai sesuatu yang bernilai dan didapatkan secara turun menurun. Moral diajarkan pertama kali di lingkungan individu kemudian tumbuh dan berkembang. Namun pengertian selanjutnya masihlah abstrak, dan karena alasan itulah kami memilih konsep ini. Demikian konsep moral dalam pandangan kami tidak lain adalah suatu entitas kabur namun diagung-agungkan oleh umat manusia. Mungkin karena 'keagungan’ itulah kata moral hadir di setiap tindakan manusia dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun.

Membahas mengenai moral akan menimbulkan pertanyaan mendasar dan akan menggugah rasa penasaran kita mengapa manusia terikat dengan “istilah” tersebut. Untuk itu perlu kita paparkan terlebih dahulu pengertian moral berdasarkan kamus bahasa yang telah disetujui bersama. Bersandar kamus bahasa inggris oxford, setidaknya terdapat empat definisi moral. Moral diartikan sebagai kata sifat yang berhubungan dengan prinsip benar dan salah,“Concerned with the principles of right and wrong behaviour”. Moral juga didefinisikan berkaitan atau berasal dari kode perilaku yang dianggap benar atau dapat diterima dalam masyarakat tertentu ,“Concerned with or derived from the code of behaviour that is considered right or acceptable in a particular society”. Secara atributif moral mempertimbangkan sifat etika dan dasar-dasar karakter dan perilaku yang baik dan buruk, “Examining the nature of ethics and the foundations of good and bad character and conduct”. Moral pula diartikan sebagai sesuatu yang memanifestasikan prinsip-prinsip tinggi untuk perilaku yang pantas, “Holding or manifesting high principles for proper conduct”. Adapun sebagai kata benda moral diartikan sebagai sebuah pelajaran yang bisa diambil dari sebuah cerita atau pengalaman, “A lesson that can be derived from a story or experience”,. Standar perilaku; prinsip benar dan salah, “Standards of behaviour; principles of right and wrong”.

Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu kata moralis:

Late Middle English: from Latin moralis, from mos, mor- ‘custom’, (plural) mores ‘morals’. As a noun the word was first used to translate Latin Moralia, the title of St Gregory the Great's moral exposition of the Book of Job, and was subsequently applied to the works of various classical writers” (oxford dictionay online).

Adapun arti dalam kamus besar bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai kata benda.

n (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuann kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yang tinggin ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita

Menelaah dari berbagai macam definisi tersebut kami mencoba mempersoalkan sikap manusia yang tunduk terhadap moral dengan mendefinisikan moral dari tiga perspektif yang berbeda yaitu filsafat, hukum, dan tentu subjek yang kami pelajari, antropologi sebagai suatu pandangan ilmu pengetahuan.


Menyoal Moral dalam Antropologi

Seperti namanya, antropologi berasal dari kata kata Yunani anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti "wacana" atau ilmu, maka dari itu penting memahami moral dan moralitas sebagai bagian dari jati diri manusia. Tindakan manusia -dalam teori antropologi- disebabkan 2 (dua) hal yaitu rasionalitas dan moralitas, dimana keduanya didorong oleh faktor-faktor lingkungan. Persoalannya faktor-faktor apa yang mendasari tindakan tersebut dan bagaimana pengetahuan tersebut berpengaruh?

Ketika orang berbicara tentang moralitas, biasanya mereka memikirkan pertanyaan-pertanyaan substansi — apa yang harus dilakukan, apa yang benar, bagaimana menambal ketidakkonsistenan dalam kode moral seseorang, dan seterusnya.

Menurut Louch (1963) moralitas berkaitan dengan kebenaran, atau membangun kebenaran tindakan. Terdapat pandangan di setiap tindakan dan menurut Lough: suatu tindakan dikatakan “rasional” jika dianggap benar; dan salah bila dianggap orang tersebut mengalah pada keinginan atau nafsu.

Pada setiap manusia, menurut A.R. Louch, dalam melakukan tindakan rasional pasti ada bahasa motifnya. Ungkapan "memiliki motif" tidak berarti bahwa seseorang melakukan, sekarang melakukan, akan melakukan, atau memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan, artinya ini lebih menyiratkan bahwa situasi di mana orang menemukan dirinya akan, dalam beberapa pengertian yang lebih luas daripada moral, membenarkan dia dalam bertindak dengan cara tertentu. Salah satu contohnya pegawai bank memiliki motif untuk memperbaiki catatan akutansi untuk menutupi utang taruhannya sendiri.

Akun moral bersifat dibentuk, tetapi memadai. Moral bukan hal yang tergesa-gesa dan tidak terdapat koleksi data dan konstruksi teori, tetapi dari aturan yang dapat dilihat secara logis untuk diterapkan pada tindakan tertentu. Selain itu, konsepsi tindakan oleh manusia hanya dimungkinkan dalam konteks aturan tersebut; mereka secara moral menjelaskan, tetapi mereka juga berfungsi sebagai teknik untuk deskripsi tindakan manusia.

Sayang, keadaan diatas adalah kurangnya highlight atau penekanan pada kemungkinan bahwa tindakan rasional dan moralitas itu sendiri dapat didefinisikan atau dicirikan sebagai suatu prosedur yang bertentangan dengan kecocokan kolektif atau kegagalan untuk menyamakan standar moral tertentu.

Pada Encyclopedia Anthropology of Ethic And Morality, hal yang tidak dibahas oleh Louch dijelaskan oleh beberapa tokoh berikut:

Emile Durkheim menganggap moralitas merupakan suatu proses mekanis dimana individu menjadi bagian dari fungsi masyarakat. Lebih lanjut lagi moral menjadi aturan individu yang disetujui secara sosial untuk menjinakkan keinginan individu dalam melayani masyarakat. Dalam konteks antropologi, moral pula dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana aturan adat dan peran menjadi menarik bagi individu. Maksud menjadi menarik disini adalah, mengapa suatu individu merasa terikat dan berasa berkewajiban terikat oleh moral di masyarakat.

Setiap konsep dalam antropologi tentu memiliki berbagai pandangan. Begitu pula dalam konsep moral ini, pada antropologi Amerika, pengaruh Durkheim dirasa kurang kuat. Sebaliknya konsepsi Boas tentang “budaya yang dibatasi” dengan nilai-nilai dan kepribadian seorang subjek yang khas (subjektivias) menghasilkan moralitas yang sangat mirip dengan cara berfikir, perasaan, dan tindakan yang disetujui yang diambil disetiap budaya. Karena kemiripan tersebut maka moral terbentuk di dalam suatu teritorial tertentu sesuai dengan batas budaya dan pengaruhnya.

“...each with its own distinctive values and modal personalities, resulted in a remarkably similar treatment of morality as the approved ways of thinking, feeling, and acting that are taken for granted and habitual in each culture (Benedict, 1934)”. (James Laidlaw, 2017)

Secara garis besar kedua pandangan ini menghasilkan sebuah fungsi moralitas yaitu sebagai idiom untuk mengekspresikan kepentingan kelas (atau komunal), seperti dalam pendekatan Durkheimian dan Boasian, sehingga pada dasarnya menjadi hal yang fundamental dari aturan dan representasi kolektif yang mendefinisikan dan memaksa setiap anggota dari grup (baik secara keseluruhan atau hanya pada kelas-kelas tertentu).

“ In both these variants, morality functions as an idiom for the tactical expression of class interest, and thus as in Durkheimian and Boasian approaches, it remains fundamentally a matter of the collective representations and rules that define and enforce group membership, whether of a whole society or of a specific class.” (James Laidlaw, 2017)

Selain itu moral juga dapat diketahui melalui tanggungjawab yang didapat oleh setiap individu. Sebagaimana kutipan James Laidlaw berikut;

“In addition, within the terms set by this understanding of morality as collectively shared values, habits, and rules in relation to social structure, anthropologists achieved some notably sophisticated and original insights, including Leach’s ideas about how conflicting complexes of values might be dynamically related (1954), Fortes’s comparison of ideas of Fate and Justice in both scriptural and oral religions (1959), and Gluckman’s suggestion that the social dynamics of moral life can be mapped by describing the processes involved in the allocation of responsibility (1972).” (James Laidlaw, 2017)

Mengkaji makna moral melalui kaca mata antropologi menjadi sederhana apabila kita mengetahui terlebih dahulu konsep moral secara umum. Sebagaimana diskusi kami dengan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, (untuk meyakinkan pemahaman kami tentang antropologi moral) secara sederhana ia menjelaskan bahwa moral memiliki tiga klasifikasi antara lain moral individu, moral sosial-masyarakat, dan moral kebudayaan. Adapun moral dalam kajian antropologi yaitu moral sosial dan kultural yang dilihat menggunakan perspektif antropologi, dapat menggunakan pendekatan substantivis, formalis, atau yang lainnya. Namun demikian yang dimaksud moral sosial dan kultural yaitu moral secara kolektif. Moral kolektif yaitu konsep moral yang telah disetujui oleh sebagian besar masyarakat atau yang mewakili suara dominan. Dengan demikian secara garis besar moral dalam pandangan antropologi tidak mempermasalahkan apa atau bagaimana substansi moral namun memfokuskan bagaimana moral disepakati bersama. Penekanan lain yaitu bukan substansi terkait definisi moral namun bagaimana melihat moral (apapun definisinya) menggunakan pendekatan antropologi dengan media kebudayaan. Pandangan ini sejalan dengan beberapa pandangan antropolog yang telah kami paparkan di awal sub bab ini.

Lalu, bagaimana dengan filsafat dan hukum?


Filsafat dan Individunya

Filsafat merupakan ilmu yang mengkaji masalah umum dan mendasar tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran, dan bahasa, hal ini termasuk moral. Filsafat moral dalam ilmu ini disebut etika. Namun perlu dipisahkan mengenai etika dan moral karena keduanya memiliki pembahasan yang berbeda. Etika mengaji sistem dari nilai baik dan buruk suatu hal, sedangkan moral lebih condong kepada tindakan yang sedang dinilai, bisa juga dikatakan sebagai pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri. Jadi singkatnya, etika mempelajari moral (nilai) yang berlaku pada manusia. Berhubung kami bukanlah orang yang mumpuni dalam bidang filsafat, maka dari itu kami memutuskan melakukan diskusi dengan dua orang mahasiswa dari fakultas Filsafat.

Menurut Yulia[1], sesuai dengan yang ia pelajari, moral merupakan sesuatu untuk menilai apakah objek yang dinilai itu memiliki nilai baik atau buruk, sehingga moral itu sendiri bersifat netral. Namun suatu objek akan memiliki kecenderungan nilai melalui sebuah penilaian dari subjek. Maka, moral sangat berkaitan dengan subjektivitas seseorang.

Sedangkan menurut Nabilla[2], apa yang dimaksud dengan moral itu bersumber dari hati nurani. Setiap manusia memiliki suara hati yang berpatokan pada kesadaran akan kewajiban saya dalam situasi konkret sebagai manusia. Maksudnya dalam hal ini, Suara hati tidak dapat ditawar-tawar dengan pertimbangan untung-rugi, enak-tak enak, dipuji-dicela, disetujui atau tidak disetujui orang lain, membahayakan atau tidak. Suara hati membuat kita sadar bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas tindakan rasional. Tanggung jawab bagi keputusan-keputusan kita tak dapat dilemparkan pada orang lain. Orang lain dapat memberikan pendapat, kita dapat minta nasihat, tetapi akhirnya kitalah yang memutuskan apa yang akan kita lakukan. Maka dari itu bila suara hati mengatakan apa yang kita lakukan benar, namun bagi orang lain tidak, hal tersebut termasuk bermoral.

Keduanya sependapat bahwa moral berkaitan erat dengan nilai baik buruk, bukan benar-salah. Apabila benar salah, maka seseorang akan terbatasi dengan suatu larangan ketika itu salah. Dan seseorang akan terlegalkan apabila itu benar. Dan kebanyakan orang mmenganggap moral sebagai benar-salah, padahal itu berkaitan dengan baik-buruk. Bedanya kalau baik-buruk, orang tidak dapat berkuasa menghentikan orang lain untuk bertindak apabila itu bernilai buruk, karena itu hanya sekedar penilaian. Sebaliknya orang tidak akan secara mutlak mengharuskan bahkkan melegalkan apabila suatu objek bernialai baik, karena itu hanya sebatas penilaian.

Moral akan sangat tergantung pada diri seorang subjek, batasan teritori, dan lain-lain. Namun ada moral yang dianggap universal, yaitu ketika moral memiliki eksistensi dari dominasi pendukungnya. Ketika suatu moral telah dinilai dengan nilai tertentu kemudian eksis didalam dukungan yang banyak, ketika itulah moral telah diakui dan dianggap universal. Contoh: moral yang diciptakan oleh PBB, yang mewakili setiap negara. Namun, menurut Nabilla, nilai suatu moral dapat berubah seiring berjalannya waktu. Karena menurutnya manusia memiliki siklus hidup spiral dimana ia akan bergerak semakin kompleks ke masa depan. Ia berkata, moral mengalami perubahan dari yang lalu, kemudian nilai moral diterima, kemudian dipertanyakan lagi, baru tercipta moral baru yang dianut oleh masyarakat.

Kasus yang dapat kami paparkan dan masih berlangsung yaitu, pada masa lampau orang Sumba ketika akan melamar pinangannya harus menculik si gadis pinangan, di masa lalu hal tersebut dianggap wajar. Lain halnya dengan penilaian orang di luar komunitas (sebagian besar masyarakat Indonesia) tersebut yaitu menilai tindakan tersebut buruk. Di masa ini, setelah banyaknya percampuran kebudayaan (terutama mayoritas), orang Sumba kemudian mulai mengurangi dan melarang hal tersebut, dan mempertanyakan apakah tidakan tersebut bermoral tidak.

Ketika berbicara tentang moral seperti diatas, perubahan nilai moral tidak lepas dari gesekan dan berbagai masalah. Hal tersebut hadir ketika suatu moral minoritas (dalam arti, dalam batas atau lingkup yang kecil) berada didalam moral yang besar (mayoritas). Sehingga subjek akan bingung apakah akan mengikuti moral dari sudut pandangan minoritas (contohnya moral suku) atau dari sudut pandang mayoritas (contohnya bangsa).

Namun, mengikuti pendapat Immanuel Kant, seorang filsuf, Nabilla setuju bahwa nilai moral tiap manusia itu sama. Pada hakikatnya adalah bagaimana manusia menaruh dan mempertanyakan tidakan rasionalnya sesuai dengan hatinya atau tidak. Otonomi moral berarti bahwa kita masing-masing berhak, dan bahkan wajib, untuk mengikuti tanpa kecuali apa yang kita sadari sebagai kewajiban. Perintah apa pun, dari mana pun, serta pewajiban-pewajiban sosial, misalnya undang-undang, tidak dapat langsung mengikat hati orang. Orang berhak—dan tidak bisa menghindar—untuk menyadari sendiri apakah apa yang dari luar dihadapkan kepadanya sebagai kewajiban, betul-betul merupakan kewajiban. Fakta suara hati adalah perlindungan terkuat jati diri dan otonomi manusia. Karena itu, di satu pihak, para penguasa, kaum ideolog, sering juga para pimpinan agama tidak suka dengan suara hati.

Bagaimana kita ketahui apa yang menjadi kewajiban kita? Kant tidak memberikan daftar kewajiban atau ciri-ciri hal-hal yang wajib. Tetapi ia memberikan tolok ukur untuk mengecek sendiri apakah yang mau kita putuskan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Itulah rumusan termasyhur tentang imperatif kategoris: “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip yang dapat sekaligus kaukehendaki menjadi hukum umum!” Yang dimaksud Kant: Suatu pertimbangan—yang mendasari keputusan dan pengambilan sikap—hanya sah secara moral apabila dapat diuniversalisasikan, jadi dapat dituntut dari siapa saja, di mana saja, dalam kondisi yang sama. Kant berpendapat bahwa kita tidak hidup dalam suatu vacuum normatif, jadi kita sudah tahu—dari pendidikan kita—sekian norma moral, tetapi sebagai orang yang secara moral dewasa, kita mempertanggungjawabkan sikap yang kita ambil dalam jaringan normatif itu dengan memastikan bahwa sikap itu dapat diberlakukan secara umum.


Hukum dan Undang-Undangnya

Selain dari pandangan filsafat, kami juga mengambil presepektif hukum. Adapun dari sudut pandang hukum, moral adalah suatu kodrat yang naturalis ada dalam manusia. [3]Moral dibagi menjadi dua, yaitu moral rasional, moral irrasional. Moral rasional bersumber dari manusia itu sendiri misalnya: memberi makan anjing dan memeliharanya karena anjing juga merupakan makhluk hidup, sedangkan moral irrasional bersumber dari Tuhan, misal: tidak boleh makan babi karena dalam Al-Quran dilarang. Moral rasional atau bersumber dari manusia dibentuk dari alam sadar manusia. Sedangkan penentu atas moral irrasional bersumber dari wahyu Tuhan.

Adapun moral yuris prudensial berada di undang-undang namun undang-undang hanya sekedar acuan, dalam praktiknya akan dikembalikan pada diri manusia. Imanuel Kant menjadi salah satu tokoh yang menyatakan bahwa hukum berasal dari moral manusia. Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum termasuk dalam tatanan normatif lahiriah manusia, di luar motivasi batin. Moralitas hanya berkaitan dengan suara hati atau sikap batin manusia. Hukum mengikat secara moral kalau diyakini dalam hati.

Secara garis besar terdapat percabangan aliran dalam moral itu sendiri dalam perspektif hukum. Baik aliran posifitis, menganggap bahwa moral harus bersandarkan pada undang-undang yang tertulis, sehingga bersifat kaku atau saklek. Sedangkan aliran formalis lebih bersifat lunak, dimana memberikan keleluasaan latar belakang sesuatu dalam menentukan moral.

Contoh: orang mencuri karena tuntutan ekonomi.

Secara formalis, orang tersebut dapat dikatakan memiliki moral baik, karena terdapat alasan yang baik didalam tindakan seseorang. Secara positifis, orang tersebut dikatakan bermoral buruk, karena melanggar undang-undang yang ada. Meskipun terdapat konteks sosial dibalik tindakan mencuri seseorang, aliran positifis mengganggap bahwa konteks tersebut hanyalah alasan pembenaran semata, dan secara hukum melanggar ketentuan.

Ketika berbicara mengenai moral adat yang yang terdapat dalam tatanan suku masyarakat, moral adat memiliki tempat dan posisi tersendiri di mata hukum negara. Ketika terdapat perselisihan antara moral adat dengan moral negara, maka semua dikembalikan kepada hakim di persidangan, dan semua tergantung perspektif hakim apakah akan mengambil aliran positifis atau formalis. Pada intinya hukum adat yang mengandung moral dari perspektif masyarakat adat setempat masih dilindungi oleh hukum selama substansi dari moral tersebut ada dalam undang-undang.


Tiga Pandangan Bersinggungan

Memahami moral menurut ketiga ilmu yang berbeda amatlah menarik. Karena ketiganya memiliki perbedaan yang menurut kami cukup kentara. Filsafat; membahas moral dalam lingkup antara objek dengan subjek (secara kontekstual). Hukum; membahas moral dalam lingkup antara objek dengan undang-undang (hukum). Adapun ilmu Antropologi; membahas moral dalam lingkup antara objek serta kaitannya dengan masyarakat dan kebudayaan.

Dalam jurnal Anthropology and Moral Philosophy oleh Blake, terdapat kecenderungan umum di kalangan filsuf moral yang tidak nyaman tentang temuan para antropolog. Mereka (filsuf) menduga bahwa temuan antropolog membuat diskusi mereka, dan pendahulu mereka, telah debatkan begitu lama tidak ada hubungannya dengan variasi budaya sama sekali. namun lanjut blake sebenarnya keduanya bisa saling melengkapi. Moral 'antropologis' kedengarannya sering seperti permohonan untuk berpandangan luas atau modernisme atau reformasi, melawan absolutisme dan otoritas dari pemikiran filsuf yang konserfatif, namun harusnya pemikiran filosofis dapat memikirkan pendapat ini yang kemudian bisa memberikan pengaruh pada pertanyaan-pertanyaan mendasar mereka sendiri. Kami setuju dengan pernyataan ini.

Untuk hukum sendiri yang berhubungan dengan undang undang, kami merasa perlu adanya pemakluman dalam setiap tindakan manusia meskipun adanya tindakan pelanggaran. Seperti pendapat A. R. Louch bahwa tiap manusia memiliki motif dalam tindakannya, maka kami rasa moral harus diterapkan secara positifis dalam prakteknya.

Hal lain yang menarik dalam tiga sudut pandang ini adalah Immanuel Kant. Meskipun dikenal sebagai seorang filsuf, namun karya Kant digunakan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti antropologi dan hukum. Sejarah perkembangan moral yang menekankan pada pencarian kebahagiaan mencapai titik balik ketika Immanuel Kant mengemukakan konsep moral yang hanya menekankan kepada kewajiban. Pada saat itu, Kant tidak mempertanyakan bagaimana manusia seharusnya hidup bahagia? Tetapi yang dipertanyakan adalah, bagaimana manusia seharusnya melakukan kewajiban? kami menyadari bahwa meskipun inti atau gagasan pikiran Kant tentang moral dan moralitas masih memiliki lubang, namun inilah yang menyatukan tiga ilmu atau setidaknya memberikan titik temu. Dan dari percakapan serta penelusuran kami menegenai moral dan moralitas, kami menyimpulkan bahwa sebenarnya moral ini bersumber dari dalam diri dan tumbuh bersama pandangan lingkungan individu tersebut.


[1] Wawancara dengan Yulia Rosdiana Putri, mahasiswa Filsafat UGM 2017, 11 Desember 2018.


[2] Wawancara dengan Nabilla Assyarifah, mahasiswa Filsafat 2015, 12 Desember 2018.


[3] Wawancara dengan Nugroho Adi Pratama, mahasiswa Fakultas Hukum 2018, 12 Desember 2018.


Refrensi

Blake, C. (1954). Anthropology and Moral Philosophy. The Philosophical Quarterly (1950-), 4(17), 289-301. doi:10.2307/2217367

Dahlan, M. (2009). PEMIKIRAN FILSAFAT MORAL IMMANUEL KANT (Deontologi, Imperatif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis). Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 8(1), 37-48.

Kant, I., & Kroeger, A. (1876). The Journal of Speculative Philosophy, 10(3), 319-323. Diakses dalam: http://www.jstor.org/stable/25665989

Louch, A. (1963). Anthropology And Moral Explanation. The Monist, 47(4), 610-624. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/27901529

Laidlaw, James. (2017). Ethics / Morality: University of Cambridge http://doi.org/10.29164/17ethics dalam: http://www.anthroencyclopedia.com/entry/ethics-morality diakses pada 12 Desember 2018


Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page